"Heh, kau ini sarjana pendidikan! Tahu tidak, makna dari sarjana pendidikan? Artinya kau itu pendidik, Kalista Laila Jaffa. Ibu tahu kalau kau sekarang bukan guru lagi. Namun, kau harus bersikap layaknya gelar yang kau dapat setelah kuliah empat tahun." Melisa memijat kepalanya yang tiba-tiba saja terserang migrain. Kalista duduk pasrah dan menunduk saja. Kalista malu setengah mati. Mengapa ibunya harus mengomelinya di tempat umum seperti ini? Ditambah ibunya melakukannya di hadapan Saddam dan Liam. Liam yang duduk disamping sang pacar jadi ikut merasa dimarahi Melisa. Sementara Saddam hanya geleng-geleng kepala saja menyaksikan calon besannya yang super heboh. Sepertinya masa depan Liam akan sangat ramai. "Buku apa ini, Kal? Ibu pikir buku yang kau tulis selama ini bertema hal yang wajar saja, yang bisa turut mencerdaskan anak bangsa. Ini apa?! Kenapa harus menulis buku cerita dewasa seperti ini?" "Bu! Bu! Mengomelnya
Liam dan Saddam yang sedang berduaan karena Kalista dan Melisa sedang di toilet, sedang mengobrol tentang masalah baru yang dibawa Saddam siang itu. "Ayah punya alasan untuk melakukannya. Ayah tidak terima hanya kau yang dipandang tidak benar oleh ibunya Kalista. Awalnya juga ayah sama kagetnya dengan ibunya Kalista. Pantas kalian bisa pacaran. Kalian sama-sama jalur sesat." "Ayah, bukan seperti itu," bantah Liam. "Sekarang ayah bertanya. Jawab yang jujur. Kau dan Kalista, apa pernah... " Saddam memberi isyarat dengan tangannya. Menyatukan dua telunjuk di tangannya berulang-ulang. "Apa itu?" Liam kurang mengerti maksud sang ayah. Saddam berdecak, kemudian mendekat untuk lebih berbisik kepada Saddam, meski di restoran tersebut tidak ada pengunjung selain mereka. "Kalian sudah melakukannya? Tidur bersama."Liam membeku. Lidahnya kelu seketika. Ingin menggeleng, maka itu artinya Liam berbohong pada sang ayah. Ingin me
Sore itu, Jihan sudah menunggu seseorang di salah satu cafe bernuansa outdoor. Jam janjian belum tiba. Namun, ia tiba lebih awal sedikit. Sekitar sepuluh menit kemudian yang ditunggu Jihan pun tiba. "Hei, Jihan! Maaf, aku datang terlambat," ucapnya sambil menjatuhkan bokongnya di kursi. "Kau tidak terlambat sama sekali, Liam. Aku saja yang datang terlalu cepat." Kalista menyerahkan buku menu kepada Liam. "Tadi pramusaji sudah menanyaiku. Namun, aku memutuskan memesan menu setelah kau tiba. Pesanan kita disamakan saja."Liam pun memanggil salah seorang pramusaji dan menyerahkan daftar pesanannya. "Oke. Jadi ada apa kau mengajakku bertemu?" tanya Jihan yang langsung menopang punggung tangannya di dagu. Semilir angin membuat surai coklatnya berkibar halus. Jika seandainya perasaan Liam masih sama, mungkin ia akan terpesona sekali lagi. "Aku ingin kita bicaranya nanti saja setelah makan. Boleh, bukan?" Liam khawatir kalau pembah
Jihan pulang sehabis pertemuannya dengan Liam. Namun, Bian sudah menunggunya dengan berdiri di bawah tangga, di mana tangannya masuk ke dalam saku. Bian menatap tajam pada Jihan yang hanya menyapanya dengan senyum manis seperti biasa. "Halo, Mas. Tumben kau sudah di rumah. Ada yang ketinggalan?" Jihan mendekati Bian dan ingin mengecup pipi suaminya. Namun Bian menepis perlakuan itu. Senyum Jihan memudar dan menatap Bian penuh tanya. "Habis darimana kau?""Aku keluar sebentar. Ada keperluan sedikit, Mas.""Kenapa tidak mengatakan langsung kalau kau bertemu dengan Liam?""Ah, ummm, iya. Aku bertemu dengannya," tutur Jihan sedikit ragu."Kenapa kau gugup? Apa ada yang salah dengan pertemuanmu dan Liam tadi? Mengapa harus kau sembunyikan? Mengapa kau tidak mengatakan padaku ingin pergi kemana? Kau biasanya selalu mengabariku kemana pun kau pergi." Bian mencecarnya tanpa bisa disela oleh Jihan. "Maaf, Mas. Pertem
Bian pulang malam itu sekitar jam sebelas malam lewat. Ia berjalan sempoyongan sembari memegangi kepalanya. Dasinya tidak tersimpul dengan rapi lagi. Jasnya pun tidak terkancing lagi. Bian melangkah sembari berpegangan pada dinding dan susah payah menuju kamar. Sedangkan Jihan belum juga bisa memejamkan matanya. Kepalanya dipenuhi oleh pikiran yang berkecamuk. Setelah Bian tidak pulang untuk makan malam, Jihan langsung membuang semua makanan yang sudah ia masak. Jihan langsung mengganti pakaiannya dan menghapus dandanannya. Ia merasa segala yang ia lakukan disia-siakan. Setelahnya, jadilah Jihan hanya gelisah di tempat tidur. Meski isi kepalanya begitu melilit, tetap saja rasanya ia susah untuk tertidur. Namun, waktu itu pintu kamar terbuka keras. Meski penerangan sudah Jihan matikan dan cahaya hanya berasal dari lampu tidur, ia bisa melihat jelas siluet Bian mendekat ke arahnya. Jihan yang tadinya marah, kesal, dan jengkel, mendadak sirna set
Bian masih merasakan sakit pada kepalanya ketika ia membuka mata pagi itu. Bian meraba-raba ke sekitarnya mencari telepon genggamnya. Akan tetapi ia tak menemukannya. Maka Bian mengulet lebih dulu sebelum akhirnya ia bangkit dan menemukan benda yang ia cari terkapar begitu saja di lantai. Bian turun dari tempat tidur dan memungutnya. Bian sempat heran melihat seluruh pakaiannya berceceran di lantai. Namun Bian lebih dulu mengaktifkan ponselnya yang sempat mati. Bian sekali lagi memindai ke tempat tidurnya yang berantakan. Bian mencium sisa-sisa bau alkohol yang akhirnya mengingatkannya akan acara pestanya bersama para petinggi perusahaan yang lain. Acara yang awalnya hanya pesta biasa, berujung dengan kegilaan yang hampir membuat Bian lepas kendali. Untung saja salah seorang temannya mengajaknya pulang meski sama-sama sempoyongan. Mereka memesan sopir sewaan untuk mengantar mereka pulang. Setelah itu, Bian lupa sama sekali dengan apa yang terjadi. Bian
"Harusnya kau merasakan rasa takut ini lebih awal," sambung Nevan lagi. Nevan tidak bisa memberi tips apapun karena menurutnya Bian harus menikmati rasa sesalnya dulu. Nevan sudah lebih dari cukup menasehati Bian agar tahu kapan ia harus berhenti. Bian tenggelam dalam pikiran keruhnya. Baru satu hari, ia tidak melihat Jihan, rasanya sudah sekacau ini, padahal sebelum ini, ia tidak merasa begitu harus melihat entitasnya.Karena dirasa bertemu Nevan tidak banyak membantu, Bian memilih pulang dan itu semakin menambah rasa sesak di dadanya. Bian duduk termenung di dapur. Melihat ke arah meja yang sering Jihan gunakan untuk memasak. Dapur tersebut seperti tidak memiliki kehidupan. Bian menatap tak selera pada meja makan yang sudah juru masak siapkan hari itu. Bian memasuki kamar yang masih berantakan. Para pelayan tidak berani masuk ke kamar Tuan dan Nyonya mereka jika tidak ada perintah lebih dulu. Bian masih bisa mencium bau habis bercinta sisa semalam. Bian melepas seprei dan selimu
Cuaca pagi itu sebenarnya bagus. Namun tidak berpengaruh apa-apa untuk Bian. Lelaki itu duduk membeku di tepi tempat tidurnya seolah-olah dunia sudah melemparnya jauh ke universe lain. Bian menangis tanpa ekspresi sama sekali. Wajahnya hanya diam dengan air mata yang turun ke pipi.Bian tetap pada posisi demikian sampai sebuah suara mengejutkannya. Bian menoleh pada pintu yang diketuk pelan dan suara yang ia kenali memanggil namanya dengan sopan. Bian menyeka air mata sebelum beranjak menuju pintu. Bian membuka pintu dan menemukan Joanna yang berusaha mengatur ekspresi wajahnya agar tidak tampak terlalu kaget akibat melihat bosnya hanya mengenakan celana kolor pendek sepaha dan kaos putih polosnya. "Selamat pagi, Pak.""Selamat pagi, Joanna. Sedang apa kau di sini hari minggu? Bukankah harusnya kau libur?" Joanna berusaha keras menyembunyikan semburat merah di pipinya akibat masih menahan rasa hebohnya melihat penampilan bosnya yang di
Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y