"Val, terima kasih. Tidak menyangka kita malah keterusan jalan sampai malam."
Mereka sudah tiba di kediaman Kalista. Liam juga diajak mampir, karena dibujuki Kalista untuk makan sate telur puyuh, makanan yang Kalista beli saat tak sengaja melihat angkringan tepi jalan ketika dalam perjalanan pulang."Apa sungguh tidak masalah bila aku mampir? Siapa tahu kau tidak terima tamu di malam hari.""Kau bukan tamu. Kau itu temanku, Val. Lagipula sebentar lagi hujan. Aroma basah sudah tercium. Jadi lebih baik mampir dulu menemaniku makan sate telur puyuh."Kalista menutup pintu kemudian meletakkan sate telur puyuhnya di atas meja makan. Liam mengambil piring kosong di kabinet dapur dan membuka bungkusan plastik sate telur puyuhnya untuk dihidangkan."Aku tinggal sebentar dulu. Aku ingin buang air kecil," ucap Kalista yang setelah kembali sudah mengenakan setelan baju tidur lucu bermotif biskuit coklat yang tertawa lebar hingga satu gigi besarnHujan deras dan angin kencang di luar semakin menderu ribut. Bahkan petir semakin sering menggema. Akan tetapi, Kalista tidak takut lagi. Berada di pelukan Liam adalah rasa aman yang sesungguhnya. ***Aroma petrikor selalu membuat rileks bagi mereka yang menyukainya. Namun, aroma itu tidak bisa dirasakan oleh kedua insan yang berpelukan di tempat tidur dengan hanya selimut yang menutupi tubuh keduanya. Kalista membuka matanya lebih dulu. Tentu pemandangan yang ia tatap pertama kali adalah wajah rupawan Liam yang malam tadi terlihat seratus kali lebih tampan dari biasanya. Jemari Kalista menelusuri garis rahang Liam yang ditumbuhi bulu-bulu tipis yang memberikan sensasi menggelitik nikmat ketika bersentuhan dengan gundukan dadanya malam tadi. Masih terbayang betapa lembutnya Liam memperlakukannya malam tadi. Ditambah setiap pujian yang ia lontarkan, semakin membuat Kalista lupa bila dirinya sedang berhubungan
Mengapa malah Kalista yang lebih dulu mengajaknya menikah? Bukankah harusnya dirinya yang melamar lebih dulu? Mengapa Liam rasanya selalu kalah start dari Kalista? Bahkan berciuman saja, juga Kalista yang memulai. Melihat ekspresi Liam, malah membuat Kalista mencubit pipinya hingga Liam mengaduh kesakitan. "Val, aku boleh bertanya?" Liam menyimak dengan baik, apapun pertanyaan yang akan diberikan oleh Kalista, akan berusaha Liam jawab. "Kita ini apa? Setelah yang kita lalui sebelum ini, status hubungan kita apa?" Liam terdiam. Ia pikir sekarang dirinya dan Kalista adalah sepasang kekasih. Bukankah sudah jelas dengan apa yang dikatakannya berulang kali di tengah pergelutan tempat tidur malam tadi? "Kita pacaran." Liam menyebutkannya hati-hati sekali. Mengapa rasanya aneh mengatakan ini? Apalagi melihat ekspresi Kalista yang seperti tampak kecewa? Apa jawabannya salah? Liam kembali berpikir. Apa Kalista in
"Maafkan aku. Maaf, karena tidak ada kabar seharian. Aku benar-benar tenggelam dalam pekerjaanku kali ini. Bahkan aku tidak sempat memeriksa ponselku."Kalista sebenarnya tahu kalau Liam sangat sibuk. Bahkan ia tidak masalah diabaikan. Karena Kalista tahu kalau diabaikan versi Liam bukan abai yang sesungguhnya. Kalista mengerti betul bila pekerjaan Liam tidak bisa disambi dengan bertukar chat apalagi sambil melakukan video call. Namun, melihat sikap Liam sekarang yang datang-datang langsung meminta maaf berulang kali, membuat Kalista merasa berharga. Menurut Kalista, harusnya Liam pulang dulu ke rumah untuk mandi dan ganti pakaian. Tapi pemuda itu malah memilih menemuinya lebih dulu. Ternyata begini rasanya menjadi prioritas, pikir Kalista. "Aku paham, kok. Aku tidak marah. Terlihat jelas dari wajahmu kalau kau benar-benar lelah. Ayo, masuk! Makan malam dulu sebelum pulang." Kalista menarik tangan Liam agar cepat masuk ke dalam. Sebenarnya Liam ingin menolak, karena ia takut keja
"Mas, aku masih ingat dengan jelas saat kau mengatakan bila kunci keberhasilan pasangan suami istri itu adalah komunikasi. Namun keadaan kita sekarang ini terasa sekali kurangnya. Quality time kita berkurang banyak, bahkan nyaris tidak ada. Kita sudah tidak pernah mengobrol dari hati ke hati. Kau terkesan menghindariku dengan menyibukkan diri pada pekerjaan. Kau dulu tidak pernah sampai mengabaikanku meskipun pekerjaanmu menggunung. Dan kau malam tadi menyuruhku menjauh dengan dalih agar aku tidak kau jadikan pelampiasan amarah." Jihan menghela napas panjang," Semakin hari, aku semakin tidak mengenalimu. Suami yang menikahiku dulu adalah lelaki yang hangat, pengendalian emosinya bagus, dan selalu menjaga perasaanku. Dia tidak pernah meninggikan suaranya meski semarah apapun.""Mas, tatap mataku sebentar. Aku mohon." Bian sedari tadi menunduk di meja makan. Sarapan yang mereka hadapi tidak tersentuh. Sebelum ini, mereka tidak pernah membahas masalah rumah tangga di meja makan. Namun
Bian berlari dengan sedikit kepayahan akibat menyeret kakinya yang nyeri sebelah dan memegangi tangan kirinya yang memiliki luka kecil. Ia harusnya tidak diperbolehkan ke mana-mana setelah selesai dirawat di IGD. Namun, setelah mendapat telepon dari rumah bahwa Jihan terjatuh dari tangga, sukses membuat dirinya panik bukan main. Pandangannya mengabur oleh air mata bercampur keringat. Rasa khawatirnya menghantui lebih dari apapun. Margareth dan Nicholas menenangkan Bian, karena Jihan masih ditangani di meja operasi. "Bayi...." ucapnya lirih. Nicholas memeluk putranya, berusaha mentransfer rasa sabar yang sebenarnya sia-sia. Segala pikiran negatif, berkecamuk begitu saja. Rasa bersalah Bian menjadi-jadi dikala ingat, jika ia meninggalkan istrinya dalam keadaan yang tidak bisa dikatakan damai. Mereka berseteru dingin. Bian yang kepalanya hanya dipenuhi oleh Kalista, lantas tega mengabaikan sang istri yang sebenarnya membutuhkan perhatiannya. Sekarang, nyawa istri dan bayinya dipertar
Liam terburu-buru mendatangi sang ayah. Ia diarahkan oleh seorang pramusaji ke private room. Sepertinya ayahnya ingin pembicaraan mereka dikeep secara rahasia. Apalagi ini, Liam pun cukup penasaran. Dalam hati Liam berharap, semoga saja saat ia memasuki private room, tidak akan ada wanita yang ternyata sudah menunggunya. Ini bukan prank kencan buta yang kesekian, bukan? Liam bernapas lega saat mendapati ayahnya saja dengan ekspresi muram duduk sendirian sambil menyesap wine. Tunggu, bukankah terlalu pagi untuk menikmati wine. "Ayah, ada apa?" tanya Liam penasaran tanpa mengucap salam. Langsung dihampirinya sang ayah yang menoleh dan menunjukkan ekspresi murung kepadanya. Hati Liam berfirasat bila ada hal genting yang terjadi. "Aku bingung harus bereaksi seperti apa. Aku ingin bersorak kegirangan, tapi nyatanya itu jauh dari ekspektasi. Ingin marah-marah, semuanya sudah terjadi." Liam tidak mengerti apabila ayahnya tidak menjelaskan a
"Mengapa kau diam saja, Liam?" Bian semakin menyudutkan Liam. "Memangnya apa urusanmu jadi sangat penasaran dengan aktivitas erotisku dan Kalista? Lagipula yang kau lakukan juga termasuk kriminal. Apa kau punya izin dari Kalista untuk memata-matainya? Biar ku tebak. Pasti Pak Kano adalah tangan kananmu. Rumah yang Kalista tempati sekarang, apa kau dalangnya? Kemudian tempat kerjanya sekarang, terlalu aneh seorang pimpinan perusahaan memiliki kebaikan bak malaikat. Itu semua perintahmu, bukan? Termasuk pendidikan prenatal yang didaftarkan Pak Kano." Damn! Liam sebenarnya tidak ada niat untuk berbalik menyudutkan Bian. Namun, ia merasa harus menutupi kebohongannya dengan mencari celah kesalahan Bian. Mengapa Liam merasa dirinya sekarang terlihat manipulatif? Liam semakin yakin bila seharusnya sejak awal dirinya tidak pernah mencoba berbohong. Bian menyeringai. Masih tersirat kesedihan pada sorot tajamnya. "Apa kau yakin bila Kalista me
Pertemuan keluarga hari itu terbilang tidak membahagiakan suasananya. Meski pertemuan itu diadakan untuk mewawancarai Kalista, calon istri Liam Benedicta, tetap saja kesedihan masih meliputi suasana duka akibat musibah yang menimpa Jihan. Selain Saddam, di sana juga berhadir Nicholas dan Margareth. Beberapa anggota sepupu mereka juga sudah tiba dan duduk di sebuah ruangan, di mana kursi dan meja disusun melingkar. Kalista yang sudah tiba sejak setengah jam yang lalu dipersilakan mengisi kursi kosong di tengah-tengah mereka. Liam juga mengisi kursi kosong di samping Kalista. Liam memegangi tangan Kalista untuk sekadar menguatkan rasa gugup. Para tetua memperhatikan keduanya dengan ekspresi yang berbeda. Ada yang berdecak kesal, ada yang kecewa, ada yang tampak acuh, bahkan ada yang terkesan uring-uringan. Margareth dan Nicholas jelas termasuk dari mereka yang kesal dicampur kecewa. Sedangkan Saddam, ia terpaksa menahan rasa malunya pada saudara dan para