"Hmmm aku suka orang yang memohon. Benar-benar terlihat menyedihkan!" Arjun menatap Fallen yang masih berdiri di depannya.
"Sekarang, pergi ke lantai tiga. Dan pastikan kau sampai sebelum aku sampai!" titah Arjun.
Fallen memperhatikan sebuah lift yang terletak di samping tangga. Ia merasa ragu bisa sampai di atas sebelum Arjun sampai.
"Bagaimana? Apa kau keberatan?" Arjun menatap Fallen lebih dekat. Membuatnya gadis itu memundurkan dirinya satu langkah ke belakang.
Arjun menyunggingkan sedikit senyuman devilnya. Kemudian, ia melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawanya ke lantai atas, yaitu menuju kamarnya yang berada di lantai tiga.
Dengan segera, Fallen langsung berlari menaiki anak tangga sebelum Arjun sampai. Sekuat tenaga ia berlari tanpa menghiraukan tubuhnya yang mulai lelah. Keringat bercucuran, larinya semakin berat karena kakinya benar-benar pegal. Namun, rasa takutnya membuatnya mempercepat larinya. Rumah luas dan berlantai banyak itu membuatnya harus berjuang ekstra untuk sampai lebih dulu.
Hingga akhirnya, ia berhasil mencapai lantai tiga dengan keringat membasahi wajah dan tubuhnya. Ia membungkukkan tubuhnya dengan nafas yang ngos-ngosan. Ia menyeka keringat dengan tangannya.
Lama ia menunggu, namun Arjun tidak muncul juga.
"Apa aku salah lantai?" gumam Fallen. Ia memperhatikan seisi lantai itu terdapat beberapa ruangan dan beberapa sofa besar di tengah-tengahnya.
Tingg, pintu lift pun terbuka. Tampak Arjun keluar dari dalamnya sembari menatap Fallen dengan tatapan tajamnya.
"Hebat! Kau bisa melampaui aku. Apa aku lama?" tanya Arjun.
Dengan cepat Fallen langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak, Tuan."
"Aku tadi sudah memasuki lift, namun aku berhenti di lantai dua untuk mengecek keadaan sekitar. Aku selalu melakukannya setiap waktu," ucap Arjun dengan entengnya.
"Saya mengerti, Tuan." Fallen menunduk.
"Jadi kau tidak marah?" Arjun berjalan mendekati Fallen yang masih berdiri sambil menunduk.
"Aku tidak suka dengan orang yang tidak menatapku saat aku menatapnya."
Mendengar ucapan Arjun, Fallen langsung mendongak dan menatap wajah pria yang kini telah menjadi suaminya itu.
"Kau belum menjawab."
"Saya tidak marah, Tuan."
Arjun memperhatikan tubuh Fallen yang sudah setengah basah. "Lihatlah tubuh menjijikkan mu itu. Berkeringat dan kotor. Aku paling benci melihat orang yang kotor, kau bahkan lebih bau dari sampah." Menutup hidung dengan tangannya.
Fallen langsung memundurkan dirinya. Ia tidak ingin bau tubuhnya membuat Arjun marah.
"Masuklah ke kamar dan bersihkan tubuhmu!"
Fallen hanya diam. Ia melihat beberapa ruangan, namun tidak tahu yang mana kamar. "Saya tidak tahu dimana letak kamar, Tuan."
Arjun kembali menunjukkan senyum devilnya. "Kau harus menebaknya. Kau punya satu kesempatan untuk memilih kamar yang tepat, namun jika kau salah, maka aku harus mematahkan satu jarimu."
Tubuh Fallen langsung gemetaran mendapatkan ancaman seperti itu. Ia bingung, di sana ada tiga ruangan, namun dengan bentuk dan warna pintu yang sama.
"Kau punya waktu satu menit."
Sontak ucapan Arjun langsung membuat Fallen panik. Ia segera melangkah dan mengamati setiap pintu. Baik desain, maupun ukiran pintu terlihat sama saja. Ia bingung harus memilih yang mana. Tidak ada petunjuk ataupun gagang pintu yang usang seperti kamarnya, karena semua ruangan memiliki pintu otomatis yang hanya perlu digeser dengan sensor gerakan tangan ataupun dengan sentuhan langsung.
Fallen mulai berpikir, tampak jelas tubuhnya yang masih gemetaran.
"Waktumu tinggal sepuluh detik."
Ucapan Arjun langsung membuat Fallen semakin panik. Ia terus berlari mendatangi lagi pintu-pintu tersebut. Meneliti, menatap dari jarak dekat, hingga mengintip sela pintu, barangkali ada celah kecil untuk melihat ke dalam.
"Tiga, dua, satu. Waktumu habis, sekarang kau harus memilih. Jika salah, aku akan mematahkan jarimu langsung dengan tanganku." Arjun mengepal tangan kanannya, lalu meninju tangan kirinya sambil menatap Fallen dengan tatapan devil.
Fallen menyembunyikan tangannya ke belakang. Ia terlihat sangat pucat.
"Yang mana pintu kamar?" tanya Arjun sembari melangkah mendekati Fallen yang masih berdiri mematung.
Fallen kelabakan, ia memandangi semua jarinya lalu menoleh ke sebuah pintu tepat di belakangnya. "Ini, Tuan, saya rasa pintu ini adalah kamar."
"Hmmm, benarkah? Mari kita buktikan." Arjun mendekati pintu tersebut. Menggunakan sensor tangannya untuk membukanya.
Fallen menutup matanya kala Arjun telah membuka pintu tersebut.
"Buka matamu dan lihatlah!"
Perlahan Fallen mulai membuka satu matanya untuk mengintip. Namun, ketika ia melihat bahwa isi dari ruangan itu adalah kamar, ia pun dapat bernafas lega.
"Wah hebat sekali, kau benar!" seru Arjun sembari menepuk tangannya.
Fallen hanya tersenyum sembari beristighfar dalam hati. Jantungnya masih berdegup kencang dan tangannya masih gemetaran.
"Mari aku tunjukkan isi dari dua ruangan yang lain." Arjun berjalan ke sebuah pintu di sebelah barat diikuti Fallen.
Ia lantas membuka pintu tersebut dengan sensor tangannya. Saat pintu sudah dibuka, betapa terkejutnya Fallen karena isi dari ruangan itu juga kamar. Begitu juga dengan ruangan terkahir. Isinya juga kamar tidur. Ternyata semua ruangan adalah kamar dan Arjun telah mempermainkan dirinya habis-habisan.
"Kenapa diam saja? Apa kau tidak marah? Aku baru saja mempermainkan dirimu." Arjun menatap Fallen yang hanya diam mematung.
Ia tak mampu berekspresi. Ini hari pertamanya di rumah itu, namun ia sudah dibuat ketakutan setengah mati. Bahkan saat ini, jantungnya masih berdegup kencang.
"Saya tidak marah, Tuan."
"Kau sangat pintar berbohong. Apa Gunanda selalu mengajarimu?"
"Tidak, Tuan. Saya tidak berbohong."
"Baiklah, karena aku sedang buru-buru, kau masuk ke kamar, lalu bersihkan dirimu di kamar ini. Tanyakan pakaianmu pada pelayan, dan jangan sentuh apapun di dalamnya. Jika aku melihat ada satu benda yang bergeser satu inci dari tempatnya, maka kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada jarimu." Arjun melangkah meninggalkan Fallen setelah memastikan gadis itu mengangguk mengerti.
Ia segera ke salah satu kamar yang merupakan ruang kerja yang dilengkapi ranjang. Ada tiga kamar, karena setiap malam, ia selalu berpindah kamar untuk tidur. Ia segera mengambil semua berkas yang diperlukan. Hanya dirinya yang boleh memasuki ruangan tersebut dikarenakan dirinya yang tidak mempercayai siapapun termasuk Jim, asisten pribadinya.
Setelah semua siap, Arjun segera menemui Jim yang sudah menunggunya di lantai bawah. Pria tinggi tegap itu tersenyum menanti kedatangan majikannya.
Mereka segera masuk ke dalam mobil dan melaju menuju target yang sudah diketahui keberadaannya. Ya, target pertama bersembunyi di kabin tengah hutan karena menghindari Arjun yang akan menagih hutangnya. Bahkan ia hampir saja membunuh dirinya sendiri jika orang suruhan Jim tidak menghentikannya.
Sementara itu.
"Airin, kau harus kuat. Kau harus mendapat maaf dari putramu. Ibu yakin, dia pasti bisa membuka pintu maafnya untukmu." Nenek Arjun menangis di samping seorang wanita paruh baya yang kini terbaring lemah dengan alat-alat medis. Matanya terbuka, namun tubuhnya tidak bergerak. Hanya air mata penyesalan yang mengalir di pelipis matanya. Ia adalah Airin, yang tak lain adalah ibu kandung Arjun.
"Dasar anak tidak berguna! Mati saja kau! Aku sudah bilang kau tidak boleh makan!" Seorang wanita muda sedang mencambuk anaknya."Aaaa, ampun, Bu, ampun! Aku berjanji tidak akan mencuri makanan di dapur lagi!" pekik seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun."Aku akan memotong tanganmu karena kau sudah berani mencuri!" Sang ibu pun mengambil sebuah pisau daging, meletakkan tangan sang anak di atas meja. Ia menaikkan pisau daging tersebut lalu bersiap memotong tangan anaknya."Tidaaaaak!!!" Arjun terbangun dari mimpinya. Keringat bercucuran dari wajahnya. Ia melihat ke sekitar, ternyata ia masih berada di dalam bathtub.Sepulang dari hutan tadi, ia pergi mandi karena hutan telah membuat tubuhnya kotor. Namun karena kelelahan menghajar dan berteriak pada targetnya, ia pun tertidur dengan air hangat yang merendam tubuhnya.Arjun segera mempercepat mandinya. Setelah itu, ia keluar dengan baju mandinya. Tidak
Arjun baru saja sampai di rumah. Saat itu, hari sudah malam. Saat membuka pintu, ia melihat Fallen sedang berdiri menunggu kedatangannya sambil tersenyum meski dengan terpaksa."Se-selamat datang, Tuan." Fallen membungkuk memberi hormat."Kenapa kau ada di sini? Siapa yang menyuruhmu?" tanya Arjun dengan tatapan tajamnya."Tadi saya bertanya pada kepala pelayan tentang apa yang tidak Tuan sukai, dan salah satunya melihat saya tidak menyambut Tuan datang," jelas Fallen."Apa sekarang kau sudah lebih baik? Kau sudah tidak takut jika jarimu hilang? Karena yang kau lakukan ini bukanlah perintahku. Artinya, kau melakukan sesuatu sesukamu." Arjun mempertegas ucapannya dengan penekanan pada setiap kata-katanya.Mendengar ucapan Arjun, Fallen langsung tertunduk. "Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Tuan tidak menyukai hal ini."Arjun mengusap wajahnya. "Ah, maa
Pagi menjelang. Arjun baru saja membuka mata saat matahari sudah masuk melalui celah gorden jendela kamarnya. Ia merentangkan kedua tangannya, lalu bangkit dari posisinya.Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya, lalu memakai pakaian untuk bekerja. Malam tadi ia tidur di kamar kerjanya karena pekerjaan yang mengharuskan ia lembur. Meski ia adalah seorang CEO, ia tidak ingin bermalas-malasan atau mengandalkan bawahannya. Karena sampai detik ini, ia belum bisa mempercayai siapapun kecuali almarhum ayah kandungnya yang meninggal lima tahun yang lalu akibat serangan jantung.Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, ia pun baru tersadar telah melupakan sesuatu."Ah, aku sampai melupakan sampah kecil itu." Arjun segera bergegas ke kamar tempat ia menyuruh Fallen menyusun pakaiannya.Begitu membuka pintu, ia tidak melihat keberadaan Fallen di atas ranjang. Ia pun segera berjalan ke dala
"Apa kabarmu, Nak?" tanya sang nenek yang diketahui, ia bernama Rania."Jika nenek menginginkan aku menemui wanita itu, sebaiknya Nenek pergi saja," ucap Arjun setelah melepaskan pelukan sang nenek."Kenapa kau tega sekali mengusir Nenek?" Mata Rania berkaca-kaca mendengar ucapan sang cucu."Aku tidak akan mengusir Nenek jika tidak ada pembahasan tentang wanita itu." Arjun menatap ke sembarang arah sembari mengepal erat tangannya."Nak, tolong, singkirkan ego mu. Bagaimana pun juga, Airin adalah wanita yang melahirkan dirimu." Rania mencoba menjelaskan.Arjun langsung memencet remot, lalu pintu pun terbuka lagi. "Silakan keluar, Nek." Ia menunjuk arah pintu."Dokter berkata bahwa tidak ada harapan lagi. Temuilah dia sebelum kau,,,,,""Aku bahkan berharap dia mati hari ini. Disaat Nenek tidak di rumah, jadi dia mati dalam keadaan penuh kes
Fallen berdiri mematung sembari menundukkan kepalanya. Ia terlihat begitu takut, terlebih lagi karena Arjun mendengar apa yang ia katakan tentang ketenangan ketika tidak ada Arjun."Kau tadi mengatakan apa? Aku ingin mendengarnya lagi." Arjun berjalan mendekati Fallen dan yang kini bergetar ketakutan.Saat sudah berada di hadapan Fallen, Arjun langsung mencengkram tangan Fallen lalu menarik gadis itu mendekatinya. Ia pun berbisik di telinga Fallen. "Apa aku harus mengulangi pertanyaan ku? Karena jika aku mengulanginya, maka kau akan kehilangan satu telingamu." Menghembuskan nafas ke telinga Fallen hingga membuatnya semakin ketakutan."Ketika tidak ada Tuan, saya merasa tenang. Ma-maafkan saya, Tuan." Fallen berusaha menahan air matanya."Oh, jadi kau menginginkan aku tetap berada di luar agar kau selalu tenang? Kau mengusirku dari rumahku sendiri? Baiklah, aku akan pergi dari rumah ini sekarang juga.
Setelah selesai makan, Fallen pun kembali ke kamar. Ia bermaksud ingin sedikit membaca buku untuk menghilangkan rasa bosannya. Namun, Asti datang dan memberikan sebuah perintah dari Arjun. "Nona, Tuan Arjun berpesan agar mulai besok, Nona jangan keluar kamar sebelum Tuan pergi bekerja, tepatnya sebelum jam delapan, Nona harus tetap berada di dalam kamar." "Tapi kenapa, Asti?" Fallen heran dengan ucapan Asti. Perintah Arjun benar-benar membuatnya terkejut. "Nona, saya belum selesai bicara. Selain itu, saat jam pulang kerja Tuan Arjun, Nona juga harus sudah berada di kamar. Makan malam akan di antar ke kamar Nona." "Asti, apa maksudnya ini? Kenapa Tuan Arjun menghindari ku? Apa aku punya salah padanya? Katakan, Asti." Fallen memegang tangan Asti sembari menangis. Seketika ia merasa bahwa ini adalah rumahnya sendiri, dimana ayahnya selalu menghindarinya meski hanya untuk beradu tatap saja. Rasa
Arjun baru saja sampai di rumah. Tubuhnya terasa sangat letih. Karena setelah pertemuan dari Gunanda tadi, ia langsung pergi menghadiri beberapa meeting penting.Arjun berjalan ke sebuah kamar yang ia lupa bahwa di kamar itu ada Fallen. Yang ia ingat, setiap hari ia memang suka berpindah kamar. Karena itu ada tiga kamar di lantai tersebut.Ia sudah bermalam di ruang kerjanya, maka malam ini, ia akan bermalam di kamar tengah. Sementara kamar yang ada di bagian timur adalah kamar ketiga.Arjun memasuki kamar tersebut. Merenggangkan dasinya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar air hidup dari dalam kamar mandi. Ia tertegun, apakah air sedang rusak? Perlahan ia membuka pintu yang tidak terkunci itu. Dan alangkah terkejutnya saat ia melihat sosok Fallen sedang berendam di dalam bathtub dengan busa dan kelopak bunga mawar. Mata Fallen masih tertutup karena ia sepertinya ketiduran.
Hari-hari dilalui Fallen dengan rasa kesepian dan kesendirian. Tanpa terasa sudah dua sebulan lamanya ia tidak bertatap muka dengan Arjun. Hal positif yang ia terima, yaitu tidak menerima perlakuan kasar, teriakan, bentakan, ataupun ketakutan yang luar biasa. Berat badannya pun sudah ideal karena pola makan yang teratur wajib habis jika ingin tetap hidup.Setiap hari, Fallen hanya duduk di taman pada siang hari, dan menghabiskan waktu di kamar pada malam harinya. Menonton televisi, menatap foto ibunya, atau memandangi pemandangan dari balkon kamarnya. Sama seperti saat di rumah ayahnya.Asti masuk ke dalam kamar Fallen saat ia sedang duduk merenung di sofa kamarnya. Ia memberikan sarapan untuk Fallen nikmati pagi ini.Fallen menerimanya sembari tersenyum. "Terimakasih, Asti."Asti mengangguk dan tersenyum."Asti, bolehkah aku bertanya? Mengapa Tuan Arjun selalu berpindah kamar se