Jihan memandang penuh tanda tanya pada Liam yang menggenggam erat jemari Kalista. Tidak sampai disitu, Jihan juga bertanya-tanya, mengapa Liam dan Kalista keluar dari toko perlengkapan bayi? Lalu, tatapan penuh selidik Jihan turun pada perut Kalista yang membucit.
Jihan tidak bodoh untuk menyimpulkan bila Kalista sama-sama berbadan dua seperti dirinya. Namun Kalista hamil anak siapa? Dilihat dari ukuran perutnya, itu bukan kehamilan trimester pertama. Kemungkinan besar trimester kedua, pikir Jihan. Apakah mungkin anak Bian? Tapi, benarkah?Bian sama terpakunya ketika menatap Liam yang berani-beraninya menggenggam tangan Kalista. Jelas Bian tidak suka, tetapi ia sadar untuk tidak langsung memisahkan keduanya. Jika melihat kedekatan Liam dan Kalista secara langsung seperti sekarang, mendadak saja, Bian mengingat perkataan Nevan di chat tempo hari.Apakah benar Liam dan Kalista sudah berpacaran? Sejak kapan? Apa benar sebelum ia dan Kalista bercerai? Oh, tKalista dan Liam sudah tiba di depan loket. "Kau tunggu di sini," pinta Liam yang dengan berat hati melepaskan gandengannya. Liam mengerti bila suasana hati dan pikiran Kalista sedang kacau. Semoga saja dengan mengajaknya menonton film, Kalista akan sedikit membaik. Setelah selesai mengurus berbagai macam tetek bengeknya, Liam pun menuntun Kalista ke studio pemutaran film dan memilih tempat duduk yang tidak dekat dengan speaker. Selain itu, Liam juga memilih film yang bertema ringan dan sederhana. Mengingat Kalista yang sedang hamil, tentu Liam tidak ingin wanita itu tiba-tiba shock atau bahkan pingsan lagi bila dipilihkan film yang ada jumpscare-nya. "Kal, semoga filmnya bisa menghiburmu. Maaf atas kejadian tadi. Andai aku tidak merengek pada penjaga toko untuk menukar warna pakaian, pasti kita ke sini lebih cepat sehingga tidak harus bertemu dengan Jihan dan Bian.""Val, jangan meminta maaf." Kalista merasa tidak enak sekali lagi de
"Pasti banyak orang yang tidak percaya bila laki-laki sepertimu tidak pernah berciuman," ujar Kalista yang semakin membuat Liam menciut. Tidak pernah rasanya Liam merasa malu hanya karena perihal pernah berciuman atau tidak selama hidupnya. Sedangkan Kalista malah tampak santai saja dan masih mengunyah pop corn-nya. "Memangnya aneh ya kalau ada manusia dewasa yang belum pernah berciuman?" "Tentu tidak. Kalau aku jodohmu, aku akan sangat senang bila mendapatkan suami sepertimu. Sudah tampan, baik hati, tidak pernah disentuh wanita lain lagi. Mungkin kau definisi lelaki idaman yang sebenarnya." Kalista terkekeh pada akhirnya. Tanpa ia sadari, lelaki di sampingnya menyembunyikan semburat merah pada pipinya. Liam rasanya ingin berguling-guling di tangga saking senangnya. Liam merasa ketularan jatuh cinta seperti kedua mantan suami Kalista. "Aku jadi penasaran, siapa jodohmu. Aku jadi ingat Likha. Kau mau tahu rahasia, tidak?"
"Val, terima kasih. Tidak menyangka kita malah keterusan jalan sampai malam." Mereka sudah tiba di kediaman Kalista. Liam juga diajak mampir, karena dibujuki Kalista untuk makan sate telur puyuh, makanan yang Kalista beli saat tak sengaja melihat angkringan tepi jalan ketika dalam perjalanan pulang. "Apa sungguh tidak masalah bila aku mampir? Siapa tahu kau tidak terima tamu di malam hari.""Kau bukan tamu. Kau itu temanku, Val. Lagipula sebentar lagi hujan. Aroma basah sudah tercium. Jadi lebih baik mampir dulu menemaniku makan sate telur puyuh." Kalista menutup pintu kemudian meletakkan sate telur puyuhnya di atas meja makan. Liam mengambil piring kosong di kabinet dapur dan membuka bungkusan plastik sate telur puyuhnya untuk dihidangkan. "Aku tinggal sebentar dulu. Aku ingin buang air kecil," ucap Kalista yang setelah kembali sudah mengenakan setelan baju tidur lucu bermotif biskuit coklat yang tertawa lebar hingga satu gigi besarn
Hujan deras dan angin kencang di luar semakin menderu ribut. Bahkan petir semakin sering menggema. Akan tetapi, Kalista tidak takut lagi. Berada di pelukan Liam adalah rasa aman yang sesungguhnya. ***Aroma petrikor selalu membuat rileks bagi mereka yang menyukainya. Namun, aroma itu tidak bisa dirasakan oleh kedua insan yang berpelukan di tempat tidur dengan hanya selimut yang menutupi tubuh keduanya. Kalista membuka matanya lebih dulu. Tentu pemandangan yang ia tatap pertama kali adalah wajah rupawan Liam yang malam tadi terlihat seratus kali lebih tampan dari biasanya. Jemari Kalista menelusuri garis rahang Liam yang ditumbuhi bulu-bulu tipis yang memberikan sensasi menggelitik nikmat ketika bersentuhan dengan gundukan dadanya malam tadi. Masih terbayang betapa lembutnya Liam memperlakukannya malam tadi. Ditambah setiap pujian yang ia lontarkan, semakin membuat Kalista lupa bila dirinya sedang berhubungan
Mengapa malah Kalista yang lebih dulu mengajaknya menikah? Bukankah harusnya dirinya yang melamar lebih dulu? Mengapa Liam rasanya selalu kalah start dari Kalista? Bahkan berciuman saja, juga Kalista yang memulai. Melihat ekspresi Liam, malah membuat Kalista mencubit pipinya hingga Liam mengaduh kesakitan. "Val, aku boleh bertanya?" Liam menyimak dengan baik, apapun pertanyaan yang akan diberikan oleh Kalista, akan berusaha Liam jawab. "Kita ini apa? Setelah yang kita lalui sebelum ini, status hubungan kita apa?" Liam terdiam. Ia pikir sekarang dirinya dan Kalista adalah sepasang kekasih. Bukankah sudah jelas dengan apa yang dikatakannya berulang kali di tengah pergelutan tempat tidur malam tadi? "Kita pacaran." Liam menyebutkannya hati-hati sekali. Mengapa rasanya aneh mengatakan ini? Apalagi melihat ekspresi Kalista yang seperti tampak kecewa? Apa jawabannya salah? Liam kembali berpikir. Apa Kalista in
"Maafkan aku. Maaf, karena tidak ada kabar seharian. Aku benar-benar tenggelam dalam pekerjaanku kali ini. Bahkan aku tidak sempat memeriksa ponselku."Kalista sebenarnya tahu kalau Liam sangat sibuk. Bahkan ia tidak masalah diabaikan. Karena Kalista tahu kalau diabaikan versi Liam bukan abai yang sesungguhnya. Kalista mengerti betul bila pekerjaan Liam tidak bisa disambi dengan bertukar chat apalagi sambil melakukan video call. Namun, melihat sikap Liam sekarang yang datang-datang langsung meminta maaf berulang kali, membuat Kalista merasa berharga. Menurut Kalista, harusnya Liam pulang dulu ke rumah untuk mandi dan ganti pakaian. Tapi pemuda itu malah memilih menemuinya lebih dulu. Ternyata begini rasanya menjadi prioritas, pikir Kalista. "Aku paham, kok. Aku tidak marah. Terlihat jelas dari wajahmu kalau kau benar-benar lelah. Ayo, masuk! Makan malam dulu sebelum pulang." Kalista menarik tangan Liam agar cepat masuk ke dalam. Sebenarnya Liam ingin menolak, karena ia takut keja
"Mas, aku masih ingat dengan jelas saat kau mengatakan bila kunci keberhasilan pasangan suami istri itu adalah komunikasi. Namun keadaan kita sekarang ini terasa sekali kurangnya. Quality time kita berkurang banyak, bahkan nyaris tidak ada. Kita sudah tidak pernah mengobrol dari hati ke hati. Kau terkesan menghindariku dengan menyibukkan diri pada pekerjaan. Kau dulu tidak pernah sampai mengabaikanku meskipun pekerjaanmu menggunung. Dan kau malam tadi menyuruhku menjauh dengan dalih agar aku tidak kau jadikan pelampiasan amarah." Jihan menghela napas panjang," Semakin hari, aku semakin tidak mengenalimu. Suami yang menikahiku dulu adalah lelaki yang hangat, pengendalian emosinya bagus, dan selalu menjaga perasaanku. Dia tidak pernah meninggikan suaranya meski semarah apapun.""Mas, tatap mataku sebentar. Aku mohon." Bian sedari tadi menunduk di meja makan. Sarapan yang mereka hadapi tidak tersentuh. Sebelum ini, mereka tidak pernah membahas masalah rumah tangga di meja makan. Namun
Bian berlari dengan sedikit kepayahan akibat menyeret kakinya yang nyeri sebelah dan memegangi tangan kirinya yang memiliki luka kecil. Ia harusnya tidak diperbolehkan ke mana-mana setelah selesai dirawat di IGD. Namun, setelah mendapat telepon dari rumah bahwa Jihan terjatuh dari tangga, sukses membuat dirinya panik bukan main. Pandangannya mengabur oleh air mata bercampur keringat. Rasa khawatirnya menghantui lebih dari apapun. Margareth dan Nicholas menenangkan Bian, karena Jihan masih ditangani di meja operasi. "Bayi...." ucapnya lirih. Nicholas memeluk putranya, berusaha mentransfer rasa sabar yang sebenarnya sia-sia. Segala pikiran negatif, berkecamuk begitu saja. Rasa bersalah Bian menjadi-jadi dikala ingat, jika ia meninggalkan istrinya dalam keadaan yang tidak bisa dikatakan damai. Mereka berseteru dingin. Bian yang kepalanya hanya dipenuhi oleh Kalista, lantas tega mengabaikan sang istri yang sebenarnya membutuhkan perhatiannya. Sekarang, nyawa istri dan bayinya dipertar