"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Joanna."
Entah sudah berapa kali Bian mengatakan satu baris pengakuan paling jujur dalam hidupnya tersebut. Bian juga kaget, mengapa dirinya malah dituduh main serong dengan Joanna? Bukankah awalnya permasalahan mereka bukan ini?"Sayang, bagaimana kalau kita duduk dulu? Kita perlu bicara." Bian ingin menggandeng Jihan untuk membawanya mengobrol empat mata di bangku terdekat.Akan tetapi, Jihan menolak disentuh Bian. Bian tercekat dan langsung ingat kalau Jihan masih ketakutan. Jihan perlahan mundur hingga mendekati Kalista yang sejak tadi duduk di bangku di sekitar sana sembari mengipasi dirinya yang sekarang gampang berkeringat."Jihan, aku mohon untuk kali ini. Mari kita bicara.""Tidak mau, Mas. Mas tidak mencintaiku lagi. Yang Mas katakan di chat itu pasti bohong. Hati Mas Bian ternyata mudah bercabang. Aku tidak bisa hidup bersama lelaki pembohong dan playboy seperti Mas."Bian memeLiam menjemput Kalista dari kediaman orang tua Bian. Ketika Kalista baru saja duduk dan memasang sabuk pengaman, ia langsung mengutarakan apa yang ada di kepalanya. "Sayang, Jihan meminta pisah dari Bian." Ekspresi Kalista tampak khawatir dan kalut. Kalista memperhatikan Liam dan mengernyit seketika, karena kekasihnya tersebut tampak biasa saja. "Liam, apa kau mendengar apa yang ku katakan barusan?" Kalista memastikan sekali lagi.Liam mengangguk. "Lalu mengapa kau tidak merespon dan tampak biasa saja? Padahal aku sedang menceritakan tentang Jihan yang meminta cerai dari Bian." "Sayang, aku harus memberikan respon seperti apa kira-kira? Mungkin batas kesabaran Jihan sudah habis. Dan perceraian memang jalan yang paling mungkin dari hubungan mereka." Liam memang benar. Akan tetapi Kalista tetap risau. Apalagi pemicu itu semua terjadi adalah karena Bian yang mengejar-ngejar dirinya. "Tapi aku tidak enak. Semua itu terjadi, pemicunya karena aku. Aku merasa merusak rumah tangga merek
Rikki yang tadinya ingin menemui entah itu Jihan atau Bian, malah hampir bertabrakan dengan Bian yang tampak kusut. Rikki memperhatikan Bian dengan mulut terbuka. Bian tampak menyeka air matanya terburu-buru. Bian ingin menghindari Rikki, tetapi Rikki malah mendekat. "Bian.""Aku bisa minta tolong?" suara Bian terdengar serak. Rikki menjadi semakin prihatin. Pasti Bian sudah terlalu banyak menangis, pikirnya. "Iya, bisa." Rikki tidak pernah seyakin ini untuk menolong orang lain. Ia tidak tega bila harus berkata tidak pada orang yang sedang hancur hatinya. Bahkan semisal Bian memintanya menguras air laut, mungkin Rikki akan mengiyakan juga "Tolong, jadi supir sementara untukku." Bian menyerahkan kunci mobilnya ke telapak tangan Rikki. Rikki yang memang sudah bersedia pun, mengantar Bian entah kemana. Rikki bertanya dua kali, tetapi Bian tidak menjawab. Maka Rikki pun menyetir mobil Bian dengan modal suka-suka saja yang pentin
"Val, ini tidak berlebihan? Bukannya kau sudah tidak punya aset?"Liam mengendikkan bahu, "Emmm, bagaimana, ya? Ayahku memang tidak ada membahas soal aset. Namun, jika maksudnya kau heran darimana aku punya uang untuk membeli rumah ini, ya ... karena aku punya."Kalista yang tidak mengerti hanya bisa bengong. Banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan Kalista. Hanya saja Kalista juga tidak tahu harus menanyakan apa. Maka Liam yang dapat membaca sirat kebingungan itu di wajah kekasihnya pun, sekali lagi mencoba menjelaskan. "Kalista, mengapa ketika ancaman angkat kaki dilayangkan untukku, aku terlihat baik-baik saja? Mengapa ketika ayah mengancamku tidak akan memberikanku hartanya, aku juga biasa saja? Karena aku memanfaatkan waktuku dengan baik untuk mengumpulkan bekal apabila semua itu terjadi. Aku tidak memprediksi sebenarnya. Hanya saja kau tahu sendiri kalau aku terpaksa bekerja sebagai pengusaha. Namun, di sisi lain biar terpaksa, aku tidak b
("Ingin menghadiri pesta pernikahan sekretaris kesayangan.")Jihan tersenyum membaca postingan Bian. Pasti Bian memberi kode meminta tolong untuk disarankan sebuah outfit pergi ke pernikahan Joanna. Maka yang Jihan lakukan adalah mengunggah satu foto yang menampilkan seorang model yang mengenakan tuxedo, yang dirasanya sangat cocok untuk Bian. Jihan tersenyum sekitar setengah jam kemudian. Bian menggunggah fotonya yang sudah berpakaian lengkap. Jihan menyimpan foto Bian tersebut dan menggabungkannya di sebuah folder khusus yang semuanya berisi foto Bian mengenakan outfit formal dengan style persis seperti yang dikode dirinya lewat story whatsapp."Sampai kapan kalian cuma saling kode seperti itu? Coba say hello di chat pribadi," celetuk Rikki yang kala itu menjadi supir dadakan Jihan yang baru tiba di tanah air kembali setelah liburan hampir satu bulan di benua Eropa. "Em? Apanya?" ujar Jihan yang berlagak tidak mengerti maksud Theo. Rikki tersenyum kecut, "Ckckckck, kau kira kita
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu