“Berani kamu membentakku! Jangan kira kamu bisa sesukamu karena menikah dengan orang kaya!” bentak Ibu Tutik mendorong kepala Lusi.
Meski sudah terbiasa mendapat kekerasan dari sang ibu. Tetap saja hati Lusi merasa pedih. Air matanya pun meluncur begitu saja tanpa aba-aba.“Ibu jahat banget sama aku. Padahal aku menikah sama Tuan Mark karena kakak engga mau menikah dengan Tuan Mark.”“Tutup mulutmu! Jangan pernah menyinggung soal itu lagi!” pekik Ibu Tutik memukul pelan pundak Lusi. “Kalau kamu sudah tidak ada kepentingan lagi, cepat pergi dari sini!” usirnya mendorong punggung Lusi cukup keras.Merasa kehadirannya tidak diinginkan, Lusi pun berpamitan untuk pulang. Wajahnya mengeluarkan ekspresi sedih saat melihat makanan yang dia bawa telah dibuang oleh ibunya.Dengan menahan tangisannya, Lusi masuk ke dalam mobil. Tak lupa, dia juga membawa kucing kesayangannya ikut.***Sampainya di rumah, Lusi langsung memandikan kucingnya. Salah satu pelayan memberi Lusi sebuah obat untuk dioleskan ke tubuh kucing yang terluka.“Terima kasih,” ucap Lusi sebelum kembali merawat kucingnya.Setelah membalut luka kucingnya dengan perban. Lusi membawa kucing tersebut ke dalam kamar. Seketika wajahnya sumringah saat melihat Mark tengah duduk di atas ranjang.“Maaf ya aku lama,” kata Lusi menghampiri suaminya. “Lihat aku bawa apa untukmu, seekor kucing. Aku mengambilnya dari rumahku di desa. Tapi kondisinya sedang tidak baik-baik saja.” Bibir Lusi mengerucut.“Kupikir kamu bakal menginap di sana, ternyata tidak. Jadi, kamu hanya semenit berada di rumah kecilmu?” ledek Mark sembari mengelus kepala kucing yang berada di gendongan Lusi.“Gak mungkin aku nginep dan membiarkan suamiku tidur sendirian. Sebenarnya aku ingin berada di sana seharian. Tapi, sepertinya ibuku tidak ingin aku berada di sana. Ya sudah aku pulang saja. Engga semenit kok, beberapa menit,” jelas Lusi.“Kamu selalu saja punya jawaban untuk setiap perkataanku,” ujar Mark menghembuskan napas. “Bulu kucingmu tidak lebat? Ini kucing biasa ya?” tanya Mark meraba badan kucing tersebut.“Iya dong, dulu aku memungutnya dari tempat sampah loh, kasihan banget. Pasti ditinggal sama ibunya,” jawab Lusi.Lusi memindahkan kucing kurus itu kepangkuan Mark. Gadis manis itu berjalan mendekati meja untuk meracik obat.“Waktunya minum obat, ayo buka mulutnya,” ucap Lusi menyentuh rahang suaminya agar mau membuka mulutnya. Akhirnya obat masuk ke dalam tubuh Mark.“Entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar. Badanku terasa lebih ringan ketika aku tidak mengonsumsi obat itu,” tutur Mark.“Mungkin itu hanya perasaanmu saja,” sahut Lusi.Tiba-tiba Lusi terdiam memikirkan obat yang diklaim sebagai vitamin itu. Entah mengapa ingatannya tentang kucing milik Mark yang menjilat sisa obat di dalam gelas melintas begitu saja. Tanpa pikir panjang Lusi meracik obat tersebut untuk dirinya sendiri. Dia benar-benar meminumnya tanpa sepengetahuan Mark.“Siapa nama kucingmu? Sepertinya kucingmu berjenis kelamin betina.” Pertanyaan Mark membuat Lusi terperanjat kaget“Oh, itu, anu, namanya Gembul,” jawab Lusi mencoba mengatur detak jantungnya.“Gembul? Kucingmu kayak kurang gizi begini. Tidak cocok dengan namanya,” ejek Mark tertawa kecil.“Sebelum aku tinggal, kucingku gendut banget loh. Mungkin dia sedih karena kamu mengambilku darinya,” sahut Lusi.“Aku tidak pernah mengambilmu, kamu sendiri yang menyerahkan diri,” kata Mark masih dengan nada santai.Berbeda dengan Lusi yang sudah menggelembungkan kedua pipinya.Daripada menanggapi suaminya. Lusi lebih memilih untuk menutup semua jendela kamarnya. Dia juga mengunci pintu kamar. Menandakan jika dirinya tak ingin diganggu oleh siapa pun. Hanya ingin menghabiskan waktu berdua bersama suaminya.“Tuan, aku mengantuk sekali, biasanya jam segini gak pernah ngantuk,” ujar Lusi tak bisa membuka kedua matanya dengan benar.“Ayo tidur, aku juga sudah mengantuk,” sahut Mark meletakkan kucing di sampingnya.Lusi segera memindah posisi Mark senyaman mungkin. Setelah Mark berbaring, barulah dia rebahan di sebelah suaminya. Kucing yang awalnya telah diturunkan dari atas ranjang, kini naik dan tidur di sela kaki Mark.Bibir Lusi mendekat ke telinga Mark. Membacakan beberapa surat pendek di sana. Hal itu sukses membuat Mark berdesir nyaman. Lusi memang sering melakukannya ketika Mark telah terlelap. Namun kali ini, karena dirinya sudah sangat mengantuk jadi berdoa lebih awal.“Suamiku, kamu surgaku, semoga kita selalu dijauhkan dari hal negatif. Berikanlah kami rahmat,” bisik Lusi sebelum tertidur pulas.***Keesokan harinya, Lusi merasakan nyeri luar biasa di kedua kakinya. Hal seperti ini baru pertama kali terjadi di hidupnya. Sekali lagi dia mengingat tentang obat yang kerap diminum oleh suaminya. Jika dirinya saja yang awalnya sehat bisa dibikin lemah seperti ini. Apa lagi suaminya?Mark selalu minum obat di malam hari sebelum tidur. Satu hari sekali. Mungkin saja pernyataan suaminya tempo hari benar. Tubuh Mark terasa lebih ringan ketika dua hari melewati waktu minum obat.“Tuan, aku beneran penasaran dengan obat yang kamu minum setiap hari,” ucap Lusi sembari merapikan boneka yang berceceran di atas karpet.“Sudah kubilang itu vitamin,” jawab Mark masih sedikit mengantuk.Tiba-tiba suara barang pecah mengagetkan keduanya. Lusi refleks menoleh ke sumber suara. Rupanya kucingnya menjatuhkan barang dari jam dinding raksasa di samping pintu kamar. Bisa-bisanya kucingnya memanjat jauh di sana.“Aduh! Gembul kamu nakal sekali, ini pasti mahal. Bagaimana caraku buat ganti?” pungkas Lusi membereskan barang yang pecah tersebut.“Loh? Kok dalamnya ada kamera kecil? Tuan menyimpan kamera di hiasan kristal? Hiasannya pecah tapi kameranya kayaknya selamat deh. Eh ini kamera ‘kan?” ungkap Lusi kebingungan.“Bawa kemari, biarkan aku menyentuhnya,” pinta Mark.Lusi segera menyerahkan barang tersebut kepada suaminya.“Kurang ajar! Siapa yang berani memasang kamera di kamarku!” bentak Mark.“Jadi ini beneran kamera?” tanya Lusi kaget. “Apaan sih, nyimpen kamera kok di dalam hiasan kristal, aku coba ah. Loh? Kameranya sudah menyala ternyata,” kata Lusi kaget.“Suruh Maria datang menemuiku!” perintah Mark mutlak.Tak perlu menunggu lama. Maria telah sampai di mansion milik Mark. Wajahnya tampak terkejut melihat kamera rahasia yang terpasang di kamar Mark mampu ditemukan. Mark hanya diam menunggu ibu tirinya itu mengeluarkan sepatah kata.“Kamera ini memang sengaja aku pasang untuk memantaumu. Jadi, kalau terjadi sesuatu denganmu. Aku bisa langsung mengambil tindakan. Percayalah kepadaku, aku tidak bermaksud buruk terhadapmu,” jelas Nyonya Maria tersenyum canggung.“Kauingin aku percaya dengan ucapanmu? Maria, jangan mencoba membodohi aku. Kamu pikir, kamu siapa?” cetus Mark menahan amarahnya. “Aku hanya memintamu untuk mencarikanku mata. Tidak lebih dari itu,” lanjutnya.“Aku sungguh minta maaf atas kelancanganku,” tutur Nyonya Maria menundukkan kepalanya.“Tuan Mark jangan begitu, mungkin Nyonya Maria ingin mengawasimu dari jauh karena tidak bisa merawatmu setiap saat. Jangan marah ya,” ucap Lusi mencoba menenangkan Mark.Sekali lagi Mark luluh begitu Lusi mengelus pundaknya.“Okay, suruh penjaga menggeledah kamarku. Dan singkirkan semua kamera tersembunyi. Aku tidak suka ada orang yang mengganggu privasiku!” perintah Mark.“Aku akan menyingkirkan semua kamera yang telah aku pasang,” ucap Nyonya Maria.Mark menyeringai mendengarnya. “Kalau begitu hubungi polisi, aku ingin polisi yang melakukannya,” tandas Mark.Seketika Nyonya Maria panik. Itu artinya Nyonya Maria tidak bisa menyuruh penjaga untuk berpura-pura menggeledah. Pada akhirnya Nyonya Maria pasrah.Beberapa saat kemudian, kepala kepolisian setempat tiba dengan membawa anak buahnya. Sesuai dengan perintah Mark. Mereka mulai menggeledah kamar Mark. Dan benar saja, terdapat lima kamera yang ditemukan.Mark ingin sekali memaki ibu tirinya namun, Lusi tak ‘kan membiarkan Mark membuang tenaganya untuk melakukan itu. Yang terpenting sekarang adalah di dalam kamar sudah tidak ada lagi kamera tersembunyi.Setelah masalah ini selesai, para polisi pamit undur diri. Begitu pun dengan Nyonya Maria.“Di mana Gembul?” tanya Mark.“Tuan, maafin Gembul ya. Dia pasti lagi norak banget, soalnya tinggal di tempat sebagus ini. Mangkanya sampai manjat rak buku dan hiasan di kamar,” tutur Lusi merasa bersalah.“Justru aku ingin berterima kasih padanya. Karena dia, aku jadi tahu kelakuan nyeleneh Maria,” jawab Mark. “Aku ingin memberinya hadiah kecil,” tambahnya.Lusi langsung menyerahkan kucingnya ke dalam gendongan sang suami. Kucing tersebut terlihat begitu nyaman berada di pangkuan Mark.“Aku beneran gak nyangka bakalan ada kamera tersembunyi di dalam kamar. Jadi malu nih, selama ini aku ‘kan selalu berganti pakaian di depan cermin,” ujar Lusi merasa lega.“Sekarang kamu tidak perlu khawatir. Kamar ini sudah aman,” kata Mark sedikit menarik sudut bibirnya ke atas.“Syukurlah, aku jadi leluasa untuk merawatmu,” sahut Lusi duduk di salah satu sofa.“Lusi, apakah kamu sedang menunjukkan jika kamu ada dipihakku?” tanya Mark.Lusi tidak mengerti dengan pertanyaan suaminya. “Tentu saja aku ada dipihakmu. Aku ‘kan istrimu, memangnya ada istri yang tidak memihak suaminya? Ada-ada saja.” Akhirnya Lusi bisa menjawab pertayaan itu.“Lusi, apa yang kamu inginkan? Akan kukabulkan,” kata Mark memberi tawaran kepada istrinya.“Beneran? Kalau begitu aku mau mengirim uang untuk bapakku yang sedang sakit setiap bulan. Maafin aku, hanya itu yang kubutuhkan sekarang. Aku gak maksa kok kalau kamu gak mau, itu bukan kewajibanmu,” tukas Lusi menautkan jemarinya. Takut bila suaminya marah.Mark tertawa kecil, “Berapa nominal yang harus kukirim kepada orang tuamu setiap bulannya?” tanya Mark.Mata Lusi berbinar mendengarnya, sungguh suaminya mau mengabulkan permintaannya. Seluruh tubuh Lusi meremang. Kedua matanya telah dipenuhi oleh air mata yang siap meluncur.“Terima kasih, Suamiku... Kamu benaran berhati malaikat.” Lusi berlari memeluk suaminya. Air matanya kini telah menetas membahasi kedua pipi gembulnya. “Aku benaran beruntung memiliki pria sepertimu,” pujinya merasa sangat bersyukur.“Sepertinya terbalik.” Mark mengelus punggung istrinya yang bergetar akibat menangis.BERSAMBUNGTerdengar suara tembakan tak beraturan dari arah belakang. Sumber suara tembakan berasal dari Pria tampan yang tengah asyik menghabisi semua orang yang berada di dalam ruangan.Lelaki itu telah mengacaukan pertemuan penting yang dilakukan oleh para petinggi di negaranya. Setelah puas melakukannya, pria rupawan yang diketahui bernama Felix itu membuang senjatanya begitu saja, lalu pergi meninggalkan TKP.Suara tawanya menggema di dalam mobil saat menyadari jika dirinya dikejar oleh beberapa mobil polisi di belakang. “Sial! Ini benaran menyenangkan,” ujar Felix makin tertawa keras.Mobilnya melesak melewati sunyinya malam. Mobil lain telah menunggunya di ujung gang. Dengan keberaniannya, Felix meloncat dari mobilnya lalu masuk ke dalam mobil anak buahnya. Bodohnya para polisi tak menyadarinya, dan lebih memilih mengejar mobil kosong.“Semua polisi di negara ini sangat konyol, sama seperti Presiden mereka.” Felix mengejek habis-habisan sistem pemerintahan di negaranya. “Antar aku pul
Makin dilihat makin menarik. Begitulah kesan yang dirasakan oleh Felix saat dirinya memperhatikan Lusi secara terus-menerus. Ada perasaan sedikit iri tak kala menyaksikan Lusi memperlakukan Mark dengan begitu baik.Felix meraih pergelangan tangan Lusi, menggeret wanita manis itu ke salah satu ruangan yang ada di dalam mansion.“Ada apa?” tanya Lusi bingung.Kelopak mata Lusi berkedip cepat saat Felix mengukung tubuhnya. Jantungnya juga sempat berdebar saat hidungnya mencium parfum maskulin yang dikenakan oleh Felix.“Apaan sih! Lepasin aku! Aku gak suka kayak begini,” kata Lusi berusaha mendorong dada bidang Felix agar menjauhinya.Bukannya melepaskan Lusi, Felix justru menggenggam erat kedua pergelangan tangan Lusi. Hal itu sukses membuat Lusi panik. Ditambah Felix yang mencondongkan kepalanya ke bawah untuk melihat wajah lesu Lusi.“Gimana kalau kamu tinggalin suamimu dan menjadi milikku?” goda Felix tersenyum tipis.Lusi yang awalnya tidak berani menatap Felix, kini menatap pria tam
Aldo sangat terkejut mendengar pernyataan ibundanya. Rupanya ibunya lah yang membuat Mark tetap dalam kondisi lumpuh. Selama ini Aldo mengira jika kelumpuhan yang dialami oleh kakak tirinya murni akibat kecelakaan enam bulan lalu. "Kenapa, Ibu melakukan itu?” tanya Aldo mengerutkan dahinya. “Kamu tanya kenapa? Kamu gak lihat sekarang kamu menjadi Presdir berkat siapa? Kamu pikir, Mark akan memberimu posisi bagus di perusahaan setelah kamu keluar dari penjara karena kasus pelecehan anak di bawah umur?” cerca Nyonya Maria menegaskan.“Jangan disinggung lagi, kasus itu sudah lama ditutup,” tutur Aldo memanyunkan bibirnya.Nyonya Maria tersenyum lembut menatap anaknya. “Maka dari itu, Anakku tercinta. Kamu harus menuruti semua perkataanku. Supaya hidupmu baik-baik saja. Dan semoga kita bisa mengambil seluruh aset yang dimiliki oleh keluarga George yang sekarang berada di tangan Mark,” jelas Nyonya Maria mengelus rambut anaknya lembut.“Malam ini, Ibu bakal ngasih aku cewek buat nemenin a
“Siapa juga yang lagi bercanda? Aku serius. Lawong aku pernah meminumnya. Dan coba tebak apa yang terjadi kepadaku?” goda Lusi seolah mempermainkan mental Felix. “Apa yang terjadi kepadamu?” tantang Felix menundukkan kepalanya agar bisa menangkap ekspresi Lusi dengan jelas. “Kakiku keram, seluruh tubuhku sakit dan lemas. Obat ini adalah obat yang diberikan oleh Nyonya Maria. Awalnya aku tidak ingin berburuk sangka karena itu dilarang di agamaku. Tetapi, kucing kesayangan Tuan Mark meninggal setelah tak sengaja mencicipi obat ini,” terang Lusi. Kini, mata Lusi sudah mulai berkaca-kaca. “Aku tahu kalau kamu sangat menyayangi Tuan Mark. Maka dari itu, Tuan Felix mau ‘kan menguji obat ini di laboratorium? Aku gak punya akses. Aku juga gak punya kekuatan kalau ketahuan sama Nyonya Maria. Jadi aku meminta bantuanmu, aku juga punya hasil autopsi kucing kesayangan Tuan Mark. Tolong aku, Tuan Felix,” Melihat Lusi menangis memohon pertolongannya. Tanpa ragu Felix meraih kotak obat tersebut.
“Beruntungnya kamu memiliki istri sepintar Lusi,” ucap Felix berjalan mendekati sahabatnya. “Berhentilah mengganggu Lusi,” sahut Mark menimpali kalimat Felix. Felix tertawa kecil. Menurutnya tingkah cemburu Mark sangatlah lucu. “Gak nyangka ya, ternyata selama ini yang kamu minum adalah racun,” tandas Felix. “Ibu Tirimu sungguh luar biasa. Dia berani membunuh dokter yang kupilih untuk meracik obatmu. Jadi, harus aku apakan dia? Boleh aku memenggal kepalanya? Mungkin meracuninya terdengar cukup bagus,” ungkap Felix. Bohong jika Mark tak terkejut. Rahangnya mengeras menandakan jika dirinya marah dengan kelakuan Nyonya Maria yang menurutnya sudah kelewat batas. “Aku jadi teringat dengan kecelakaanmu enam bulan lalu,” ujar Felix. “Asisten pribadimu adalah satu-satunya orang yang paling kamu percaya di sini. Sangat masuk akal jika Ibu Tirimu sengaja menyingkirkannya. Kecelakaan itu sangat janggal. Aku sudah mengatakannya berkali-kali tetapi, kamu memintaku untuk berhenti mengulik. Juju
“Dasar wanita tidak tahu terima kasih. Sudah ditolong malah menusukku dari belakang,” gerutu Nyonya Maria menyadari jika Lusi tidak berada dipihaknya. “Ibu bilang Lusi sangat bodoh. Kenapa sekarang, Ibu khawatir?” tanya Aldo bingung. “Lusi memang bodoh dan dungu. Aku sudah pernah mengujinya. Dia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan untuk anak sekolah dasar. Lupakan soal itu, fokus pada tingkahnya setelah menikah dengan Mark. Lusi bertingkah seperti nyonya besar di sana. Tentu saja aku khawatir.” “Ibu ini aneh banget, Lusi ‘kan istrinya Mark. Dia adalah istri dari pria kaya raya. Sikapnya masih bisa dimaklumi. Mungkin saja dia sedang kaget. Dari bayi hidup miskin terus tiba-tiba jadi kaya,” terang Aldo terkesan membela Lusi. “Sudah jangan bicara lagi denganku. Lebih baik kamu mempersiapkan diri untuk ikut pelelangan Distrik Red,” perintah Nyonya Maria. “Aku tidak bisa membuat berkasnya, Ibu. Aku tidak mau melakukannya, nanti kepalaku meledak,” rengek Aldo seperti anak kecil. Nyon
Merasa jika dirinya dipercayai oleh Mark. Dengan lancang Ningsih duduk di pangkuan Mark. Tak hanya sampai di situ. Ningsih berani mengecup pipi tirus Mark. “Tuan bilang, dulu ingin menikahiku ‘kan? Kenapa malah memilih wanita lain? Waktu itu, aku pergi menemui keluargaku. Bukan untuk melarikan diri seperti yang kamu pikirkan selama ini,” ujar Ningsih berdusta. Mata Lusi pedih melihat pemandangan di depannya. Dia pun lebih memilih untuk pergi, ketimbang melabrak Ningsih dan Mark. Hatinya yang selembut kapas tak mampu untuk mengetahui kemungkinan terburuk. “Aku tidak pernah memikirkan apa pun tentangmu. Aku hanya bilang ingin menikahimu saja, bukan berarti aku menyukaimu,” tutur Mark. “Bisa gak? Kamu turun dari pahaku? Tubuhmu sangat berat,” tandasnya. Ningsih segera turun dari pangkuan Mark. Wajah yang awalnya senang kini berubah masam. Pernyataan Mark barusan membuktikan jika dirinya selama ini hanya dipermainkan oleh pria lumpuh itu. Tentu saja, Ningsih tak terima. “Kamu tidak me
Felix mengabari jika truk pembawa hadiah telah sampai di rumah. Dia pun memindahkan tubuh besar Mark ke kursi roda lalu mengajak Mark dan Lusi turun menuju ke lantai satu rumah. Sampainya di ruang tamu utama, Lusi tercengang dengan banyaknya kotak kado di ruangan tersebut. Saking banyaknya, beberapa hadiah sampai berserakan di atas karpet. Hati Lusi sangat senang saat menyentuh salah satu hadiah. “Semua ini untukku, Tuan?” tanya Lusi masih tidak percaya. “Kamu suka hadiah dariku? Semua yang kamu lihat adalah milikmu,” terang Mark tersenyum. Lusi makin sumringah, jemari lentiknya membuka beberapa kotak kado dengan antusias. “Hati-hati saat menyentuhnya, semua barang ini bernilai jutaan,” celetuk Felix membantu Lusi memilih kado mana yang akan dibuka terlebih dahulu. Mulut Lusi terbuka sebagai respons atas keterkejutannya. Dirinya yang awalnya sembarangan menyentuh hadiah, kini lebih terlihat ragu dan takut. “Kamu pasti suka ini,” ucap Felix meraih salah satu kotak berukuran sedan