"Wajahmu pucat, kamu sakit?"
Bagaimana tidak pucat saat hatiku tengah kacau begini? Ku tepis telapak tangannya yang mendarat di dahiku."Tidak. Aku hanya tidak memakai make up.""Kita ke dokter ya?" ucapnya mengabaikan penjelasanku."Aish! Sudah kubilang. Aku gak sakit Farel... Kau pegang wajahku kan? Tidak panas kan?"Dia diam saja. Tapi sorot khawatirnya tak menghilang. Menghela napas lalu berbalik duduk di kursi."Aku tidak kerja," ucapnya dan melepas dasi yang baru saja kupasangkan."Eh! Siapa yang nyuruh? Gak. Sana berangkat.""Kamu sedang tidak baik-baik saja kan? Katakanlah. Kalau tidak aku tidak jadi berangkat."Keras kepalanya pria satu ini. Kuhampiri dia, sedikit menunduk karena dia tengah duduk. Memasangkan kembali dasi di kerah kemejanya. Tak lupa menyungging senyum termanis."Kenapa suamiku ini ngeyelan, hm?""Karena aku khawatir.""Tapi aku baik-baik saja, Rel. Hanya tidak memakai make up, daSementara itu, gadis cantik dengan tubuh semampai memandangi gedung menjulang di depannya. Senyum smirknya tersungging. Dengan koneksi yang dimilikinya, mudah saja dia menjalankan rencana.Dengan heels tinggi menyentak tanah, dan kepercayaan diri yang sama tingginya, dia melangkahkan kaki menuju perusahaan tersebut. Kedatangannya cukup menyita perhatian. Cantik dan elegan. Persis model yang tengah berjalan di atas catwalk.Tap! Tap! Tap!Bahkan intonasi dan ketukannya pun terdengar elegan. Tak heran bila karyawan pria langsung melongo melihatnya. Berbeda dengan karyawan perempuan yang langsung minder. Apa boss mereka menyewa model untuk keluaran produk terbaru? Kalau iya, wah, ini sangat sempuran. Batin mereka."Bisa beritahu saya dimana ruangan pak Farel?"Karyawan wanita penjaga meja resepsionis terkesip. "Ah, iya, Nona. Lantai dua lima paling atas. A-apa Nona ada janji?"Senyum samar tersungging di bibirnya."Benar. S
"Fa-Farel..." ucapku tertahan. Air mata jatuh berderi. Nyeri, sakit melihatnya pulang dengan Yulia. Lalu, apa maksud perkataan dia di telepon tadi, semudah itukah berubah?"Siapa kamu!"Keterkejutanku yang tadi belum sempat hilang, kini ditambah dengan kejutan yang lain. Farel tidak mengenalku. Bahkan tatapan ketidak sukaannya mengarahku. Beringsut aku turun dari ranjang."Rel, kamu gak---""Oh, dia... dia pembantu kita sayang."Jleb.Perkataan Yulia cukup membuat langkahku terhenti. Sa-sayang katanya? Dan, pembantu? Argh!!"Huh! Pembantu? Lancang sekali kau berada di kamar kami. Keluar!"Tak pernah sebelumnya bentakan keluar dari bibir Farel. Pun, saat kita masih kecil. Dan kini, dia membentakku, dihadapan Yulia. Lututku lemas. Aku jatuh terduduk."Eh, malah nangis. Apa perlu aku seret keluar hah!""Sayang, jangan gitu dong. Mungkin dia tadi sedang beberes kamar kita.""Beres-beres macam apa kalau dia saja bersant
Sudah beberapa hari sejak kedatangan Yulia.Meremat perasaan nyeri yang menghujam. Bayangkan saja, mereka bahkan tak segan bermesraan di depanku. Seolah aku ini tak ada. Farel, kamu benar-benar telah berubah.Seperti pagi ini, aku menyiapkan sarapan untuk mereka. Dari arah tangga Yulia menggelayut manja di lengan Farel. Ku buang pandangan cepat. Setelah itu kembali ke dapur. Tak mau melihat kemesraan mereka. Menyakitkan. Tapi rupanya, Yulia memang sengaja. Mendayu-dayukan suaranya dan membahas sesuatu yang tak pantas dibicarakan. Ah! Apakah mereka melakukannya? Hubungan suami istri itu? Semestinya... itu tidak terjadi. Walau bagaimanapun, istri sahnya tetaplah aku. Bukan Yulia.Lama-lama tak kudengar suara mereka. Itu berarti mereka telah pergi. Ku langkah kaki menuju ruang tamu. Tapi, yang kulihat justru menyakiti hatiku. Mereka... ah! Bagaimana sanggup aku bertahan melihat pemandangan nyata di depanku. Kedua bibir yang tengah berpagut di meja m
(POV FAREL)Kepalaku berkedut memikirkan berbagai peristiwa yang menimpa. Argh! Sial! Kenapa harus serumit ini sih. Semua gara-gara wanita siala itu. Brengsek! Argh!Sebuah panggilan membuyarkan lamunanku. Mama. Meraih ponsel dengan helaan napas berat terasa."Iya, Ma.""Kamu dimana sekarang?"Emosi yang jelas ku dengar dari seberang sana. Ku pejamkan mata sesaat. Menarik napas panjang."Di kantor, Ma. Ada apa?""Ke rumah sekarang.""Tapi, Ma? Farel sekarang sedang di kantor.""Ke rumah sekarang Farel!"Mama terdengar emosi."Mama ada apa sih? Marah-marah? Aneh.""Kamu tuh yang aneh. Mama gak habis pikir sama jalan fikiranmu, Rel. Huh!"Lagi-lagi ku hela napas berat."Apa salah Farel, Ma?""Pake nanya! Udah, cepat kesini!""Iya, Ma. Aku bangunkan Yulia dulu.""Jangan membawa jal*ng otu ke rumah!""Ma! Yulia bukan jal*ng. Mama kok gitu. Kenapa mama seperti itu pada menantu kesayangan mama sendiri."
"Apa? Kak Hana hamil?"Decisan terkejut terdengar dari seberang. Aku mengangguk samar. Mengusap wajahku kasar. Setelah tadi malam dia pingsan, tentu aku kalut sekali. Gegas membawanya ke rumah sakit. Karena kalau di rumah, takut Yulia mendadak terbangun. Meski sebenarnya mustahil terjadi karena obat tidur yang kucampurkan dalam minumnya.Senang? Tentu saja. Layaknya calon ayah yang lain, aku senang mendengarnya mengandung benihku. Tapi, disisi lain aku juga sedih, tak bisa mengungkapkan perasaan gembiraku. Sengaja aku tak memberi tahu Kak Hana tentang kehamilannya. Takut dia justru kepikiran. Tapi sepertinya mereka sudah tahu. Melihat mama yang murka padaku tadi pagi adalah bukti."Lalu, sekarang kak Hana bagaimana?"Dialah Devan, adik kak Hana. Dia yang tahu segala rahasiaku selama ini. Ku hela napas kasar."Dia pulang ke rumah.""Aish! Sialan. Sebenarnya aku ingin memakimu, Bang. Kalau saja tak ingat misi kita belum selesai. Aish!""Ini semua salahku, Dev," lagi-lagi aku mengusap ka
"Rel, ntar malam makan di luar, yuk."Aku tak menyahut. Memandangi sofa yang biasanya di duduki kak Hana. Dengan senyum lebarnya menyambutku pulang. Tapi kini, ah. Wanita ular ini yang berada di sampingku."Farel! Kok diam sih!"Aku tersentak. Menyungging senyum paksa."Oh, sory. Aku kepikiran sesuatu.""Siapa? Cewek pembantu itu?"Ada nada tak suka dari bicaranya. Bodo amat. Sayang sekali, bibirku harus mengulas senyum."Bukan sayang. Untuk apa aku memikirkan pembantu lancang itu, hm?" Yulia menggelayut manja di lenganku. Sebenarnya aku muak, tapi, Ya Tuhan, sampai kapan aku bertahan dengan wanita ular ini?"Ayo ke dalam. Emang kamu mau berdiri disini terus?" ajaknya dan menggamit lenganku menuju kamar.******Kamar ini, kamar yang menjadi saksi cinta tersembunyi kami. Saling bercanda, saling mengungkapkan kata cinta berkali-kali. Kehadirannya yang begitu menenangkan yang mampu menghapus penatku seharian. Senyumnya yang bagai candu. Ah! Kak Hana, apa kamu bakal membenciku?Aku mengus
Sampai di kantor, aku bergegas menuju ruang meeting. Ada klien dari Australia dan salah satunya orang lokal yang harus kutemui. Yulia? Entah kemana dia. Posisinya sebagai sekretaris semakin tak terurus semenjak dia mengakui sebagai istriku waktu itu. Untung saja sekretaris lamaku masih bisa kuandalkan. Sebenarnya aku muak, ditambah sikapnya yang angkuh dan semaunya sendiri. Tidak hanya aku saja yang jengah, melainkan karyawanku yang lain mengeluhkan hal yang sama. Hanya saja mereka menutupinya meski terlihat jelas mereka hanya pura-pura."Oh, kamu ya menantunya Doni. Aku sering mendengarmu dari istriku. Tapi baru kali ini ketemu. Haha."Salah satu klien yang mengenalkan diri bernama om Bram itu menyapaku. Aku tersenyum tipis. Bagaimana pula aku harus menjawabnya."Who's?""Ah, begini mr. Smith. Dia ini ternyata menantu Doni, rekan bisnis kita," jelas om Bram. "Oh, really?"Aku semakin bimbang. Mengakui, itu jelas mereka akan terbongkar seandainya mereka tahu Yulia yang menjadi istrik
Aku menunduk. Terpaksa harus menjelaskan semuanya. Bahkan percuma juga berbohong. Yulia juga sudah tahu. Tapi, tentunya aku akan menyembunyikan alasan pribadi melakukan penipuan ini."Jadi--- ah, aku bahkan gak habis pikir, Rel. Tega kamu ya."Yulia menangis. Meski aku tahu, air mata buaya."Maafkan aku Yulia. Aku hanya tidak mau kamu sakit hati karena membayangkan yang tidak-tidak tentangku dan kak Hana. Jadi, aku terpaksa harus berbohong.""Lalu, kenapa saat berada di Singapura kamu berpura tidak mengenalku?" tukasnya tajam."Maaf. Saat itu aku belum ingat. Tapi, saat sudah di tanah air, aku mengingatmu. Makanya pas kamu ke kantor, aku langsung mengenalimu. Itu karena aku tak bisa berbohong tentang perasaanku Yulia."Yulia mendengkus. Ayolah, kenapa susah sekali membuatnya percaya."Dan, kenapa aku berpura tak mengenal kak Hana, itu karena aku takut kamu sakit hati membayangkan hari yang telah aku lalui bersama wanita itu karena selalu menganggap dia adalah kamu, sayang."Kugenggam