Lusi sengaja menyimpan map tersebut di dalam lemari. Tentu saja sang suami tidak akan bisa menemukannya.
Langkahnya beralih mendekat ke arah pria yang memakai mentutup mata berwarna hitam itu.“Tuan Mark, Geogi meninggal karena sudah tua. Bukan karena keteledoran pelayan yang merawatnya,” terang Lusi. Bibirnya bergetar karena berbohong.“Jadi itu alasannya? Baiklah, aku tidak akan memecat mereka,” tandas Mark.“Terima kasih ya, Tuan sudah mau berbesar hati. Jadi makin ganteng deh,” puji Lusi mengelus pipi tirus suaminya. Lusi menatap suasana di luar dari balik jendela. “Eh, ternyata sudah sore. Waktunya, Tuan Mark mandi! Ayo kita mandi,” ajak Lusi bersemangat.“Panggil dulu pelayan pria untuk mengangkat tubuhku ke dalam kamar mandi, hari ini aku ingin mandi cepat. Tidak usah berendam,” pinta Mark.Lusi mengangguk mengerti. Gadis manis itu memanggil pelayan pria untuk membantu memindahkan tubuh suaminya ke dalam kamar mandi. Setelah itu si pelayan berpamitan pergi. Sisanya biar Lusi yang mengurus Mark sendiri.“Hari ini pakai sabun rasa mawar, ‘kan kemarin sudah pakai yang rasa vanila,” ujar Lusi menuangkan sabun cair beraroma mawar ke dalam bathtub berisikan air hangat.“Kamu pasti akan terus menempeliku nanti ketika tidur,” sindir Mark.“Kok kamu tahu? Yah... Aku ketahuan dong,” seru Lusi tanpa merasa malu. “Gak masalah dong, kamu ‘kan suamiku, kalau bukan aku yang menempelimu, siapa lagi?” tandasnya mencolek dagu sang suami.Lusi mulai menggosok punggung dan dada bidang suaminya. Sembari sesekali menyanyikan sepenggal lirik dari lagu favoritnya.“Lusi, jangan menyentuh ‘milikku’ seperti ini. Nanti bisa bangun.” Mark menggenggam pergelangan tangan Lusi.“Maksudnya ‘milikku’ apa? Oh... Yang buat pipis? Kenapa gak boleh? ‘Kan harus dibersihin. Tuan sendiri yang pengin semua serba bersih,” sungut Lusi.“Aku ini pria normal dan masih bisa melakukannya meski dalam keadaan seperti ini. Ingat ya, kamu masih kecil. Aku tidak suka anak kecil,” tandas Mark.“Jangan panggil aku anak kecil, Paman! Aku sudah dewasa kok,” hardik Lusi tidak terima selalu dikatain anak kecil oleh suaminya sendiri. “Tuan jangan ngajakin aku berantem, kita sekarang lagi ada di kamar mandi. Kalau berantem di sini, nanti air hangatnya keburu dingin. Terus, Tuan bisa masuk angin. Kalau, Tuan masuk angin, nanti aku gak bisa tidur peluk, Tuan loh,” cetus Lusi memperingati suaminya agar tidak membalas ucapannya lagi.Untuk kesekian kalinya Mark mengalah dan memilih untuk menutup rapat bibir tipisnya. Istrinya sungguh luar biasa berisik. Suara yang dikeluarkan Lusi benar-benar seperti anak kecil berusia lima tahunan. Cempreng dan tidak enak didengar.Setelah memandikan sang suami dan mengenakan suaminya baju hangat. Lusi lanjut merawat rambut sebahu milik suaminya. Diberikannya rambut tersebut vitamin. Tak lupa menyisirnya agar rapi.“Hari ini, Tuan mau pakai minyak wangi yang mana? Silakan dipilih,” pinta Lusi menuntun jemari besar Mark untuk menyentuh satu per satu botol parfum.“Aku mau pakai parfum ini. Aromanya tidak terlalu berbeda dengan aroma sabun tadi.” Mark menyerahkan botol kaca dengan tutup mawar di atasnya kepada Lusi.Dengan senang hati Lusi menyemprotkan parfum itu ke badan suaminya.“Enak banget baunya, aku jadi betah berlama-lama sama kamu,” tutur Lusi memeluk erat suaminya dari belakang.Entah mengapa jantung Mark berdegup kencang tak kala merasakan jemari lentik istrinya menyapu dadanya dengan lembut.“Tuan, boleh gak besok aku mengunjungi rumah keluargaku. Habisnya, tadi malam aku mimpiin bapakku. Kayaknya bapakku kangen sama aku,” ucap Lusi meminta izin kepada Mark.“Kamu ingin mengunjungi keluarga yang kamu bilang tidak pernah menyayangimu?” celetuk Mark.“Walaupun mereka gak sayang aku. Bukan berarti mereka gak kangen aku. Pasti kangen lah,” sahut Lusi.Mark tertawa kecil. “Bilang saja kalau kamu yang kangen mereka,” sindir Mark mengelus punggung tangan istrinya.“Iya sih, aku kangen sama mereka. Apalagi waktu aku tinggal, kondisi bapakku sedang tidak baik-baik saja, jadi kepikiran terus. Boleh ‘kan aku mengunjungi mereka?” tanya Lusi. Nadanya terdengar memohon."Kenapa kamu meminta izin kepadaku? bukankah kamu harusnya meminta izin kepada Maria,” ledek Mark.“Loh? Kok harus meminta izin kepada Nyonya Maria? Suamiku ‘kan kamu. Kata guru ngajiku, ketika seorang wanita telah menikah, saat ingin mengunjungi orang tua, harus izin kepada suaminya,” jelas Lusi polos.“Kamu percaya guru ngaji?” tanya Mark tersenyum remeh.“Iya aku percaya. Emangnya kamu gak percaya? Oh! Guru ngaji kita 'kan beda,” ucap Lusi menerka-nerka. “Tunggu, bukannya kita menikah secara islam?” Lusi sedikit kebingungan sekarang. “Kamu seorang muslim ‘kan?” tanyanya.“Dengarkan aku baik-baik. Aku tidak percaya dengan Tuhan, mungkin Tuhan tidak ada,” tandas Mark. Suaranya sedikit goyah saat mengatakannya.Lusi sangat terkejut mendengar pernyataan Mark. Dia langsung turun dari atas ranjang. Menatap Mark dengan tatapan nyalang.“Tuhan itu ada. Buktinya kamu masih bernapas hingga detik ini. Kurang apa lagi? Sudah ah aku tidak mau berdebat. Engga baik.” Kali ini Lusi memilih untuk mengalah. “Kamu punya banyak koleksi buku. Aku boleh gak baca salah satunya?” tanya Lusi menghampiri rak besar di samping lemari.“Tentu saja boleh. Jika kurang, kamu bisa mengambil buku dari perpustakaan di rumah ini. Suruh pelayan mengantarmu ke sana,” jawab Mark enteng.“Kamu punya perpustakaan di dalam rumah? Serius? Aku boleh ke sana?” tanya Lusi antusias.Mark mengangguk sebagai jawaban.“Asyik! Aku lihat sekarang boleh gak? Hanya sebentar kok, aku janji gak bakal ninggalin kamu lama.”Lagi-lagi Mark mengangguk mengiyakan.Lusi pun segera mencari salah satu pelayan lalu meminta pelayan tersebut mengantarnya ke perpustakaan di rumah. Sampainya di sana, mata Lusi berbinar-binar melihat betapa besar nan luas perpustakaan tersebut. Banyak rak raksasa berjejer. Sepertinya Mark telah mengumpulkan seluruh buku di dunia ini untuk dijadikan koleksi.“Apanya yang tidak percaya Tuhan? Koleksi buku tentang nabi saja selengkap ini.” Lusi berucap sendiri saat berada tepat di depan rak besar berisikan buku tentang islam.Matanya terpaku pada rak berukiran tulisan arab dengan cat berwarna emas. Di dalam rak berkaca itu terdapat Al-Qur’an berukuran cukup besar serta beberapa lainnya berukuran sedang.“Indah sekali,” puji Lusi terpesona.“Tuan Mark sangat tertarik dengan islam. Beliau baru mempelajarinya. Ketika tahu kalau akan dinikahkan denganmu yang seorang muslim. Tuan Mark langsung masuk islam.” Seorang pelayan tiba-tiba menjelaskannya sehingga membuat Lusi terkejut. Matanya telah berkaca-kaca.“Tuan Mark romantis banget, aku jadi makin suka.” Pipi Lusi merah padam akibat malu. “Sudah ah, aku mau nemenin suamiku saja, gak mau lama-lama di sini. Kangen,” papar Lusi bergegas keluar dari dalam perpustakaan.Sampainya di kamar, Lusi langsung memeluk suaminya yang hanya berdiam diri di atas ranjang.“Aku suka banget sama, Tuan Mark.” Lusi makin mengeratkan pelukannya. “Pokoknya gak mau jauh-jauh dari kamu,” tambahnya.“Kamu ini kenapa?” tanya Mark heran.“Aku tahu kok kalau kamu sayang sama aku,” ucap Lusi.Mark sama sekali tidak mengerti maksud Lusi.“Aku bakal masak makanan favorit kamu buat makan malam nanti,” ucap Lusi tersenyum senang.“Terserah,” jawab Mark cuek.***Hari ini Lusi datang mengunjungi keluarganya. Baru saja kakinya melangkah memasuki halaman, dia sudah dikejutkan dengan kondisi kucingnya yang terlihat begitu mengenaskan.“Gembul? Kamu kok sekarang kurus banget! Telingamu kenapa? Kok kayak habis dilukai?” pekik Lusi segera menggendong kucing kesayangannya. Kucing tersebut mengeong haru merasakan pelukan hangat dari majikannya.“Kasihan banget kamu, aku bakal bawa kamu pulang nanti,” tutur Lusi meneteskan air mata. Tak tega melihat kondisi miris kucingnya. Seperti tidak pernah dirawat.“Wah... Lihat siapa yang datang?” ujar Ibu Tutik. Ibu kandung dari Lusi.Lusi senang melihat ibunya, namun saat dirinya ingin mencium tangan sang ibu. Wanita itu malah menoyor kepala Lusi ke belakang.“Bawa apa kamu ke sini? Jangan bilang kalau kamu gak bawa apa-apa,” ujar Ibu Tutik melarang Lusi masuk ke dalam rumah sebelum memberinya sesuatu.“Aku hanya membawa makanan untuk kalian,” ucap Lusi berkecil hati.“Hanya makanan? Selama ini kamu jadi anak gak pernah mengerti keadaan orang tua! Suamimu itu ‘kan kaya raya!” bentak Ibu Tutik. “Kamu datang dengan mengendarai mobil bagus. Tapi kamu ke sini hanya membawa makanan? Di mana hati nuranimu! Dasar anak tidak tahu diri!” tambahnya memukul kepala Lusi cukup keras.“Aduh! Ibu... Sakit banget, ampuni aku, Ibu,” rengek Lusi bersujud di kaki ibunya. Kucing yang sedari tadi dia gendong terlepas.Bukannya merasa kasihan, Ibu Tutik malah menendeng wajah Lusi hingga membuat hidung Lusi mengeluarkan darah.“Mana makanannya!” bentak Ibu Tutik merebut tas besar yang dibawa anaknya. Dikeluarkannya isi tas tersbut. “Makanan kayak begini saja dibawa. Dasar anak bodoh!” cela Ibu Tutik mendorong pundak anaknya. “Yaudah buruan masuk! Bapakmu sedang sekarat sekarang,” ujar Ibu Tutik kesal.Lusi bergegas masuk ke dalam rumah kecil itu.“Bapak! Bapak kenapa?” tanya Lusi menghampiri ranjang reot sang ayah. “Astagfirullah, apa yang terjadi kepadamu, Bapak?” tutur Lusi menangis pilu melihat kondisi bapaknya.“Bapakmu terkena stroke, dan sekarang sudah tidak bisa melakukan apa pun lagi. Sebagai seorang anak, seharusnya kamu secara rutin mengirimi kami uang. Masak hal sepele seperti ini saja harus diomongin?” celetuk Ibu Tutik. “Minta ke suamimu yang cacat itu, masak jadi suami pelit sekali,” cetusnya.“Ibu, suamiku tidak cacat. Baiklah, aku bakal minta uang ke suamiku untuk dikirim setiap bulan kepada kalian,” ujar Lusi mengusap air matanya. “Di mana Kakak? Kok aku gak liat dia,” tanyanya menyadari jika kakaknya tidak ada.“Kakakmu lagi mempersiapkan diri untuk menjadi dokter profesional. Kamu jangan menghalangi jalannya. Anak tidak berguna sepertimu, lebih baik diam saja dan urus suamimu yang cacat itu,” hina Ibu Tutik.“Suamiku tidak cacat! Ibu tidak boleh ngomong begitu lagi! Aku gak suka!”BERSAMBUNG“Berani kamu membentakku! Jangan kira kamu bisa sesukamu karena menikah dengan orang kaya!” bentak Ibu Tutik mendorong kepala Lusi.Meski sudah terbiasa mendapat kekerasan dari sang ibu. Tetap saja hati Lusi merasa pedih. Air matanya pun meluncur begitu saja tanpa aba-aba.“Ibu jahat banget sama aku. Padahal aku menikah sama Tuan Mark karena kakak engga mau menikah dengan Tuan Mark.”“Tutup mulutmu! Jangan pernah menyinggung soal itu lagi!” pekik Ibu Tutik memukul pelan pundak Lusi. “Kalau kamu sudah tidak ada kepentingan lagi, cepat pergi dari sini!” usirnya mendorong punggung Lusi cukup keras.Merasa kehadirannya tidak diinginkan, Lusi pun berpamitan untuk pulang. Wajahnya mengeluarkan ekspresi sedih saat melihat makanan yang dia bawa telah dibuang oleh ibunya. Dengan menahan tangisannya, Lusi masuk ke dalam mobil. Tak lupa, dia juga membawa kucing kesayangannya ikut.***Sampainya di rumah, Lusi langsung memandikan kucingnya. Salah satu pelayan memberi Lusi sebuah obat untuk dioles
Terdengar suara tembakan tak beraturan dari arah belakang. Sumber suara tembakan berasal dari Pria tampan yang tengah asyik menghabisi semua orang yang berada di dalam ruangan.Lelaki itu telah mengacaukan pertemuan penting yang dilakukan oleh para petinggi di negaranya. Setelah puas melakukannya, pria rupawan yang diketahui bernama Felix itu membuang senjatanya begitu saja, lalu pergi meninggalkan TKP.Suara tawanya menggema di dalam mobil saat menyadari jika dirinya dikejar oleh beberapa mobil polisi di belakang. “Sial! Ini benaran menyenangkan,” ujar Felix makin tertawa keras.Mobilnya melesak melewati sunyinya malam. Mobil lain telah menunggunya di ujung gang. Dengan keberaniannya, Felix meloncat dari mobilnya lalu masuk ke dalam mobil anak buahnya. Bodohnya para polisi tak menyadarinya, dan lebih memilih mengejar mobil kosong.“Semua polisi di negara ini sangat konyol, sama seperti Presiden mereka.” Felix mengejek habis-habisan sistem pemerintahan di negaranya. “Antar aku pul
Makin dilihat makin menarik. Begitulah kesan yang dirasakan oleh Felix saat dirinya memperhatikan Lusi secara terus-menerus. Ada perasaan sedikit iri tak kala menyaksikan Lusi memperlakukan Mark dengan begitu baik.Felix meraih pergelangan tangan Lusi, menggeret wanita manis itu ke salah satu ruangan yang ada di dalam mansion.“Ada apa?” tanya Lusi bingung.Kelopak mata Lusi berkedip cepat saat Felix mengukung tubuhnya. Jantungnya juga sempat berdebar saat hidungnya mencium parfum maskulin yang dikenakan oleh Felix.“Apaan sih! Lepasin aku! Aku gak suka kayak begini,” kata Lusi berusaha mendorong dada bidang Felix agar menjauhinya.Bukannya melepaskan Lusi, Felix justru menggenggam erat kedua pergelangan tangan Lusi. Hal itu sukses membuat Lusi panik. Ditambah Felix yang mencondongkan kepalanya ke bawah untuk melihat wajah lesu Lusi.“Gimana kalau kamu tinggalin suamimu dan menjadi milikku?” goda Felix tersenyum tipis.Lusi yang awalnya tidak berani menatap Felix, kini menatap pria tam
Aldo sangat terkejut mendengar pernyataan ibundanya. Rupanya ibunya lah yang membuat Mark tetap dalam kondisi lumpuh. Selama ini Aldo mengira jika kelumpuhan yang dialami oleh kakak tirinya murni akibat kecelakaan enam bulan lalu. "Kenapa, Ibu melakukan itu?” tanya Aldo mengerutkan dahinya. “Kamu tanya kenapa? Kamu gak lihat sekarang kamu menjadi Presdir berkat siapa? Kamu pikir, Mark akan memberimu posisi bagus di perusahaan setelah kamu keluar dari penjara karena kasus pelecehan anak di bawah umur?” cerca Nyonya Maria menegaskan.“Jangan disinggung lagi, kasus itu sudah lama ditutup,” tutur Aldo memanyunkan bibirnya.Nyonya Maria tersenyum lembut menatap anaknya. “Maka dari itu, Anakku tercinta. Kamu harus menuruti semua perkataanku. Supaya hidupmu baik-baik saja. Dan semoga kita bisa mengambil seluruh aset yang dimiliki oleh keluarga George yang sekarang berada di tangan Mark,” jelas Nyonya Maria mengelus rambut anaknya lembut.“Malam ini, Ibu bakal ngasih aku cewek buat nemenin a
“Siapa juga yang lagi bercanda? Aku serius. Lawong aku pernah meminumnya. Dan coba tebak apa yang terjadi kepadaku?” goda Lusi seolah mempermainkan mental Felix. “Apa yang terjadi kepadamu?” tantang Felix menundukkan kepalanya agar bisa menangkap ekspresi Lusi dengan jelas. “Kakiku keram, seluruh tubuhku sakit dan lemas. Obat ini adalah obat yang diberikan oleh Nyonya Maria. Awalnya aku tidak ingin berburuk sangka karena itu dilarang di agamaku. Tetapi, kucing kesayangan Tuan Mark meninggal setelah tak sengaja mencicipi obat ini,” terang Lusi. Kini, mata Lusi sudah mulai berkaca-kaca. “Aku tahu kalau kamu sangat menyayangi Tuan Mark. Maka dari itu, Tuan Felix mau ‘kan menguji obat ini di laboratorium? Aku gak punya akses. Aku juga gak punya kekuatan kalau ketahuan sama Nyonya Maria. Jadi aku meminta bantuanmu, aku juga punya hasil autopsi kucing kesayangan Tuan Mark. Tolong aku, Tuan Felix,” Melihat Lusi menangis memohon pertolongannya. Tanpa ragu Felix meraih kotak obat tersebut.
“Beruntungnya kamu memiliki istri sepintar Lusi,” ucap Felix berjalan mendekati sahabatnya. “Berhentilah mengganggu Lusi,” sahut Mark menimpali kalimat Felix. Felix tertawa kecil. Menurutnya tingkah cemburu Mark sangatlah lucu. “Gak nyangka ya, ternyata selama ini yang kamu minum adalah racun,” tandas Felix. “Ibu Tirimu sungguh luar biasa. Dia berani membunuh dokter yang kupilih untuk meracik obatmu. Jadi, harus aku apakan dia? Boleh aku memenggal kepalanya? Mungkin meracuninya terdengar cukup bagus,” ungkap Felix. Bohong jika Mark tak terkejut. Rahangnya mengeras menandakan jika dirinya marah dengan kelakuan Nyonya Maria yang menurutnya sudah kelewat batas. “Aku jadi teringat dengan kecelakaanmu enam bulan lalu,” ujar Felix. “Asisten pribadimu adalah satu-satunya orang yang paling kamu percaya di sini. Sangat masuk akal jika Ibu Tirimu sengaja menyingkirkannya. Kecelakaan itu sangat janggal. Aku sudah mengatakannya berkali-kali tetapi, kamu memintaku untuk berhenti mengulik. Juju
“Dasar wanita tidak tahu terima kasih. Sudah ditolong malah menusukku dari belakang,” gerutu Nyonya Maria menyadari jika Lusi tidak berada dipihaknya. “Ibu bilang Lusi sangat bodoh. Kenapa sekarang, Ibu khawatir?” tanya Aldo bingung. “Lusi memang bodoh dan dungu. Aku sudah pernah mengujinya. Dia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan untuk anak sekolah dasar. Lupakan soal itu, fokus pada tingkahnya setelah menikah dengan Mark. Lusi bertingkah seperti nyonya besar di sana. Tentu saja aku khawatir.” “Ibu ini aneh banget, Lusi ‘kan istrinya Mark. Dia adalah istri dari pria kaya raya. Sikapnya masih bisa dimaklumi. Mungkin saja dia sedang kaget. Dari bayi hidup miskin terus tiba-tiba jadi kaya,” terang Aldo terkesan membela Lusi. “Sudah jangan bicara lagi denganku. Lebih baik kamu mempersiapkan diri untuk ikut pelelangan Distrik Red,” perintah Nyonya Maria. “Aku tidak bisa membuat berkasnya, Ibu. Aku tidak mau melakukannya, nanti kepalaku meledak,” rengek Aldo seperti anak kecil. Nyon
Merasa jika dirinya dipercayai oleh Mark. Dengan lancang Ningsih duduk di pangkuan Mark. Tak hanya sampai di situ. Ningsih berani mengecup pipi tirus Mark. “Tuan bilang, dulu ingin menikahiku ‘kan? Kenapa malah memilih wanita lain? Waktu itu, aku pergi menemui keluargaku. Bukan untuk melarikan diri seperti yang kamu pikirkan selama ini,” ujar Ningsih berdusta. Mata Lusi pedih melihat pemandangan di depannya. Dia pun lebih memilih untuk pergi, ketimbang melabrak Ningsih dan Mark. Hatinya yang selembut kapas tak mampu untuk mengetahui kemungkinan terburuk. “Aku tidak pernah memikirkan apa pun tentangmu. Aku hanya bilang ingin menikahimu saja, bukan berarti aku menyukaimu,” tutur Mark. “Bisa gak? Kamu turun dari pahaku? Tubuhmu sangat berat,” tandasnya. Ningsih segera turun dari pangkuan Mark. Wajah yang awalnya senang kini berubah masam. Pernyataan Mark barusan membuktikan jika dirinya selama ini hanya dipermainkan oleh pria lumpuh itu. Tentu saja, Ningsih tak terima. “Kamu tidak me