Merasa jika dirinya dipercayai oleh Mark. Dengan lancang Ningsih duduk di pangkuan Mark. Tak hanya sampai di situ. Ningsih berani mengecup pipi tirus Mark. “Tuan bilang, dulu ingin menikahiku ‘kan? Kenapa malah memilih wanita lain? Waktu itu, aku pergi menemui keluargaku. Bukan untuk melarikan diri seperti yang kamu pikirkan selama ini,” ujar Ningsih berdusta. Mata Lusi pedih melihat pemandangan di depannya. Dia pun lebih memilih untuk pergi, ketimbang melabrak Ningsih dan Mark. Hatinya yang selembut kapas tak mampu untuk mengetahui kemungkinan terburuk. “Aku tidak pernah memikirkan apa pun tentangmu. Aku hanya bilang ingin menikahimu saja, bukan berarti aku menyukaimu,” tutur Mark. “Bisa gak? Kamu turun dari pahaku? Tubuhmu sangat berat,” tandasnya. Ningsih segera turun dari pangkuan Mark. Wajah yang awalnya senang kini berubah masam. Pernyataan Mark barusan membuktikan jika dirinya selama ini hanya dipermainkan oleh pria lumpuh itu. Tentu saja, Ningsih tak terima. “Kamu tidak me
Felix mengabari jika truk pembawa hadiah telah sampai di rumah. Dia pun memindahkan tubuh besar Mark ke kursi roda lalu mengajak Mark dan Lusi turun menuju ke lantai satu rumah. Sampainya di ruang tamu utama, Lusi tercengang dengan banyaknya kotak kado di ruangan tersebut. Saking banyaknya, beberapa hadiah sampai berserakan di atas karpet. Hati Lusi sangat senang saat menyentuh salah satu hadiah. “Semua ini untukku, Tuan?” tanya Lusi masih tidak percaya. “Kamu suka hadiah dariku? Semua yang kamu lihat adalah milikmu,” terang Mark tersenyum. Lusi makin sumringah, jemari lentiknya membuka beberapa kotak kado dengan antusias. “Hati-hati saat menyentuhnya, semua barang ini bernilai jutaan,” celetuk Felix membantu Lusi memilih kado mana yang akan dibuka terlebih dahulu. Mulut Lusi terbuka sebagai respons atas keterkejutannya. Dirinya yang awalnya sembarangan menyentuh hadiah, kini lebih terlihat ragu dan takut. “Kamu pasti suka ini,” ucap Felix meraih salah satu kotak berukuran sedan
Lusi menatap sinis Felix yang sedang asyik mengobrol bersama suaminya. Lusi berjalan mendekati mereka berdua dengan membawa nampan berisi potongan buah kesukaan Mark. “Suapi aku juga ya,” pinta Felix saat melihat Lusi menyuapi Mark. “Minta disuapi pacarmu saja. Kamu ‘kan sekarang udah pacaran sama Ningsih!” cetus Lusi sedikit nyinyir. “Emang kenapa kalau aku pacaran sama Ningsih? Kamu gak ngebolehin? Karena dia seorang pelayan?” tanya Felix menggoda Lusi. Di titik ini Mark masih diam dan menyimak saja. “Iya aku gak ngebolehin! Bukan karena Ningsih seorang pelayan! Tapi karena Ningsih pernah merayu suamiku! Pokoknya aku gak setuju kalau kamu pacaran sama Ningsih! Putusin dia!” pinta Lusi merengek seperti anak kecil. Mark tersenyum tipis. “Lusi, cinta tidak bisa dipaksa dan kita sebagai manusia tidak bisa mengontrol kepada siapa kita akan jatuh cinta,” sahut Mark berkomentar. “Bukankah begitu? Tuan Felix?” lanjut Mark penuh penekanan. Seketika tubuh Lusi melemas. Dia sama sekali t
Nyonya Maria menjambak rambut Ningsih. Melihat wajah cantik Ningsih yang telah berubah jadi babak belur. Sekali lagi, Nyonya Maria menghempas kepala itu ke depan. Hingga membuat beberapa gigi Ningsih patah akibat dibenturkan ke gundukan semen kering. “Dasar wanita sialan! Berani kamu berbalik menusukku!” bentak Nyonya Maria penuh amarah. “Kamu lupa ya? Siapa yang sudah bayarin biaya kuliah kamu! Kamu lupa! Akulah orang yang sudah membuat ayahmu menjadi Wali Kota!” cecar Nyonya Maria mengingatkan siapa Ningsih. Ningsih hanya bisa menangis memohon ampun. Tubuhnya sudah tak mampu untuk mendapat kekerasan lagi. “Gara-gara kebodohanmu, Mark akan mengusutku! Dasar wanita tidak berguna!” teriak Nyonya Maria kesal. “Apakah kamu tahu? Berapa lama aku menyusun semua ini! Lalu kamu dengan mudahnya menghancurkan rencanaku!” pekiknya kembali membenturkan wajah Ningsih di atas semen kering. “Lebih baik kamu mati! Dasar tidak berguna!” seru Nyonya Maria. Ningsih sudah tidak berdaya, tetapi diriny
“Kamu punya kunci surga? Jangan bercanda,” timpal Felix tersenyum remeh. “Tuan Felix yang dari tadi bercanda. Diberi tahu malah ngomong kayak begitu. Aku saja tahu kunci surga. Apalagi Pak Ustaz,” sahut Lusi sedikit kesal dengan sikap Felix yang menurutnya tidak sopan. Pak Ustaz tersenyum tipis. Beliau menepuk pelan pundak lebar Felix. “Aku tidak memaksamu. Kubilang temui aku jika kamu penasaran,” ujar Pak Ustaz begitu bijaksana. “Pak Ustaz, tolong jangan berbicara dengan orang bodoh,” sahut Mark ikut berkomentar. Felix menoleh cepat ke arah Mark. Baiklah, daripada dirinya membuat masalah. Felix lebih memilih menghampiri anak-anak, dan ikut makan bersama mereka. “Om berdoa dulu sebelum makan,” tegur salah satu anak kecil di samping Felix. “Kamu mau kujual?” tanya Felix menatap anak kecil tersebut. “Ih.. Kok dijual? Aku ‘kan bukan kelinci. Tahu gak, Om? Sesama manusia harus saling mengingatkan loh,” jawab anak kecil itu. “Ayo, Om doa bersama, tangannya harus diangkat begini,” ta
“Boss Smith!” teriak seorang wanita melihat Smith terkapar di atas lantai marmer. Dalam kepanikan, wanita itu menghubungi ambulans. Begitu ambulans tiba, mereka langsung membawa Smith ke rumah sakit. Sampainya di rumah sakit, Smith segera ditangani dengan baik oleh dokternya. Syukurlah, Smith masih bisa mempertahankan nyawanya. Meskipun sekarang Smith sedang dalam kondisi kritis. Detak jantung Smith sempat berhenti beberapa detik. Wanita yang diketahui bernama Mina itu menangis. Melihat Bossnya berbaring tak berdaya. Meskipun Mina sering melihat pemandangan tersebut. Tapi tetap saja, rasanya sangat menyakitkan. Setelah puas manangis, Mina berjalan menjauhi pintu UGD. Langkahnya yang gontai terhenti saat matanya menatap sosok yang begitu dia kenal. Dengan cemas, Lusi menghampiri Mina, temannya ketika bekerja di panti jompo. “Kamu ngapain di sini? Kenapa kamu nangis? Apa yang terjadi?” tanya Lusi cenderung mendesak Mina untuk menjawab pertanyaannya. “Boss Smith... Terkena seranga
Lusi terbangun dari tidurnya saat sinar matahari menerpa kulit wajahnya. Matanya terbuka, menyaksikan Mark berdiri di depan jendela besar. Sontak Lusi terkejut. Suaminya sudah bisa turun sendiri dari ranjangnya. “Alhamdullilah, Tuan Mark sudah bisa berjalan tanpa menggunakan walker. Jadi makin sayang deh! Yaudah aku mandi dulu ya, sebelum suster datang mengantar makanan,” ujar Lusi turun dari atas ranjang. Lusi bingung menyadari jika gaun tidurnya telah berantakan. Dia pun menoleh untuk menatap suaminya yang tengah asyik menghirup aroma terapi. “Tuan, tadi malam aku gak nakal 'kan?” tanya Lusi. Mark tertawa kecil. “Beberapa kali kamu menggeliat dalam tidurmu. Tidak masalah, Sayangku. Aku menyukainya,” tutur Mark bersuara lembut. “Lekas bersihkan tubuhmu dan temani aku,” pinta Mark terduduk di atas ranjangnya. Suhu tubuh Lusi meningkat. Pipinya sudah merah padam, mengingat kegiatan mereka berdua tadi malam. Daripada makin malu, Lusi bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Setelah sel
“Matamu baik-baik saja. Sepertinya kamu merawatnya dengan baik,” tutur Dokter tersebut. “Dokter, bisa gak aku daftar menjadi pendonor organ?” tanya Smith setelah Dokter selesai memeriksa. Dokter itu sedikit terkejut, namun tetap menuntun Smith untuk daftar menjadi anggota pendonor organ. Semua dokter di rumah sakit ini telah mengenal Smith. Sejak kecil Smith memang sering tinggal di rumah sakit ini karena penyakit jantung. Setelah menyelesaikan pendaftaran, sekarang Smith telah resmi menjadi pendonor organ. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Sang Dokter. “Meskipun nanti aku telah meninggal. Aku masih ingin tetap menjadi manusia yang berguna untuk orang lain. Dokter tahu, pasien bernama Mark Junior George ‘kan? Dia sedang menunggu pendonor mata. Ketika aku mati, dan Mark belum mendapatkan mata, berikan mataku untuknya.” Sang Dokter menatap intens wajah Smith yang pucat. “Semua organku dalam kondisi baik, kecuali jantungku. Anda bisa mengambilnya nanti. Tetapi, khusus mata, aku i