Share

Bab. 6

Malam itu, setelah pertemuan menyenangkan di mansion keluarga Morgan, Lilly segera menuju rumah sakit.

Di dalam mobil, tangannya terampil menghapus riasan wajah dan mengganti pakaiannya menjadi lebih santai.

Tiba di rumah sakit, ia melihat ibunya sudah terlelap di tempat tidur dengan pernapasan yang teratur. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, namun rasa kantuk belum juga menyergapnya.

Lilly beranjak hendak keluar kamar untuk mencari udara segar, namun tiba-tiba terbayang dalam pikirannya peristiwa menjijikkan yang dialaminya beberapa waktu lalu saat om-om mesum itu menciumnya paksa. Amarah dan kejijikan bercampur aduk dalam dadanya.

”Kalau ketemu lagi, aku pasti akan memecahkan telurnya," gerutu Lilly, sembari menggenggam tinjunya erat-erat.

Lilly duduk dikursi tunggu depan kamar rawat ibunya. Menatap Iurus kedepan dengan pikiran berkelana jauh, beberapa hari lagi dia akan menikah, entah bagaimana rupa pria itu, memikirkannya membuat dada Lilly terasa sesak.

Namun, mengingat kondisi ibunya yang butuh biaya berobat, Lilly tersenyum, dia menunduk dan menopang kepalanya dengan dan menopang kepalanya dengan kedua tangan bersimpu pada pahanya.

"Demi Ibu, aku bisa melakukan apa saja. Aku tidak akan membiarkan Ibu menderita lagi mulai sekarang," ucap Lilly dengan suara pelan, bibirnya tersenyum namun matanya memerah, meski tidak menangis Lilly terlihat sangat sedih.

Malam semakin larut, dan meski hatinya masih resah, Lilly memaksakan diri untuk tidur. Ketika ia membuka mata kembali, langit sudah cerah.

Ibunya, Linda, bahkan sudah selesai sarapan dan minum obat. Lilly bergegas mencuci muka dan menggosok gigi.

"Ibu, kok nggak bangunin aku? Siapa yang membantu Ibu makan?" tanya Lilly. Mendekati ibunya yang duduk bersandar.

Linda tersenyum dan mengusap wajah tirus putri semata wayangnya itu. "ibu sudah jauh lebih baik, kamu terlalu mengkhawatirkan Ibu. Tangan Ibu sehat, bisa makan sendiri, " ucap Linda.

"Minggu depan kan mau operasi, Bu. Ibu harus banyak istirahat, ya?" ucap Lilly, tak ingin ibunya kelelahan.

Tumor ganas yang tumbuh di otak ibunya membuat wanita itu mudah lelah, dan kadang tidak bisa menggerakkan bagian tubuhnya.

Ia ingin memastikan bahwa ibunya merasa nyaman sebelum menghadapi hari berat nanti.

"Ibu, nggak apa-apa, sayang. Kamu juga harus jaga kesehatan, lihat kamu tambah kurus, ” ucap Linda dengan raut wajah prihatin.

Lilly hanya mendesah pasrah dan mengusap perutnya yang keroncongan. "Baiklah, siang nanti aku mau cari rumah, tempat kita tinggal nanti kalau Ibu pulang." Lilly menggenggam tangan ibunya dan mengusapnya lembut.

Kelopak mata Linda bergetar, kecemasan menyelinap di benaknya. la memandang wajah anaknya yang tersenyum, namun hatinya terasa sakit.

Tak terbayangkan baginya, jika suatu hari ia tiada, siapa yang akan mengingatkan anak ini makan. Terkadang dalam sehari, Lilly bahkan tak menyentuh nasi sama sekali.

"Aku pergi dulu, ya, Bu. Nanti aku kesini lagi. Ibu mau makan sesuatu nggak? Nanti aku belikan."

Lilly menyeka keringat di dahi ibunya, lalu melirik ke AC yang menyala. Suhu kamar terasa normal, namun ia mengerutkan dahi, merasa ada yang janggal.

"1bu nggak apa-apa? dimana yang sakit?" tanya Lilly dengan cemas, sambil memegang tangan ibunya erat, mencari jawaban dalam tatapan mata ibunya.

Linda menggeleng, kemudian tersenyum dengan paksa sambil menggenggam tangan putrinya,

"Tidak ada yang sakit sayang, pergilah, atau kau akan terlambat, " ucap Linda dengan lembut, seolah berusaha menyembunyikan keresahannya.

"ibu yakin? Jangan coba-coba menipuku, Bu. Kesehatan Ibu jauh lebih penting dari apapun, " Tekan Lilly dengan mata khawatir.

Dengan susah payah, Linda menelan ludahnya, merasakan mual yang hampir tak tertahankan.

Namun, ia harus tegar demi Lilly. "Pergilah, Ibu mau istirahat, " ucap Linda sambil mengepalkan tangannya. Ia kemudian memejamkan mata, berharap mual itu segera hilang.

Lilly menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan ibunya, namun tak mampu memahami apa itu.

Setelah menghela nafas pelan, Lilly merapikan selimut yang menutupi tubuh Linda, dan berkata dengan lembut, "Baiklah, aku pergi dulu." la lalu berlalu dengan langkah gontai, masih khawatir akan keadaan ibunya.

Malam itu, Lilly dan teman baiknya, Mona, menginjakkan kaki di klub malam terkenal di Jakarta.

Memori masa lalu terbersit saat mereka pernah sering datang ke tempat itu, namun setelah keluarganya jatuh miskin dan harus merawat ibu yang sakit, Lilly mengurangi kegiatan bersama Mona.

Lilly juga bukan tipe yang mau dibayari ia begitu benci pada orang yang merasa kasihan padanya. Bahkan ketika Mona ingin mentraktirnya makan, Lilly menolak dengan tegas.

”Eh, ramai sekali, ” ujar Mona sambil memperhatikan keramaian dengan mata berbinar.

”Aku dengar ada DJ tampan dari Medan yang datang Iho! " bisiknya semakin membuat Lilly penasaran.

Mereka duduk sejenak, memesan minuman sebelum bergabung dengan keramaian di lantai dansa. ”koktail dua, ” ucap Mona pada bartender tampan di balik meja.

"Siap!" jawab bartender itu semangat. Lilly dan Mona menikmati momen itu, menatap para anak muda yang berjoget dengan riang dan penuh energi.

"Mau cari cowok, nggak? Cinta semalam boleh Iah, ya?" ujar Mona sambil tertawa cekikikan.

"Bener nggak? Dari pada malam pertama sama Om-om tua. " Tawa Mona meledak, membuat Lilly menggeleng-geleng kepala melihat temannya mengejek dirinya.

Namun, dipikir-pikir, hanya tinggal dua hari lagi menjelang pernikahannya, Lilly masih merasa ragu tentang apa yang akan terjadi nanti.

Yang pasti, tidur bersama pria tua itu adalah hal yang mustahil baginya, apalagi melakoni malam pertama seperti yang disindir Mona.

Lilly menghela nafas panjang, lalu meneguk minuman yang dipesankan oleh Mona. Rasa segar dan manis langsung memenuhi mulutnya, membuat Lilly memejamkan mata sejenak, merasakan kebahagiaan yang telah lama tidak ia rasakan.

”Turun, yuk!” ajak Mona sambil menggoyangkan tubuhnya lincah. Lilly mengangguk, memang itulah tujuannya datang ke tempat ini.

Kedua gadis cantik dengan pakaian seksi itu pun bergabung bersama yang lain di tengah kerumunan orang yang asyik bergoyang.

Mereka menari dengan tubuh meliuk-liuk, gerakan gemulai dan menggoda, membuat para pria di sekitar tak mampu menahan decak kagum.

Di sudut ruangan yang remang-remang, tampak beberapa pria tampan sedang duduk santai. Dari penampilan dan merek pakaian yang mereka kenakan menunjukkan bahwa mereka merupakan langganan VIP di tempat itu.

"Tuan, gadis berbalut gaun hitam itu adalah Nona Lilly Palla. Sudah saya pastikan, dialah yang akan menikah dengan Anda, " bisik Leo ke telinga Elang, pria yang terus menatap Lilly sejak tadi.

Tanpa mengeluarkan suara, Elang terus memandang Lilly dengan tatapan tajam yang tak mau lepas, seolah sedang menganalisa setiap gerak-gerik dan detail perempuan yang akan menjadi istrinya itu.

"Hei, aku sudah memanggil beberapa gadis cantik untuk malam ini, sebelum pernikahanmu besok."

"Bagaimana kalau kita bersenang-senang? Anggap saja mencari pengalaman agar bisa memuaskan istri kecilmu nanti, ' ucap teman Elang yang bernama Roland sambil tertawa.

"Sebaiknya kau ikut denganku, jangan sampai istrimu kecewa. Ayo lah, sudah se-tua ini, kau belum merasakan yang namanya surga dunia, " lanjut Roland sambil menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.

Di New York, wanita seksi macam apa yang tidak ada? Semua bentuk dan ukuran tersedia, tetapi Elang tidak pernah tertarik dengan kesenangan seperti itu.

Terkadang, Roland sampai berpikir, apakah mungkin "itunya" Elang tidak berfungsi dengan wanita?

Elang tampak kesal dengan perkataan Roland, kemudian memukul keras kepala temannya hingga Roland meringis kesakitan.

"Kau kenapa? Aku sudah bilang berkali-kali kalau aku tidak tertarik dengan hal itu!" geram Elang sambil menatap Roland tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status