“Beruntungnya kamu memiliki istri sepintar Lusi,” ucap Felix berjalan mendekati sahabatnya. “Berhentilah mengganggu Lusi,” sahut Mark menimpali kalimat Felix. Felix tertawa kecil. Menurutnya tingkah cemburu Mark sangatlah lucu. “Gak nyangka ya, ternyata selama ini yang kamu minum adalah racun,” tandas Felix. “Ibu Tirimu sungguh luar biasa. Dia berani membunuh dokter yang kupilih untuk meracik obatmu. Jadi, harus aku apakan dia? Boleh aku memenggal kepalanya? Mungkin meracuninya terdengar cukup bagus,” ungkap Felix. Bohong jika Mark tak terkejut. Rahangnya mengeras menandakan jika dirinya marah dengan kelakuan Nyonya Maria yang menurutnya sudah kelewat batas. “Aku jadi teringat dengan kecelakaanmu enam bulan lalu,” ujar Felix. “Asisten pribadimu adalah satu-satunya orang yang paling kamu percaya di sini. Sangat masuk akal jika Ibu Tirimu sengaja menyingkirkannya. Kecelakaan itu sangat janggal. Aku sudah mengatakannya berkali-kali tetapi, kamu memintaku untuk berhenti mengulik. Juju
“Dasar wanita tidak tahu terima kasih. Sudah ditolong malah menusukku dari belakang,” gerutu Nyonya Maria menyadari jika Lusi tidak berada dipihaknya. “Ibu bilang Lusi sangat bodoh. Kenapa sekarang, Ibu khawatir?” tanya Aldo bingung. “Lusi memang bodoh dan dungu. Aku sudah pernah mengujinya. Dia bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan untuk anak sekolah dasar. Lupakan soal itu, fokus pada tingkahnya setelah menikah dengan Mark. Lusi bertingkah seperti nyonya besar di sana. Tentu saja aku khawatir.” “Ibu ini aneh banget, Lusi ‘kan istrinya Mark. Dia adalah istri dari pria kaya raya. Sikapnya masih bisa dimaklumi. Mungkin saja dia sedang kaget. Dari bayi hidup miskin terus tiba-tiba jadi kaya,” terang Aldo terkesan membela Lusi. “Sudah jangan bicara lagi denganku. Lebih baik kamu mempersiapkan diri untuk ikut pelelangan Distrik Red,” perintah Nyonya Maria. “Aku tidak bisa membuat berkasnya, Ibu. Aku tidak mau melakukannya, nanti kepalaku meledak,” rengek Aldo seperti anak kecil. Nyon
Merasa jika dirinya dipercayai oleh Mark. Dengan lancang Ningsih duduk di pangkuan Mark. Tak hanya sampai di situ. Ningsih berani mengecup pipi tirus Mark. “Tuan bilang, dulu ingin menikahiku ‘kan? Kenapa malah memilih wanita lain? Waktu itu, aku pergi menemui keluargaku. Bukan untuk melarikan diri seperti yang kamu pikirkan selama ini,” ujar Ningsih berdusta. Mata Lusi pedih melihat pemandangan di depannya. Dia pun lebih memilih untuk pergi, ketimbang melabrak Ningsih dan Mark. Hatinya yang selembut kapas tak mampu untuk mengetahui kemungkinan terburuk. “Aku tidak pernah memikirkan apa pun tentangmu. Aku hanya bilang ingin menikahimu saja, bukan berarti aku menyukaimu,” tutur Mark. “Bisa gak? Kamu turun dari pahaku? Tubuhmu sangat berat,” tandasnya. Ningsih segera turun dari pangkuan Mark. Wajah yang awalnya senang kini berubah masam. Pernyataan Mark barusan membuktikan jika dirinya selama ini hanya dipermainkan oleh pria lumpuh itu. Tentu saja, Ningsih tak terima. “Kamu tidak me
Felix mengabari jika truk pembawa hadiah telah sampai di rumah. Dia pun memindahkan tubuh besar Mark ke kursi roda lalu mengajak Mark dan Lusi turun menuju ke lantai satu rumah. Sampainya di ruang tamu utama, Lusi tercengang dengan banyaknya kotak kado di ruangan tersebut. Saking banyaknya, beberapa hadiah sampai berserakan di atas karpet. Hati Lusi sangat senang saat menyentuh salah satu hadiah. “Semua ini untukku, Tuan?” tanya Lusi masih tidak percaya. “Kamu suka hadiah dariku? Semua yang kamu lihat adalah milikmu,” terang Mark tersenyum. Lusi makin sumringah, jemari lentiknya membuka beberapa kotak kado dengan antusias. “Hati-hati saat menyentuhnya, semua barang ini bernilai jutaan,” celetuk Felix membantu Lusi memilih kado mana yang akan dibuka terlebih dahulu. Mulut Lusi terbuka sebagai respons atas keterkejutannya. Dirinya yang awalnya sembarangan menyentuh hadiah, kini lebih terlihat ragu dan takut. “Kamu pasti suka ini,” ucap Felix meraih salah satu kotak berukuran sedan
Lusi menatap sinis Felix yang sedang asyik mengobrol bersama suaminya. Lusi berjalan mendekati mereka berdua dengan membawa nampan berisi potongan buah kesukaan Mark. “Suapi aku juga ya,” pinta Felix saat melihat Lusi menyuapi Mark. “Minta disuapi pacarmu saja. Kamu ‘kan sekarang udah pacaran sama Ningsih!” cetus Lusi sedikit nyinyir. “Emang kenapa kalau aku pacaran sama Ningsih? Kamu gak ngebolehin? Karena dia seorang pelayan?” tanya Felix menggoda Lusi. Di titik ini Mark masih diam dan menyimak saja. “Iya aku gak ngebolehin! Bukan karena Ningsih seorang pelayan! Tapi karena Ningsih pernah merayu suamiku! Pokoknya aku gak setuju kalau kamu pacaran sama Ningsih! Putusin dia!” pinta Lusi merengek seperti anak kecil. Mark tersenyum tipis. “Lusi, cinta tidak bisa dipaksa dan kita sebagai manusia tidak bisa mengontrol kepada siapa kita akan jatuh cinta,” sahut Mark berkomentar. “Bukankah begitu? Tuan Felix?” lanjut Mark penuh penekanan. Seketika tubuh Lusi melemas. Dia sama sekali t
Nyonya Maria menjambak rambut Ningsih. Melihat wajah cantik Ningsih yang telah berubah jadi babak belur. Sekali lagi, Nyonya Maria menghempas kepala itu ke depan. Hingga membuat beberapa gigi Ningsih patah akibat dibenturkan ke gundukan semen kering. “Dasar wanita sialan! Berani kamu berbalik menusukku!” bentak Nyonya Maria penuh amarah. “Kamu lupa ya? Siapa yang sudah bayarin biaya kuliah kamu! Kamu lupa! Akulah orang yang sudah membuat ayahmu menjadi Wali Kota!” cecar Nyonya Maria mengingatkan siapa Ningsih. Ningsih hanya bisa menangis memohon ampun. Tubuhnya sudah tak mampu untuk mendapat kekerasan lagi. “Gara-gara kebodohanmu, Mark akan mengusutku! Dasar wanita tidak berguna!” teriak Nyonya Maria kesal. “Apakah kamu tahu? Berapa lama aku menyusun semua ini! Lalu kamu dengan mudahnya menghancurkan rencanaku!” pekiknya kembali membenturkan wajah Ningsih di atas semen kering. “Lebih baik kamu mati! Dasar tidak berguna!” seru Nyonya Maria. Ningsih sudah tidak berdaya, tetapi diriny
“Kamu punya kunci surga? Jangan bercanda,” timpal Felix tersenyum remeh. “Tuan Felix yang dari tadi bercanda. Diberi tahu malah ngomong kayak begitu. Aku saja tahu kunci surga. Apalagi Pak Ustaz,” sahut Lusi sedikit kesal dengan sikap Felix yang menurutnya tidak sopan. Pak Ustaz tersenyum tipis. Beliau menepuk pelan pundak lebar Felix. “Aku tidak memaksamu. Kubilang temui aku jika kamu penasaran,” ujar Pak Ustaz begitu bijaksana. “Pak Ustaz, tolong jangan berbicara dengan orang bodoh,” sahut Mark ikut berkomentar. Felix menoleh cepat ke arah Mark. Baiklah, daripada dirinya membuat masalah. Felix lebih memilih menghampiri anak-anak, dan ikut makan bersama mereka. “Om berdoa dulu sebelum makan,” tegur salah satu anak kecil di samping Felix. “Kamu mau kujual?” tanya Felix menatap anak kecil tersebut. “Ih.. Kok dijual? Aku ‘kan bukan kelinci. Tahu gak, Om? Sesama manusia harus saling mengingatkan loh,” jawab anak kecil itu. “Ayo, Om doa bersama, tangannya harus diangkat begini,” ta
“Boss Smith!” teriak seorang wanita melihat Smith terkapar di atas lantai marmer. Dalam kepanikan, wanita itu menghubungi ambulans. Begitu ambulans tiba, mereka langsung membawa Smith ke rumah sakit. Sampainya di rumah sakit, Smith segera ditangani dengan baik oleh dokternya. Syukurlah, Smith masih bisa mempertahankan nyawanya. Meskipun sekarang Smith sedang dalam kondisi kritis. Detak jantung Smith sempat berhenti beberapa detik. Wanita yang diketahui bernama Mina itu menangis. Melihat Bossnya berbaring tak berdaya. Meskipun Mina sering melihat pemandangan tersebut. Tapi tetap saja, rasanya sangat menyakitkan. Setelah puas manangis, Mina berjalan menjauhi pintu UGD. Langkahnya yang gontai terhenti saat matanya menatap sosok yang begitu dia kenal. Dengan cemas, Lusi menghampiri Mina, temannya ketika bekerja di panti jompo. “Kamu ngapain di sini? Kenapa kamu nangis? Apa yang terjadi?” tanya Lusi cenderung mendesak Mina untuk menjawab pertanyaannya. “Boss Smith... Terkena seranga