Jihan pulang sehabis pertemuannya dengan Liam. Namun, Bian sudah menunggunya dengan berdiri di bawah tangga, di mana tangannya masuk ke dalam saku. Bian menatap tajam pada Jihan yang hanya menyapanya dengan senyum manis seperti biasa.
"Halo, Mas. Tumben kau sudah di rumah. Ada yang ketinggalan?" Jihan mendekati Bian dan ingin mengecup pipi suaminya. Namun Bian menepis perlakuan itu.Senyum Jihan memudar dan menatap Bian penuh tanya."Habis darimana kau?""Aku keluar sebentar. Ada keperluan sedikit, Mas.""Kenapa tidak mengatakan langsung kalau kau bertemu dengan Liam?""Ah, ummm, iya. Aku bertemu dengannya," tutur Jihan sedikit ragu."Kenapa kau gugup? Apa ada yang salah dengan pertemuanmu dan Liam tadi? Mengapa harus kau sembunyikan? Mengapa kau tidak mengatakan padaku ingin pergi kemana? Kau biasanya selalu mengabariku kemana pun kau pergi." Bian mencecarnya tanpa bisa disela oleh Jihan."Maaf, Mas. PertemBian pulang malam itu sekitar jam sebelas malam lewat. Ia berjalan sempoyongan sembari memegangi kepalanya. Dasinya tidak tersimpul dengan rapi lagi. Jasnya pun tidak terkancing lagi. Bian melangkah sembari berpegangan pada dinding dan susah payah menuju kamar. Sedangkan Jihan belum juga bisa memejamkan matanya. Kepalanya dipenuhi oleh pikiran yang berkecamuk. Setelah Bian tidak pulang untuk makan malam, Jihan langsung membuang semua makanan yang sudah ia masak. Jihan langsung mengganti pakaiannya dan menghapus dandanannya. Ia merasa segala yang ia lakukan disia-siakan. Setelahnya, jadilah Jihan hanya gelisah di tempat tidur. Meski isi kepalanya begitu melilit, tetap saja rasanya ia susah untuk tertidur. Namun, waktu itu pintu kamar terbuka keras. Meski penerangan sudah Jihan matikan dan cahaya hanya berasal dari lampu tidur, ia bisa melihat jelas siluet Bian mendekat ke arahnya. Jihan yang tadinya marah, kesal, dan jengkel, mendadak sirna set
Bian masih merasakan sakit pada kepalanya ketika ia membuka mata pagi itu. Bian meraba-raba ke sekitarnya mencari telepon genggamnya. Akan tetapi ia tak menemukannya. Maka Bian mengulet lebih dulu sebelum akhirnya ia bangkit dan menemukan benda yang ia cari terkapar begitu saja di lantai. Bian turun dari tempat tidur dan memungutnya. Bian sempat heran melihat seluruh pakaiannya berceceran di lantai. Namun Bian lebih dulu mengaktifkan ponselnya yang sempat mati. Bian sekali lagi memindai ke tempat tidurnya yang berantakan. Bian mencium sisa-sisa bau alkohol yang akhirnya mengingatkannya akan acara pestanya bersama para petinggi perusahaan yang lain. Acara yang awalnya hanya pesta biasa, berujung dengan kegilaan yang hampir membuat Bian lepas kendali. Untung saja salah seorang temannya mengajaknya pulang meski sama-sama sempoyongan. Mereka memesan sopir sewaan untuk mengantar mereka pulang. Setelah itu, Bian lupa sama sekali dengan apa yang terjadi. Bian
"Harusnya kau merasakan rasa takut ini lebih awal," sambung Nevan lagi. Nevan tidak bisa memberi tips apapun karena menurutnya Bian harus menikmati rasa sesalnya dulu. Nevan sudah lebih dari cukup menasehati Bian agar tahu kapan ia harus berhenti. Bian tenggelam dalam pikiran keruhnya. Baru satu hari, ia tidak melihat Jihan, rasanya sudah sekacau ini, padahal sebelum ini, ia tidak merasa begitu harus melihat entitasnya.Karena dirasa bertemu Nevan tidak banyak membantu, Bian memilih pulang dan itu semakin menambah rasa sesak di dadanya. Bian duduk termenung di dapur. Melihat ke arah meja yang sering Jihan gunakan untuk memasak. Dapur tersebut seperti tidak memiliki kehidupan. Bian menatap tak selera pada meja makan yang sudah juru masak siapkan hari itu. Bian memasuki kamar yang masih berantakan. Para pelayan tidak berani masuk ke kamar Tuan dan Nyonya mereka jika tidak ada perintah lebih dulu. Bian masih bisa mencium bau habis bercinta sisa semalam. Bian melepas seprei dan selimu
Cuaca pagi itu sebenarnya bagus. Namun tidak berpengaruh apa-apa untuk Bian. Lelaki itu duduk membeku di tepi tempat tidurnya seolah-olah dunia sudah melemparnya jauh ke universe lain. Bian menangis tanpa ekspresi sama sekali. Wajahnya hanya diam dengan air mata yang turun ke pipi.Bian tetap pada posisi demikian sampai sebuah suara mengejutkannya. Bian menoleh pada pintu yang diketuk pelan dan suara yang ia kenali memanggil namanya dengan sopan. Bian menyeka air mata sebelum beranjak menuju pintu. Bian membuka pintu dan menemukan Joanna yang berusaha mengatur ekspresi wajahnya agar tidak tampak terlalu kaget akibat melihat bosnya hanya mengenakan celana kolor pendek sepaha dan kaos putih polosnya. "Selamat pagi, Pak.""Selamat pagi, Joanna. Sedang apa kau di sini hari minggu? Bukankah harusnya kau libur?" Joanna berusaha keras menyembunyikan semburat merah di pipinya akibat masih menahan rasa hebohnya melihat penampilan bosnya yang di
"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Joanna."Entah sudah berapa kali Bian mengatakan satu baris pengakuan paling jujur dalam hidupnya tersebut. Bian juga kaget, mengapa dirinya malah dituduh main serong dengan Joanna? Bukankah awalnya permasalahan mereka bukan ini? "Sayang, bagaimana kalau kita duduk dulu? Kita perlu bicara." Bian ingin menggandeng Jihan untuk membawanya mengobrol empat mata di bangku terdekat. Akan tetapi, Jihan menolak disentuh Bian. Bian tercekat dan langsung ingat kalau Jihan masih ketakutan. Jihan perlahan mundur hingga mendekati Kalista yang sejak tadi duduk di bangku di sekitar sana sembari mengipasi dirinya yang sekarang gampang berkeringat. "Jihan, aku mohon untuk kali ini. Mari kita bicara.""Tidak mau, Mas. Mas tidak mencintaiku lagi. Yang Mas katakan di chat itu pasti bohong. Hati Mas Bian ternyata mudah bercabang. Aku tidak bisa hidup bersama lelaki pembohong dan playboy seperti Mas."Bian meme
Liam menjemput Kalista dari kediaman orang tua Bian. Ketika Kalista baru saja duduk dan memasang sabuk pengaman, ia langsung mengutarakan apa yang ada di kepalanya. "Sayang, Jihan meminta pisah dari Bian." Ekspresi Kalista tampak khawatir dan kalut. Kalista memperhatikan Liam dan mengernyit seketika, karena kekasihnya tersebut tampak biasa saja. "Liam, apa kau mendengar apa yang ku katakan barusan?" Kalista memastikan sekali lagi.Liam mengangguk. "Lalu mengapa kau tidak merespon dan tampak biasa saja? Padahal aku sedang menceritakan tentang Jihan yang meminta cerai dari Bian." "Sayang, aku harus memberikan respon seperti apa kira-kira? Mungkin batas kesabaran Jihan sudah habis. Dan perceraian memang jalan yang paling mungkin dari hubungan mereka." Liam memang benar. Akan tetapi Kalista tetap risau. Apalagi pemicu itu semua terjadi adalah karena Bian yang mengejar-ngejar dirinya. "Tapi aku tidak enak. Semua itu terjadi, pemicunya karena aku. Aku merasa merusak rumah tangga merek
Rikki yang tadinya ingin menemui entah itu Jihan atau Bian, malah hampir bertabrakan dengan Bian yang tampak kusut. Rikki memperhatikan Bian dengan mulut terbuka. Bian tampak menyeka air matanya terburu-buru. Bian ingin menghindari Rikki, tetapi Rikki malah mendekat. "Bian.""Aku bisa minta tolong?" suara Bian terdengar serak. Rikki menjadi semakin prihatin. Pasti Bian sudah terlalu banyak menangis, pikirnya. "Iya, bisa." Rikki tidak pernah seyakin ini untuk menolong orang lain. Ia tidak tega bila harus berkata tidak pada orang yang sedang hancur hatinya. Bahkan semisal Bian memintanya menguras air laut, mungkin Rikki akan mengiyakan juga "Tolong, jadi supir sementara untukku." Bian menyerahkan kunci mobilnya ke telapak tangan Rikki. Rikki yang memang sudah bersedia pun, mengantar Bian entah kemana. Rikki bertanya dua kali, tetapi Bian tidak menjawab. Maka Rikki pun menyetir mobil Bian dengan modal suka-suka saja yang pentin
"Val, ini tidak berlebihan? Bukannya kau sudah tidak punya aset?"Liam mengendikkan bahu, "Emmm, bagaimana, ya? Ayahku memang tidak ada membahas soal aset. Namun, jika maksudnya kau heran darimana aku punya uang untuk membeli rumah ini, ya ... karena aku punya."Kalista yang tidak mengerti hanya bisa bengong. Banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan Kalista. Hanya saja Kalista juga tidak tahu harus menanyakan apa. Maka Liam yang dapat membaca sirat kebingungan itu di wajah kekasihnya pun, sekali lagi mencoba menjelaskan. "Kalista, mengapa ketika ancaman angkat kaki dilayangkan untukku, aku terlihat baik-baik saja? Mengapa ketika ayah mengancamku tidak akan memberikanku hartanya, aku juga biasa saja? Karena aku memanfaatkan waktuku dengan baik untuk mengumpulkan bekal apabila semua itu terjadi. Aku tidak memprediksi sebenarnya. Hanya saja kau tahu sendiri kalau aku terpaksa bekerja sebagai pengusaha. Namun, di sisi lain biar terpaksa, aku tidak b