Beranda / Romansa / Dipaksa Menikahi Pria Cacat / Bab. 01. Hari Setelah Pernikahan

Share

Dipaksa Menikahi Pria Cacat
Dipaksa Menikahi Pria Cacat
Penulis: Kurnia

Bab. 01. Hari Setelah Pernikahan

“Apakah kamu cantik?” tanya Mark meraba pelan pipi istrinya.

“Aku cantik kok. Tapi, bukan wajah yang membuat wanita terlihat cantik. Melainkan hati dan perilakunya,” jawab Lusi, nama istri Mark.

Mark tersenyum tipis mendengar jawaban istrinya.

Ini hari pertama bagi Lusi tinggal di rumah mewah setelah menikah dengan Mark. Pria tampan dan kaya raya. Akan tetapi Mark mengalami kebutaan dan kakinya lumpuh.

Pada awalnya Lusi menolak keras ketika sang ayah memaksa dirinya untuk menikah dengan Mark. Namun, demi melunasi utang ayahnya, Lusi merelakan diri. Apa pun akan Lusi lakukan untuk kebahagiaan keluarganya, meski mereka tidak pernah memberi Lusi kasih sayang.

“Biasanya setelah sarapan dan minum obat, Tuan ngapain?” tanya Lusi duduk di samping suaminya.

“Aku hanya berdiam diri. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh orang buta, dan lumpuh sepertiku? Jangan menanyakan pertanyaan konyol,” sungut Mark. “Kamu mau menikah denganku karena uang ‘kan? Jadi, tidak perlu sok baik, dan pura-pura perhatian. Aku sama sekali tidak membutuhkanmu. Lebih baik kamu menikmati hidupmu saja,” tandasnya.

Lusi sedikit terkejut mendengar nada ketus keluar dari bibir tipis sang suami.

Sudut bibir Lusi naik, membentuk sebuah senyuman. Lusi berlutut di depan Mark, menggenggam jari besar milik sang suami.

“Aku memang menikahimu karena uang, ayahku memiliki banyak utang, dan ibumu berjanji akan melunasi utang ayahku kalau aku mau menikah denganmu. Tetapi satu hal yang harus kamu ingat. Pernikahan kita itu sah secara agama dan negara. Bukan hanya sekedar formalitas. Apalagi untuk dipermainkan. Aku beneran gak mau mengingkari janji kita pada saat akad nikah. Aku bakal tetap melayanimu dan selalu berada di sisimu. Di waktu senang maupun susah.”

“Begitukah? Baiklah, aku akan menunggu seberapa konsisten kamu dengan pemikiranmu itu,” cibir Mark.

Lusi menghembuskan napas kasar. “Kamu tahu gak kalau aku masih berusia dua puluh satu tahun? Dan aku sudah berhenti kuliah. Mulai sekarang, akulah yang akan mengurusmu. Mulai dari memandikanmu, memberimu pakaian yang layak, dan memasak untukmu. Pokoknya aku bakal menemanimu dua puluh empat jam,” terang Lusi tersenyum senang membayangkan kegiatannya nanti.

“Terserah apa katamu. Yang penting aku mau badanku selalu bersih," kata Mark cuek.

"Iya, aku bakal mandiin kamu kok, aku bisa mandiin kamu sendirian," sahut Lusi tanpa merasa jika pernyataannya aneh.

"Kamu pikir aku seperti bayi?" celetuk Mark. "Aku pria dewasa berusia empat puluh tahun. Kamu tidak bisa memandikanku sendirian."

“Terus? Aku harus minta bantuan pelayanmu? Dan membiarkan mereka melihat tubuhmu? Tidak mau! Tidak boleh!” tegas Lusi.

Tanpa disadari, Lusi telah menunjukkan sikap kekanakan. Mark bisa merasakannya. Lusi bertingkah seperti anak kecil yang baru saja memiliki kekasih. Melarang orang lain untuk menyentuh sesuatu yang telah menjadi miliknya.

“Tidak bisa, kamu masih membutuhkan orang lain untuk mengangkat badanku. Biar kuperjelas, berat badanku delapan puluh lima kilogram, dan tinggiku seratus delapan puluh tujuh sentimeter. Kamu yakin bisa mengurusku sendirian? Setidaknya pakai otakmu terlebih dahulu sebelum berbicara,” tandas Mark. Nada bicaranya terdengar begitu ketus.

“Gak mau! Kamu ‘kan suamiku! Aku bisa mengurusmu sendiri kok,” rengek Lusi menggoyang pundak suaminya. “Dulu waktu aku berusia empat belas tahun, aku pernah bekerja di panti jompo. Aku juga bisa memandikan serta mengurus para nenek di sana. Kamu jangan remehin aku dong,” tambahnya meyakinkan Mark.

Mark hanya bisa menghela napas tanpa bisa menjawab perkataan istrinya. Menurutnya, Lusi adalah orang yang keras kepala. Baiklah, Mark akan berusaha menerima Lusi dan mengikuti kemauan gadis itu.

“Tuan, aku masih perawan loh,” bisik Lusi tepat di telinga Mark. “Aku akan menjaganya dan memberikannya kepadamu. Tenang saja,” ucap Lusi menatap suaminya.

Jemari lentik Lusi mengelus kepala suaminya. Membelai rambut panjang itu dengan lembut.

“Tuan, rambutku juga panjang, berwarna cokelat gelap. Aku suka mengikat rambutku tinggi,” terang Lusi.

“Untuk apa kamu memberitahuku? Kamu pikir aku peduli?” sahut Mark merasa jengah mendengar suara cempreng Lusi.

“Meskipun kamu gak peduli, gak masalah kok. Aku ‘kan cuma cerita doang. Emangnya aku gak boleh cerita? Kalau gak boleh, aku tinggal nih,” canda Lusi. “Kok gak dicegah sih? Tuan nyebelin banget deh,” tambahnya kembali menghampiri Mark.

“Kamu sedang mengolokku karena aku tidak bisa melihat?” sungut Mark sedikit geram.

“Siapa juga yang mengolokmu. Aku hanya ingin mengajakmu bermain. Itu saja, kenapa menuduhku seperti itu? Aku ini istrimu, mana mungkin aku mengolok suamiku sendiri! Sudah ah, aku beneran ngambek!” kelakar Lusi duduk di atas sofa dengan wajah cemberut.

Suasana kamar menjadi sunyi seketika. Mark sama sekali tak ingin menanggapi istrinya. Begitu pun dengan Lusi yang sesekali melirik ke arah Mark.

Kesunyian tak bertahan lama saat seorang wanita masuk ke dalam kamar. Lusi langsung berdiri menyambut kedatangan ibu mertuanya. Wanita berusia enam puluh tahun itu masih tampak muda dengan dandanan layaknya sosialita pada umumnya, glamor dan penuh kemewahan.

“Mark, aku ingin memberitahumu kabar sedih. Orang yang mendonorkan mata untukmu tiba-tiba membatalkan niatnya. Dia kabur entah ke mana,” ujar Nyonya Maria, nama ibu mertua Lusi.

“Aku sudah memerintahkan banyak anak buah untuk mencarinya. Namun hasilnya nihil. Sekarang aku sedang kebingungan. Padahal oprasi mata akan segera dilakukan,” tambah Nyonya Maria mengeluarkan ekspresi sedih.

“Cari pendonor lain, tambahkan nominal uang untuk ganti rugi. Aku harus segera mendapatkan mata,” tegas Mark menahan amarahnya.

“Kamu tenang saja, aku akan segera mencarikan mata untukmu. Sekarang kamu harus sedikit bersabar.” Nyonya Maria mengelus jemari besar Mark.

Wanita tua itu menoleh ke arah Lusi. “Apakah kamu sudah menjalankan tugasmu sebagai seorang istri dengan baik?” tanya Nyonya Maria tersenyum lembut menatap Lusi.

“Aku akan berusaha semaksimal mungkin agar bisa membuat Tuan Mark bahagia. Aku juga sudah menyusun semua jadwal yang akan kukerjakan,” jawab Lusi antusias.

“Syukurlah, aku merasa lega setelah mendengarnya. Semoga kamu betah ya tinggal di sini,” ucap Nyonya Maria.

“Aku pasti betah kok, rumah ini besar dan indah. Aku ingin tinggal di sini selamanya,” tandas Lusi tertawa kecil.

“Kalau begitu, jadilah istri yang baik. Jangan melawanku dan terus berbakti kepada suamimu,” ujar Nyonya Maria.

“Pasti! Aku janji!” sahut Lusi bersemangat.

Perhatian Nyonya Maria kembali tertuju kepada Mark, anak tirinya.

“Mark, aku juga ingin memberitahumu soal pergantian Presdir di perusahaan Geo Grup Asia. Orang yang menggantikan posisimu adalah saudara tirimu. Ini bukan keputusanku, melainkan keputusan yang diambil oleh para pemegang saham.”

Rahang Mark mengeras mendengar ucapan Nyonya Maria.

“Kurang ajar! Beraninya mereka menghianatiku! Aku adalah pendiri sekaligus pemilik Geo Grup Asia! Kenapa mereka melangkahiku! Apakah mereka pikir aku tidak mampu mengurus perusahaan karena aku cacat! Sialan!” ujar Mark mengepalkan kedua tangannya.

“Mark tenanglah, aku dan adik tirimu juga sudah menolak keputusan mereka. Tapi kami tidak berdaya. Mereka ingin seorang pemimpin yang bisa mengecek secara langsung keadaan perusahaan. Melihat kondisimu- aduh maafkan aku, aku tidak bisa mencegah mereka. Kamu tidak perlu khawatir, kamu masih menjadi pemilik Geo Grup Asia.”

“Dasar sial!” geram Mark.

Lusi merasa sedih melihat Mark marah. Dia tidak mengerti tentang apa yang dibicarakan oleh ibu mertuanya. Yang dia tahu hanyalah jabatan Mark yang diambil orang lain.

***

Sepertinya Mark salah telah meremehkan kekuatan Lusi. Nyatanya gadis itu mampu merawatnya dengan baik. Meskipun masih membutuhkan satu pelayan laki-laki untuk membantu mengangkat tubuh besar Mark. Selebihnya Lusi sendiri yang menangani.

“Waktunya minum obat, Tuan.” Lusi menyiapkan semua obat yang akan dikonsumsi oleh suaminya.

“Oh ya, Tuan tadi masakanku enak gak? Enak dong pasti. Buktinya, Tuan sampai nambah,” lanjutnya.

Mark tersenyum tipis. “Kamu masak makanan favoritku. Aku sudah lama tidak memakannya, jadi nambah. Bukan berarti masakanmu enak,” sangkal Mark.

Awalnya Lusi sedih mendengarnya tetapi dia buru-buru menghilangkan perasaannya itu. Senyuman kembali terpantri di wajah manisnya.

“Yaudah besok aku pasti bisa masak makanan yang jauh lebih enak dari hari ini,” ujar Lusi optimis.

“Ayo minum obat! Ups, ini obat terakhir ya? Besok harus minta ke Nyonya Maria nih,” tutur Lusi menyadari jika obat Mark sudah habis.

Setelah mencampurkan semua obat di satu gelas kecil. Lusi berjalan mendekati suaminya. Namun karena kurang berhati-hati, kaki Lusi terselip boneka mainannya yang berserakan di atas karpet. Alhasil gelas digenggamannya jatuh dan menumpahkan isinya.

“Ada apa?” tanya Mark terkejut mendengar suara tubuh Lusi yang menghantam sofa.

“Aduh... Sakit banget!” keluh Lusi menyentuh dagunya. “Astaga! Aku terjatuh gara-gara boneka katakku, dasar boneka nakal!” tuduhnya memukuli bonekanya.

“Kamu terjatuh karena ulahmu sendiri.” Mark terkekeh kecil membayangkan posisi Lusi ketika terjatuh.

“Bukan salahku! Tapi salah boneka katak! Aku benci boneka katak! Aku gak mau tidur bersama boneka katak lagi!” pekik Lusi membuang boneka itu.

Lusi panik begitu menyadari jika gelas obat malah dijilati oleh kucing kesayangan suaminya.

“Geogi nakal! Ini obatnya suamiku loh! Bukan makananmu!” pekik Lusi mendorong pelan kepala kucing itu.

“Tuan, Geogi menjilati obat yang tersisa di dalam gelas. Bagaimana ini? Itu adalah obat terakhir,” lapor Lusi menyalahkan kucing milik suaminya.

“Tidak masalah, obat itu hanya vitamin. Tidak meminumnya sekali, tidak akan membuatku mati,” tandas Mark.

“Tuan Mark berhati malaikat.” Lusi berlari dan langsung memeluk erat suaminya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Mark mencoba mendorong pinggang Lusi.

“Kok masih tanya. Aku ‘kan lagi meluk suamiku,” jawab Lusi senang.

“Aku mengantuk,” sahut Mark malas.

“Okay! Ayo kita tidur.” Lusi melepas pelukannya.

Setelah merapikan ranjang dan membaringkan tubuh Mark. Lusi langsung tidur di samping suaminya. Tidak lupa memeluk erat boneka katak yang telah dia pungut kembali. Keduanya pun terlelap.

Berbeda dengan Geogi, kucing yang tadi menjilati sisa obat milik Mark. Kucing tersebut tak mampu untuk berdiri. Suara kucing itu juga tercekat, tidak mampu mengeong, seperti ada sesuatu yang mencekiknya. Perlahan, mata kucing itu tetutup dan tubuhnya sudah tidak bergerak.

BERSAMBUNG

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Samsung Jduaprem
seoerti ya seru nie lanjut bab 2
goodnovel comment avatar
~kho~
oalah...emak tirinya fix jahat ini mah. Dikasih obat yg ternyata racun kyx nih
goodnovel comment avatar
Arief Mixagrip
mau aum mau t
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status