Share

Dimanja Om Tampan
Dimanja Om Tampan
Author: SURYANI991

BAB. 1

”Aku tidak mau menikah dengan lelaki itu! Masa depanku masih panjang, Mama... Alen mohon, Alen masih ingin mengejar karir sebagai model!”

Alena memohon dengan tatapan nanar pada sang mama, berharap mamanya mengubah keputusan menjodohkannya dengan lelaki jelek dari keluarga Morgan.

Mayang menghela nafas berat, hatinya tersayat mendengar rengekan putri kesayangannya.

Dia sebenarnya juga tidak rela, menikahkan Alena dengan lelaki yang memiliki reputasi buruk itu, lelaki berparas jelek yang tidak Iain adalah anak haram keluarga Morgan, Erlangga putra Morgan.

Mayang pun tidak mengerti mengapa ayahnya tetap bersikukuh agar cucunya menikah dengan sosok yang serendah itu.

"Mama... ” Alena terus bersimpuh, tangannya mengepal, matanya yang sembab penuh air mata memandang Mayang dengan pilu.

Alena masih merasakan hatinya dipenuhi harap, berdoa semoga keadilan akan berpihak padanya.

Mayang menahan kesedihan dalam hati, mengangkat bahu anaknya yang terisak dan mengajaknya duduk di sampingnya.

Dengan tangan yang gemetar dan penuh rasa bersalah, ia meraih kedua tangan Alena erat-erat.

"Sayang, Mama memang tidak ingin kamu terpaksa menikah dengan lelaki itu, tapi apa daya keputusan Kakek sudah terlanjur diambil" ucap sang ibu.

"Kamu tahu kan, betapa berkuasanya dia dalam keluarga dan perusahaan ini, bahkan Papa pun tak mampu melawannya," lanjutnya lagi.

Alena semakin terisak, merasa kehidupannya digerogoti ketidakadilan.

Di antara sekian banyak pria dalam keluarga Morgan, mengapa justru ia yang harus dinikahkan dengan anak haram yang penampilannya memuakkan hatinya?

Padahal dia cantik, gadis sosialita, dan pintar. Atas dasar apa dia harus merelakan masa depannya dipermainkan seperti boneka tanpa bernyawa?

Namun di tengah amukan perasaannya, tiba-tiba ada percikan cahaya yang melebur dalam kegundahannya. Alena menghapus air mata yang menderas dan menatap mata ibunya dengan berkobar-kobar.

"Ma, " suaranya serak, tapi lantang, penuh tekad.

"Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku yakin akan ada jalan keluar dari kekacauan ini, dan aku tidak akan membiarkan mereka merenggut masa depanku begitu saja!”

Mayang menghela nafas panjang, rasa lelah dan keputusasaan terasa di setiap ucapannya. ”Hah, Mama tidak tahu lagi harus berbuat apa, Sayang" ujarnya pasrah.

"Ma, bagaimana kalau Lilly saja yang menikah dengan pria tua itu?

Kakek juga tidak menyebutkan siapa yang harus menikah di keluarga kita, toh, Lilly juga menyandang nama Palla, dia juga cucu Kakek, Ma. ” Tiba-tiba ide cemerlang muncul dalam benak Alena.

Mayang terdiam sejenak, mencerna usulan anaknya itu. Kemudian dia menepuk dahinya,

Kamu benar, Sayang. Bisa-bisanya Mama melupakan anak itu, ” seru Mayang dengan semangat yang sedikit membara.

"Kamu tenang saja, Mama akan meminta Papa-mu membicarakan hal ini dengan Kakek nanti, ” ujar Mayang, mengusap sayang rambut Alena,merasa kasihan melihat mata putrinya yang membengkak karena banyak menangis.

****

Sementara itu, Lilly tengah menguras bak mandi di rumahnya yang sederhana.

Di dalam kamar, ibunya terbaring lemah, sesekali terbatuk-batuk, karena menderita penyakit menahun yang tak kunjung membaik meski obat sudah dikonsumsi setiap hari.

"Bu, minum obat dulu, " pinta Lilly lembut, menatap ibunya dengan penuh kepedulian.

Gadis cantik berusia 25 tahun itu membantu ibunya duduk bersandar pada bantal yang sudah lama terletak di kepala ranjang mereka.

Rumah sempit yang memiliki dua kamar kecil itu adalah peninggalan dari kedua orang tua ibunya, tempat mereka berteduh selama tiga tahun terakhir.

"Aku pergi mengantar makanan untuk ayah, hati-hati dirumah, ya, Bu. Air minum ada di sini, " Lilly menunjuk meja kayu disamping tempat tidur.

"kalau ibu mau buang air di kasur saja, nanti akan Lilly bersihkan ketika pulang, " ujar Lilly dengan bijaksana, dia mencium pipi Ibunya dengan penuh kasih sayang sebelum berlalu pergi.

Linda sang ibu menatap nanar punggung putri kesayangannya yang menghilang di balik pintu, matanya memanas, dan bulir-bulir bening menganak di sudut matanya.

"Maafkan Ibu, Nak, " lirihnya, dada Linda terasa sesak menahan beban di hati.

Melihat penderitaan putri semata wayangnya yang rela mengorbankan segalanya untuk keluarga.

Linda tak sanggup menahan air matanya yang terus mengalir deras, menyadari betapa berat hidup yang dijalani putrinya itu.

Lilly berjalan gontai menyusuri jalan.

Ditangannya terdapat rantang tiga tingkat, makanan yang akan dia antarkan untuk sang ayah, sudah satu minggu dia tidak mengunjungi pria itu.

"Tuan Johan, putrimu datang berkunjung, " Ucap seorang Sipir memberitahu pria paruh baya yang sedang tidur meringkuk dilantai yang dingin dan sempit itu.

Pria bernama Johan itu, segera duduk, dia terdiam sejenak sebelum bangkit dan keluar menemui putrinya.

Dengan langkah pelan, Johan berjalan, matanya memanas ketika melihat putrinya yang semakin kurus dari terakhir ia lihat.

Hatinya terasa diremas-remas oleh rasa bersalah dan ketidakmampuannya dalam menjaganya.

Dia telah gagal, dia seorang ayah yang tidak bisa di andalkan, bahkan makannya sekarang harus ditanggung oleh putrinya juga.

"Sudah ayah bilang, jangan antar makanan lagi, memangnya disini tidak ada makanan." Keluhnya pelan sambil duduk di hadapan Lilly.

Matanya memancarkan kepedihan yang tak terucap, mencoba menyembunyikan kerapuhan di balik topeng ketegasan.

Lilly tidak menanggapi. la membuka rantang dan menyajikan makanan yang berisi nasi, sayur bayam bening, dan telur balado.

Makanan itu jauh dari kata mewah, bahkan kesederhanaannya pun tidak terasa bagi mereka yang pernah hidup serba berkecukupan.

"Makanlah, " ucap Lilly dengan suara dingin yang jauh berbeda saat berbicara dengan ibunya tadi.

Johan menatap Lilly dengan tatapan sendu.

Sejak dituduh melakukan penggelapan di perusahaan keluarganya. Dia beserta istri dan anaknya diusir dari rumah yang disita oleh ayahnya untuk membayar hutang.

Seluruh aset yang dimiliki raib begitu saja.

Sejak saat itu, anak dan istrinya harus hidup menderita sementara dia mendekam di penjara.

"Bagaimana kabar Ibumu?" tanya Johan di sela-sela suapannya.

"Masih hidup!" jawab Lilly dengan acuh tak acuh, seolah kalimat yang baru saja diucapkannya bukanlah sesuatu yang berarti.

Johan mengangkat kepalanya, nasi yang berada di mulutnya kini terasa hambar. Sendok yang dia pegang diletakkan kembali ke piring, dan selera makannya lenyap seketika.

Melihat itu, Lilly melanjutkan, "Aku harus bekerja keras selama seminggu penuh demi memasak makanan ini."

"Jika kamu tidak menghabiskannya, aku akan terpaksa membuangnya!” Ujar Lilly pada sang ayah.

Johan hanya mampu menghela nafas panjang, dia melanjutkan makannya meskipun nasi itu tidak lagi terasa lezat seperti sebelumnya.

Lilly merapikan rantang bekas makan setelah ayahnya selesai, dan sebelum pergi, ia berkata dengan tatapan tajam,

"Penyakitnya semakin parah, tapi tenang saja, aku akan bekerja lebih keras lagi demi membelikannya obat. Anda nikmatilah hidup nyaman di sini, ' ujar Lilly dengan şuara yang tenang.

Dalam amarahnya, Lilly menambahkan, "Melihat betapa sayangnya anda terhadap kakak laki-laki anda itu, saya jadi tidak tega mengungkap kejahatannya."

"Anda saja rela masuk penjara, apa lagi yang bisa saya lakukan?”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Lilly segera berlalu pergi dengan langkah gontai, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.

'Maafkan Ayah, Nak! " Gumam Johan menunduk, tidak sanggup menerima kalimat menyakitkan itu.

Lilly, seorang gadis cantik berambut hitam legam, adalah impian bagi banyak gadis di sekitarnya.

Dengan postur tubuh yang tinggi, hidung mancung, dan bibir tipis semerah ceri, Lilly menarik perhatian banyak orang.

Walaupun saat ini dia tampak agak kurus, kekurusan itu sama sekali tidak mengurangi kecantikannya.

Wajah polos Lilly sering kali mengecoh orang, karena di balik wajah polos itu, tersimpan sosok yang keras dan memiliki mulut yang tajam.

Wajah datar Lilly dan cara bicaranya yang dingin membuatnya terlihat sangat Jarang tersenyum. Banyak yang bertanya-tanya apakah pernah ada saat di mana gadis itu tertawa atau tersenyum.

Namun, Lilly tidak peduli dengan apa yang orang Iain pikirkan tentang dirinya. Baginya, kehidupan adalah perjuangan dan tidak ada waktu untuk mengejar hal-hal yang tidak penting.

Ternyata, di balik wajah polos dan dinginnya, Lilly memiliki banyak kasih sayang dan kehangatan yang hanya bisa diberikannya kepada keluarga dan orang-orang yang dicintainya.

Terkadang, memang ada saat-saat di mana kita harus menunjukkan Sisi lembut dan hangat dari diri kita. Dan untuk Lilly, saat-saat itu adalah ketika dia bersama ibunya.

Langkah Lilly terhenti saat melihat mobil mewah terparkir di depan rumah sederhananya.

Keningnya berkerut dalam, bertanya-tanya siapa gerangan yang tersesat di gubuk kumuhnya itu.

"Kamu harusnya bersyukur, Lin. Masih ada laki-laki yang mau menikahi putrimu itu."

"Setidaknya, jika kamu meninggal, Lilly sudah memiliki keluarga untuk menjaganya."

"Apalagi Johan masih di penjara, percaya sama aku, Lilly akan hidup enak, tidak perlu tinggal di rumah reot ini lagi. ” Kata seseorang di dalam rumah tersebut.

Mata Lilly menyipit saat mendengar suara yang tidak asing di telinganya.

Dia berjalan dengan langkah cepat, ingin mengetahui apa tujuan parasit itu hingga rela datang jauh-jauh ke rumahnya.

"lya, Tante, kami ini peduli dengan masa depan Lilly, makanya.." ucapan tersebut terpotong.

"Makanya, apa? Jika kalian peduli, ayahmu itu tidak akan menjebak adiknya sendiri, " Lilly memotong kalimat Alena.

la berdiri di Pintu dengan sorot mata tajam, aura kemarahan memancar dari dirinya.

"Berani-beraninya kalian datang ke sini, menghina rumah kami, lalu mengaku peduli pada masa depanku?"

"Aku tidak butuh bantuan dari kalian, Aku akan membuktikan bahwa aku dan ayah mampu bertahan hidup tanpa campur tangan keluarga serakah seperti kalian! ”

Mayang dan Alena tersentak mendengar suara keras Lilly.

Meskipun terkejut, ekspresi wajah keduanya segera berubah. ”Lilly, kamu sudah pulang?”

Alena berusaha bersikap ramah, mendekati Lilly dan hendak memeluk sepupunya itu, menunjukkan kerinduan setelah sekian lama tidak bertemu.

Namun, Lilly mengelak ke samping, tidak ingin bersentuhan dengan Alena.

”Maaf, aku takut kulitmu gatal-gatal jika bersentuhan dengan orang miskin" ucapnya matanya penuh kebencian.

Alena menyipitkan mata kesal, namun terpaksa tersenyum canggung. "Untunglah kau sadar diri, gadis kampung! "Gumamnya dalam hati.

"Ck, apa yang kau katakan, Lilly. Kita ini keluarga, jangan membuat jarak begitu. Duduklah." Ucap Mayang berusaha meredakan suasana.

"Tante dan Alena datang kesini untuk menjenguk ibumu," ujarnya.

"Maaf, kami baru sempat datang sekarang. Kamu tahu sendiri, tante harus membantu Om-mu di perusahaan" lanjutnya.

Mayang menunjuk beberapa kantong yang mereka bawa, berusaha mencairkan suasana yang tegang.

Lilly mengusap pelipisnya yang terasa berdenyut, rasa lelah yang belum hilang setelah berjalan bolak-balik dari rumah ke penjara kini bertambah. Tak menyangka, dia harus menghadapi dua ratu drama ini. Energinya pasti akan terkuras jika harus meladeni mereka.

"Langsung ke intinya saja tidak perlu berpura-pura baik dan sok peduli, aku tahu kalian datang ke sini bukan untuk menjenguk ibuku, melainkan ada tujuan lain."

"Katakanlah! Aku harus bekerja dan tidak punya waktu untuk menonton drama kalian. " ujar Lilly dengan tajam. Linda, ibunya, mengusap lengan Lilly, berharap putrinya itu bisa sedikit tenang.

Sementara itu, Mayang dan Alena terkejut melihat perubahan Lilly.

Kemana perginya Lilly yang polos dan lembut itu? Apakah kerasnya kehidupan yang membuat Lilly berubah drastis? Atau ada alasan lain di balik perubahan Lilly yang begitu tajam?

"Baiklah, kami juga lelah berbasa-basi."

"Kami datang kesini atas permintaan kakekmu. Satu Minggu lagi kamu akan menikah, kami datang untuk memberitahu, " ujar Mayang sambil memandangi Lilly, menantikan reaksi gadis itu.

Lilly tersenyum sinis, seraya berkata, "Ini aneh! Bu, tidakkah Ibu merasa ada yang janggal?"

Lilly menghadap ibunya yang terbaring, penuh tanya.

Linda mengerutkan kening, bingung akan maksud putrinya. Namun, satu hal yang pasti, apapun keputusan Lilly, dia akan mendukung sepenuh hati.

"Bukankah pria tua itu sudah membuang kita? Kenapa dia masih mengatur pernikahanku? ucapnya.

"Dan yang lebih mengejutkan lagi, dua wanita kaya ini rela menginjakkan kaki di rumah kumuh kita hanya untuk menyampaikan berita ini."

"Apakah keluarga Palla jatuh miskin, sehingga tidak bisa mengutus orang dan harus datang sendiri?" Lilly tertawa terbahak-bahak, merasa terhibur oleh ketidaktau malu mereka.

Dengan erat, Alena mengepalkan tinjunya.

Jika saja tidak menyangkut masa depannya, dia takkan sudi datang ke sini.

Begitu tiba di rumah nanti, dia berencana untuk mandi. Dan bahkan mempertimbangkan pergi ke salon guna mensterilkan tubuhnya dari segala kuman dan bakteri yang mungkin menempel.

”lni sudah keputusan kakek, kamu tidak bisa membantah! ” tegas Mayang.

”Aku bisa! Rumah ini, tidak ada hubungannya dengan Palla" ucapnya tegas.

"Dan biaya hidup kami, juga bukan kalian yang tanggung."

"Lalu, kenapa aku tidak bisa membantahnya?” Lilly melipat tangannya di dada, membuat Alena tercengang menyaksikan keberanian sepupunya.

Ia tahu Lilly itu pendiam, namun baru sekarang sadar bahwa Lilly ternyata memiliki lidah yang sangat tajam.

"Kenapa jalang ini tiba-tiba jadi pintar!" gerutu Alena dalam hati.

"Kurang ajar! Beraninya dia menjawabku!" Batin Mayang penuh geram.

Jika bukan demi anak kesayangannya, takkan pernah ia merendahkan diri sampai ke sini.

Lilly menahan tawa dalam hatinya, menyaksikan kebingungan ibu dan anak itu di hadapannya.

Dia sebenarnya mengerti apa yang ada di benak mereka, alih-alih mengungkapkan, Lilly lebih suka melihat lawan-lawannya kelabakan dalam kebimbangan.

"Bu, istirahatlah, aku akan pergi bekerja. Nanti pulang, bawakan ibu makanan enak, " ujar Lilly sambil berdiri, sebelum merapikan selimut ibunya dengan lembut.

Melihat Lilly hendak pergi, Mayang dan Alena bergegas berdiri dan mencegahnya.

Mayang lantas berkata, "Lilly, kami bantu biaya perawatan ibumu, asalkan... Kamu menikah dengan Erlangga Morgan. "

Kata-kata Mayang membuat Lilly berhenti melangkah.

Siapa yang tidak tahu Erlangga Morgan, pria berusia 40 tahun yang namanya di kenal bukan karna prestasi, melainkan karena kehadirannya sebagai anak haram dalam keluarga Morgan.

Berbeda dengan dua saudaranya, Erlangga memiliki tubuh berisi dan perut buncit.

Diusir ke luar negeri, pria itu sudah bertahun-tahun tidak pulang ke Indonesia.

Lilly penasaran, apa yang membuat si Tua Mahesa tertarik menjodohkan cucunya dengan anak terbuang itu?

Lilly tersenyum sinis, kini dia paham betul alasan mengapa kedua parasit ini rela datang menemuinya.

"10 milyar, aku gantikan Alena menikah. Jika tidak setuju, silahkan pergi. Pintu ada di sebelah sana! Ah, maafya, aku tidak mengantar. ”

Ucapan Lilly yang terdengar polos itu sukses membuat Mayang dan Alena terperanjat.

Bagaimana mungkin gadis itu tahu bahwa dia akan menggantikan Alena? Dan yang lebih di luar dugaan mereka, 10 milyar?

Apakah gadis itu benar-benar tahu berapa banyak uang yang dia minta?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status