Malam ini, untuk pertama kalinya, Lilly berdandan dengan sangat cantik. la mengenakan gaun putih bersih, yang membuatnya tampak seperti angsa putih yang anggun dan murni.
Tidak akan ada satu pun orang yang dapat menolak pesona senyuman hangat serta tatapan lembutnya. Mengendarai BMW 8 Series 840 i Gran Coupe, membuat sosok Lilly terlihat makin menawan, tidak ada yang akan meremehkan kehadirannya. Penampilan mewah tersebut, merupakan bagian dari rencana Lilly untuk mengejutkan keluarga Palla. Hatinya bersemangat, ingin segera melihat ekspresi mereka saat mengetahui bahwa dia datang mengendarai BMW berharga miliaran rupiah itu. Akankah mereka panas hati, terbakar api cemburu? Lilly berdiri di depan cermin, tersenyum puas menyaksikan penampilannya yang luar biasa itu. Senyuman lembut yang menghiasi wajahnya, serta setiap gerakan anggunnya bagaikan Iambaian angin, penuh kehati-hatian dan terdidik. Sosoknya sungguh sempurna. Lilly, yang mengendarai mobil mewahnya, telah mengelilingi beberapa blok sengaja terlambat bukankah bintang utama selalu datang terakhir? Ketika jam makan malam hampir tiba, Lilly akhirnya memasuki sebuah mansion mewah milik keluarga Morgan. Beberapa pelayan menyambutnya dengan sopan dan segera membawanya ke meja makan di mana semua orang menunggu dengan gelisah. Alena dan Mayang menyorotinya dengan tatapan penuh kebencian. Namun penampilan Lilly begitu cantik dan polos hingga para pria di keluarga Morgan tak bisa menyembunyikan kagum mereka. "Saya minta maaf, Tuan Besar Aslan, membuat Anda semua menunggu. " Lilly menundukkan kepala seolah menyesal. "Tadi, saya baru selesai menjaga ibu saya di rumah sakit. Kami hanya tinggal berdua, jadi saya harus mengurusnya sendiri. " Ujarnya dengan suara serak, mirip dengan orang yang hampir menangis. Tuan besar Aslan melambaikan tangannya, menyatakan tak masalah dengan keterlambatan Lilly. Namun, sorot matanya justru tertuju tajam pada Mahesa, yang juga tengah memandangi penampilan Lilly yang sangat berbeda dari biasanya. Mahesa menyipitkan mata, merasa cucunya itu bagai seekor rubah, licik dan kejam, seandainya gadis itu tidak memeras uangnya, pasti dia juga akan tertipu, kecantikan Lilly, memang tidak bisa diingkari mampu membius beberapa orang. Mendengar Tuan besar Aslan berdehem, mata para tamu beralih pada hidangan di atas meja yang sudah hampir dingin. Waktu makan malam hampir lewat, dan Aslan mengajak tamu-tamunya untuk segera menikmati hidangan. Ketika Lilly duduk, table manner-nya menjadi sorotan dan membuat Mayang serta Alena merasa malu. Para pria dari keluarga Morgan pun tak ada yang melirik ibu dan anak tersebut, sementara semuanya terpesona dengan sikap Lilly. Semua orang kini duduk di ruang tamu setelah selesai menikmati hidangan yang telah disiapkan. Satu per satu mereka pindah ke tempat yang lebih nyaman untuk melanjutkan obrolan. Sementara itu, Tuan Aslan tampak masih memperhatikan Lilly dengan seksama, hingga tak tahan, Lilly ingin melempar highheels yang ia kenakan ke arahnya. "Ah, Tuan Mahesa, saya mohon maaf atas ketidakhadiran putraku. Anak sialan itu entah pergi ke mana seolah hilang tak berbekas, padahal baru saja kembali dari New York. Sikapnya menjadi sedikit kurang ajar, aku bahkan belum bertemu dengannya, " keluh Tuan Aslan dengan mendesah. Penampilannya sedih, seolah-olah dia sangat kecewa. Namun, mereka yang tahu keadaannya pasti sadar akan kehidupan keluarga Aslan. Semua orang tahu betul cerita sebenarnya. "Tidak usah khawatir, yang penting kamu yang akan menentukan hasilnya. Dan, apapun itu, Lilly akan menerimanya dengan tulus," jawab Tuan mahesa. "Setidaknya, dia merasa puas bisa menjadi menantu dari pria sehebat kamu, ” lanjut Mahesa, tersenyum sinis. Sementara itu, pria sialan yang diumpati tuan besar Aslan, kini tengah berada di atas mobil bersama Leo, dengan tujuan ke dermaga yang menghubungkan Batam dan Harbour Front Singapore. "Semuanya sudah siap?" tanya Elang sambil memasang masker, menutupi wajahnya. Leo mengangguk mantap, Sudah, tuan. Anak-anak sudah berada di posisi mereka masing-masing," jawab Leo. Elang menatap keluar jendela, suasana di dermaga malam ini terasa sepi dan hening karena akses menuju ke sana telah ditutup. Kini, hanya suara semilir angin yang bersahutan dengan deburan ombak yang terdengar. Mobil hitam yang mereka tumpangi perlahan berhenti di sisi dermaga. Leo keluar duluan dan membukakan pintu bagi Elang. Keduanya memiliki penampilan layaknya perampok, dengan pakaian serba hitam. Meski hanya Elang yang menutupi wajahnya, keduanya tetap mencolok di kegelapan malam. Tak lama kemudian, di cakrawala tampak sebuah kapal besar mendekati dermaga. Elang dan Leo, dengan mata tajam yang penuh kewaspadaan, mengamati setiap gerak-gerik. Elang menoleh ke Leo, dan asistennya tersebut mengangguk mengerti. Dia pun segera keluar dari persembunyian dan berjalan mantap menuju dermaga. Ketika kapal tersebut berlabuh, Leo bersama beberapa orang menyongsong kedatangan tamu penting. "Halo, Tuan Marco!" sapa Leo ramah kepada pria yang dijuluki "Snake Eyes" Itu. Marco adalah anggota organisasi kriminal asal Napoli, Italia, yang memiliki jaringan luas dalam bisnis ilegal dan politik. Hai, Tuan Leo, tangan kanan Sang Raja Kegelapan'. Terima kasih atas keramahan Anda, " sahut Marco sambil berjabat tangan erat dengan Leo. Mereka lantas berjalan beriringan sambil mengobrol. Sementara itu, anak buah Leo yang lain tampak sibuk memindahkan beberapa kotak besar ke dalam sebuah mobil box, yang biasa digunakan untuk mengangkut ikan. Gerakan mereka teratur dan sigap, menandakan profesionalisme dalam menjalankan tugas. Elang yang telah kembali duduk di dalam mobilnya, tampak memantau Leo dan Marco. Awalnya, Leo akan datang sendiri tanpa Elang, namun lelaki itu demi menghindari pertemuan dengan ayah dan calon istrinya, memilih ikut dengan mereka. Alhasil, saat ini kebosanan melandanya, sudah beberapa kali helaan nafas terdengar dari bibirnya itu, hingga şuara tembakan dan mobil polisi tiba-tiba datang menyergap. Elang terus mengawasi situasi dari dalam mobilnya yang berlapis kaca gelap. Pandangan matanya tajam menatap sekeliling, menyaksikan adegan ketegangan antara polisi, bawahannya, dan bawahan Marco yang berlangsung di depan matanya. Di tengah kekacauan itu, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya, Seven, sahabat baiknya. Elang pun menyadari bahwa transaksi malam ini terendus oleh polisi pasti ada kaitannya dengan Seven. Menggertakkan gigi dan penuh amarah, Elang menyalakan mesin mobilnya. Dengan kecepatan tinggi, mobil itu melaju membelah kegelapan malam, menuju ke arah tempat persembunyian Leo dan Marco. Setiap jengkal jalanan yang dilalui semakin menambah kebencian Elang kepada Seven yang telah mengkhianati kepercayaan dan persahabatan mereka. Sementara itu, Leo dan Marco yang melihat kedatangan mobil Elang, bersiap untuk masuk. Dalam keadaan mobil yang masih bergerak, Leo melompat dan membuka pintu, begitu juga dengan Marco. "Sialan! Aku sudah memesan wanita cantik malam ini. Hei, Bird! Pulang kekampung halaman membuat kinerjamu menurun, ya? Transaksi sekecil ini saja ketauan polisi. " Marco mengejek dengan tawa keras. Elang mencengkram setir mobil erat-erat. Dalam sekejap, mobil itu melaju seperti roket, membuat mata Seven membelalak kaget. Tak disangka, Elang malah mengejarnya alih-alih melarikan diri dari sergapan polisi. "Sialan!" Seven berlari sekuat tenaga, namun tak mungkin berdaya menghadapi Elang yang mengejarnya. Seven kewalahan, dia mengeluarkan pistol dan mengincar ban mobil. Namun, di balik kemudi ada Elang sang penguasa jalan raya. Seperti namanya, mobil itu bergerak lincah seperti elang mengepakan sayapnya, menghindari tembakan dengan tepat. "Wow!" Marco berdecak kagum saat untuk pertama kalinya ia berada satu aspal dengan Elang. Leo, dia benar-benar pantas dijuluki penguasa jalanan, " seru Marco sambil bertepuk tangan. Seven mulai merasa kewalahan. Nafasnya terengah-engah dan kakinya semakin berat, seakan-akan akan terputus saat ia terus berlari. Di dalam mobil, Elang menatap Leo dan memberikan isyarat kepadanya. Leo, sang asisten yang peka, segera mengerti maksud Elang. Dengan sigap ia mengeluarkan pistolnya dan menembak Seven yang masih berusaha melarikan diri. Satu tembakan yang dilepaskan oleh Leo menghantam kaki kanan Seven. Pria seumuran Elang itu terjatuh, tetapi ia dikenal sebagai seseorang yang tak pernah menyerah walau merasakan sakit. Bahkan saat telinga sebelahnya pernah terputus, ia masih sanggup tertawa. Sementara itu, mobil yang dikendarai Elang melaju semakin cepat. Pintu belakang mobil terbuka, dan tanpa disadari, tubuh Steven telah berpindah ke dalam mobil, dengan bantuan Leo. Dibalik masker yang dikenakannya, Elang menyeringai sinis, menatap wajah pucat Seven. Aroma darah yang menguar membuat udara di dalam mobil menjadi sangat pengap. Leo segera membuka kaca mobil, membiarkan udara segar menyusup masuk. Elang menelan ludah merapatkan maskernya.Di tempat lain, beberapa anak buah Marco berhasil ditangkap oleh polisi, namun anak buah Elang yang pintar berhasil lolos dari kejaran. Sama seperti sang bos yang dikenal sebagai Raja Kegelapan, anak buahnya juga menghilang dalam kegelapan, sekedar melihat wajahnya pun polisi tidak punya kesempatan. "Hoho, bukankah ini sahabat baikmu, Bird? Ada apa ini? Apakah dia musuh dalam selimut?” ejek Marco dengan suara sinis. Mata Elang yang berkilat tajam menunjukkan kemarahan, yang tertangkap oleh Leo melalui kaca spion. Tatapan itu seperti perintah bagi Leo. "Tuan Marco, jangan salahkan saya yang harus berterus terang. Wajah sangar Anda sangat tidak cocok dengan mulut Anda yang cerewet. Anda terlalu berisik!" ujar Leo tegas, seraya membuka pintu di samping Marco. Pria itu tampak bingung, namun sebelum sempat mengeluarkan suara, kaki Leo sudah melayang menghantam tubuhnya. Dengan kecepatan yang menggiriskan aspal, mobil Elang melaju kencang, Marco terhempas dan berguling-guling tak ka
Malam itu, setelah pertemuan menyenangkan di mansion keluarga Morgan, Lilly segera menuju rumah sakit. Di dalam mobil, tangannya terampil menghapus riasan wajah dan mengganti pakaiannya menjadi lebih santai. Tiba di rumah sakit, ia melihat ibunya sudah terlelap di tempat tidur dengan pernapasan yang teratur. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, namun rasa kantuk belum juga menyergapnya. Lilly beranjak hendak keluar kamar untuk mencari udara segar, namun tiba-tiba terbayang dalam pikirannya peristiwa menjijikkan yang dialaminya beberapa waktu lalu saat om-om mesum itu menciumnya paksa. Amarah dan kejijikan bercampur aduk dalam dadanya. ”Kalau ketemu lagi, aku pasti akan memecahkan telurnya," gerutu Lilly, sembari menggenggam tinjunya erat-erat.Lilly duduk dikursi tunggu depan kamar rawat ibunya. Menatap Iurus kedepan dengan pikiran berkelana jauh, beberapa hari lagi dia akan menikah, entah bagaimana rupa pria itu, memikirkannya membuat dada Lilly terasa ses
”Aku tidak mau menikah dengan lelaki itu! Masa depanku masih panjang, Mama... Alen mohon, Alen masih ingin mengejar karir sebagai model!” Alena memohon dengan tatapan nanar pada sang mama, berharap mamanya mengubah keputusan menjodohkannya dengan lelaki jelek dari keluarga Morgan. Mayang menghela nafas berat, hatinya tersayat mendengar rengekan putri kesayangannya. Dia sebenarnya juga tidak rela, menikahkan Alena dengan lelaki yang memiliki reputasi buruk itu, lelaki berparas jelek yang tidak Iain adalah anak haram keluarga Morgan, Erlangga putra Morgan. Mayang pun tidak mengerti mengapa ayahnya tetap bersikukuh agar cucunya menikah dengan sosok yang serendah itu. "Mama... ” Alena terus bersimpuh, tangannya mengepal, matanya yang sembab penuh air mata memandang Mayang dengan pilu. Alena masih merasakan hatinya dipenuhi harap, berdoa semoga keadilan akan berpihak padanya. Mayang menahan kesedihan dalam hati, mengangkat bahu anaknya yang terisak dan mengajaknya duduk di sampingn
Linda menatap putrinya, Lilly, yang sedari tadi tersenyum-tersenyum sendiri. Linda menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan tingkah anaknya yang tampak jahil itu. "Ibu...” Seru Lilly, bergeming mendekati Linda yang duduk di tepi ranjang. ”Ibu tahu kenapa aku begitu bahagia melihat wajah tertekan mereka? Itu lucu sekali!” Lilly tertawa puas. Tangan Linda melepaskan pukulan kecil pada paha Lilly, berusaha menghentikan putrinya yang terlalu kegirangan. Namun, alih-alih berhenti, tawa Lilly malah semakin riuh dan bernada keras. Linda teringat pada reaksi Mayang yang membara kemarahan atas permintaan Lilly yang tak terduga itu. "Jangan jadi orang yang tidak tahu malu, Lilly, " kesal Mayang saat itu. "Sudah untung kami berusaha membantumu mencarikan suami, mengingat kehidupanmu yang miskin. Selain gelandangan siapa lagi yang mau menikahi gadis seperti kamu?" Ucap Mayang penuh amarah. "Haih!" Lilly menghela napas malas, lalu melanjutkan dengan nada penuh makna. "Ta
Merasa uang sudah tergenggam di tangannya, Lilly segera memesan taksi dan membawa ibunya ke rumah sakit. Dia memandang wajah ibunya yang terasa semakin muram akibat penyakit yang parah ini, dia mengerti bahwa waktu begitu berharga."Ibu, fokus saja pada kesembuhan, jangan khawatirkan hal lain, kita punya uang sekarang, " ucap Lilly, merasakan kecemasan yang tersirat di sorot mata ibunya.Mendengar ucapan anaknya, Linda tersenyum lega. Dia merasa beruntung memiliki putri yang begitu berbakti. Sesekali terlintas dalam benaknya andai penyakit ini membawanya pada kematian, dia berharap saat itu Lilly sudah menemukan pasangan yang mencintainya dengan tulus.Barulah dia akan bisa pergi dengan tenang.Di rumah sakit, Lilly tak main-main. Dia memesan kamar VVIP untuk sang ibu, memastikan kenyamanan dan fasilitas terbaik diperoleh. Juga membayar biaya administrasi selama tiga bulan ke depan mengingat kondisi ibunya yang memerlukan waktu untuk pulih.Sejujurnya, Lilly tidak tahan berlama-lam