"Apa kabarmu, Nak?" tanya sang nenek yang diketahui, ia bernama Rania.
"Jika nenek menginginkan aku menemui wanita itu, sebaiknya Nenek pergi saja," ucap Arjun setelah melepaskan pelukan sang nenek.
"Kenapa kau tega sekali mengusir Nenek?" Mata Rania berkaca-kaca mendengar ucapan sang cucu.
"Aku tidak akan mengusir Nenek jika tidak ada pembahasan tentang wanita itu." Arjun menatap ke sembarang arah sembari mengepal erat tangannya.
"Nak, tolong, singkirkan ego mu. Bagaimana pun juga, Airin adalah wanita yang melahirkan dirimu." Rania mencoba menjelaskan.
Arjun langsung memencet remot, lalu pintu pun terbuka lagi. "Silakan keluar, Nek." Ia menunjuk arah pintu.
"Dokter berkata bahwa tidak ada harapan lagi. Temuilah dia sebelum kau,,,,,"
"Aku bahkan berharap dia mati hari ini. Disaat Nenek tidak di rumah, jadi dia mati dalam keadaan penuh kesepian." Arjun menunjukkan senyum devilnya.
"Kenapa kau jadi tak berhati seperti ini? Ayahmu adalah orang yang sangat santun dan penyabar, tapi kenapa darahnya menjadi seperti ini?" Rania menatap tidak percaya.
"Maaf, aku ada meeting sebentar lagi." Arjun kembali menunjuk pintu.
Rania berjalan menuju pintu dengan perasaan kecewa. Namun, sebelum ia melangkah keluar, ia berbalik, lalu berkata, "Kau tahu? Sifatmu ini sama saja seperti ibumu. Tak berhati dan sangat kejam. Kau membencinya, namun kau menuruni sifatnya. Dan satu lagi, kau tidak bisa memungkiri jika kau lahir dari rahimnya. Di dalam darahmu, juga mengalir darahnya." Berbalik, lalu melanjutkan langkahnya.
Pintu sudah tertutup kembali. Arjun melempar ponselnya ke dinding hingga layarnya pecah. Tampak jelas kemarahan dalam dirinya.
"Jika aku boleh memilih, aku tidak ingin dilahirkan olehnya!! Ha!!!" Menendang kursinya hingga terjatuh.
Ia jatuh terduduk sembari menangis. Sejak neneknya mengatakan hal tentang ibunya, kembali terlintas dibenaknya saat-saat pahit yang ia alami selama bertahun-tahun. Penyiksaan tak berhati yang dilakukan oleh wanita yang dulu ia panggil ibu. Penyiksaan yang bahkan lebih sadis dari seorang psikopat, hanya karena satu alasan.
"Ayah!! Kenapa ayah menikahi wanita seperti itu!! Kenapa ayah terlalu percaya padanya hingga tidak tahu aku disiksa bertahun-tahun, saat kau bekerja di luar negeri! Dan kenapa kau cepat sekali meninggalkan aku!!" Arjun menatap langit-langit sembari menjambak rambutnya. Ia memukul-mukul wajahnya, juga tubuhnya.
"Kenapa aku harus dilahirkan?!! Kenapa?!" Teriakannya terus menggema di ruangan itu.
Selesai menumpahkan segala kekesalannya, ia pun segera membersihkan diri di ruang pribadinya. Semua terlihat kembali normal. Tidak ada air mata, tidak ada teriakan pilu. Yang ada hanya sebuah tatapan datar seorang Arjun pada seseorang yang kini ada di depannya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Arjun pada orang yang bernama Edi. Seorang pengusaha yang terlilit hutang dengannya.
Edi terkejut mendengar pertanyaan Arjun. Namun lekas ia menjawab, "Sa-saya baik-baik saja, Tuan."
"Bagus, dengan begitu, kau tidak akan lekas mati dan meninggalkan hutang." Arjun tersenyum menyeringai. Membuat Edi semakin gemetaran.
"Tapi aku sangat mengapresiasi dirimu. Kau berani datang kemari satu hari sebelum jatuh tempo pembayaran hutangmu."
Edi langsung bangkit dari duduknya, lalu bersimpuh di kaki Arjun. "Tu-Tuan! Saya mohon, saya berada diambang kebangkrutan. Berilah saya belas kasih anda. Apapun akan saya berikan, asal Tuan mau memberi saya waktu lebih."
Arjun langsung menendang Edi yang memeluk erat kakinya. "Menyingkir! Menjijikkan! Memangnya apa yang ingin kau tawarkan?" Arjun berdiri dari duduknya, lalu mengitari Edi yang masih berlutut di depannya.
"Saya punya anak gadis yang cantik, Tuan. Peristrilah dia."
Mendengar ucapan Edi, Arjun pun langsung tergelak. "Hahaha, kau kira aku pria yang suka bermain dengan wanita? Bagaimana jika putrimu aku siksa setiap hari? Apa kau bersedia?"
"Ya, Tuan! Siksa saja dia jika Tuan ingin." Edi terlihat antusias.
"Bagaimana kalau dia mati, apa kau bersedia?"
"Jika itu sudah takdir, mau bagaimana lagi, Tuan."
"Apa kau ayah kandungnya?"
"Ya, Tuan. Dia adalah anak ketiga saya."
"Hmmm menarik. Kebetulan aku punya kebiasaan memukul orang setiap hari. Sepertinya putrimu akan menjadi samsak ku." Arjun menatap Edi dengan tatapan devilnya.
"Jika itu bisa meringankan hutang saya, lakukan saja, Tuan."
Arjun tertegun melihat kenekatan Edi. Ia bahkan rela menjual putrinya untuk disiksa asal ia terbebas dari lilitan hutang.
"Ah, tadi aku sangat tertarik, tapi sekarang aku mendadak tidak tertarik. Malah sekarang aku tertarik untuk menjadikan mu samsak ku saja. Apa kau bersedia?"
Edi terkejut mendengar ucapan Arjun. "Ampun Tuan, jangan lakukan itu, saya tidak akan sanggup."
Arjun tersenyum mendengar ucapan Edi. Sementara Jim yang ada di sampingnya hanya diam menyaksikan hal itu. Bahkan kini, ia melihat dua orang tak berhati sedang membicarakan diri mereka sendiri.
"Jim, bawa pria ini keluar. Jika dia tidak melunasi hutang-hutangnya besok, maka, amankan dia!" titah Arjun.
"Tuan!! Saya mohon jangan lakukan ini!!" Edi kembali bersimpuh di kaki Arjun. Membuat Arjun kembali mendorongnya dengan kasar.
Jim memerintahkan dua orang pengawal yang berjaga di depan pintu untuk membawa Edi keluar dengan paksa. Tampak jelas raungan dan teriakan Edi memohon untuk dikasihani.
Arjun hanya menggelengkan kepalanya. Ia segera memerintahkan Jim untuk melakukan sesuatu untuknya.
*****
Fallen baru saja terbangun saat hari sudah senja. Ia merasa bahwa tubuhnya sudah enakan. Ia pun segera membersihkan diri, lalu merapikan tempat tidur agar Arjun tidak marah.
Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara langkah kaki seseorang mendekat. Fallen langsung berdiri dengan wajah yang sangat tegang.
Namun, saat ia melihat bahwa yang datang adalah dokter Fani, ia kembali menghembuskan nafas lega. Dokter Fani datang untuk memeriksa keadaannya lagi.
"Nona sudah baikan. Sepertinya Nona mengikuti saran yang diberikan Asti." Dokter Fani tersenyum.
"Demi bisa sehat, tentu aku akan mengikutinya." Fallen tersenyum lembut.
"Baiklah, karena Nona sudah membaik, maka saya akan pulang. Jangan lupa agar obatnya terus diminum," ujar dokter Fani.
"Baik, terimakasih, Dokter." Fallen mengangguk.
Setelah kepergian Dokter Fani, Fallen kembali mendudukkan dirinya ke atas ranjang. Ia tadinya berpikir bahwa yang datang adalah Arjun, namun ternyata Dokter Fani.
Ia merebahkan dirinya ke atas ranjang sembari menghela nafas panjang. "Setidaknya aku akan tenang selagi dia tidak ada di rumah."
"Dia siapa?" Seseorang berdiri di depan pintu sambil memperhatikan Fallen dengan tatapan tajamnya.
Fallen hendak bangkit saat menyadari bahwa yang bertanya tadi adalah Arjun. Karena terkejut dan terburu-buru, ia tidak menyadari bahwa posisinya mentok di pinggir ranjang, sehingga,,,,,,brukk! Tubuhnya terjatuh di lantai dengan bokong yang mendarat duluan.
"Aaaakhhh." Fallen meringis sembari memegangi pinggangnya. Namun, ia terus berusaha berdiri dengan wajah yang meringis menahan sakit. Memangnya apa yang ia tunggu? Tidak mungkin kan Arjun langsung membantunya berdiri.
Fallen berdiri mematung sembari menundukkan kepalanya. Ia terlihat begitu takut, terlebih lagi karena Arjun mendengar apa yang ia katakan tentang ketenangan ketika tidak ada Arjun."Kau tadi mengatakan apa? Aku ingin mendengarnya lagi." Arjun berjalan mendekati Fallen dan yang kini bergetar ketakutan.Saat sudah berada di hadapan Fallen, Arjun langsung mencengkram tangan Fallen lalu menarik gadis itu mendekatinya. Ia pun berbisik di telinga Fallen. "Apa aku harus mengulangi pertanyaan ku? Karena jika aku mengulanginya, maka kau akan kehilangan satu telingamu." Menghembuskan nafas ke telinga Fallen hingga membuatnya semakin ketakutan."Ketika tidak ada Tuan, saya merasa tenang. Ma-maafkan saya, Tuan." Fallen berusaha menahan air matanya."Oh, jadi kau menginginkan aku tetap berada di luar agar kau selalu tenang? Kau mengusirku dari rumahku sendiri? Baiklah, aku akan pergi dari rumah ini sekarang juga.
Setelah selesai makan, Fallen pun kembali ke kamar. Ia bermaksud ingin sedikit membaca buku untuk menghilangkan rasa bosannya. Namun, Asti datang dan memberikan sebuah perintah dari Arjun. "Nona, Tuan Arjun berpesan agar mulai besok, Nona jangan keluar kamar sebelum Tuan pergi bekerja, tepatnya sebelum jam delapan, Nona harus tetap berada di dalam kamar." "Tapi kenapa, Asti?" Fallen heran dengan ucapan Asti. Perintah Arjun benar-benar membuatnya terkejut. "Nona, saya belum selesai bicara. Selain itu, saat jam pulang kerja Tuan Arjun, Nona juga harus sudah berada di kamar. Makan malam akan di antar ke kamar Nona." "Asti, apa maksudnya ini? Kenapa Tuan Arjun menghindari ku? Apa aku punya salah padanya? Katakan, Asti." Fallen memegang tangan Asti sembari menangis. Seketika ia merasa bahwa ini adalah rumahnya sendiri, dimana ayahnya selalu menghindarinya meski hanya untuk beradu tatap saja. Rasa
Arjun baru saja sampai di rumah. Tubuhnya terasa sangat letih. Karena setelah pertemuan dari Gunanda tadi, ia langsung pergi menghadiri beberapa meeting penting.Arjun berjalan ke sebuah kamar yang ia lupa bahwa di kamar itu ada Fallen. Yang ia ingat, setiap hari ia memang suka berpindah kamar. Karena itu ada tiga kamar di lantai tersebut.Ia sudah bermalam di ruang kerjanya, maka malam ini, ia akan bermalam di kamar tengah. Sementara kamar yang ada di bagian timur adalah kamar ketiga.Arjun memasuki kamar tersebut. Merenggangkan dasinya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar air hidup dari dalam kamar mandi. Ia tertegun, apakah air sedang rusak? Perlahan ia membuka pintu yang tidak terkunci itu. Dan alangkah terkejutnya saat ia melihat sosok Fallen sedang berendam di dalam bathtub dengan busa dan kelopak bunga mawar. Mata Fallen masih tertutup karena ia sepertinya ketiduran.
Hari-hari dilalui Fallen dengan rasa kesepian dan kesendirian. Tanpa terasa sudah dua sebulan lamanya ia tidak bertatap muka dengan Arjun. Hal positif yang ia terima, yaitu tidak menerima perlakuan kasar, teriakan, bentakan, ataupun ketakutan yang luar biasa. Berat badannya pun sudah ideal karena pola makan yang teratur wajib habis jika ingin tetap hidup.Setiap hari, Fallen hanya duduk di taman pada siang hari, dan menghabiskan waktu di kamar pada malam harinya. Menonton televisi, menatap foto ibunya, atau memandangi pemandangan dari balkon kamarnya. Sama seperti saat di rumah ayahnya.Asti masuk ke dalam kamar Fallen saat ia sedang duduk merenung di sofa kamarnya. Ia memberikan sarapan untuk Fallen nikmati pagi ini.Fallen menerimanya sembari tersenyum. "Terimakasih, Asti."Asti mengangguk dan tersenyum."Asti, bolehkah aku bertanya? Mengapa Tuan Arjun selalu berpindah kamar se
Arjun baru saja pulang dari kantor. Ia terlihat begitu letih karena hari ini jadwalnya begitu padat. Menemui klien, mengecek proyek langsung ke lapangan, hingga berteriak dan marah-marah pada bawahannya yang berbuat kesalahan kecil seperti saat sang sekretaris memberikan map padanya dalam keadaan terbalik.Arjun menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia mengendurkan dasinya, mengangkat kakinya lalu meletakkan di atas meja."Asti.""Ya, Tuan.""Buatkan aku teh hijau," ucap Arjun sambil memegangi kepalanya yang agak pusing."Baik, Tuan." Asti membungkuk, lalu pergi ke dapur, menyuruh pelayan membuatkan teh hijau, lalu memberikannya pada Arjun.Arjun menyeruput teh tersebut. Rasanya sangat enak dan membuatnya merasa nyaman. Namun, baru saja ia hendak menyandarkan kepalanya, terdengar suara gaduh di belakang rumah itu.Arjun berdecak kesal karena ke
Keesokan harinya, Arjun baru saja pulang dari kantornya. Namun, ketika ia memasuki rumah, ia terkejut melihat seseorang berambut sepunggung tengah duduk di sofa ruang tamu sembari memperhatikan sebuah bunga plastik di dalam vas di atas meja. Ia seperti ingin menyentuhnya, namun enggan. Berkali-kali tangannya hendak menyentuh, namun ia kembali menarik tangannya."Apa bunga itu sangat menarik bagimu, sehingga kau ingin menyentuhnya tanpa seizin ku?" tanya Arjun sembari berjalan menghampiri Fallen yang posisinya membelakanginya, sehingga wajahnya tidak terlihat.Mendengar hal itu, Fallen langsung berdiri tanpa berbalik. Wajahnya menjadi tegang, ia terus menyembunyikan tangannya di belakang tubuhnya."Kau kira kau siapa sehing,,,,," Ucapan Arjun terhenti setelah ia melihat wajah Fallen yang kini tampak berbeda.Tidak ada wajah pucat seperti hantu, karena saat ini wajahnya sudah dilapisi oleh bedak dan li
Seminggu telah berlalu. Kaki Fallen sudah pulih, sehingga pagi ini,,,,,,Byurrrrrr. Seember air tumpah ruah di atas ranjang yang ditiduri Fallen. Ia pun langsung terbangun dengan ekspresi gelagapan. Ia seperti tenggelam di atas ranjang besar tersebut."Dasar pemalas!" Arjun meneriaki Fallen yang masih mengumpulkan kesadarannya.Fallen mengusap wajahnya. Membiarkan sisa air dari wajahnya jatuh ke bawah. Ia melihat ke arah jendela, ternyata sudah hampir siang.Ia mengutuk dirinya sendiri karena bergadang membaca buku hingga subuh. Setelah melaksanakan sholat subuh, ia tertidur hingga sekarang, jam sebelas siang.Kenapa Arjun masih ada di rumah di jam itu, karena ini adalah hari Minggu."Ma-maafkan saya, Tuan. Saya akan membersihkan ranjang ini." Fallen bangkit dari posisinya, lalu berdiri hendak membersihkan ranjang yang sudah banjir itu."Sudah, tidak u
Sore hari pun tiba. Saat ini, adalah saat yang paling di tunggu Fallen. Bagaimana tidak? Ia akan menyaksikan matahari terbenam secara langsung. Ia sudah membersihkan diri di hotel, lalu kembali ke pantai untuk menyaksikan saat-saat matahari terbenam.Ia sudah berdiri menghadap arah matahari, melihat waktu di mana mataharimenghilang di bawah gariscakrawala di sebelah barat.Setelah menyaksikan peristiwa indah itu, ia menyeka sudut matanya. "Ternyata dia sangat indah.""Menurut ku tidak.""Mana mungkin, matahari yang,,,,,," Fallen menghentikan ucapannya saat menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya yang menyaksikan matahari yang terbenam itu. Ia menoleh ke sumber suara dan terkejut melihat keberadaan Arjun di belakangnya."Tu,,Tuan.""Ternyata kau kesini hanya untuk melihat peristiwa membosankan ini?" Arjun menatap heran."