"Jadi kau benar-benar mengundurkan diri, Liam Benedicta?"
"Ya, Ayah. Makanya aku ingin berpamitan denganmu." Liam muncul di depan kamar Saddam dengan sebuah koper di tangannya.Liam hanya mengenakan pakaian kasualnya kala itu. Penampilan yang sangat tidak biasa ketika biasanya Liam sudah rapi dengan setelan kerja di jam pagi yang sama sebelumnya."Liam, kau tidak akan bisa menginjakkan kaki lagi di rumah ini apabila kau sudah memutuskan untuk keluar.""Aku tahu, Ayah. Mohon doa restu untuk anakmu ini yang akan memulai segalanya tanpa uangmu."Saddam kecewa, karena menyaksikan keteguhan hati Liam. Saddam hanya ingin mengulur waktu dengan harapan semoga Liam mengurungkan niatnya untuk angkat kaki. Saddam tidak begitu serius saat mengucapkannya."Aku juga meminta restumu untuk menikah dengan Kalista, Ayah," lanjut Liam.Saddam tidak bisa. Sungguh tidak bisa. Tidak adakah perempuan lain sehingga harus memilih Kalista? DaKalista sebenarnya tidak begitu berani untuk melakukan pendekatan secara langsung dengan ayahnya Liam. Tidak hanya rasa takut yang ada di benaknya, akan tetapi juga rasa tidak percaya diri yang sudah pasti membayangi. Setidaknya Kalista sadar apabila sebuah hubungan yang ia dan Liam jalani, dibutuhkan perjuangan. Bukan hanya Liam yang harus berjuang, bahkan lelaki itu sampai berkorban banyak untuk itu. Maka Kalista pun merasa harus ikut berjuang untuk meyakinkan Saddam bahwa putra kesayangannya aman sentosa saat hidup bersamanya. "Liam itu mirip ibunya. Dari selera sampai gerak geriknya pun mirip.""Oh, ya? Seperti Liam yang kalau tidur harus memeluk sesuatu?" "Ya. Dia tidak bisa tidur tanpa guling. Yang jadi istrinya nanti, akan terus dipeluk Liam sepanjang malam pasti.""Ya, Tuan. Liam memang demikian kalau tidur dengan saya.""Apa? Tidur denganmu?!" Saddam jelas terkejut. Kalista keceplosan. "Ah, bukan! Maksudnya kalau Liam tidak sengaja ketiduran, aku melihatnya selalu memeluk
Saddam cukup kaget saat melihat Kalista yang ternyata belum pergi. Ketika Saddam sudah menaiki mobilnya, ia berpapasan dengan Kalista yang masih berdiri diam di depan gerbang rumah Saddam. Saddam pun berhenti, karena tidak tega melihat Kalista dalam keadaan hamil."Mengapa belum pergi? Ayo, masuk! Harinya mendung." Kalista cukup terkejut saat melihat Saddam berhenti dan menawarinya tumpangan. Maka karena tidak ingin mengecewakan orang tua di hadapannya, Kalista dengan cepat menarik sudut bibirnya selebar mungkin dan menyetujui tumpangan tersebut. "Terima kasih, Tuan, sudah memberi saya tumpangan. Maaf merepotkan. Pasti sifat Liam yang baik hati adalah ajaran dari anda.""Berhenti menjilatku, Nona. Kau terlalu kentara kali ini," tegur Saddam yang langsung membuat Kalista menggigit bibirnya lembut. "Bagaimana? Apa kau tahu dimana keberadaan Liam?" tanya Saddam setelahnya. Kalista menggeleng. Kalista jadi ikut kasihan dengan Saddam. Pasti Saddam kecewa pikir Kalista, karena sudah men
Kalista masih menunggu kabar Liam. Kekasihnya masih tidak membalas chat dan tidak menjawab panggilan. Kalista terlalu gelisah sekarang. Ia takut apabila Liam bersungguh-sungguh ingin mengakhiri hubungan. Kalista tidak mau. Padahal Kalista sudah mengirim banyak bubble chat kepada Liam dan berisi curahan hati Kalista apabila dirinya tidak masalah dengan keadaan diri Liam yang sekarang. Kalista ingin Liam percaya bahwa perasaan Kalista tidak berubah. Namun total satu minggu, Liam tidak ada menghubungi kembali dan menemuinya. "Sudahlah, Kal. Tidak perlu terlalu dipikirkan. Ibu tidak ingin bayimu ikut stress. Ibu mengerti kau sedih. Mungkin saja Liam butuh menyendiri. Dia butuh merenung sendiri sampai akhirnya ia bangkit dan memulai semuanya dari nol." "Walau Likha ikut sedih, tapi Likha percaya kalau orang seperti Kak Liam tidak akan gampang menyerah begitu saja. Kak Liam akan mendapat pekerjaan baru atau mungkin saja mendirikan perusahaan sendiri. Kak Liam itu bukan hanya cerdas. Pas
"Mengapa kau tidak bertanya, mengapa aku dan Mas Bian bertengkar?" tanya Jihan sedikit kesal. "Haruskah? Nanti dianggap cuma sekadar ingin tahu saja, padahal aku tidak peduli-peduli amat, entah kau dan Mas Bian bertengkar atau tidak sekalipun." Jihan berdecak kesal, karena Kalista sungguh menyebalkan sekarang. "Baiklah. Mengapa kalian bertengkar?" tanya Kalista dengan setengah hati. "Aku cemburu, karena dia sangat menggilaimu." Kalista tersenyum sinis, "Tenang, aku tidak punya bakat menjadi perebut suami orang. Aku sekarang sangat menggilai Liam." "Aku tahu itu. Aku berusaha membuka hati dan matanya kembali kalau sampai kapanpun kau tidak akan datang kepadanya lagi. Namun, dengan kurang ajarnya, dia mengatakan sebelum janur kuning melengkung, Kalista masih bisa ia dapatkan. Lebih kurang ajarnya lagi, dia mengatakan kalau aku sudah pernah latihan poligami. Jadi sekali lagi melakukannya pasti tidak masalah." Kalista terkekeh dan akhirnya meletakkan sendoknya untuk lebih fokus m
Kalista hanya berdiri mematung, sedangkan Liam maju selangkah dan membuat Kalista mundur selangkah. Liam maju lagi, hingga Kalista nyaris tersandung kloset duduk di belakangnya jika saja Liam tidak cepat memegangi pinggangnya. "I miss you, Kalista Sayang." Liam tersenyum simpul dan mengedip jahil. Kalista yang merasa rindu setengah mati pada Liam, langsung menarik kepalanya dan menautkan bibirnya dengan sedikit kasar. Liam yang sempat kelimpungan menerima perlakuan tersebut langsung menutup pintu toilet. Rasa rindu yang menggunung, membuat pagutan keduanya terasa intens dan menuntut lebih. Namun, sebelum Kalista merasa kelepasan, ia segera mendorong Liam kasar. Liam terkejut dan hanya melongo melihat Kalista yang membersihkan saliva di sekitar mulutnya. "Minggir!" ujar Kalista dengan tatapan tak ramah sama sekali. "Minggir, Liam!" Liam pun menegakan tubuhnya dan menepi. Liam merasakan hawa dingin dan mencekam setelah mendengar Kalista tidak menyebut nama penanya lagi. Bah
"Datanya akan saya kirimkan lewat email anda, Pak." Kalista memasang senyum segannya saat menyadari tatapan karyawan lain, terutama Merry yang terdiam di sampingnya, tetapi Kalista tahu bila ia memasang kupingnya lebar-lebar. Kalista keceplosan tidak berbicara formal pada Liam. Liam yang mengerti pun segera keluar dari sana untuk memeriksa email yang dimaksud. Liam penasaran bukan karena nama pena penulis naskahnya adalah Istrinya Vallent dan bukan juga karena nama tokoh utama di novel orang tersebut adalah Liam. Liam tertarik dan lebih ingin tahu setelah adegan-adegan di dalam ceritanya berkaitan erat dengan yang ada pada novel online Liam sendiri. Jika memang dia penggemar berat Vallent, maka naskah ini termasuk sempurna dan pantas saja Kalista memasukkannya ke daftar yang akan segera naik cetak. Liam membuka kotak masuk di emailnya dan menemukan informasi menarik mengenai seorang gadis manis berambut panjang coklat yang tersenyum malu-malu. Dilihat dari pas fotonya, gadis te
"Sini, aku mau lihat wajah calon istriku yang katanya siap menerimaku yang jatuh miskin." Liam terus-terusan menggoda Kalista sejak tadi. Kalista sampai kesal dibuatnya. "Diam, Val. Aku kena prank." Kalista sampai berbaring membelakangi Liam akibat terlalu malu digoda Liam terus. Liam mengeratkan pelukannya dan menciumi Kalista dengan gemas. Kalista merengek agar Liam tidak melakukannya."Tolong, nikahi saya. Saya tidak mau lagi ditiduri kalau anda begini," canda Kalista, tetapi maknanya lebih dari serius. "Ya, sudah. Malam ini kita jadi pasangan yang baik dan benar. Aku tidur di kamar lain saja. Soalnya aku takut khilaf kalau tidur seranjang bersamamu." Liam yang terlalu jujur membuat tawa Kalista berderai. "Sini! Sini! Jangan kemana-mana dulu." Kalista menarik tangan Liam yang sebelah kakinya sudah menjuntai turun dari tempat tidur. "Kenapa?" Liam kembali ke posisinya semula. "Kita belum pernah mengambil foto bersama setelah pacaran." Kalista mengaktifkan menu kamera pada pons
"Halo, Vallent. Saya yang memiliki nama pena Istrinya Vallent. Apa sekarang saya harus memanggil anda dengan sebutan, Master?" Liam tak berkedip menatap gadis setinggi seratus enam puluh sentimeter tersebut. Rambut panjangnya menjuntai larus sampai ke siku. Pipinya mulus dengan cekungan manis di sisinya. Bibirnya merah muda segar dan saat tersenyum mampu membuat lawan jenis merona. Kalista yang berdiri di belakang gadis tersebut, seketika tersenyum kesal seraya memutar bola matanya ketika menyadari air muka Liam yang bersemu, bahkan netranya tak berkedip sejak awal dirinya membawa sang gadis memasuki ruangannya. Gadis itu rupanya seorang yang pro dalam menggoda pria. Apa itu tadi? Master? Cih! "Halo, Nona Natasha. Jadi apakah benar anda penulis naskah ini?" Liam bertanya sambil mengisyaratkan dengan tangannya agar Natasha bisa duduk di sofa. Liam melangkah bersama Natasha yang mengekorinya dan bergerak menuju Kalista yang s