Pertemuan keluarga hari itu terbilang tidak membahagiakan suasananya. Meski pertemuan itu diadakan untuk mewawancarai Kalista, calon istri Liam Benedicta, tetap saja kesedihan masih meliputi suasana duka akibat musibah yang menimpa Jihan.
Selain Saddam, di sana juga berhadir Nicholas dan Margareth. Beberapa anggota sepupu mereka juga sudah tiba dan duduk di sebuah ruangan, di mana kursi dan meja disusun melingkar. Kalista yang sudah tiba sejak setengah jam yang lalu dipersilakan mengisi kursi kosong di tengah-tengah mereka.Liam juga mengisi kursi kosong di samping Kalista. Liam memegangi tangan Kalista untuk sekadar menguatkan rasa gugup.Para tetua memperhatikan keduanya dengan ekspresi yang berbeda. Ada yang berdecak kesal, ada yang kecewa, ada yang tampak acuh, bahkan ada yang terkesan uring-uringan. Margareth dan Nicholas jelas termasuk dari mereka yang kesal dicampur kecewa. Sedangkan Saddam, ia terpaksa menahan rasa malunya pada saudara dan para"Apa aku akan diberi gaji jika berhasil lulus kualifikasi? Sepertinya kesempatanku hampir tidak ada." Kalista akhirnya meminta izin di toilet. Padahal tante Rosela sudah memutar microphone ke arahnya. Kontan saja setelah dikecewakan oleh ekspektasi perkara mie instan dan telur ceplok, Kalista juga dinilai mengulur waktu. Padahal Kalista memang kebelet ingin buang air kecil. "Makanya aku mengatakan sejak awal, kalau jalan kita tidak akan mudah. Tapi aku mohon, jangan .... ""Lari. Aku tidak akan lari." Kalista langsung menyambung kalimat Liam. "Nanti aku sedih. Aku kalau patah hati tidak sekuat kau masalahnya," sahut Liam. Liam mengecup kening Kalista dan keduanya saling tersenyum manis. Setelahnya, mereka kembali ke ruang pertemuan. Belum ada dua detik keduanya duduk, Rosela langsung saja melontarkan pertanyaan yang sempat tertunda. Kalista menahan diri untuk tidak menyeletukkan kata-kata tak enak didengar, karena dirinya be
Yang dilakukan Kalista pertama kali ketika ia melihat punggung Liam adalah memeluk pinggang sang kekasih. Kalista butuh sarana untuk menenangkan diri setelah dicecar oleh tetua di keluarga besar Liam. Apalagi Kalista baru saja bertemu dengan Bian. Perasaannya mendadak campur aduk. Liam yang mengerti, hanya berdiri diam dengan tangan memegangi jemari Kalista di perutnya. Liam mengerti bila Kalista pasti butuh menumpahkan segala isi hatinya. "Kal, aku boleh memelukmu?" Liam jadi meminta izin terlebih dahulu, siapa tahu Kalista tidak ingin dilihat saat sedih. "Boleh. Peluk yang lama," pinta Kalista. Liam pun berbalik dan memeluk kekasihnya. Liam kecupi wajah Kalista dan membiarkan sang pacar menangis sejadi-jadinya. "Kita ke mobil dulu, Sayang," bisik Liam. Masih dengan Kalista yang bersandar pada dada Liam, mereka berjalan menuju mobil. Bian yang memperhatikan pemandangan manis itu, tentu sangat menyakitkan hatinya. Kalistan
Liam dan Kalista sudah tiba di kediaman Bian dan Jihan. Keduanya berdiri di depan rumah mewah tersebut dengan perasaan yang berbeda. Kalista yang langsung terkenang bila sempat menjadi nyonya kedua di sana. Di mana segala hal serba dilayani oleh pelayan. Meski Kalista tahu bila di belakangnya, diam-diam mereka membicarakan dirinya yang dituduh menjadi perebut suami sang nyonya utama. Berbeda dengan Liam, meski ia jarang berkunjung. Namun ia sering lewat rumah itu untuk memperhatikan Jihan yang sering jalan-jalan sore dengan santai di halamannya. Sekarang, aktivitas itu tidak lagi digeluti Liam, karena hatinya sudah dimiliki oleh Kalista. Seseorang yang lebih dari cukup untuknya. Kalista dan Liam pun dipersilakan masuk oleh salah seorang pelayan yang tersenyum ramah pada keduanya. Kalista balas tersenyum meski dalam hati menggerutu, karena pelayam tersebut juga pernah menjelekkan Kalista diam-diam. "Hai, kalian sudah datang." Jihan menyambut mereka denga
"Batal lagi? Apa kakak terlalu sibuk sehingga tidak bisa membuat acara masak-masak dua kali berturut-turut?" Likha merengut. Bibirnya sampai mencebik. Likha sangat antusias menyiapkan acara tersebut padahal. Meski hanya acara masak-masak biasa dan mengobrol santai, Likha begitu excited. Apalagi setelah mendengar kalau Liam akan ikut. "Ibu jam berapa pulang?" tanya Kalista yang sepulang kerja langsung menuju rumah ibunya. Kalista duduk di sofa dan langsung merobek bungkus biskuit kecil bulat yang di atasnya terdapat kembang gula berwarna-warni yang ia beli di toko depan gang rumah ibunya. Lantas, Likha ikut duduk di samping Kalista. Rupanya Likha sedang menonton tayangan konser BTS kesukaannya. "Kakak apa kabar? Si Shooky sudah bisa apa?" tanya Likha tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. "Aku sedang pusing. Shooky sudah bisa memilih ayah sambungnya."Likha yang mendengar hal tersebut langsung menoleh dan mengabaikan tontonannya.
Liam dan Kalista tahu kalau jawaban ibunya tidak akan merestui hubungan dirinya dengan Liam. Namun, tetap saja Kalista merasa sedih. Mungkin karena perasaannya sedang sensitif, kombinasi kehamilan yang ia alami dan banyak pikiran yang menimpa akhir-akhir ini. "Ibu, apa Liam boleh tahu apa alasan ibu tidak merestui kami?" "Kau dan Kalista berbeda, Liam. Keluargamu berbeda segalanya dari kami. Ibu tidak ingin Kalista direndahkan lagi oleh keluarga kalian." Melisa cukup belajar dari kesalahan. Ia tidak akan lagi membiarkan anaknya sakit hati, karena diperlakukan tidak pantas oleh keluarga pasangan. "Saya mencintai Kalista, Bu. Izinkan saya membahagiakan Kalista dan tidak akan saya biarkan siapapun menyakitinya." Bahu Melisa melorot pasrah, "Nevan dan Jihan pernah mengatakan hal yang serupa."Yang terjadi adalah kebalikannya. Kalista yang tidak pernah dihargai oleh ibunya Nevan dan selanjutnya, Jihan dan Bian yang malah menyakiti Kalista.
Kelas prenatal hari itu berlangsung seperti hari pertama Kalista mengikuti. Awalnya, Kalista berpikir kalau kelas hanya diikuti oleh para ibu hamil. Namun, nyatanya kelas prenatal juga dihadiri oleh pasangan. Kalista sebagai single mother, tentu cengo saat menghadiri kelas pertama kali. Kemarin ketika kelas menjahit baju bayi, sampai setengah jam, Kalista menyimak materi sendirian saja. Hingga akhirnya Bian tiba-tiba muncul dan tanpa permisi duduk di sampingnya membantunya menjahit. Sekarang Kalista kembali sendirian. Walau memang kemarin, Liam mengatakan ingin menemani, tetap saja Kalista tidak terlalu banyak berharap. Namun meski sendirian, Kalista tetap ingin mengikuti kelas dengan baik.Karena kali ini adalah kelas senam ibu hamil, maka Kalista melakukannya sendirian ketika semua ibu hamil di sana disertai suaminya. Kalista melakukan gerakan demi gerakan dengan baik. Meski saat gerakan yang membutuhkan sandaran, Kalista sangat hati-hati agar tidak se
Liam sudah lebih dari siap jika seandainya identitas Vallent ketahuan oleh ayahnya serta seluruh keluarga besarnya. Namun yang dikhawatirkan oleh ayahnya lebih dari kekhawatiran Liam sendiri. Kehormatan dan harga diri adalah sesuatu yang paling dijunjung tinggi oleh Saddam. Ketika ia tahu bahwa putra semata wayangnya memiliki sisi gelap sebagai penulis novel stensil yang sangat bertolak belakang dengan diri Liam sebagai keturunan kakek Aiden yang dianggap bermartabat di mata masyarakat, kontan membuatnya naik pitam. Saddam menganggap bahwa Liam sukses membuat seluruh anggota keluarga tidak percaya sepenuhnya lagi pada Liam. Ketika skandal dirinya dan Kalista sudah mencuat sampai akhirnya terklarifikasi sendiri, anggota keluarga yang lain sudah tidak begitu respect lagi terhadap mereka. Pilihan pasangan hidup Liam juga dikritik habis-habisan. Semua anggota keluarga tidak merestui. Saddam pun demikian. Namun ketika Kalista diketahui hamil sang pewaris tah
Kalista tidak begitu kaget saat mendapati Bian muncul di depan pintunya pagi itu. Yang terbesit di kepala Kalista saat itu adalah sebuah pertanyaan. "Ada apa?" "Bisa bicara empat mata?" Kalista menghela napas berat, "Aku belum mandi." Karena di hari minggu kala itu, Kalista sengaja untuk bangun siang. "Tidak masalah. Kau tetap menakjubkan." Meski itu kalimat rayuan, Kalista tampak tidak tergugah sama sekali. Bian mengendikkan bahu saat Kalista berbalik dan mengajaknya ke arah bangsal. Keduanya berjalan bersisian tanpa salah satu memulai untuk bicara. Bian melirik Kalista yang tampak terlihat biasa saja. Hal tersebut sedikit membuat Bian kecewa. Sepertinya memang benar, apabila Bian hanya mencintai sendiri. Padahal Bian cukup gugup harus berhadapan kembali dengan Kalista seperti ini. "Kenapa diam saja? Bukankah kau ingin bicara?" Akhirnya Kalista memecah kebi