Nisa segera bangun dari tempat duduknya saat mendapati jari tangan Abdi melakukan pergerakan. Wanita itu segera mendekati kakaknya tersebut untuk memastikan. Matanya berbinar begitu melihat pergerakan untuk yang kedua kalinya."Kang? Kang?" Nisa terus memanggil kakaknya sebab dia belum membuka mata.Matanya kembali memastikan pergerakan tangan Abdi. Untuk ke sekian kalinya, Nisa yakin jika itu pertanda bahwa sang kakak sudah sadarkan diri.Tak mau menyimpan kabar ini sendiri, wanita muda itu segera mencari keberadaan suaminya. Bahkan, dia melupakan untuk memberi tahu dokter lebih dulu. Begitu keluar dari ruangan, baru saja Nisa berjalan beberapa langkah, di ujung lorong suaminya tengah berjalan ke arahnya. Nisa segera berlari untuk mendekat."Kang, Kang Abdi …," ucap Nisa dengan napas tersengal-sengal."Ada apa? Kenapa dengan Abdi?" Pak Darmono bertanya dengan panik."Kang Abdi sudah sadar," jawab Nisa seraya tersenyum lebar.Pak Darmono tertegun untuk beberapa saat. Bersamaan dengan
"Apa kamu ingat namamu?" Kini giliran Pak Darmono yang bertanya.Abdi terdiam beberapa saat. Semua mata tertuju padanya penuh harap. Namun, lagi-lagi pria itu menggeleng.Luisa semakin ketakutan. Dia ingin sekali memeluk pria itu untuk mengurai kerinduan, tapi tentu saja tak bisa dilakukan karena suaminya tampak hilang ingatan. Luisa mencoba menahan diri sambil berpikir."Apa tidak sebaiknya kita panggil dokter lagi, Pa?" Luisa berbicara pada ayahnya."Baiklah. Biar Papa panggil dokter lagi."Luisa mengangguk. Nisa yang sejak tadi tak banyak bicara segera mendekati putri suaminya. Dengan penuh kasih, dia mengusap bahu wanita itu, mencoba menenangkan. Di sisi lain dia pun merasa terpukul melihat keadaan kakaknya yang sudah sadar tapi tak ingat apa-apa.Tak lama dari itu Pak Darmono kembali bersama dokter. Dia menjelaskan pada dokter tersebut keadaan Abdi yang tak ingat siapa pun di antara mereka, bahkan pria itu tak mengingat apa yang terjadi padanya.Dokter kembali memeriksa. Dia menc
Seorang pria yang sangat terobsesi pada Luisa sedang merenungi apa yang sudah dia lakukan selama ini. Entah sebanyak apa cara yang dia gunakan, rupanya hati Luisa tetap sulit didapatkan. Wanita itu justru semakin mencintai suaminya.Levi menatap ke arah wanita yang sedang tertidur di sampingnya dengan posisinya duduk, kepalanya beralaskan tangan yang terlipat. Sepertinya, wanita itu tertidur setelah menjaganya semalaman.Levi terus memperhatikan setiap inci wajah wanita itu. Bagian mata yang menghitam, serta kantung mata yang terbentuk, menjadi bukti bahwa wanita itu kurang istirahat selama mengurus dirinya. Tiba-tiba ada yang berdesir dalam hati Levi, perasaan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Tiba-tiba kelopak mata wanita yang merupak istrinya itu bergerak. Tak ingin terlihat sedang memperhatikan, Levi segera memejamkan mata, seakan-akan masih tertidur.Rana membuka mata dengan sempurna. Dia mencoba memperbaiki posisi duduknya. Namun, karena dia tidur dengan posisi yang tak ny
Rana tidak memedulikan pesan yang dikirimkan oleh bapaknya. Karena memang ia tidak ada uang. Ia juga tidak mungkin berani minta uang lagi pada mertuanya karena urusannya belakangan ini sudah sangat banyak dan menyusahkan sang Mertua. Dua hari sudah berlalu dan ia juga tidak mau tahu keadaan Adis. Batin dan kesedihan yang ia rasakan saat ini, tidak ada yang peduli, bahkan ucapan bela sungkawa dari bapak dan kakaknya tidak ada. Hanya tetangga di kampung dan beberapa temannya yang turut mengirim pesan ucapan duka cita. Ia sedang menunggu telepon dari Levi, tetapi sejak ia sampai di rumah kembali, suaminya sama sekali tidak ada meneleponnya. Apakah suamiya mengira hubungan ini sudah usai? Kontraknya sudah habis?Film action yang ia tonton tidak begitu menarik lagi karena ia begitu sedih di rumah hanya ditemani bibik. Sesekali mertuanya menelpon, tetapi baginya kurang. Ia ingin suaminya yang menelepon.Kring! Kring!Rana tersentak saat ponselnya berdering. Ia berharap suaminya yang menel
Rana, Mbak kamu ditalak suaminya karena memecahkan guci yang katanya antik itu seharga empat ratus juta. Kalau kamu gak bisa ganti, maka kakak kamu dipenjara. Tolong Bapak, Rana. Pinjamkan uang empat ratus juta pada suami kamu.Rana menangis membaca pesan bapaknya. Bapak yang sangat ia sayangi dan hormati peduli padanya. Mengirimkan pesan padanya hanya pada saat membutuhkan uang saja. Uang, uang, uang, uang. Hanya itu mungkin yang terlintas di kepala Pak Ramdan saat mengingat Rana. Padahal anak bungsunya itu pun bukan orang kaya. Mertuanya yang kaya, bukan suaminya, apalagi dirinya.Rana gak ada, Pak. Suami Rana masih sakit dan butuh biaya banyak untuk berobat. Kalau memang harus dipenjara ya sudah, gak papa. Mbak Adis memang harus bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan? Kenapa jadi saya yang kelimpungan? Uangnya bukan empat ratus ribu, tapi empat ratus juta. Saya melacur setiap hari selama setahun belum tentu dapat segitu banyak.SendRana yang kesal akhirnya memblokir kontak bap
Dari balik pintu kaca ruang Nicu tempat Abdi di rawat, Luisa menatap suaminya yang sedang menjalani pemeriksaan dengan tatapan sendu. Luka-luka di tubuh pria itu pasca kecelakaan, perlahan-lahan mulai membaik. Sayangnya tidak dengan ingatan Abdi yang hingga saat ini tak mengenali Luisa. Jangankan status mereka sebagai suami istri, sekadar nama Luisa saja pria itu sama sekali tidak ingat. Pun diri Abdi sendiri.“Kamu tidak akan melupakan kami untuk selamanya kan, Kang?” tanya wanita itu nelangsa seraya mengelus perutnya yang telah membuncit. Melihat Dokter dan perawat yang hendak keluar dari ruangan itu usai melakukan pemeriksaan, Luisa segera menyingkir memberi jalan.“Tidak masuk, Bu?”Dari tempatnya berdiri, lagi-lagi Luisa mendapati tatapan kasihan dari dua orang di hadapannya. Wanita itu tersenyum tipis sebagai jawaban. Alih-alih menjawab pertanyaan yang diajukan oleh perawat, perhatian Luisa justru jatuh pada pria paruh baya yang bertanggung jawab menangani Abdi selama di ra
"Dok, kapan kira-kira suami saya bisa pulang dari rumah sakit?" tanya Luisa dengan suara serak. Banyak menangis membuat tenggorokannya tidak nyaman saat berbicara. "Ingatan suami saya mungkin bisa pulih dengan cepat saat berada di rumah," kata Luisa lagi. Ia masih berusaha membesarkan hatinya agar terus semangat untuk mengembalikan ingatan Abdi. Dokter yang memeriksa Luisa tersenyum tipis."Ibu fokus pada kesehatan Ibu saja dulu. Bayi Ibu biar tumbuh sehat. Ini sudah masuk delapan belas Minggu saya dengar dari dokter kandungan yang memeriksa Ibu." Luisa mengangguk. "Tetap saja ingatan suami saya menjadi prioritas juga, Dok. Aneh sekali rasanya dan sedih, saat suami tidak ingat kita." Luisa hampir menangis."Sudah, Ibu tenangkan diri dan jangan mikir yang macam-macam ya. Ibu sudah bolak -balik masuk rumah sakit karena kondisi yang drop. Kasihan bayinya kalau Ibu terus begini. Bayi tidak akan bertumbuh dengan baik, jika ibunya stres. Sabar ya, ini ujian dari Tuhan. Semoga Ibu kuat, ke
"Adis, Pak Darmono sakit HIV," kata Pak Ramdan pada putrinya yang sedang asik menonton televisi. Sontak Adis menoleh dengan kaget. "HIV? Bapak yakin?" "Iya, informasinya akurat dan beberala ajudannya juga diminta periksa. Mereka hasilnya negatif. Sekarang tinggal kamu dan Bapak. Kita berdua terakhir berhubungan dengan dekat juragan. Kamu malah kasih perawan kamu sama tua Bangka sialan itu. Kini, kalau kamu tertular, itu pasti karena juragan dan kita bisa minta ganti rugi berupa uang.""Pak, saya yakin gak papa. Jangan panik gitu, nanti malah beneran kenyataan tertular. Udah ah, saya mau nonton. Kalau mau saya periksa, uangnya mana? Saya udah gak punya uang. Udah dikasih semua sama Nyai Larsih yang gak bikin apa-apa juga buat saya. Uangnya diambil, tapi Jelita gak diguna-guna. Bukan cuma pejabat doang yang doyan korupsi, ternyata dukun santet juga." Pak Ramdan hanya bisa menghela napas. Benar juga apa kata Adis, jika mau periksa maka butuh uang dan uangnya pasti tidak sedikit."Kalau