Ketika Tiffany terbangun, hari sudah pagi. Dia mencoba untuk bergerak, tetapi rasa sakit di punggungnya yang membara membuatnya tersadar sepenuhnya seketika. Setelah benar-benar terjaga, Tiffany baru menyadari bahwa dirinya sedang berbaring di ranjang rumah sakit bersama Sean.Ranjang itu hanya cukup untuk satu orang, sehingga mereka terpaksa tidur berdekatan. Sean memeluknya dengan erat. Tubuh mereka bersentuhan dan Tiffany bisa mendengar detak jantung pria itu di dalam dadanya dengan jelas.Detak jantung itu seirama dengan detak jantungnya sendiri, sama-sama tenang dan teratur. Tanpa sadar, sudut bibir Tiffany membentuk senyuman. Ini adalah pertama kalinya seseorang memeluknya saat tidur dan juga pertama kalinya dia bisa mendengar detak jantung seseorang dari jarak sedekat ini.Tiffany mengangkat pandangannya untuk menatap wajah Sean.Wajahnya tampak begitu tampan dan elegan dari samping. Tulang selangka yang menonjol, alis yang tegas, bulu mata yang panjang, dan bentuk bibir yang se
Di saat genting, Sean melempar tongkatnya dan merentangkan lengannya untuk menarik Tiffany. Tubuhnya sendiri terdorong ke belakang karena kekuatan dari benturan Tiffany. Namun untungnya, dia menahan dirinya di dinding dengan lengan lainnya dan mencegah mereka berdua terjatuh ke lantai."Ada apa? Kenapa buru-buru?" tanya Sean."Aku ... nenekku ...." Suara Tiffany terisak dengan gemetaran. Dia mendongak menatap Sean dan bertanya, "Apa ... sopir bisa antarin aku ke rumah sakit? Nenek sedang di ruang gawat darurat sekarang ...."Wajah Tiffany yang memerah karena cemas dan suaranya yang penuh kekhawatiran, membuat hati Sean tergerak. Dia mengangguk, "Kuantarkan ke sana."Tiffany hendak mengatakan sesuatu, tetapi Sean sudah menekan bel panggilan di dekat pintu. Sopir mereka, Genta, langsung muncul dan memanggilnya, "Tuan Sean.""Antar kami ke rumah sakit," perintah Sean sambil memberi isyarat dengan matanya.Genta segera masuk ke kamar untuk mengambil mantel dan penutup mata dari sutra untuk
Genta bergegas turun dari mobil, lalu mengambil kursi roda dan membantu Sean duduk di atasnya. "Yuk," kata Sean dengan nada tenang sambil tersenyum tipis padanya, "Kamu jalan duluan."Dengan perasaan campur aduk, Tiffany membawa Sean masuk ke rumah sakit. Mereka melintasi lobi yang ramai dan masuk ke lift dengan diam.Saat lift mulai bergerak, Tiffany akhirnya tidak bisa menahan diri lagi dan menoleh ke arah Sean. "Kakek Darmawan bilang kamu bukan orang yang suka keramaian dan nggak suka berinteraksi sama orang asing. Kenapa kali ini kamu bersikeras mau jenguk nenekku?"Sebelum benar-benar bertemu dengannya, Tiffany sudah bisa merasakan bahwa Sean adalah pria yang dingin. Setelah bertemu, dia menyadari bahwa Sean bukan hanya dingin, tetapi juga sangat angkuh. Pria seperti ini jelas bukan tipe yang suka berurusan dengan masalah keluarga atau kerabat."Karena penasaran.""Penasaran apa?" tanya Tiffany.Sean menoleh pada Tiffany. Tatapannya yang tersembunyi di balik kain sutra hitam itu s
"Kalian berdua bahkan nggak bisa dibandingkan sama orang luar sepertiku!"Thalia tertawa sinis, "Pintar sekali kamu bicara. Tapi untuk urusan Keluarga Maheswari, kamu nggak punya hak untuk ikut campur. Kamu pikir kamu siapa? Apa kamu pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk Nenek? Semua itu uang Keluarga Maheswari, bukan?""Enak saja bicara tanpa tanggung jawab. Kendra, kamu bilang uang untuk pengobatan Ibu bukan uangmu. Lalu itu uang siapa?" tanya Thalia."Tentu saja uangku." Saat Hannah dan Thalia sedang berdebat sengit dengan Tiffany dan pamannya, tiba-tiba sebuah suara yang dingin dan berat, menyela percakapan mereka.Semua orang di Keluarga Maheswari terdiam, lalu secara bersamaan menoleh ke arah suara tersebut.Mereka melihat seorang pria paruh baya yang kekar sedang mendorong seorang pria muda mendekat. Pria yang duduk di kursi roda itu mengenakan setelan jas yang sangat rapi dan matanya ditutup dengan kain sutra hitam.Wajah pria itu tampak tegas, dengan lekukan wajah yang ta
Sean melemparkan tatapan yang dingin seraya melanjutkan ucapannya, "Demi Tiffany dan Nenek yang sedang dalam kondisi kritis, aku bisa ampuni kalian kali ini. Tapi kalau kalian berani bicara sembarangan lagi, aku nggak akan sungkan-sungkan lagi seperti sekarang ini."Thalia meringis kesakitan karena lengannya dipelintir oleh Genta. Mendengar ancaman Sean, dia ingin membalas ucapannya. Namun, Hannah yang berdiri di sebelahnya, segera menahannya.Usia Hannah lebih tua dan lebih berpengalaman dibandingkan Thalia. Dia bisa melihat bahwa pakaian yang dikenakan Sean dan kain sutra di matanya bukanlah barang murahan.Ditambah dengan aura anggun dan wibawa yang terpancar dari Sean, Hannah sudah menduga bahwa pria ini bukan orang biasa. Kata-kata Sean barusan semakin meyakinkan Hannah bahwa dugaannya benar.Hannah menarik Thalia dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Aku tiba-tiba ingat, kami masih ada urusan lain yang harus diselesaikan. Kami pamit dulu!" Tanpa menunggu jawaban dari Kendra,
Ini bukan karena Sean memandang rendah orang desa. Banyak pelayan di keluarganya berasal dari pedesaan. Mereka semua sangat sederhana, jujur, dan apa adanya. Jarang sekali ada yang bisa berbicara dengan kalimat-kalimat puitis seperti Kendra.Kendra terdiam sejenak, kemudian memahami maksud Sean. "Terlalu banyak nonton drama.""Semoga begitu," balas Sean dengan senyuman dingin, lalu berbalik menatap Kendra melalui kain sutra hitam yang menutupi matanya. "Tapi kalaupun identitasmu ternyata nggak sesederhana itu, aku juga nggak akan merasa terkejut.""Bagaimanapun, orang biasa nggak akan terpikir untuk menikahkan 'keponakan' yang telah mereka rawat selama 20 tahun dengan seorang pria asing demi menyelamatkan nyawa ibunya."Wajah Kendra tampak agak memucat. "Aku nggak punya pilihan. Ini semua karena nasib Tiffany yang kurang beruntung."Kendra menatap Sean seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi tampak ragu-ragu. Setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang. "Pak Sean, Tiffany itu g
Kendra menjentikkan jarinya ke dahi Tiffany. "Kamu sudah jadi istri orang, mulai sekarang harus jaga penampilan. Lihat saja dirimu ini, keringatan sekali."Tiffany tersenyum canggung dan menunjuk sarapan di tangan Kendra. "Makan selagi hangat.""Lap dulu keringatmu." Kendra menggelengkan kepala dengan putus asa dan berbalik untuk mengantarkan sarapan kepada Sean.Gadis muda berbaju putih itu merogoh saku bajunya, tetapi tidak menemukan tisu. Saat dia hendak pergi ke toilet, tiba-tiba muncul sehelai saputangan berwarna biru tua di depannya. Sapu tangan itu disodorkan oleh tangan yang elegan.Tanpa berpikir panjang, Tiffany menerimanya, "Terima kasih.""Kamu seharusnya tahu, aku menyuruhmu pergi beli sarapan bukan karena aku benar-benar lapar." Suara Sean yang dingin, membuat tangan Tiffany yang sedang mengusap keringat berhenti sejenak. "Kami cuma mau bicarakan sesuatu yang nggak ingin kamu dengar."Tiffany berhenti mengusap keringatnya. Dia menoleh dan memandang Sean dengan tatapan yan
Setelah selesai makan, Tiffany mengumpulkan semua kemasan bekas sarapan Kendra dan membuangnya. Tepat ketika dia selesai, pintu ruang gawat darurat terbuka.Seorang perawat mendorong nenek Tiffany keluar dari ruang gawat darurat. Sementara itu, dokter melepaskan masker medisnya dan berkata, "Pasien sudah melewati masa kritis, tapi dia masih harus istirahat untuk pemulihan dalam waktu lama."Setelah itu, dokter menatap Kendra dengan pandangan penuh makna. "Kondisi tubuhnya sudah sangat lemah. Sebagai keluarga, saya harap kalian lebih berhati-hati. Dia nggak boleh mengalami stres lagi."Kendra mengangguk dan menjawab, "Saya mengerti."Perkataan dokter membuat Tiffany mengernyit. Apakah neneknya mengalami stres belakangan ini?Saat mengetahui bahwa Tiffany akan menikah dengan seseorang yang memiliki disabilitas sebelumnya, neneknya sempat jatuh sakit parah. Hal apa lagi yang membuatnya stres akhir-akhir ini? Tiffany melirik Kendra dengan penuh curiga.Kendra yang tampak gelisah, segera me
"Sean!" Air mata Tiffany mulai jatuh tanpa bisa dihentikan, bahkan tangisannya terdengar sangat menyedihkan."Jangan nangis." Tubuh Sean semakin berat. Suaranya rendah dan serak dengan sedikit penyesalan dan sedikit rasa bersalah. "Aku nggak bisa memelukmu lagi."Begitu Sean selesai berbicara, tubuhnya yang lemas langsung jatuh setengah berlutut di lantai. Tiffany tahu ini adalah efek dari obat tidur dan anestesi. Hatinya terasa cemas dan marah.Mereka benar-benar tega melakukan hal seperti ini kepada Sean! Meskipun tubuhnya tidak terluka parah, obat-obatan seperti ini bisa merusak saraf Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat tangannya untuk menopang tubuh Sean. "Sayang, nggak apa-apa. Kamu nggak bisa memelukku, tapi aku bisa memelukmu! Aku sangat kuat, kamu harus percaya padaku!"Tiffany memeluknya, berusaha sekuat tenaga agar tubuhnya dapat menopang berat tubuh Sean."Dasar bodoh." Sean tersenyum pahit. Tubuhnya akhirnya tidak kuat lagi. Dia benar-benar terjatuh di
Tiffany bergidik. Saat Tiffany tersadar, polisi sudah datang. Tiffany mengerahkan tenaganya ketika tangannya diborgol.Tiffany berteriak ke arah kamar Sean, "Sean! Cepat bangun! Aku tahu obat tidur nggak bisa sepenuhnya mengendalikan saraf seseorang! Kalau kamu bisa dengar, cepat bangun! Kalau kamu nggak bangun sekarang, kamu nggak akan bisa melihatku lagi!"Energi Tiffany terkuras setelah melontarkan semua ucapan itu. Air matanya juga terus mengalir. Begitu tahu dendam di antara pamannya dan Keluarga Tanuwijaya, Tiffany pernah memikirkan berbagai macam cara dirinya dan Sean berpisah.Tidak disangka, mereka akan berpisah dengan cara seperti ini. Selama bertahun-tahun, Sean tidak memiliki teman dekat. Orang-orang yang bisa dipercayainya hanya Sofyan, Genta, Chaplin, dan beberapa orang lainnya. Namun, Sean malah dikhianati.Tiffany merasa sedih. Carla memelototi Tiffany dan berujar dengan geram, "Nggak ada gunanya kamu teriak! Pak Polisi, cepat bawa dia pergi!"Polisi membawa Tiffany ke
Tiffany berujar seraya memelotot, "Kalian ...."Kemudian, Tiffany menenangkan dirinya dan menambahkan, "Ternyata kalian yang rencanakan serangan kali ini."Jika semua ini tidak direncanakan mereka, Sanny tidak mungkin begitu yakin bisa memfitnah Tiffany. Sanny melihat kukunya dan menyahut, "Benar. Mungkin Sean nggak menyangka orang yang kuutus untuk menjaganya dulu akan mematuhiku begitu aku kembali."Genta menghampiri Sanny dan berucap dengan sopan, "Nona Sanny, aku sudah meminta dokter untuk menambah dosis obatnya. Tuan Sean nggak akan bisa sadar untuk sementara waktu.""Oke," ujar Sanny. Dia menatap Tiffany seraya tersenyum bangga dan bertanya, "Sudah jelas, 'kan?"Tiffany mengernyit. Dia baru paham sebenarnya Sean tidak diserang. Sean hanya diberi obat agar tidak sadarkan diri.Akhirnya, Tiffany merasa tenang. Ternyata Sean tidak benar-benar terluka, melainkan dikhianati keluarganya.Carla tersenyum lebar sembari menggenggam pegangan kursi roda Sanny dan berkata, "Kak, kita jalanka
Tiba-tiba, Sanny menampar Tiffany. Alhasil, Tiffany yang lemas hampir terjatuh ke lantai."Tiffany!" seru Julie. Dia bergegas menghampiri Tiffany dan memapahnya. Julie memelototi Sanny seraya memarahi, "Atas dasar apa kamu memukul Tiffany?"Sanny mencibir, lalu menyahut, "Karena dia nggak tahu diri."Tatapan Sanny sangat dingin. Dia menatap Tiffany seraya melanjutkan, "Kemarin aku sudah bilang dengan jelas. Tapi, kamu masih bersikeras ingin bersama adikku. Tiffany, aku nggak pernah lihat wanita yang begitu nggak tahu malu sepertimu!"Tiffany menggertakkan giginya. Dia memandangi Sanny dan menegaskan, "Bukan aku yang membakarmu. Seharusnya dendam di generasi sebelumnya nggak memengaruhi hubunganku dengan Sean."Tiffany menambahkan, "Aku mencintai Sean, jadi aku nggak bisa meninggalkannya. Aku nggak merasa tindakanku salah."Sebelumnya, Tiffany hanya bisa menangis di depan Sanny. Sekarang, dia bisa berbicara dengan tegas. Sikapnya membuat Sanny terlihat seperti orang yang keterlaluan.Na
Zara sudah memberi tahu Julie apa yang terjadi saat Tiffany bertemu Sanny terakhir kali. Julie tidak ingin Tiffany berhadapan dengan Sanny. Namun, dia tidak bisa menghalangi Tiffany yang ingin melihat kondisi Sean.Julie yang memapah Tiffany mencebik dan mengingatkan, "Nanti kalau kamu bertemu Sanny, jangan anggap serius omongannya."Tiffany menyahut sembari mengangguk, "Iya, aku tahu."Sanny memang tidak menyukai Tiffany. Julie mendesah, lalu memapah Tiffany keluar. Kamar Sean terletak di lantai paling atas. Belasan pria kekar yang berpakaian hitam berdiri di depan pintu kamar Sean.Tiffany yang dipapah Julie berucap dengan lirih, "Sofyan, aku mau lihat Sean."Wajah Tiffany sangat pucat. Sofyan yang dilema memandang Tiffany sambil menjelaskan, "Nyonya, tapi Nona Sanny memerintahkan siapa pun nggak boleh masuk tanpa persetujuannya."Tiffany membalas, "Tapi, aku ini istri Sean."Julie menimpali seraya mengernyit, "Benar, Tiffany ini istri sah Sean. Kenapa kalian halangi dia lihat suami
Julie membantah, "Nggak! Jangan bicara sembarangan!"Tiffany menanggapi dengan ekspresi girang, "Kamu ini memang keras kepala. Kamu menjaganya semalaman, tapi bilang nggak suka dia lagi. Julie, kamu nggak jujur."Julie terdiam. Tiffany tersenyum. Tiba-tiba, dia merasa ada yang tidak beres. Tiffany bertanya, "Kamu bilang Mark pergi ke perusahaan?"Namun, Rika mengatakan Sean pergi pagi-pagi karena hendak membereskan urusan pekerjaan. Julie menyahut seraya mengernyit, "Iya, ada apa?"Tiffany bertanya lagi, "Kamu yakin Mark ditolak setelah mencari Sean, lalu Mark pergi ke perusahaan?""Iya," jawab Julie. Dia juga merasa ada yang tidak beres. Juli bertanya, "Ada apa, Tiff?"Jantung Tiffany berdegup kencang. Jika Sean tidak pergi ke perusahaan, kenapa dia membohonginya dan Rika?Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu memberi tahu Julie ucapan Rika. Dia berujar, "Aku mau tanya Kak Rika dulu."Rika memandang Tiffany dengan ekspresi panik sambil berkata, "Tuan Sean memang nggak langsung membe
Tiffany tidak tahu kapan tepatnya dia tertidur. Yang dia ingat hanyalah Sean memeluknya dengan erat, berbicara pelan di dekat telinganya untuk menyampaikan banyak kata-kata yang hangat dan menenangkan.Pada akhirnya, dia mencium lembut telinga Tiffany sambil berkata, "Terima kasih telah datang ke sisiku."Setelah itu, Tiffany pun terlelap. Dalam tidurnya, Tiffany bermimpi. Sebuah mimpi yang asing dan membuatnya merasa tidak nyaman.Di mimpinya, sekelompok pria menyeret seorang wanita ke sebuah ruangan. Tiffany tidak bisa bergerak dan bicara. Dia hanya terbaring di tempat tidur, tubuhnya kaku seperti batu.Dari ruangan di sebelah, terdengar suara tawa pria dan jeritan memilukan dari seorang wanita. Suara itu begitu menyayat hati dan membuat air matanya hampir mengalir tanpa sadar.Tiffany ingin bangkit dan berbicara, tetapi tubuhnya terasa seperti lumpuh total. Dia tidak mampu meminta tolong atau melakukan apa pun. Yang bisa dia lakukan hanyalah mendengar suara wanita itu berteriak deng
Sean berjalan mendekat dan menarik Tiffany ke dalam pelukannya. "Hatimu masih nggak nyaman?"Saat tangannya menyentuh Tiffany, tubuh gadis itu refleks menegang dan mencoba menghindar. Butuh beberapa detik sebelum dia menyadari bahwa yang menyentuhnya adalah Sean. Hatinya berdebar sejenak dan akhirnya dia merangkak masuk ke pelukan pria itu."Sayang ....""Aku tahu, apa yang terjadi hari ini sulit untuk kamu terima." Sean memejamkan matanya, suaranya penuh dengan ketulusan. "Kamu takut nggak? Darah yang mengalir dalam tubuhku adalah darah yang sama dengan mereka."Tubuh Tiffany membeku sesaat, semua sendinya terasa kaku. Namun, dia segera menggelengkan kepala dengan mantap. "Aku tahu, kamu nggak seperti mereka."Sean menghela napas panjang, lalu memeluk Tiffany lebih erat. Dia tersenyum sinis terhadap dirinya sendiri. "Dulu, aku memang seperti mereka. Aku nggak peduli pada apa pun, nggak punya beban, dan siap mati bersama siapa saja. Tapi sekarang ...."Sean mengulurkan tangan untuk men
Mark tersentak saat wajahnya terhempas ke samping akibat pukulan Sean.Dengan tenang, dia mengangkat tangan untuk menyeka darah di sudut bibirnya. "Tiffany nggak mengalami sesuatu yang serius. Apa kamu harus marah sebesar ini?"Hari ini, Sean telah berhadapan dengan Sanny sepanjang hari di perusahaan.Sanny bersikeras ingin menghancurkan Grup Tanuwijaya, sementara Sean hanya ingin memastikan Ronny menerima hukuman atas perbuatannya. Namun, pertengkaran saudara itu tidak menghasilkan apa-apa.Oleh karena itu, Mark memutuskan untuk mengambil inisiatif. Dia menggunakan Tiffany sebagai umpan untuk menjebak Michael dan mencoba memecahkan konflik Keluarga Tanuwijaya yang kacau ini.Tentu saja, dia tidak pernah memberi tahu Sean tentang rencana itu. Namun, bahkan dengan caranya ini, Mark telah mengikuti Tiffany sejak dia keluar dari sekolah untuk memastikan dia tidak mengalami hal buruk."Apa yang akan kamu lakukan kalau yang ditekan Michael hari ini adalah Julie? Gimana kalau orang yang dita