"Datanya akan saya kirimkan lewat email anda, Pak." Kalista memasang senyum segannya saat menyadari tatapan karyawan lain, terutama Merry yang terdiam di sampingnya, tetapi Kalista tahu bila ia memasang kupingnya lebar-lebar. Kalista keceplosan tidak berbicara formal pada Liam. Liam yang mengerti pun segera keluar dari sana untuk memeriksa email yang dimaksud. Liam penasaran bukan karena nama pena penulis naskahnya adalah Istrinya Vallent dan bukan juga karena nama tokoh utama di novel orang tersebut adalah Liam. Liam tertarik dan lebih ingin tahu setelah adegan-adegan di dalam ceritanya berkaitan erat dengan yang ada pada novel online Liam sendiri. Jika memang dia penggemar berat Vallent, maka naskah ini termasuk sempurna dan pantas saja Kalista memasukkannya ke daftar yang akan segera naik cetak. Liam membuka kotak masuk di emailnya dan menemukan informasi menarik mengenai seorang gadis manis berambut panjang coklat yang tersenyum malu-malu. Dilihat dari pas fotonya, gadis te
"Sini, aku mau lihat wajah calon istriku yang katanya siap menerimaku yang jatuh miskin." Liam terus-terusan menggoda Kalista sejak tadi. Kalista sampai kesal dibuatnya. "Diam, Val. Aku kena prank." Kalista sampai berbaring membelakangi Liam akibat terlalu malu digoda Liam terus. Liam mengeratkan pelukannya dan menciumi Kalista dengan gemas. Kalista merengek agar Liam tidak melakukannya."Tolong, nikahi saya. Saya tidak mau lagi ditiduri kalau anda begini," canda Kalista, tetapi maknanya lebih dari serius. "Ya, sudah. Malam ini kita jadi pasangan yang baik dan benar. Aku tidur di kamar lain saja. Soalnya aku takut khilaf kalau tidur seranjang bersamamu." Liam yang terlalu jujur membuat tawa Kalista berderai. "Sini! Sini! Jangan kemana-mana dulu." Kalista menarik tangan Liam yang sebelah kakinya sudah menjuntai turun dari tempat tidur. "Kenapa?" Liam kembali ke posisinya semula. "Kita belum pernah mengambil foto bersama setelah pacaran." Kalista mengaktifkan menu kamera pada pons
"Halo, Vallent. Saya yang memiliki nama pena Istrinya Vallent. Apa sekarang saya harus memanggil anda dengan sebutan, Master?" Liam tak berkedip menatap gadis setinggi seratus enam puluh sentimeter tersebut. Rambut panjangnya menjuntai larus sampai ke siku. Pipinya mulus dengan cekungan manis di sisinya. Bibirnya merah muda segar dan saat tersenyum mampu membuat lawan jenis merona. Kalista yang berdiri di belakang gadis tersebut, seketika tersenyum kesal seraya memutar bola matanya ketika menyadari air muka Liam yang bersemu, bahkan netranya tak berkedip sejak awal dirinya membawa sang gadis memasuki ruangannya. Gadis itu rupanya seorang yang pro dalam menggoda pria. Apa itu tadi? Master? Cih! "Halo, Nona Natasha. Jadi apakah benar anda penulis naskah ini?" Liam bertanya sambil mengisyaratkan dengan tangannya agar Natasha bisa duduk di sofa. Liam melangkah bersama Natasha yang mengekorinya dan bergerak menuju Kalista yang s
Kalista duduk di warung makan dekat kantor bersama Merry yang serius mendengarkan cerita Kalista tentang Liam yang malah menyuruhnya istirahat sendirian. "Mengapa Pak Liam mengatakan hal tersebut? Aish, ternyata dia sangat tidak peka!""Benar! Dia sangat tidak peka dan tidak memahami perasaanku yang cemburu." Kalista semakin berapi-api ketika Merry juga berpikiran yang sama dengan dirinya. "Apa kau membawa ponselmu?"Kalista mengangguk sambil menunjukkan ponsel yang rupanya sejak tadi ia bawa di dalam hand bagnya. "Kau kirim pesan kepadanya sekarang. Katakan yang sejujurnya kalau kau tidak suka dirinya yang terlalu menaruh atensi pada naskah Natasha. Katakan juga pada Pak Liam apabila itu bukan tugasnya sama sekali. Katakan kalau itu job deskmu. Kau pinta pada Pak Liam agar Natasha berdiskusi denganmu saja untuk ke depannya. Jangan lupa beri Pak Liam sedikit ancaman untuk tidak memberikan nomor ponselnya pada Natasha."Kalista
"Ayah benar punya pacar?" Saddam berhenti menyiram bonsainya dan dengan tenang menjawab pertanyaan Liam. "Bukannya kau berjanji tidak akan menginjakkan kaki ke rumahku lagi?""Liam melakukan kunjungan orang tua. Masa tidak boleh?" Saddam melanjutkan kegiatan mengagumi koleksi bonsainya. "Jadi kau berkunjung sekalian kepo soal pacar ayah?""Tentu saja. Ayah tidak mengatakan apa-apa tentang itu. Ku kira, ibu tidak pernah tergantikan." Nada bicara Liam terdengar kecewa. "Ibumu tentu tidak akan tergantikan. Dia one and only.""Lalu pacar yang Bian maksud apa? Bian jelas melihat ayah bertemu dengan seorang wanita di restoran." "Kau ingin bertemu dengannya? Sekalian ajak Kalista besok."Liam teringat kalau Kalista masih ngambek. Duh, kepala Liam rasanya agak pening memikirkan ayahnya yang memiliki pacar dan Kalista yang masih tidak mau menggubrisnya! "Ayah, aku pergi dulu." Liam langsung berlari ke mobilnya meninggalkan sang ayah yang terkikik sendirian. Liam meluncur ke alamat ruma
Melihat reaksi Bian yang diam saja, Rikki pun tahu kalau rumor yang ia dengar memang bukan rumor semata. "Jadi mantan suaminya Kalista itu dirimu? Kupikir awalnya kau dan Kalista pasangan selingkuh. Aku hampir tidak percaya saat mendengarnya langsung dari Paman Ethan." Rikki melirik pada Liam dan Kalista yang tampaknya terlibat perdebatan kecil. "Kemudian Kalista berhasil mendapatkan Liam." Rikki terbahak sekarang, "Semesta memang lucu. Jadi ke depannya bagaimana? Kau hanya memiliki bayinya, bukan? Sedangkan Liam bisa saja memiliki ibunya dan bayinya sekaligus." Rikki menepuk kencang bahu Bian, "Aku tahu kau kuat, Bro. Setidaknya Jihan membutuhkanmu sekarang. Jangan terlalu fokus pada wanita yang sudah tidak memperhatikanmu lagi. Jangan sampai seperti aku karena dibutakan perasaan pada seseorang yang sama sekali tidak melirikku, aku malah kehilangan seseorang yang selalu ada untukku."Nasihat itu tidak sekali dua kali diterima Bian dari orang lain. Awalnya Bian kesal mendengarnya.
Kalista dan Liam sontak terkejut, ketika mereka menoleh ke asal suara, mereka bisa melihat Melisa dan Likha berdiri mematung. Namun setelahnya, Likha terbahak dan berhenti seketika saat Melisa menegurnya. Melisa berdehem setelahnya untuk mengatasi rasa malunya bahwa hanya dirinya di sini yang berpikiran yang bukan-bukan. Yang ia lihat ternyata adalah Liam yang sedang memijat Kalista. Liam dan Kalista berdiri berdampingan. Mereka sama-sama memasang wajah tegang karena mereka merasa telah melakukan kesalahan. Mungkin Melisa tidak senang mereka tetap bersama padahal Melisa tidak memberikan restu. "Kalian sedang apa?" Melisa menatap mereka bergantian, padahal Melisa sudah tahu kalau Kalista hanya dipijat Liam. Likha merasa kalau ibunya hanya membuang malu saja. "Saya memijat Kalista, Bu. Kalista terlihat lelah.""Kan bisa memanggil tukang pijat yang ahli memijat wanita hamil? Kalian jangan sering-sering berduaan. Kelakuan sudah seperti pasangan suami istri saja," ujar Melisa yang lang
"Heh, kau ini sarjana pendidikan! Tahu tidak, makna dari sarjana pendidikan? Artinya kau itu pendidik, Kalista Laila Jaffa. Ibu tahu kalau kau sekarang bukan guru lagi. Namun, kau harus bersikap layaknya gelar yang kau dapat setelah kuliah empat tahun." Melisa memijat kepalanya yang tiba-tiba saja terserang migrain. Kalista duduk pasrah dan menunduk saja. Kalista malu setengah mati. Mengapa ibunya harus mengomelinya di tempat umum seperti ini? Ditambah ibunya melakukannya di hadapan Saddam dan Liam. Liam yang duduk disamping sang pacar jadi ikut merasa dimarahi Melisa. Sementara Saddam hanya geleng-geleng kepala saja menyaksikan calon besannya yang super heboh. Sepertinya masa depan Liam akan sangat ramai. "Buku apa ini, Kal? Ibu pikir buku yang kau tulis selama ini bertema hal yang wajar saja, yang bisa turut mencerdaskan anak bangsa. Ini apa?! Kenapa harus menulis buku cerita dewasa seperti ini?" "Bu! Bu! Mengomelnya