Mobil sampai di sebuah rumah yang sangat mewah dan besar. Tampak jelas desain bangunan yang dibuat oleh arsitek handal.
Arjun turun setelah pintu dibuka oleh Jim. Sedangkan Fallen turun setelahnya.
Mata Fallen tampak begitu takjub melihat pemandangan yang ada di sekitarnya. Ia pernah melihat rumah semegah ini, tetapi hanya di dalam film-film saja. Jelas sekali, karena ia tidak pernah menginjakkan tanah atau menghirup udara kebun belakang rumahnya sekalipun.
"Sterilkan sampah ini sebelum memasuki rumahku!" titah Arjun tanpa menoleh. Ia lantas melangkah menuju ke rumahnya dengan disambut beberapa pengawal di depan rumah megahnya itu.
"Nona, ayo, kita sterilkan dulu di sana," ujar Jim dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Fallen mengikuti langkah Jim menuju sebuah bilik sterilisasi untuk membersihkan dirinya dari kuman. Memang, semua orang yang hendak masuk ke dalam rumah Arjun, harus membersihkan diri mereka di sana.
Setelah itu, Fallen pun diantar masuk ke dalam rumah itu.
"Ah, aku lupa, bagaimana dengan tas ku?" Fallen hendak pergi ke mobil.
"Maaf, Nona. Hanya Nona yang boleh masuk. Tas dan lainnya akan dibuang."
"Apa? Dibuang? Tetapi semua barang-barang ku ada di sana, termasuk,,,,,"
"Maaf, Nona, peraturan adalah peraturan."
"Tidak, biarkan aku mengambil satu barang berharga ku di sana, aku mohon," ucap Fallen dengan memelas.
"Maaf, Nona, sebaiknya Anda jangan membantah perkataan Tuan."
"Tidak, aku tidak bisa melihat foto ibuku dibuang begitu saja!" Fallen mendorong tubuh Jim yang tak bergeser, lalu mencari celah untuk mengambil kopernya.
Pengawal yang melihat langsung mengejar Fallen dan menangkapnya sebelum ia berhasil sampai ke mobil. Matanya terbelalak saat melihat sopir menurunkan koper miliknya, untuk dibuang.
"Jangan! Jangan buang! Aku mohon!" Fallen menjerit menyaksikan sopir telah membawa koper miliknya.
"Tidak! Ibu! Jangan! Ibu!" pekik Fallen diiring dengan air matanya yang jatuh berlinang. Kehilangan sosok ibu dan juga ingatan serta kenangan masa lalu saja sudah buruk, apalagi sekarang, ia harus kehilangan satu-satunya foto ibunya yang ia punya.
Jim menghampiri Arjun yang sedang duduk di sebuah sofa. Tampak jelas raut wajah yang sedang kesal.
"Kau tahu, Jim. Aku tidak suka keributan. Kenapa mengurus hal seperti ini saja kau tidak bisa!" Arjun melayangkan satu tinju ke wajah Jim. Membuat Jim terhuyung hampir jatuh dengan pipi yang memar.
"Maafkan saya, Tuan. Nona Muda menginginkan foto almarhum ibunya."
"Aku tidak peduli dengan apa yang diinginkannya. Diamkan dia atau kau akan tahu akibatnya!"
"Baik, Tuan." Jim membungkukkan badannya, lalu pergi ke tempat Fallen yang masih berteriak meminta foto ibunya.
"Nona, tenanglah! Tidak ada yang bisa Nona lalukan. Membuat keributan sama saja dengan membuat Tuan Muda marah." Jim mengingatkan.
Fallen berhenti memberontak. Ia pun berlutut sambil terus menangis meratapi foto ibunya yang kini sudah dibuang. "Ibu, aku tidak ingat seperti apa kasih sayangmu dulu. Tapi kenapa, hanya untuk menyimpan fotomu saja aku tidak bisa."
"Nona, berdirilah. Tangisan dan kepiluan Nona tidak akan mengubah aturan rumah ini. Sekarang, Nona harus kembali membersihkan diri, lalu masuk ke dalam rumah. Tuan Muda tidak suka menunggu."
Fallen langsung menghapus air matanya. Betapa ia lupa siapa sosok yang tengah menunggunya di dalam. Ia berdiri dengan tatapan penuh kekecewaan pada Jim. "Semoga dompetmu hilang." Ia melangkah menuju bilik sterilisasi, lalu pergi ke dalam rumah.
Di dalam, ia berjalan perlahan menghampiri Arjun yang masih duduk sembari melihat arlojinya.
"Kau hebat! Kau orang pertama yang membuat aku menunggu. Orang seperti mu memang pantas diberi penghargaan. Apa yang kau inginkan?" tanya Arjun dengan tatapan setajam belati. Berhasil menggetarkan tubuh Fallen, membuat gadis itu ketakutan.
"Maafkan saya, Tuan." Fallen menunduk.
Brakkk! Arjun menggebrak meja kaca hingga suaranya membuat Fallen semakin ketakutan. Meja itu sangat mahal, tentu gebrakan Arjun tidak akan membuatnya pecah. Memangnya, sehebat apa tangan orang kejam ini?
"Hahaha, maaf? Aku menyuruh mu meminta hadiah, tetapi kau malah minta maaf. Ayolah, sampah kecil. Apa keinginan mu?" Setelah tertawa, Arjun kembali memasang wajah datar yang bagi Fallen sangatlah menakutkan. Suaranya yang berat dan menggelegar, mampu membuat jantung Fallen berdebar kencang.
Fallen hanya diam menunduk.
"Tatap wajahku saat aku berbicara denganmu!" Arjun kembali berteriak sambil menggebrak meja. Kali ini ia berdiri, mendekati Fallen yang berdiri satu langkah di depannya.
"Sa-saya mmmin-nta ma-af, Tuan," ucap Fallen dengan suara bergetar.
"Hahaha, aku suka suara orang yang ketakutan." Arjun kembali tertawa.
Fallen hanya diam saja. Ia tetap menunduk dan memasrahkan dirinya jika Arjun melayangkan tangannya.
Tangan Arjun mulai menyentuh kepala Fallen. Dengan satu usapan, ia mencapai belakang kepala gadis itu. Membuat Fallen semakin bergetar ketakutan.
"Kenapa? Apa kau takut aku akan mencekik mu?" Arjun menunduk untuk melihat wajah Fallen. Tampak mulut Fallen yang sedang komat-kamit seperti membaca mantra.
"Kau sedang apa? Membaca mantra?"
"Ti-tidak, Tuan. Saya sedang berdoa."
"Berdoa untuk apa? Kau ingin mendoakan ku supaya cepat mati?"
"Jika bisa akan saya lakukan, ma-maksud saya, saya ingin agar Tuan ma, anu bertobat. Tidak, maksud saya, agar Tuan tidak marah. Saya mengusir setan dari, tidak, anu, itu." Brukkk! Fallen bersimpuh di kaki Arjun.
"Ampuni saya, Tuan. Ampuni saya!" Fallen menangis sembari memegangi kaki Arjun.
'Gadis ini cukup menarik. Dia sangat takut padaku meski ini pertemuan pertama kami. Bagus, aku tidak perlu melakukan kekerasan padanya. Suara dan kemarahan ku sudah cukup membuatnya ketakutan. Dengar wanita, tidak ada yang boleh melawan denganku, apalagi sampai meninggalkan ku.' batin Arjun.
"Berdiri!" teriak Arjun.
Dalam sepersekian detik, Fallen langsung berdiri. Air mata tampak masih membasahi pipinya.
"Di sini, kau harus menuruti segala perintahku. Apapun yang aku ingin kau lakukan, maka kau harus melakukannya. Jika kau melakukan kesalahan sedikit saja, maka kau akan masuk ke dalam ruangan hukuman. Di sana, kau tidak akan pernah berpikir untuk berbuat kesalahan lagi, apa kau mengerti?"
"Sa-saya mengerti, Tuan." Fallen mengangguk dengan cepat.
"Tuan, ada telepon penting dari Nyonya besar," ucap Jim dengan wajah gelisah.
"Ada apa? Kenapa nenek menelepon ku?"
Jim tampak ragu.
"Katakan saja, Jim!"
"Kata Nyonya besar, kondisi ibu Anda, Nyonya Airin semakin kritis. Beliau membutuhkan Tuan."
"Hahaha, akhirnya wanita itu hampir menemui ajalnya. Abaikan saja, aku tidak peduli jika dia mati, wanita licik seperti itu memang pantas mati!"
"Baik, Tuan." Jim membungkukkan badan, lalu pergi.
Fallen sangat terkejut karena Arjun bahkan tidak punya belas kasih pada ibunya sendiri. Namun ia tidak pernah tahu, luka apa yang dialami Arjun semasa kecil.
"Hmmm aku suka orang yang memohon. Benar-benar terlihat menyedihkan!" Arjun menatap Fallen yang masih berdiri di depannya."Sekarang, pergi ke lantai tiga. Dan pastikan kau sampai sebelum aku sampai!" titah Arjun.Fallen memperhatikan sebuah lift yang terletak di samping tangga. Ia merasa ragu bisa sampai di atas sebelum Arjun sampai."Bagaimana? Apa kau keberatan?" Arjun menatap Fallen lebih dekat. Membuatnya gadis itu memundurkan dirinya satu langkah ke belakang.Arjun menyunggingkan sedikit senyuman devilnya. Kemudian, ia melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawanya ke lantai atas, yaitu menuju kamarnya yang berada di lantai tiga.Dengan segera, Fallen langsung berlari menaiki anak tangga sebelum Arjun sampai. Sekuat tenaga ia berlari tanpa menghiraukan tubuhnya yang mulai lelah. Keringat bercucuran, larinya semakin berat karena kakinya benar-benar pegal. Namun, rasa takutnya membuatnya mempercepat larinya. Rumah luas dan
"Dasar anak tidak berguna! Mati saja kau! Aku sudah bilang kau tidak boleh makan!" Seorang wanita muda sedang mencambuk anaknya."Aaaa, ampun, Bu, ampun! Aku berjanji tidak akan mencuri makanan di dapur lagi!" pekik seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun."Aku akan memotong tanganmu karena kau sudah berani mencuri!" Sang ibu pun mengambil sebuah pisau daging, meletakkan tangan sang anak di atas meja. Ia menaikkan pisau daging tersebut lalu bersiap memotong tangan anaknya."Tidaaaaak!!!" Arjun terbangun dari mimpinya. Keringat bercucuran dari wajahnya. Ia melihat ke sekitar, ternyata ia masih berada di dalam bathtub.Sepulang dari hutan tadi, ia pergi mandi karena hutan telah membuat tubuhnya kotor. Namun karena kelelahan menghajar dan berteriak pada targetnya, ia pun tertidur dengan air hangat yang merendam tubuhnya.Arjun segera mempercepat mandinya. Setelah itu, ia keluar dengan baju mandinya. Tidak
Arjun baru saja sampai di rumah. Saat itu, hari sudah malam. Saat membuka pintu, ia melihat Fallen sedang berdiri menunggu kedatangannya sambil tersenyum meski dengan terpaksa."Se-selamat datang, Tuan." Fallen membungkuk memberi hormat."Kenapa kau ada di sini? Siapa yang menyuruhmu?" tanya Arjun dengan tatapan tajamnya."Tadi saya bertanya pada kepala pelayan tentang apa yang tidak Tuan sukai, dan salah satunya melihat saya tidak menyambut Tuan datang," jelas Fallen."Apa sekarang kau sudah lebih baik? Kau sudah tidak takut jika jarimu hilang? Karena yang kau lakukan ini bukanlah perintahku. Artinya, kau melakukan sesuatu sesukamu." Arjun mempertegas ucapannya dengan penekanan pada setiap kata-katanya.Mendengar ucapan Arjun, Fallen langsung tertunduk. "Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Tuan tidak menyukai hal ini."Arjun mengusap wajahnya. "Ah, maa
Pagi menjelang. Arjun baru saja membuka mata saat matahari sudah masuk melalui celah gorden jendela kamarnya. Ia merentangkan kedua tangannya, lalu bangkit dari posisinya.Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya, lalu memakai pakaian untuk bekerja. Malam tadi ia tidur di kamar kerjanya karena pekerjaan yang mengharuskan ia lembur. Meski ia adalah seorang CEO, ia tidak ingin bermalas-malasan atau mengandalkan bawahannya. Karena sampai detik ini, ia belum bisa mempercayai siapapun kecuali almarhum ayah kandungnya yang meninggal lima tahun yang lalu akibat serangan jantung.Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, ia pun baru tersadar telah melupakan sesuatu."Ah, aku sampai melupakan sampah kecil itu." Arjun segera bergegas ke kamar tempat ia menyuruh Fallen menyusun pakaiannya.Begitu membuka pintu, ia tidak melihat keberadaan Fallen di atas ranjang. Ia pun segera berjalan ke dala
"Apa kabarmu, Nak?" tanya sang nenek yang diketahui, ia bernama Rania."Jika nenek menginginkan aku menemui wanita itu, sebaiknya Nenek pergi saja," ucap Arjun setelah melepaskan pelukan sang nenek."Kenapa kau tega sekali mengusir Nenek?" Mata Rania berkaca-kaca mendengar ucapan sang cucu."Aku tidak akan mengusir Nenek jika tidak ada pembahasan tentang wanita itu." Arjun menatap ke sembarang arah sembari mengepal erat tangannya."Nak, tolong, singkirkan ego mu. Bagaimana pun juga, Airin adalah wanita yang melahirkan dirimu." Rania mencoba menjelaskan.Arjun langsung memencet remot, lalu pintu pun terbuka lagi. "Silakan keluar, Nek." Ia menunjuk arah pintu."Dokter berkata bahwa tidak ada harapan lagi. Temuilah dia sebelum kau,,,,,""Aku bahkan berharap dia mati hari ini. Disaat Nenek tidak di rumah, jadi dia mati dalam keadaan penuh kes
Fallen berdiri mematung sembari menundukkan kepalanya. Ia terlihat begitu takut, terlebih lagi karena Arjun mendengar apa yang ia katakan tentang ketenangan ketika tidak ada Arjun."Kau tadi mengatakan apa? Aku ingin mendengarnya lagi." Arjun berjalan mendekati Fallen dan yang kini bergetar ketakutan.Saat sudah berada di hadapan Fallen, Arjun langsung mencengkram tangan Fallen lalu menarik gadis itu mendekatinya. Ia pun berbisik di telinga Fallen. "Apa aku harus mengulangi pertanyaan ku? Karena jika aku mengulanginya, maka kau akan kehilangan satu telingamu." Menghembuskan nafas ke telinga Fallen hingga membuatnya semakin ketakutan."Ketika tidak ada Tuan, saya merasa tenang. Ma-maafkan saya, Tuan." Fallen berusaha menahan air matanya."Oh, jadi kau menginginkan aku tetap berada di luar agar kau selalu tenang? Kau mengusirku dari rumahku sendiri? Baiklah, aku akan pergi dari rumah ini sekarang juga.
Setelah selesai makan, Fallen pun kembali ke kamar. Ia bermaksud ingin sedikit membaca buku untuk menghilangkan rasa bosannya. Namun, Asti datang dan memberikan sebuah perintah dari Arjun. "Nona, Tuan Arjun berpesan agar mulai besok, Nona jangan keluar kamar sebelum Tuan pergi bekerja, tepatnya sebelum jam delapan, Nona harus tetap berada di dalam kamar." "Tapi kenapa, Asti?" Fallen heran dengan ucapan Asti. Perintah Arjun benar-benar membuatnya terkejut. "Nona, saya belum selesai bicara. Selain itu, saat jam pulang kerja Tuan Arjun, Nona juga harus sudah berada di kamar. Makan malam akan di antar ke kamar Nona." "Asti, apa maksudnya ini? Kenapa Tuan Arjun menghindari ku? Apa aku punya salah padanya? Katakan, Asti." Fallen memegang tangan Asti sembari menangis. Seketika ia merasa bahwa ini adalah rumahnya sendiri, dimana ayahnya selalu menghindarinya meski hanya untuk beradu tatap saja. Rasa
Arjun baru saja sampai di rumah. Tubuhnya terasa sangat letih. Karena setelah pertemuan dari Gunanda tadi, ia langsung pergi menghadiri beberapa meeting penting.Arjun berjalan ke sebuah kamar yang ia lupa bahwa di kamar itu ada Fallen. Yang ia ingat, setiap hari ia memang suka berpindah kamar. Karena itu ada tiga kamar di lantai tersebut.Ia sudah bermalam di ruang kerjanya, maka malam ini, ia akan bermalam di kamar tengah. Sementara kamar yang ada di bagian timur adalah kamar ketiga.Arjun memasuki kamar tersebut. Merenggangkan dasinya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar air hidup dari dalam kamar mandi. Ia tertegun, apakah air sedang rusak? Perlahan ia membuka pintu yang tidak terkunci itu. Dan alangkah terkejutnya saat ia melihat sosok Fallen sedang berendam di dalam bathtub dengan busa dan kelopak bunga mawar. Mata Fallen masih tertutup karena ia sepertinya ketiduran.