"Mas, aku masih ingat dengan jelas saat kau mengatakan bila kunci keberhasilan pasangan suami istri itu adalah komunikasi. Namun keadaan kita sekarang ini terasa sekali kurangnya. Quality time kita berkurang banyak, bahkan nyaris tidak ada. Kita sudah tidak pernah mengobrol dari hati ke hati. Kau terkesan menghindariku dengan menyibukkan diri pada pekerjaan. Kau dulu tidak pernah sampai mengabaikanku meskipun pekerjaanmu menggunung. Dan kau malam tadi menyuruhku menjauh dengan dalih agar aku tidak kau jadikan pelampiasan amarah." Jihan menghela napas panjang," Semakin hari, aku semakin tidak mengenalimu. Suami yang menikahiku dulu adalah lelaki yang hangat, pengendalian emosinya bagus, dan selalu menjaga perasaanku. Dia tidak pernah meninggikan suaranya meski semarah apapun.""Mas, tatap mataku sebentar. Aku mohon." Bian sedari tadi menunduk di meja makan. Sarapan yang mereka hadapi tidak tersentuh. Sebelum ini, mereka tidak pernah membahas masalah rumah tangga di meja makan. Namun
Bian berlari dengan sedikit kepayahan akibat menyeret kakinya yang nyeri sebelah dan memegangi tangan kirinya yang memiliki luka kecil. Ia harusnya tidak diperbolehkan ke mana-mana setelah selesai dirawat di IGD. Namun, setelah mendapat telepon dari rumah bahwa Jihan terjatuh dari tangga, sukses membuat dirinya panik bukan main. Pandangannya mengabur oleh air mata bercampur keringat. Rasa khawatirnya menghantui lebih dari apapun. Margareth dan Nicholas menenangkan Bian, karena Jihan masih ditangani di meja operasi. "Bayi...." ucapnya lirih. Nicholas memeluk putranya, berusaha mentransfer rasa sabar yang sebenarnya sia-sia. Segala pikiran negatif, berkecamuk begitu saja. Rasa bersalah Bian menjadi-jadi dikala ingat, jika ia meninggalkan istrinya dalam keadaan yang tidak bisa dikatakan damai. Mereka berseteru dingin. Bian yang kepalanya hanya dipenuhi oleh Kalista, lantas tega mengabaikan sang istri yang sebenarnya membutuhkan perhatiannya. Sekarang, nyawa istri dan bayinya dipertar
Liam terburu-buru mendatangi sang ayah. Ia diarahkan oleh seorang pramusaji ke private room. Sepertinya ayahnya ingin pembicaraan mereka dikeep secara rahasia. Apalagi ini, Liam pun cukup penasaran. Dalam hati Liam berharap, semoga saja saat ia memasuki private room, tidak akan ada wanita yang ternyata sudah menunggunya. Ini bukan prank kencan buta yang kesekian, bukan? Liam bernapas lega saat mendapati ayahnya saja dengan ekspresi muram duduk sendirian sambil menyesap wine. Tunggu, bukankah terlalu pagi untuk menikmati wine. "Ayah, ada apa?" tanya Liam penasaran tanpa mengucap salam. Langsung dihampirinya sang ayah yang menoleh dan menunjukkan ekspresi murung kepadanya. Hati Liam berfirasat bila ada hal genting yang terjadi. "Aku bingung harus bereaksi seperti apa. Aku ingin bersorak kegirangan, tapi nyatanya itu jauh dari ekspektasi. Ingin marah-marah, semuanya sudah terjadi." Liam tidak mengerti apabila ayahnya tidak menjelaskan a
"Mengapa kau diam saja, Liam?" Bian semakin menyudutkan Liam. "Memangnya apa urusanmu jadi sangat penasaran dengan aktivitas erotisku dan Kalista? Lagipula yang kau lakukan juga termasuk kriminal. Apa kau punya izin dari Kalista untuk memata-matainya? Biar ku tebak. Pasti Pak Kano adalah tangan kananmu. Rumah yang Kalista tempati sekarang, apa kau dalangnya? Kemudian tempat kerjanya sekarang, terlalu aneh seorang pimpinan perusahaan memiliki kebaikan bak malaikat. Itu semua perintahmu, bukan? Termasuk pendidikan prenatal yang didaftarkan Pak Kano." Damn! Liam sebenarnya tidak ada niat untuk berbalik menyudutkan Bian. Namun, ia merasa harus menutupi kebohongannya dengan mencari celah kesalahan Bian. Mengapa Liam merasa dirinya sekarang terlihat manipulatif? Liam semakin yakin bila seharusnya sejak awal dirinya tidak pernah mencoba berbohong. Bian menyeringai. Masih tersirat kesedihan pada sorot tajamnya. "Apa kau yakin bila Kalista me
Pertemuan keluarga hari itu terbilang tidak membahagiakan suasananya. Meski pertemuan itu diadakan untuk mewawancarai Kalista, calon istri Liam Benedicta, tetap saja kesedihan masih meliputi suasana duka akibat musibah yang menimpa Jihan. Selain Saddam, di sana juga berhadir Nicholas dan Margareth. Beberapa anggota sepupu mereka juga sudah tiba dan duduk di sebuah ruangan, di mana kursi dan meja disusun melingkar. Kalista yang sudah tiba sejak setengah jam yang lalu dipersilakan mengisi kursi kosong di tengah-tengah mereka. Liam juga mengisi kursi kosong di samping Kalista. Liam memegangi tangan Kalista untuk sekadar menguatkan rasa gugup. Para tetua memperhatikan keduanya dengan ekspresi yang berbeda. Ada yang berdecak kesal, ada yang kecewa, ada yang tampak acuh, bahkan ada yang terkesan uring-uringan. Margareth dan Nicholas jelas termasuk dari mereka yang kesal dicampur kecewa. Sedangkan Saddam, ia terpaksa menahan rasa malunya pada saudara dan para
"Apa aku akan diberi gaji jika berhasil lulus kualifikasi? Sepertinya kesempatanku hampir tidak ada." Kalista akhirnya meminta izin di toilet. Padahal tante Rosela sudah memutar microphone ke arahnya. Kontan saja setelah dikecewakan oleh ekspektasi perkara mie instan dan telur ceplok, Kalista juga dinilai mengulur waktu. Padahal Kalista memang kebelet ingin buang air kecil. "Makanya aku mengatakan sejak awal, kalau jalan kita tidak akan mudah. Tapi aku mohon, jangan .... ""Lari. Aku tidak akan lari." Kalista langsung menyambung kalimat Liam. "Nanti aku sedih. Aku kalau patah hati tidak sekuat kau masalahnya," sahut Liam. Liam mengecup kening Kalista dan keduanya saling tersenyum manis. Setelahnya, mereka kembali ke ruang pertemuan. Belum ada dua detik keduanya duduk, Rosela langsung saja melontarkan pertanyaan yang sempat tertunda. Kalista menahan diri untuk tidak menyeletukkan kata-kata tak enak didengar, karena dirinya be
Yang dilakukan Kalista pertama kali ketika ia melihat punggung Liam adalah memeluk pinggang sang kekasih. Kalista butuh sarana untuk menenangkan diri setelah dicecar oleh tetua di keluarga besar Liam. Apalagi Kalista baru saja bertemu dengan Bian. Perasaannya mendadak campur aduk. Liam yang mengerti, hanya berdiri diam dengan tangan memegangi jemari Kalista di perutnya. Liam mengerti bila Kalista pasti butuh menumpahkan segala isi hatinya. "Kal, aku boleh memelukmu?" Liam jadi meminta izin terlebih dahulu, siapa tahu Kalista tidak ingin dilihat saat sedih. "Boleh. Peluk yang lama," pinta Kalista. Liam pun berbalik dan memeluk kekasihnya. Liam kecupi wajah Kalista dan membiarkan sang pacar menangis sejadi-jadinya. "Kita ke mobil dulu, Sayang," bisik Liam. Masih dengan Kalista yang bersandar pada dada Liam, mereka berjalan menuju mobil. Bian yang memperhatikan pemandangan manis itu, tentu sangat menyakitkan hatinya. Kalistan
Liam dan Kalista sudah tiba di kediaman Bian dan Jihan. Keduanya berdiri di depan rumah mewah tersebut dengan perasaan yang berbeda. Kalista yang langsung terkenang bila sempat menjadi nyonya kedua di sana. Di mana segala hal serba dilayani oleh pelayan. Meski Kalista tahu bila di belakangnya, diam-diam mereka membicarakan dirinya yang dituduh menjadi perebut suami sang nyonya utama. Berbeda dengan Liam, meski ia jarang berkunjung. Namun ia sering lewat rumah itu untuk memperhatikan Jihan yang sering jalan-jalan sore dengan santai di halamannya. Sekarang, aktivitas itu tidak lagi digeluti Liam, karena hatinya sudah dimiliki oleh Kalista. Seseorang yang lebih dari cukup untuknya. Kalista dan Liam pun dipersilakan masuk oleh salah seorang pelayan yang tersenyum ramah pada keduanya. Kalista balas tersenyum meski dalam hati menggerutu, karena pelayam tersebut juga pernah menjelekkan Kalista diam-diam. "Hai, kalian sudah datang." Jihan menyambut mereka denga