"Kal, berhenti. Aku mohon berhenti," ucap Liam yang es krimnya masih utuh dan belum dibuka, karena ia sejak tadi memperhatikan Kalista yang menjilati es krimnya.
Ampuni pikiran kotor Liam yang malah membayangkan hal sensual pada Kalista. Liam ingin menampar dirinya sendiri, karena bisa-bisanya berpikiran pervert kepada temannya sendiri."Kenapa, Val? Kau tidak suka rasa vanilla, ya?" tanya Kalista yang merasa tidak enak, karena es krim coklatnya sudah ia makan. Kalista menduga bila Liam ingin bertukar rasa es krim."Su-suka. Aku suka es krim vanilla." Liam mendadak gugup. Jakunnya bergerak naik turun. Kemudian ia meletakkan es krim di dashboard dan menyalakan mesin mobil."Kita berbagi es krim saja."Usulan Kalista malah semakin membuat Liam gugup. Kalista menyodorkan es krim coklat yang tadi sudah dijilatinya ke hadapan Liam yang menyetir dengan kecepatan sedang.Liam memperhatikan jalanan dan es krim di hadapannya bergantLiam yang biasanya menebar senyum saat memasuki gedung perusahaan Glitz Chemical, hari itu, Liam hanya bisa menunjukkan eskpresi datar. Para karyawan melihatnya demikian. Bahkan banyak yang menebak-nebak bila Liam sedang dalam perasaan tidak bagus. Ketika Liam sudah tiba di ruang kerjanya dan mencoba memulai pekerjaannya. Liam tidak berkonsentrasi sama sekali. Laki-laki itu memukul-mukul pelan keningnya ke permukaan meja untuk mengenyahkan segala pemikiran joroknya tentang Kalista. "Aku bisa gila bila begini terus."Maka Liam berdiri dan keluar dari ruangannya. Laki-laki itu menuju tempat berkumpulnya para office boy dan mengambil alat kebersihan kemudian ia bawa entah kemana. Sontak saja semua office boy yang ada di tempat terkejut. Karena tak ingin merasa tidak bisa diandalkan, satu per satu dari mereka meminta Liam untuk menyebutkan ruangan mana yang harus mereka bersihkan. Jadi Liam tidak perlu bersusah payah mengangkut alat kebersihan sendiri.
Malam itu, sepertinya malam terbaik bagi Saddam, karena putranya yang dikenal sangat tidak terbuka padanya, tiba-tiba saja mengungkapkan isi hatinya panjang lebar. Saddam terdiam seraya berpikir bila putranya sudah besar. Sudah pandai mengambil keputusan terbaik dalam hidupnya sendiri. Lantas dirinya merasa bodoh, karena malah mendorong Liam seperti barang dagangan kepada rekan-rekan bisnisnya agar menjadikan putranya seorang menantu di tengah keluarga besar mereka. Lantas Saddam penasaran akut dengan maksud segala tutur Liam tentang seseorang yang berhasil membuat anaknya menggila selama seminggu penuh ini."Kau tidak akan menyukainya ayah. Bukan hanya itu, sepertinya dia juga akan menolakku," ungkap Liam yang menyerah duluan sebelum berjuang. Saddam mencelos hatinya. Rasanya sedih menjadi seorang ayah yang tidak bisa mewujudkan keinginan sang anak. Yeah, Liam memang sudah sering ditolak selama kencan buta. Para gadis itu berpendapat
Margareth dan Nicholas datang ke perusahaan siang itu dan langsung menghadap Bian. Margareth langsung saja menanyai Bian perihal Jihan yang ngambek, karena tidak diantar periksa kandungan. "Bian, ibu tahu dan mengerti jika kau itu sibuk. Ibu juga mengerti sekali bila seorang suami itu bekerja keras sampai lelah dan tak kenal waktu untuk mencari nafkah bagi anak istri. Namun, sebagai sesama perempuan, ibu mohon untuk meluangkan waktu pada Jihan. Tidak sampai satu jam, Nak. Kau bisa meminta jadi daftar pasien prioritas, sehingga tidak perlu mengantri. Jadi tidak banyak membuang waktumu. Selama ditinggalkan, minta saja pada Liam sebentar untuk menghandle yang ada. Yeah, walaupun ibu tidak begitu sreg padanya, tapi kinerja dia nyatanya bukan kaleng-kaleng." Tuh, kan! Rupanya Jihan mengadu. Tentu saja ibu dan ayahnya akan lebih memihak si menantu kesayangan. "Perempuan hamil itu memang manja dan mood swing parah. Jihan itu masih mending. Dulu ibumu
"Ciyee, ada jadwal kencan di hari minggu, nih!" Merry ternyata tak sengaja mengintip chat Kalista dan Liam. Kalista langsung meletakan ponselnya dengan layar menungkup ke permukaan meja. Kalista tidak suka, bila ada yang melihat isi ponselnya. Dan jelas tindakan Merry tadi diluar batas. Namun Kalista tidak langsung protes dengan mengomel, melainkan hanya diam dengan tangan mengepal di bawah meja. "Aku jadi ikut senang. Setidaknya ada laki-laki yang menerima keadaanmu yang sekarang," celetuk Merry sebelum menyesap kopinya. Merry tahu tentang Kalista yang berbadan dua. Syukurlah, Merry tidak bertanya apa-apa soal itu. Namun untuk sekarang, Kalista harus meluruskan anggapan Merry. Merry tidak boleh seperti Nanda yang mengira bila Liam dan dirinya ada hubungan spesial. "Dia hanya temanku. Bukan siapa-siapa." Jawaban itu hanya ditanggapi senyum tipis oleh Merry. Kalista pun memilih untuk kembali bekerja. Ia harus menyunting naskah genre erotika milik seseorang yang bernama pena Istr
Bian langsung menerobos masuk tanpa permisi ke ruangan Liam. Liam yang melihat kedatangan sang sepupu dalam keadaan kedua tangan terkepal dan napas memburu, seketika penasaran. "Liam, jawab aku. Apakah Kalista sedang hamil?"Liam menjatuhkan pulpen yang ia pegang sedari tadi. Kedua bibirnya terbuka dengan raut wajah yang jelas penuh pertimbangan. "Jawab aku. Jawab, Lian!" Akhirnya Bian berteriak. Liam berusaha untuk tetap tenang. Ia katupkan kembali kedua bibirnya dan memungut pulpennya yang jatuh. "Iya. Dia hamil," jawab Liam. Bian mencengkeram tepian meja dengan bulir air mata yang kembali turun. "Apa itu anakku?" tanya Bian sekali lagi dengan sedikit suara gemetar. "Memangnya mengapa? Jangan katakan bila kau ingin membujuknya lagi untuk rujuk. Well, dia sudah sangat bahagia tanpamu." Sorot mata Liam tajam menatap obsidian sayu milik Bian yang begitu putus asa. "Jika itu anakku, artinya ketika sedang cerai berlangsung, dia sedang hamil. Aku ingin bertanggung jawab pada darah
Hari minggu jam dua siang saat itu, sesuai janji, Liam dan Kalista pergi membeli sabun. "Oke. Elit sekali kita membeli sabun cuci saja harus ke mall," seloroh Kalista yang berjalan disamping Liam. "Kal, pegang lenganku. Ibu hamil jangan berjalan tanpa pegangan." Liam mempersilakan Kalista memegangi lengannya. Kalista pun melakukannya, karena ia tidak merasa percaya diri berjalan bersisian. Ditambah sudah lama tidak ke mall, maka Kalista khawatir akan tersesat, meski sebenarnya itu semua tidak ada kemungkinan terjadi. "Mau makan dulu, Kal? Isi bensin dulu biar bumil kuat," ajak Liam yang langsung dianggukki persetujuan dari Kalista. Meski Kalista sudah makan di rumah, tetap saja Kalista tidak akan menolak bila ditawari makan lagi. Ayolah, Shooky butuh asupan yang melimpah di dalam sana! "Jangan makan ini," ujar Liam menunjuk sushi dengan matanya. Kalista hanya tersenyum manis, karena ia sudah tahu bila wanita hamil seperti dirinya harus mengonsumsi makanan matang. "Kal, kenapa
Jihan memandang penuh tanda tanya pada Liam yang menggenggam erat jemari Kalista. Tidak sampai disitu, Jihan juga bertanya-tanya, mengapa Liam dan Kalista keluar dari toko perlengkapan bayi? Lalu, tatapan penuh selidik Jihan turun pada perut Kalista yang membucit. Jihan tidak bodoh untuk menyimpulkan bila Kalista sama-sama berbadan dua seperti dirinya. Namun Kalista hamil anak siapa? Dilihat dari ukuran perutnya, itu bukan kehamilan trimester pertama. Kemungkinan besar trimester kedua, pikir Jihan. Apakah mungkin anak Bian? Tapi, benarkah? Bian sama terpakunya ketika menatap Liam yang berani-beraninya menggenggam tangan Kalista. Jelas Bian tidak suka, tetapi ia sadar untuk tidak langsung memisahkan keduanya. Jika melihat kedekatan Liam dan Kalista secara langsung seperti sekarang, mendadak saja, Bian mengingat perkataan Nevan di chat tempo hari. Apakah benar Liam dan Kalista sudah berpacaran? Sejak kapan? Apa benar sebelum ia dan Kalista bercerai? Oh, t
Kalista dan Liam sudah tiba di depan loket. "Kau tunggu di sini," pinta Liam yang dengan berat hati melepaskan gandengannya. Liam mengerti bila suasana hati dan pikiran Kalista sedang kacau. Semoga saja dengan mengajaknya menonton film, Kalista akan sedikit membaik. Setelah selesai mengurus berbagai macam tetek bengeknya, Liam pun menuntun Kalista ke studio pemutaran film dan memilih tempat duduk yang tidak dekat dengan speaker. Selain itu, Liam juga memilih film yang bertema ringan dan sederhana. Mengingat Kalista yang sedang hamil, tentu Liam tidak ingin wanita itu tiba-tiba shock atau bahkan pingsan lagi bila dipilihkan film yang ada jumpscare-nya. "Kal, semoga filmnya bisa menghiburmu. Maaf atas kejadian tadi. Andai aku tidak merengek pada penjaga toko untuk menukar warna pakaian, pasti kita ke sini lebih cepat sehingga tidak harus bertemu dengan Jihan dan Bian.""Val, jangan meminta maaf." Kalista merasa tidak enak sekali lagi de
Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y