Levi menatap gedung-gedung bertingkat di luar sana. Semua sibuk hilir mudik dengan semua kesibukan dan urusan masing-masing, sementara Bu Hera menatap anak semata wayangnya itu dengan perasaan campur aduk. "Ini sudah malam, apa kamu belum ngantuk?" tanya Bu Hera pada Levi. Pria dewasa itu menghela napas. "Saya gak bisa tidur, Mom. Bagaimana Rana?" tanya Levi."Rana sudah diantar pulang oleh Pak Samsul sore ini. Rana pulang ke Jakarta untuk pemulihan. Bapaknya mungkin akan membantu menjaga serta merawat Rana untuk beberapa hari ke depan," jawab Bu Hera masih dengan kesedihan mendalam."Jika kita semua balik ke Jakarta, lalu makam bayi saya?" tanya Levi seakan tidak tega meninggalkan putrinya sendirian di kota orang."Mama akan bicara pada dokter dan aparat lingkungan setempat. Jika boleh, makam Mehra akan kita pindahkan di Jakarta. Di samping makan papa kamu." Levi mengangguk. Hal itu memang yang ia inginkan. Putrinya berada satu kota dengannya meskipun sudah beda alam."Rana apa sud
Tubuh Rana bergerak gelisah saat suara ponsel berdering berkali-kali. Wanita itu membuka mata, lalu meraih ponsel di atas nakas dengan malas. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Rana langsung saja menggeser layar terima."Halo, siapa?""Halo, Rana, ini Bapak. Mbak Adis kamu sudah ditemukan.""Alhamdulillah." Rana yang tadinya lemas, mendadak membuka mata dengan lebar. "Tapi kondisinya tidak baik dan perlu perawatan intensif dan ekslusif. Dokter menyarankan kakak kamu dirawat ke kamar VIP yang per malam biayanya empat juta dua ratus ribu rupiah. Mungkin akan menghabiskan waktu tujuh hari di rumah sakit, di luar obat. Bapak butuh lima puluh juta untuk kakak kamu. Kirim sekarang ya, karena Bapak sudah ada di kasir.""Pak, lima puluh juta uang dari mana? Saya gak ada. Baru kehilangan bayi. Bapak malah minta uang banyak sekali. Saya baru kirim empat juta kemarin, sekarang sudah minta lagi. Bapak tega sekali pada saya. Saya di sini pembantu, Pak. Saya baru kehilangan bayi, Bapak gak ada uc
"Mbok, apa Mbok tahu hubungan Syabil dan Nyonya Jelita?" tanya Rinai saat membantu Mbok Nah mencuci piring. "Tentu saja majikan dan ajudan, tapi mungkin dengan Syabil lebih dekat dibanding yang lain, kenapa? Mbok baru tahu kamu mantan Syabil dari Udin. Maksud Udin kali aja kalian bisa balikan, ternyata kayaknya gak bisa ya." Mbok Nah memberikan komentar. Rinai hanya bisa tersenyum pedih menanggapi ucapan Mbok Nah."Saya pun berharap bisa balikan sama Syabil, Mbok. Makanya mau aja pas Udin nawarin kerja di sini jadi asisten Nyonya Jelita, tapi kayaknya saya doang yang berharap, Syabilnya biasa aja. Mungkin bosan juga kali ya, Mbok.""Mungkin Syabil juga udah ada yang lain. Tapi bisa juga lagi dalam mode bosan. Kenapa gak biarkan Syabil tenang dulu? Kalian sama-sama introspeksi. Biarkan Syabil mungkin lagi fokus sama urusan pekerjaannya dengan juragan dan Non Jelita. Apalagi juragan lagi sakit. Lusa katanya mau dibawa balik ke Indonesia, tapi ke Jakarta. Bisa jadi, Non Jelita pun ke sa
Nisa segera bangun dari tempat duduknya saat mendapati jari tangan Abdi melakukan pergerakan. Wanita itu segera mendekati kakaknya tersebut untuk memastikan. Matanya berbinar begitu melihat pergerakan untuk yang kedua kalinya."Kang? Kang?" Nisa terus memanggil kakaknya sebab dia belum membuka mata.Matanya kembali memastikan pergerakan tangan Abdi. Untuk ke sekian kalinya, Nisa yakin jika itu pertanda bahwa sang kakak sudah sadarkan diri.Tak mau menyimpan kabar ini sendiri, wanita muda itu segera mencari keberadaan suaminya. Bahkan, dia melupakan untuk memberi tahu dokter lebih dulu. Begitu keluar dari ruangan, baru saja Nisa berjalan beberapa langkah, di ujung lorong suaminya tengah berjalan ke arahnya. Nisa segera berlari untuk mendekat."Kang, Kang Abdi …," ucap Nisa dengan napas tersengal-sengal."Ada apa? Kenapa dengan Abdi?" Pak Darmono bertanya dengan panik."Kang Abdi sudah sadar," jawab Nisa seraya tersenyum lebar.Pak Darmono tertegun untuk beberapa saat. Bersamaan dengan
"Apa kamu ingat namamu?" Kini giliran Pak Darmono yang bertanya.Abdi terdiam beberapa saat. Semua mata tertuju padanya penuh harap. Namun, lagi-lagi pria itu menggeleng.Luisa semakin ketakutan. Dia ingin sekali memeluk pria itu untuk mengurai kerinduan, tapi tentu saja tak bisa dilakukan karena suaminya tampak hilang ingatan. Luisa mencoba menahan diri sambil berpikir."Apa tidak sebaiknya kita panggil dokter lagi, Pa?" Luisa berbicara pada ayahnya."Baiklah. Biar Papa panggil dokter lagi."Luisa mengangguk. Nisa yang sejak tadi tak banyak bicara segera mendekati putri suaminya. Dengan penuh kasih, dia mengusap bahu wanita itu, mencoba menenangkan. Di sisi lain dia pun merasa terpukul melihat keadaan kakaknya yang sudah sadar tapi tak ingat apa-apa.Tak lama dari itu Pak Darmono kembali bersama dokter. Dia menjelaskan pada dokter tersebut keadaan Abdi yang tak ingat siapa pun di antara mereka, bahkan pria itu tak mengingat apa yang terjadi padanya.Dokter kembali memeriksa. Dia menc
Seorang pria yang sangat terobsesi pada Luisa sedang merenungi apa yang sudah dia lakukan selama ini. Entah sebanyak apa cara yang dia gunakan, rupanya hati Luisa tetap sulit didapatkan. Wanita itu justru semakin mencintai suaminya.Levi menatap ke arah wanita yang sedang tertidur di sampingnya dengan posisinya duduk, kepalanya beralaskan tangan yang terlipat. Sepertinya, wanita itu tertidur setelah menjaganya semalaman.Levi terus memperhatikan setiap inci wajah wanita itu. Bagian mata yang menghitam, serta kantung mata yang terbentuk, menjadi bukti bahwa wanita itu kurang istirahat selama mengurus dirinya. Tiba-tiba ada yang berdesir dalam hati Levi, perasaan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Tiba-tiba kelopak mata wanita yang merupak istrinya itu bergerak. Tak ingin terlihat sedang memperhatikan, Levi segera memejamkan mata, seakan-akan masih tertidur.Rana membuka mata dengan sempurna. Dia mencoba memperbaiki posisi duduknya. Namun, karena dia tidur dengan posisi yang tak ny
Rana tidak memedulikan pesan yang dikirimkan oleh bapaknya. Karena memang ia tidak ada uang. Ia juga tidak mungkin berani minta uang lagi pada mertuanya karena urusannya belakangan ini sudah sangat banyak dan menyusahkan sang Mertua. Dua hari sudah berlalu dan ia juga tidak mau tahu keadaan Adis. Batin dan kesedihan yang ia rasakan saat ini, tidak ada yang peduli, bahkan ucapan bela sungkawa dari bapak dan kakaknya tidak ada. Hanya tetangga di kampung dan beberapa temannya yang turut mengirim pesan ucapan duka cita. Ia sedang menunggu telepon dari Levi, tetapi sejak ia sampai di rumah kembali, suaminya sama sekali tidak ada meneleponnya. Apakah suamiya mengira hubungan ini sudah usai? Kontraknya sudah habis?Film action yang ia tonton tidak begitu menarik lagi karena ia begitu sedih di rumah hanya ditemani bibik. Sesekali mertuanya menelpon, tetapi baginya kurang. Ia ingin suaminya yang menelepon.Kring! Kring!Rana tersentak saat ponselnya berdering. Ia berharap suaminya yang menel
Rana, Mbak kamu ditalak suaminya karena memecahkan guci yang katanya antik itu seharga empat ratus juta. Kalau kamu gak bisa ganti, maka kakak kamu dipenjara. Tolong Bapak, Rana. Pinjamkan uang empat ratus juta pada suami kamu.Rana menangis membaca pesan bapaknya. Bapak yang sangat ia sayangi dan hormati peduli padanya. Mengirimkan pesan padanya hanya pada saat membutuhkan uang saja. Uang, uang, uang, uang. Hanya itu mungkin yang terlintas di kepala Pak Ramdan saat mengingat Rana. Padahal anak bungsunya itu pun bukan orang kaya. Mertuanya yang kaya, bukan suaminya, apalagi dirinya.Rana gak ada, Pak. Suami Rana masih sakit dan butuh biaya banyak untuk berobat. Kalau memang harus dipenjara ya sudah, gak papa. Mbak Adis memang harus bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan? Kenapa jadi saya yang kelimpungan? Uangnya bukan empat ratus ribu, tapi empat ratus juta. Saya melacur setiap hari selama setahun belum tentu dapat segitu banyak.SendRana yang kesal akhirnya memblokir kontak bap