Kelas prenatal hari itu berlangsung seperti hari pertama Kalista mengikuti. Awalnya, Kalista berpikir kalau kelas hanya diikuti oleh para ibu hamil. Namun, nyatanya kelas prenatal juga dihadiri oleh pasangan. Kalista sebagai single mother, tentu cengo saat menghadiri kelas pertama kali.
Kemarin ketika kelas menjahit baju bayi, sampai setengah jam, Kalista menyimak materi sendirian saja. Hingga akhirnya Bian tiba-tiba muncul dan tanpa permisi duduk di sampingnya membantunya menjahit.Sekarang Kalista kembali sendirian. Walau memang kemarin, Liam mengatakan ingin menemani, tetap saja Kalista tidak terlalu banyak berharap. Namun meski sendirian, Kalista tetap ingin mengikuti kelas dengan baik.Karena kali ini adalah kelas senam ibu hamil, maka Kalista melakukannya sendirian ketika semua ibu hamil di sana disertai suaminya. Kalista melakukan gerakan demi gerakan dengan baik. Meski saat gerakan yang membutuhkan sandaran, Kalista sangat hati-hati agar tidak seLiam sudah lebih dari siap jika seandainya identitas Vallent ketahuan oleh ayahnya serta seluruh keluarga besarnya. Namun yang dikhawatirkan oleh ayahnya lebih dari kekhawatiran Liam sendiri. Kehormatan dan harga diri adalah sesuatu yang paling dijunjung tinggi oleh Saddam. Ketika ia tahu bahwa putra semata wayangnya memiliki sisi gelap sebagai penulis novel stensil yang sangat bertolak belakang dengan diri Liam sebagai keturunan kakek Aiden yang dianggap bermartabat di mata masyarakat, kontan membuatnya naik pitam. Saddam menganggap bahwa Liam sukses membuat seluruh anggota keluarga tidak percaya sepenuhnya lagi pada Liam. Ketika skandal dirinya dan Kalista sudah mencuat sampai akhirnya terklarifikasi sendiri, anggota keluarga yang lain sudah tidak begitu respect lagi terhadap mereka. Pilihan pasangan hidup Liam juga dikritik habis-habisan. Semua anggota keluarga tidak merestui. Saddam pun demikian. Namun ketika Kalista diketahui hamil sang pewaris tah
Kalista tidak begitu kaget saat mendapati Bian muncul di depan pintunya pagi itu. Yang terbesit di kepala Kalista saat itu adalah sebuah pertanyaan. "Ada apa?" "Bisa bicara empat mata?" Kalista menghela napas berat, "Aku belum mandi." Karena di hari minggu kala itu, Kalista sengaja untuk bangun siang. "Tidak masalah. Kau tetap menakjubkan." Meski itu kalimat rayuan, Kalista tampak tidak tergugah sama sekali. Bian mengendikkan bahu saat Kalista berbalik dan mengajaknya ke arah bangsal. Keduanya berjalan bersisian tanpa salah satu memulai untuk bicara. Bian melirik Kalista yang tampak terlihat biasa saja. Hal tersebut sedikit membuat Bian kecewa. Sepertinya memang benar, apabila Bian hanya mencintai sendiri. Padahal Bian cukup gugup harus berhadapan kembali dengan Kalista seperti ini. "Kenapa diam saja? Bukankah kau ingin bicara?" Akhirnya Kalista memecah kebi
"Jadi kau benar-benar mengundurkan diri, Liam Benedicta?""Ya, Ayah. Makanya aku ingin berpamitan denganmu." Liam muncul di depan kamar Saddam dengan sebuah koper di tangannya. Liam hanya mengenakan pakaian kasualnya kala itu. Penampilan yang sangat tidak biasa ketika biasanya Liam sudah rapi dengan setelan kerja di jam pagi yang sama sebelumnya."Liam, kau tidak akan bisa menginjakkan kaki lagi di rumah ini apabila kau sudah memutuskan untuk keluar.""Aku tahu, Ayah. Mohon doa restu untuk anakmu ini yang akan memulai segalanya tanpa uangmu." Saddam kecewa, karena menyaksikan keteguhan hati Liam. Saddam hanya ingin mengulur waktu dengan harapan semoga Liam mengurungkan niatnya untuk angkat kaki. Saddam tidak begitu serius saat mengucapkannya. "Aku juga meminta restumu untuk menikah dengan Kalista, Ayah," lanjut Liam. Saddam tidak bisa. Sungguh tidak bisa. Tidak adakah perempuan lain sehingga harus memilih Kalista? Da
Kalista sebenarnya tidak begitu berani untuk melakukan pendekatan secara langsung dengan ayahnya Liam. Tidak hanya rasa takut yang ada di benaknya, akan tetapi juga rasa tidak percaya diri yang sudah pasti membayangi. Setidaknya Kalista sadar apabila sebuah hubungan yang ia dan Liam jalani, dibutuhkan perjuangan. Bukan hanya Liam yang harus berjuang, bahkan lelaki itu sampai berkorban banyak untuk itu. Maka Kalista pun merasa harus ikut berjuang untuk meyakinkan Saddam bahwa putra kesayangannya aman sentosa saat hidup bersamanya. "Liam itu mirip ibunya. Dari selera sampai gerak geriknya pun mirip.""Oh, ya? Seperti Liam yang kalau tidur harus memeluk sesuatu?" "Ya. Dia tidak bisa tidur tanpa guling. Yang jadi istrinya nanti, akan terus dipeluk Liam sepanjang malam pasti.""Ya, Tuan. Liam memang demikian kalau tidur dengan saya.""Apa? Tidur denganmu?!" Saddam jelas terkejut. Kalista keceplosan. "Ah, bukan! Maksudnya kalau Liam tidak sengaja ketiduran, aku melihatnya selalu memeluk
Saddam cukup kaget saat melihat Kalista yang ternyata belum pergi. Ketika Saddam sudah menaiki mobilnya, ia berpapasan dengan Kalista yang masih berdiri diam di depan gerbang rumah Saddam. Saddam pun berhenti, karena tidak tega melihat Kalista dalam keadaan hamil."Mengapa belum pergi? Ayo, masuk! Harinya mendung." Kalista cukup terkejut saat melihat Saddam berhenti dan menawarinya tumpangan. Maka karena tidak ingin mengecewakan orang tua di hadapannya, Kalista dengan cepat menarik sudut bibirnya selebar mungkin dan menyetujui tumpangan tersebut. "Terima kasih, Tuan, sudah memberi saya tumpangan. Maaf merepotkan. Pasti sifat Liam yang baik hati adalah ajaran dari anda.""Berhenti menjilatku, Nona. Kau terlalu kentara kali ini," tegur Saddam yang langsung membuat Kalista menggigit bibirnya lembut. "Bagaimana? Apa kau tahu dimana keberadaan Liam?" tanya Saddam setelahnya. Kalista menggeleng. Kalista jadi ikut kasihan dengan Saddam. Pasti Saddam kecewa pikir Kalista, karena sudah men
Kalista masih menunggu kabar Liam. Kekasihnya masih tidak membalas chat dan tidak menjawab panggilan. Kalista terlalu gelisah sekarang. Ia takut apabila Liam bersungguh-sungguh ingin mengakhiri hubungan. Kalista tidak mau. Padahal Kalista sudah mengirim banyak bubble chat kepada Liam dan berisi curahan hati Kalista apabila dirinya tidak masalah dengan keadaan diri Liam yang sekarang. Kalista ingin Liam percaya bahwa perasaan Kalista tidak berubah. Namun total satu minggu, Liam tidak ada menghubungi kembali dan menemuinya. "Sudahlah, Kal. Tidak perlu terlalu dipikirkan. Ibu tidak ingin bayimu ikut stress. Ibu mengerti kau sedih. Mungkin saja Liam butuh menyendiri. Dia butuh merenung sendiri sampai akhirnya ia bangkit dan memulai semuanya dari nol." "Walau Likha ikut sedih, tapi Likha percaya kalau orang seperti Kak Liam tidak akan gampang menyerah begitu saja. Kak Liam akan mendapat pekerjaan baru atau mungkin saja mendirikan perusahaan sendiri. Kak Liam itu bukan hanya cerdas. Pas
"Mengapa kau tidak bertanya, mengapa aku dan Mas Bian bertengkar?" tanya Jihan sedikit kesal. "Haruskah? Nanti dianggap cuma sekadar ingin tahu saja, padahal aku tidak peduli-peduli amat, entah kau dan Mas Bian bertengkar atau tidak sekalipun." Jihan berdecak kesal, karena Kalista sungguh menyebalkan sekarang. "Baiklah. Mengapa kalian bertengkar?" tanya Kalista dengan setengah hati. "Aku cemburu, karena dia sangat menggilaimu." Kalista tersenyum sinis, "Tenang, aku tidak punya bakat menjadi perebut suami orang. Aku sekarang sangat menggilai Liam." "Aku tahu itu. Aku berusaha membuka hati dan matanya kembali kalau sampai kapanpun kau tidak akan datang kepadanya lagi. Namun, dengan kurang ajarnya, dia mengatakan sebelum janur kuning melengkung, Kalista masih bisa ia dapatkan. Lebih kurang ajarnya lagi, dia mengatakan kalau aku sudah pernah latihan poligami. Jadi sekali lagi melakukannya pasti tidak masalah." Kalista terkekeh dan akhirnya meletakkan sendoknya untuk lebih fokus m
Kalista hanya berdiri mematung, sedangkan Liam maju selangkah dan membuat Kalista mundur selangkah. Liam maju lagi, hingga Kalista nyaris tersandung kloset duduk di belakangnya jika saja Liam tidak cepat memegangi pinggangnya. "I miss you, Kalista Sayang." Liam tersenyum simpul dan mengedip jahil. Kalista yang merasa rindu setengah mati pada Liam, langsung menarik kepalanya dan menautkan bibirnya dengan sedikit kasar. Liam yang sempat kelimpungan menerima perlakuan tersebut langsung menutup pintu toilet. Rasa rindu yang menggunung, membuat pagutan keduanya terasa intens dan menuntut lebih. Namun, sebelum Kalista merasa kelepasan, ia segera mendorong Liam kasar. Liam terkejut dan hanya melongo melihat Kalista yang membersihkan saliva di sekitar mulutnya. "Minggir!" ujar Kalista dengan tatapan tak ramah sama sekali. "Minggir, Liam!" Liam pun menegakan tubuhnya dan menepi. Liam merasakan hawa dingin dan mencekam setelah mendengar Kalista tidak menyebut nama penanya lagi. Bah