Kendra menjentikkan jarinya ke dahi Tiffany. "Kamu sudah jadi istri orang, mulai sekarang harus jaga penampilan. Lihat saja dirimu ini, keringatan sekali."Tiffany tersenyum canggung dan menunjuk sarapan di tangan Kendra. "Makan selagi hangat.""Lap dulu keringatmu." Kendra menggelengkan kepala dengan putus asa dan berbalik untuk mengantarkan sarapan kepada Sean.Gadis muda berbaju putih itu merogoh saku bajunya, tetapi tidak menemukan tisu. Saat dia hendak pergi ke toilet, tiba-tiba muncul sehelai saputangan berwarna biru tua di depannya. Sapu tangan itu disodorkan oleh tangan yang elegan.Tanpa berpikir panjang, Tiffany menerimanya, "Terima kasih.""Kamu seharusnya tahu, aku menyuruhmu pergi beli sarapan bukan karena aku benar-benar lapar." Suara Sean yang dingin, membuat tangan Tiffany yang sedang mengusap keringat berhenti sejenak. "Kami cuma mau bicarakan sesuatu yang nggak ingin kamu dengar."Tiffany berhenti mengusap keringatnya. Dia menoleh dan memandang Sean dengan tatapan yan
Setelah selesai makan, Tiffany mengumpulkan semua kemasan bekas sarapan Kendra dan membuangnya. Tepat ketika dia selesai, pintu ruang gawat darurat terbuka.Seorang perawat mendorong nenek Tiffany keluar dari ruang gawat darurat. Sementara itu, dokter melepaskan masker medisnya dan berkata, "Pasien sudah melewati masa kritis, tapi dia masih harus istirahat untuk pemulihan dalam waktu lama."Setelah itu, dokter menatap Kendra dengan pandangan penuh makna. "Kondisi tubuhnya sudah sangat lemah. Sebagai keluarga, saya harap kalian lebih berhati-hati. Dia nggak boleh mengalami stres lagi."Kendra mengangguk dan menjawab, "Saya mengerti."Perkataan dokter membuat Tiffany mengernyit. Apakah neneknya mengalami stres belakangan ini?Saat mengetahui bahwa Tiffany akan menikah dengan seseorang yang memiliki disabilitas sebelumnya, neneknya sempat jatuh sakit parah. Hal apa lagi yang membuatnya stres akhir-akhir ini? Tiffany melirik Kendra dengan penuh curiga.Kendra yang tampak gelisah, segera me
Sebagai salah satu universitas terbaik di kota ini, tidak jarang ada kejadian beberapa siswa yang dikejar oleh kerabat miskin hingga ke gerbang kampus untuk menagih uang. Namun, Tiffany sama sekali tidak menyangka bahwa Thalia yang tidak memiliki hubungan darah dengannya akan datang mencarinya di kampus."Kita keluar lewat pintu belakang saja," usul Julie sambil menghela napas melihat wajah Tiffany yang terkejut. "Sudah kuduga kamu nggak siap menghadapi ini, jadi aku sengaja kembali untuk menemanimu.""Foto-foto itu sudah diunggah Leslie ke forum kampus. Kalau kamu keluar lewat pintu depan dan ketangkap sama bibimu, seluruh kampus akan tahu kamu ini 'gadis miskin yang jadi simpanan'!"Hati Tiffany tiba-tiba menciut. Gosip memang sangat mengerikan. Meskipun tidak pernah merasa malu menikah dengan Sean, Tiffany telah terbiasa dengan kehidupan yang sederhana dan damai. Dia tidak ingin menjadi bahan gosip bagi orang lain.Setelah menarik napas dalam-dalam, Tiffany menggenggam ponselnya leb
Perubahan situasi yang mendadak ini membuat Tiffany dan Julie kebingungan. Bahkan Vernon dan teman-temannya juga terkejut dengan apa yang terjadi.Saat Vernon dibantu untuk berdiri oleh teman-temannya, dia mencabut dart kecil yang menancap di lututnya sambil melihat ke sekeliling dengan marah. "Siapa itu? Sialan, ikut campur urusan orang saja!"Dart yang dipegangnya adalah dart kecil berwarna biru.Tiffany mengerutkan keningnya. Dia mengenali dart itu. Dia pernah melihatnya di laci meja samping tempat tidur Sean pagi ini saat merapikan kamar.Saat itu, dia bertanya-tanya apakah dart itu adalah milik Sean. Namun, kemudian dia ingat bahwa Sean adalah seorang tunanetra. Mana mungkin dia bisa melihat target untuk melempar dart? Agar tidak menyinggung perasaan Sean, dia memutuskan untuk tidak bertanya.Namun, mana mungkin dart ini muncul di sini dan bahkan menancap tepat di lutut Vernon?"Keluar kalian, dasar pengecut!" Vernon berteriak dengan marah. Dia merasa yakin bahwa orang yang melemp
Setelah mengobrol sejenak, semua orang masuk ke dalam mobil. Genta mengemudi, sementara Sean, Tiffany, dan Julie duduk di kursi belakang. Keheningan di dalam mobil itu terasa begitu mencekam.Tiffany diam-diam melihat ke arah Chaplin yang masih berdiri di dekat pintu belakang kampus melalui kaca spion. "Genta, nggak apa-apa kamu ninggalin dia sendirian begitu?"Genta menjawab dengan tenang sambil tetap fokus mengemudi, "Nggak masalah. Chaplin punya kendaraan sendiri, jadi Nyonya nggak perlu khawatir.""Oh." Tiffany mengangguk pelan, lalu melirik ke sebelah kirinya. Sean sedang bersandar di kursi kulit, entah dia sedang tertidur atau hanya memejamkan mata. Kemudian, dia menoleh ke sebelah kanannya dan melihat Julie yang duduk diam bagaikan patung.Julie yang tampaknya tidak tahan dengan keheningan ini, memberikan isyarat kepada Tiffany. Kemudian, dia mengeluarkan kertas dan pena dari tasnya. Dengan cepat, dia menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada Tiffany.Tiffany mengerutkan keni
Padahal hanya makan malam biasa, tapi kenapa terasa seperti pertemuan rahasia? Apalagi ketika Sean meminta Chaplin untuk bersiap-siap.Setelah akhirnya tiba di tempat yang disebut "Rooftop Garden" setengah jam kemudian, dia baru mengerti mengapa Genta bereaksi seperti itu sebelumnya.Rooftop Garden ternyata bukan nama sebuah restoran, melainkan atap sebuah hotel. Hotel itu memiliki lebih dari 30 lantai, cukup tinggi untuk menikmati pemandangan kota saat senja. Atap hotel ini dilengkapi dengan pengamanan yang sangat baik dan dihiasi dengan sangat indah, tetapi hanya ada satu meja di sana.Genta mendorong kursi roda Sean ke depan meja dan Tiffany duduk di seberangnya.Seorang pelayan mendekat, lalu bertanya, "Pak Sean, menu yang sama seperti biasanya?""Ya, seperti biasa," jawab Sean dengan tenang.Pelayan itu mengangguk dan segera pergi. Tak lama kemudian, berbagai hidangan yang belum pernah dilihat Tiffany sebelumnya telah dihidangkan di atas meja.Melihat Tiffany menatap makanan itu d
Vernon menggertakkan giginya seraya menahan rasa sakit. "Pak, aku tahu aku pernah mengatakan hal yang mungkin menyinggungmu. Tapi, kamu nggak perlu menyimpan dendam sebesar ini, 'kan?""Aku memang tipe orang yang pendendam," jawab Sean seraya tersenyum tipis. Dia mengangkat gelas anggur dan menyesapnya dengan perlahan. "Katanya, kamu pernah mengincar wanitaku ... berkali-kali."Vernon terdiam. Tubuhnya seolah-olah tersengat listrik. "Wanitamu?""Tiffany," jawab Sean dengan tenang, tetapi penuh arti. Tubuh Vernon seketika menjadi kaku.Vernon selalu menganggap Tiffany sebagai gadis desa yang kurus dan tidak menarik. Mana mungkin dia bisa mengenal tokoh penting seperti pria di depannya ini? Apalagi, menjadi wanitanya ....Tanpa sadar, Vernon menatap pria dengan mata yang tertutup kain sutra hitam itu dan bertanya, "Anda ini ...?""Secara teknis, mungkin aku harus memanggilmu kakak sepupu." Sean tersenyum dingin, "Tapi, aku nggak mau."Vernon yang berlumuran darah segera menggelengkan kep
Setelah mengatakan itu, Sean memberi isyarat kepada Genta. Genta segera mendekat dan mendorongnya keluar. Ketika pintu atap tertutup, yang tersisa di sana hanyalah Tiffany, Chaplin, dan Vernon.Chaplin mengerucutkan bibirnya, lalu melepaskan rantai yang mengikat Vernon. Setelah mengeluhkan betapa membosankannya situasi itu, dia pun langsung pergi.Vernon merangkak kembali ke tengah atap dengan susah payah. Dia memelotot ke arah Tiffany yang masih terkejut, "Kenapa bengong saja? Cepat bantu aku lepaskan ini!" Begitu Sean pergi, nada bicara Vernon langsung kembali seperti biasanya saat dia mengintimidasi Tiffany.Tiffany yang masih ketakutan dengan kejadian tadi, langsung mendekat untuk melepaskan rantai itu saat mendengar Vernon memanggilnya. Namun, begitu rantai itu terlepas, Vernon tiba-tiba berbalik dan menekan Tiffany ke tanah, lalu mencekik lehernya."Jalang, berani-beraninya kamu manggil orang untuk menghajarku?"Tiffany tidak menyangka bahwa orang yang baru saja diselamatkannya d