Garden Bay the Bay adalah tempat yang kami kunjungi pertama kali. Kawasan botani dengan hampir satu koma lima juta jenis tumbuhan itu menjadi wisata yang menyegarkan. Apalagi mengunjunginya pagi-pagi begini. Terasa benar segarnya oksigen yang dilepas dari tetumbuhan disini. Bahkan ada seratus lima puluh ribu lebih tanaman yang ditanam di pohon Baja. Unik sekali memang tempat ini. Sesekali Farel memintaku berpose untuk kemudian dia ambil gambar. Atau kadang dia mengajakku selfi. Layaknya pasangan muda pada umumnya.
Tempat ini memang indah, wajar saja pernah mendapat banyak penghargaan. Salah satunya yang paling bergengsi adalah Guinnes World Record untuk kategori “Rumah Kaca Terbesar”. Ah, andai kalian ada kesempatan, kunjungilah negara terdekat dari Batam itu.Ada banyak spot di Garden Bay the Bay yang sebenarnya sayang untuk di lewatkan. Flower Dome, Cloud Forest, Super Tree, OCBC Skywalk, dan masih banyak lagi. Tapi yang menarik perhatianku adalah OCBC Skywalk.Dia, gadis yang memanggil Farel tadi adalah Yulia. Ketakutan terbesarku itu muncul di hadapanku. Dengan riang dia menghampiri kami. Kakiku terasa lemas. Tenggorokan tercekat. Begitupun dengan sesak yang menusuk dalam dadaku. Inikah akhir dari semuanya?"Farel," ucapnya mengulas senyum manis. Farel tak bereaksi. Tatapannya tetap datar seperti tadi. Aku yang ketar ketir makin bingung melihatnya."Aku kangen kamu."Ya Tuhan. Tiba-tiba saja Yulia memeluk Farel di hadapanku. Sementara Farel, apa yang dia pikirkan? Kenapa dia diam saja. Tidak membalas, juga tidak melepas. Getir. Kurasakan bibirku mengulas senyum getir. Ah, katakanlah aku bodoh karena menuruti permintaan Farel untuk menambah satu hari lagi. Kalau tahu begini, aku bahkan akan terus merengek. Percuma. Semuanya sudah terlambat. Aku memilih pergi. Daripada disini menyiksa lara. Tapi, kurasakan tangan Farel menahanku. Ku toleh ke arahnya. Dan dia tanpa ekspresi. Yulia, dia masih memeluk Fare
"Wajahmu pucat, kamu sakit?"Bagaimana tidak pucat saat hatiku tengah kacau begini? Ku tepis telapak tangannya yang mendarat di dahiku."Tidak. Aku hanya tidak memakai make up.""Kita ke dokter ya?" ucapnya mengabaikan penjelasanku."Aish! Sudah kubilang. Aku gak sakit Farel... Kau pegang wajahku kan? Tidak panas kan?"Dia diam saja. Tapi sorot khawatirnya tak menghilang. Menghela napas lalu berbalik duduk di kursi."Aku tidak kerja," ucapnya dan melepas dasi yang baru saja kupasangkan."Eh! Siapa yang nyuruh? Gak. Sana berangkat.""Kamu sedang tidak baik-baik saja kan? Katakanlah. Kalau tidak aku tidak jadi berangkat."Keras kepalanya pria satu ini. Kuhampiri dia, sedikit menunduk karena dia tengah duduk. Memasangkan kembali dasi di kerah kemejanya. Tak lupa menyungging senyum termanis."Kenapa suamiku ini ngeyelan, hm?""Karena aku khawatir.""Tapi aku baik-baik saja, Rel. Hanya tidak memakai make up, da
Sementara itu, gadis cantik dengan tubuh semampai memandangi gedung menjulang di depannya. Senyum smirknya tersungging. Dengan koneksi yang dimilikinya, mudah saja dia menjalankan rencana.Dengan heels tinggi menyentak tanah, dan kepercayaan diri yang sama tingginya, dia melangkahkan kaki menuju perusahaan tersebut. Kedatangannya cukup menyita perhatian. Cantik dan elegan. Persis model yang tengah berjalan di atas catwalk.Tap! Tap! Tap!Bahkan intonasi dan ketukannya pun terdengar elegan. Tak heran bila karyawan pria langsung melongo melihatnya. Berbeda dengan karyawan perempuan yang langsung minder. Apa boss mereka menyewa model untuk keluaran produk terbaru? Kalau iya, wah, ini sangat sempuran. Batin mereka."Bisa beritahu saya dimana ruangan pak Farel?"Karyawan wanita penjaga meja resepsionis terkesip. "Ah, iya, Nona. Lantai dua lima paling atas. A-apa Nona ada janji?"Senyum samar tersungging di bibirnya."Benar. S
"Fa-Farel..." ucapku tertahan. Air mata jatuh berderi. Nyeri, sakit melihatnya pulang dengan Yulia. Lalu, apa maksud perkataan dia di telepon tadi, semudah itukah berubah?"Siapa kamu!"Keterkejutanku yang tadi belum sempat hilang, kini ditambah dengan kejutan yang lain. Farel tidak mengenalku. Bahkan tatapan ketidak sukaannya mengarahku. Beringsut aku turun dari ranjang."Rel, kamu gak---""Oh, dia... dia pembantu kita sayang."Jleb.Perkataan Yulia cukup membuat langkahku terhenti. Sa-sayang katanya? Dan, pembantu? Argh!!"Huh! Pembantu? Lancang sekali kau berada di kamar kami. Keluar!"Tak pernah sebelumnya bentakan keluar dari bibir Farel. Pun, saat kita masih kecil. Dan kini, dia membentakku, dihadapan Yulia. Lututku lemas. Aku jatuh terduduk."Eh, malah nangis. Apa perlu aku seret keluar hah!""Sayang, jangan gitu dong. Mungkin dia tadi sedang beberes kamar kita.""Beres-beres macam apa kalau dia saja bersant
Sudah beberapa hari sejak kedatangan Yulia.Meremat perasaan nyeri yang menghujam. Bayangkan saja, mereka bahkan tak segan bermesraan di depanku. Seolah aku ini tak ada. Farel, kamu benar-benar telah berubah.Seperti pagi ini, aku menyiapkan sarapan untuk mereka. Dari arah tangga Yulia menggelayut manja di lengan Farel. Ku buang pandangan cepat. Setelah itu kembali ke dapur. Tak mau melihat kemesraan mereka. Menyakitkan. Tapi rupanya, Yulia memang sengaja. Mendayu-dayukan suaranya dan membahas sesuatu yang tak pantas dibicarakan. Ah! Apakah mereka melakukannya? Hubungan suami istri itu? Semestinya... itu tidak terjadi. Walau bagaimanapun, istri sahnya tetaplah aku. Bukan Yulia.Lama-lama tak kudengar suara mereka. Itu berarti mereka telah pergi. Ku langkah kaki menuju ruang tamu. Tapi, yang kulihat justru menyakiti hatiku. Mereka... ah! Bagaimana sanggup aku bertahan melihat pemandangan nyata di depanku. Kedua bibir yang tengah berpagut di meja m
(POV FAREL)Kepalaku berkedut memikirkan berbagai peristiwa yang menimpa. Argh! Sial! Kenapa harus serumit ini sih. Semua gara-gara wanita siala itu. Brengsek! Argh!Sebuah panggilan membuyarkan lamunanku. Mama. Meraih ponsel dengan helaan napas berat terasa."Iya, Ma.""Kamu dimana sekarang?"Emosi yang jelas ku dengar dari seberang sana. Ku pejamkan mata sesaat. Menarik napas panjang."Di kantor, Ma. Ada apa?""Ke rumah sekarang.""Tapi, Ma? Farel sekarang sedang di kantor.""Ke rumah sekarang Farel!"Mama terdengar emosi."Mama ada apa sih? Marah-marah? Aneh.""Kamu tuh yang aneh. Mama gak habis pikir sama jalan fikiranmu, Rel. Huh!"Lagi-lagi ku hela napas berat."Apa salah Farel, Ma?""Pake nanya! Udah, cepat kesini!""Iya, Ma. Aku bangunkan Yulia dulu.""Jangan membawa jal*ng otu ke rumah!""Ma! Yulia bukan jal*ng. Mama kok gitu. Kenapa mama seperti itu pada menantu kesayangan mama sendiri."
"Apa? Kak Hana hamil?"Decisan terkejut terdengar dari seberang. Aku mengangguk samar. Mengusap wajahku kasar. Setelah tadi malam dia pingsan, tentu aku kalut sekali. Gegas membawanya ke rumah sakit. Karena kalau di rumah, takut Yulia mendadak terbangun. Meski sebenarnya mustahil terjadi karena obat tidur yang kucampurkan dalam minumnya.Senang? Tentu saja. Layaknya calon ayah yang lain, aku senang mendengarnya mengandung benihku. Tapi, disisi lain aku juga sedih, tak bisa mengungkapkan perasaan gembiraku. Sengaja aku tak memberi tahu Kak Hana tentang kehamilannya. Takut dia justru kepikiran. Tapi sepertinya mereka sudah tahu. Melihat mama yang murka padaku tadi pagi adalah bukti."Lalu, sekarang kak Hana bagaimana?"Dialah Devan, adik kak Hana. Dia yang tahu segala rahasiaku selama ini. Ku hela napas kasar."Dia pulang ke rumah.""Aish! Sialan. Sebenarnya aku ingin memakimu, Bang. Kalau saja tak ingat misi kita belum selesai. Aish!""Ini semua salahku, Dev," lagi-lagi aku mengusap ka
"Rel, ntar malam makan di luar, yuk."Aku tak menyahut. Memandangi sofa yang biasanya di duduki kak Hana. Dengan senyum lebarnya menyambutku pulang. Tapi kini, ah. Wanita ular ini yang berada di sampingku."Farel! Kok diam sih!"Aku tersentak. Menyungging senyum paksa."Oh, sory. Aku kepikiran sesuatu.""Siapa? Cewek pembantu itu?"Ada nada tak suka dari bicaranya. Bodo amat. Sayang sekali, bibirku harus mengulas senyum."Bukan sayang. Untuk apa aku memikirkan pembantu lancang itu, hm?" Yulia menggelayut manja di lenganku. Sebenarnya aku muak, tapi, Ya Tuhan, sampai kapan aku bertahan dengan wanita ular ini?"Ayo ke dalam. Emang kamu mau berdiri disini terus?" ajaknya dan menggamit lenganku menuju kamar.******Kamar ini, kamar yang menjadi saksi cinta tersembunyi kami. Saling bercanda, saling mengungkapkan kata cinta berkali-kali. Kehadirannya yang begitu menenangkan yang mampu menghapus penatku seharian. Senyumnya yang bagai candu. Ah! Kak Hana, apa kamu bakal membenciku?Aku mengus