Share

BAB. 2

Linda menatap putrinya, Lilly, yang sedari tadi tersenyum-tersenyum sendiri.

Linda menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan tingkah anaknya yang tampak jahil itu.

"Ibu...” Seru Lilly, bergeming mendekati Linda yang duduk di tepi ranjang.

”Ibu tahu kenapa aku begitu bahagia melihat wajah tertekan mereka? Itu lucu sekali!” Lilly tertawa puas.

Tangan Linda melepaskan pukulan kecil pada paha Lilly, berusaha menghentikan putrinya yang terlalu kegirangan.

Namun, alih-alih berhenti, tawa Lilly malah semakin riuh dan bernada keras. Linda teringat pada reaksi Mayang yang membara kemarahan atas permintaan Lilly yang tak terduga itu.

"Jangan jadi orang yang tidak tahu malu, Lilly, " kesal Mayang saat itu.

"Sudah untung kami berusaha membantumu mencarikan suami, mengingat kehidupanmu yang miskin. Selain gelandangan siapa lagi yang mau menikahi gadis seperti kamu?" Ucap Mayang penuh amarah.

"Haih!" Lilly menghela napas malas, lalu melanjutkan dengan nada penuh makna.

"Tapi Tante, bahkan seorang gelandangan jika diberi pakaian bagus bisa berubah menjadi pria tampan."

"Adapun Erlangga, pria berumur dengan tubuh seperti sumo. Ck, ck.." Lilly menggelengkan kepalanya, tersenyum misterius melirik Alena.

Alena bergidik ngeri, ingatan tentang potret Erlangga menyatu dalam pikirannya.

Perut pria itu membuncit bak wanita hamil lima bulan, wajahnya yang bulat dan itu adalah sepuluh tahun yang lalu.

Bagaimana pula bentuk tubuhnya sekarang, mengingat pria itu memang terkenal rakus.

Membayangkan menikah dengan pria buruk rupa itu, Alena menangis tersedu.

"Mama, Alen tidak mau menikah dengan pria tua itu, Alen tidak mau!” Pekik Alena histeris.

Hatinya bergemuruh bagai badai yang menghancurkan segala-galanya.

Mayang mengepalkan rahangnya, menahan pil pahit yang harus ditelannya demi masa depan anak kesayangannya. Dia terpaksa menyetujui permintaan Lilly.

"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Pada hari pernikahan kalian nanti, 10 milyar itu akan menjadi milikmu."

Mayang berucap dengan nada berat, berusaha menyembunyikan getirnya.

Lilly tertawa sinis, ekspresinya penuh ejekan. "Nyonya? Anda pikir aku ini sama naifnya dengan ayahku? Percaya begitu saja dengan omongan kalian?"

"Tentu saja tidak, aku ini keturunan Ibuku, Nyonya Linda yang hebat dan pintar. Besok, uangnya harus sudah ada, kalau tidak... " Lilly mendekati Alena dan berbisik seraya menunjukkan senyum jahatnya.

"Bersiaplah menikah dengan pria itu, kau tidak perlu membeli ranjang lagi."

"Sekarang usianya sudah 40 tahun, kan? Apakah dia punya kumis? Dadanya berbulu?"

"Mama... " Teriak Alena seraya menahan isak tangis, bayangan semua yang dikatakan Lili membuatnya merasa ketakutan yang sangat.

Mayang semakin murka dan segera menenangkan anaknya.

"Baiklah, besok akan ada orang yang mengantarkan cek," jawab Mayang dengan tegas.

"Tidak. Transfer saja, dan aku mau Anda sendiri yang datang ke sini, " potong Lilly tajam.

Dia berbicara seraya menatap Mayang dengan pandangan dingin yang membuat Mayang enggan untuk melakukan protes.

"Nak, uang sebanyak itu, apakah akan jadi masalah nantinya?" tanya Linda kepada Lilly

"Ibu tidak mau kamu sampai masuk penjara juga karena Ibu, penyakit ini tidak perlu diobati, asal kamu sehat dan hidup dengan baik, Ibu sudah merasa senang, ” ucap Linda dengan mata berkaca-kaca.

Dia sungguh khawatir akan masa depan Lilly. Dia tahu betul siapa keluarga Palla.

Mereka semuanya sangat licik dan kejam, tidak akan segan-segan bahkan dengan saudara kandung sendiri.

Lilly memegang erat kedua bahu ibunya, kemudian saling menatap satu sama lain.

Sambil tersenyum, Lilly berkata dengan lembut, "Bu, tenang saja. Aku sudah punya rencana, aku ini anak Ibu dan tidak akan sebodoh Ayah yang akan terjebak dengan trik murahan itu," ucap Lilly lembut.

"Jadi, jangan khawatir, percayakan saja padaku, ya?" ucapnya lagi pada sang ibu.

Mendengar jawaban Lilly, Linda merasa tenang dan lega.

Hatinya berbunga-bunga melihat putri kesayangannya yang kini telah tumbuh menjadi wanita dewasa dan pemberani.

Seluruh kekhawatiran dan rasa sakit yang selama ini dirasakannya perlahan sirna, digantikan oleh kebanggaan yang menggelora.

****

Di atas gedung pencakar langit yang menjulang, seorang pria jangkung berotot berselimut keringat berlarian di atas treadmill.

Setiap detail ototnya terlihat begitu sempurna, menambah daya tarik yang tak tertahankan. Bulu halus yang tumbuh di kakinya melengkapi daya pesonanya.

"Tuan, minggu depan pernikahan Anda akan segera dilangsungkan. Tuan besar meminta Anda kembali besok, " ujar Leo Wildson, asisten pria tampan itu yang mengenakan kacamata.

Namun, si pria berjanggut tipis itu tidak menanggapi seruan asistennya, terus larut dalam aksi berlari di atas mesin treadmill dengan keringat semakin membasahi seluruh tubuhnya.

Leo menyerahkan handuk kecil dan sebotol minuman infus yang terdiri dari berbagai potongan buah kepada tuannya.

Pria bermata tajam itu mengelap keringat diwajahnya lalu, berjalan dengan langkah tegap.

Siapkan kepulangan besok, pastikan semuanya berjalan dengan lancar, " Ucapnya tanpa melihat kearah lawan bicaranya.

Leo mengangguk, ia membungkuk hormat, kemudian berbalik pergi mengerjakan yang di perintahkan sang majikan.

*****

Di rumah utama keluarga Palla, suasana yang hening tiba-tiba terpecah ketika seorang pria tua menampar meja kaca menggunakan tongkatnya, membuatnya hancur berkeping-keping di lantai.

Mayang dan Alena yang duduk di sisinya terlonjak kaget, wajah mereka pucat dan gemetaran, merasa takut melihat kemarahan pria tua itu.

"Ayah, kita tidak bisa membiarkan anak itu terus memeras kita seperti ini, " ujar Ammar, anak pertama Mahesa sekaligus kakak kandung Johan, ayah Lilly, dengan nada tegas.

Mahesa, si tua itu, berbalik dan menatap tajam ke arah anak dan menantunya bergantian.

Di usianya yang senja, pria itu masih tampak bugar dan tegap meskipun harus berjalan dengan bantuan tongkat.

"Besok, kau temani istrimu pergi kesana, " kata Mahesa dengan suara yang dalam dan tenang.

Berikan apa yang dia inginkan, tetapi pastikan dia membayar kembali sekecil apapun yang dia ambil," ucap Mahesa.

Mendengar ucapan ayahnya, Ammar dan Mayang saling bertukar pandangan lalu tersenyum seraya merasakan rasa kemenangan yang menyelimuti hati mereka.

***

Lilly tengah sibuk melayani pelanggan yang membeli bunga, akhir-akhir ini memang pemasukan ditoko sedikit menurun dibanding bulan lalu.

Toko bunga itu tampak menawan dari kejauhan, dengan berbagai jenis bunga berwarna-warni yang tersusun rapi di etalase.

Aroma yang memenuhi udara di sekitarnya mengingatkan pada kesegaran dan keindahan alam. Begitu memasuki toko, pengunjung disambut oleh suasana yang hangat dan nyaman.

Di sekeliling toko, terdapat rak-rak yang berisi beragam bunga, mulai dari mawar merah yang anggun hingga anggrek eksotis yang menawan.

Pemilik toko, seorang wanita paruh baya yang ramah, selalu tersenyum dan siap membantu para pelanggan dalam memilih bunga yang paling sesuai untuk berbagai acara dan perasaan.

"Nenek, minggu depan aku tidak akan datang lagi, jadi anda harus segera mencari orang lain untuk membantu anda disini, Ucap Lilly, sambil merangkai mawar merah yang segar.

Wanita tua berkaca mata itu mengerutkan dahinya, ia yang sedang menulis data dibuku catatannya menghentikan kegiatan itu.

"Kau punya pekerjaan baru? tanyanya.

Lilly menggeleng, membungkus rangkaian bunga dengan kertas cantik, lalu duduk disamping wanita itu. "Nek, kami akan pindah, dan aku... Aku akan menikah. " Jawab Lilly, suaranya tercekat di akhir kalimat.

Wanita paruh baya itu, menatap Lilly dengan dalam. Dia telah mengenal Lilly sejak dua tahun lalu ketika gadis itu mulai bekerja di tokonya.

Meski mendapat gaji kecil, namun Lili selalu bekerja dengan sepenuh hati dan tidak pernah mengecewakan.

Sambil menepuk-nepuk punggung Lilly, wanita itu memberi dukungan, "Sudah, jangan khawatir. Aku yakin kau akan bahagia di kehidupan barumu nanti.

Dan jika kau merindukan tempat ini, kau selalu bisa kembali untuk mengunjungi kami. "

Lilly mengangguk, tersenyum sedih sambil menatap sekeliling toko bunga yang telah menjadi tempatnya mencari nafkah selama ini.

Meski ia akan menempuh kehidupan baru yang entah tantangan seperti apa menunggunya didepan sana, kenangan indah bersama wanita paruh baya ini serta toko bunga ini akan selalu tertanam dalam hatinya.

Sore itu, Lilly menyusuri jalan menuju kerumahnya, jaraknya tidak terlalu jauh, dari pada membayar angkot, Lilly memilih berjalan kaki sekalian berolah raga.

Lampu-lampu jalan telah menyala, hiruk pikuk kendaraan saling bersahutan, memecah keheningan.

Lilly berdiri lama, menatap jalanan yang ramai, dulu dia pernah menjadi salah satu dari mereka, tetapi itu beberapa tahun yang lalu.

"Aku akan merebut kembali apa yang kalian ambil, sepeserpun tidak akan aku sisakan. " Gumam Lilly, bertekad dalam hatinya, membalas penderitaan dia dan ibunya.

Lilly melanjutkan perjalanannya, sebelum pulang, ia sempatkan membeli martabak kesukaan ibunya. Meskipun bukan ditempat langganan yang biasa dulu mereka beli, namun rasa dari martabak ini juga tidak kalah enak dan terlebih jauh lebih murah.

"Ibu... Aku pulang! " Teriaknya pelan, sambil menutup dan mengunci pintu.

Kakinya melangkah menuju kamar ibunya, ternyata wanita kesayangannya itu sudah tertidur pulas.

Tak ingin menganggu sang ibu, Lilly pun memilih untuk menyimpan martabak yang dia bawa di atas meja makan usang didapur, kemudian Lilly masuk kedalam kamar membersihkan diri.

Air dingin membasahi rambut hitam panjang Lilly yang terurai. la merasakan dinginnya air tersebut mengalir turun ke punggungnya. Di punggung sebelah kiri Lilly, tampak sebuah tato Phoenix yang seukuran telapak tangan.

Phoenix merupakan burung mitologis yang melambangkan kebangkitan, transformasi, dan keabadian.

Lillysengaja memilih burung tersebut sebagai simbol kekuatan dan tekadnya untuk bangkit dari segala kesulitan yang dihadapinya.

"Aku sudah tidak sabar menunggu hari esok, skema licik apa yang akan mereka mainkan demi 10 milyar itu, ” gumam Lilly seraya menggusap kulit lembutnya dengan handuk putih bersih.

Wajahnya tampak tenang, namun di balik itu terselip rasa percaya diri dan tekad yang kuat.

Lilly tersenyum, sorot matanya berbinar bak bintang di langit malam. Ia merasa yakin bahwa tak peduli seberapa licik rencana yang akan dihadapinya, ia akan mampu menghadapinya dengan kecerdasan dan kekuatan yang dimilikinya.

Pagi itu, sinar matahari hangat menyinari bumi, menandakan awal hari yang indah.

Sejak pagi, Lilly sudah terbangun sebelum fajar menyingsing. Sarapan yang terdiri dari nasi dan lauk pauk sederhana sudah tersaji di atas meja makan.

Suasana pagi yang damai membuat Lilly merasa tenang, meskipun dalam hati ia merasa sedih.

Saat ini, Lilly tengah menyeka tubuh ibunya dengan air hangat menggunakan handuk lembut.

Ibunya, tidak kuat berdiri apalagi berjalan. Penyakit yang dideritanya selama tiga tahun ini belum jelas sumbernya, dan ia tidak memiliki ibunya berobat ke rumah sakit yang lebih baik.

Dia hanya bisa bersyukur karena masih mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Bu, nanti kita pergi ke rumah sakit, ya, " ujar Lilly dengan lembut sambil menatap wajah ibunya yang penuh kepasrahan.

"Aku ingin ibu sembuh, dan melihat bagaimana putri ibu ini mengepakan sayap," ucap Lilly dengan lembut.

Linda tersenyum lemah, menatap mata putri kesayangannya yang penuh harap.

Terima kasih, Nak, " bisiknya seraya membelai kepala Lilly dengan tangan gemetar.

"1bu berharap bisa melihatmu sukses dan bahagia, serta menikah dan punya banyak anak agar saat tua kamu tidak merasa kesepian.

Lilly mengejapkan matanya beberapa kali, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. Dalam hati, dia berjanji akan bekerja keras demi kesembuhan ibunya dan masa depan mereka berdua.

Pagi yang hangat dan cerah itu menyaksikan tekad Lilly yang bulat untuk merubah nasib keluarganya.

"Nanti saat mereka datang, Ibu diam saja, ya. Biarkan aku yang menanggapi ucapan mereka. Ibu percaya, kan, kalau putri Ibu ini bisa menghadapi orang licik seperti mereka?” tanya Lilly sembari menyisir rambut ibunya yang mulai menipis.

Pandangan mata mereka bertemu, penuh dengan harapan dan kehangatan. Linda tersenyum lembut, menatap putrinya dengan kasih sayang.

"Selain kamu, siapa lagi yang bisa Ibu percaya? Kamu terlalu banyak berpikir, ” ucap Linda sambil menikmati pijatan lembut di kepala dari tangan Lilly yang mungil dan jemarinya yang lentik.

Tangannya yang cekatan meluluhkan ketegangan di kepala Linda, memberi rasa tenang pada sang ibu.

***

Siang itu, matahari bersinar terik dan Lilly sudah menunggu kedatangan Mayang di teras rumahnya. la berpikir, wanita itu akan datang bersama pengacaranya untuk mengurus masalah uang persyaratan itu.

Namun, ternyata dugaan Lilly salah. Justru Ammar, suaminya, yang datang dengan ekspresi dingin dan tatapan tajam.

"Keponakan, kau tidak mempersilakan Om-mu masuk?" Ammar dan Mayang berdiri di depan pintu.

Pria itu memandang rumah tak layak huni itu dengan ekspresi jijik dan sinis. Furnitur usang berdebu, lantai bercelah, dan cat dinding mengelupas di beberapa bagian.

"Takutnya Om langsung sesak nafas jika berada di dalam, bukankah lebih baik di sini saja?" balas Lilly dengan nada datar, sambil menunjuk lantai teras bersemen kasar yang berlumut di beberapa sudut.

Ia tahu, Ammar pasti tak betah lama di rumah ini, mengingat hidupnya yang bergelimang harta dan kemewahan sejak kecil.

Ammar menatap Lilly dengan pandangan sinis, namun akhirnya mengangguk. ”Baiklah, takutnya keadaan di dalam jauh lebih buruk dari pada di sini," balasnya angkuh.

Lalu ia duduk di kursi teras yang sudah kusam, menarik napas panjang, seolah merasa terjebak dalam situasi yang tak diinginkan.

Setelah menyesap sejenak, ia kemudian mulai membahas masalah pernikahan dan uang 10 miliar yang menjadi pemicu pertemuan ini.

"Kamu bisa menerima uang itu setelah menandatangani surat perjanjian ini, " ujar Ammar seraya menyodorkan secarik kertas pada Lilly.

Dengan ekspresi wajah yang tenang, Lilly membaca surat itu dengan seksama. Ternyata, di dalam surat tersebut dinyatakan bahwa dirinya berhutang dan meminjam 15 miliar, padahal dia hanya meminta 10 miliar.

Senyum sinis terukir di bibir Lilly. Di tengah situasi seperti ini, dia tetap tak mau membuang kesempatan yang ada.

"Kalian berdua memang luar biasa, aku minta 10 kalian kasih 15 miliar, " kata Lilly sambil bertepuk tangan, menunjukkan apresiasi yang berlebihan kepada om dan tantenya.

Ekspresi wajah Mayang mencerminkan rasa kebencian, namun dia memilih untuk diam. la sadar seharusnya tidak terlalu lunak pada Lilly, keponakan suaminya iłu.

Namun, demi masa depan dan kebahagiaan putrinya, ia terpaksa menahan egonya untuk sementara waktu.

"Yang lima miliar, bukan untukmu. Uang iłu akan digunakan untuk pernikahanmu nanti, ” jawab Ammar dengan sedikit gugup.

Mendengar iłu, alis Lilly terangkat, lalu ia berkata dengan nada mencibir, "Oh begitu? Kalian berdua sudah tua, tentu tidak ingin aku merepotkan kalian, kan? Jadi, berikan saja semua uang iłu padaku."

"Walaupun sekarang kami miskin, dulu kami juga setara dengan kalian. Aku punya seorang kenalan yang bisa bantu mengurus semuanya."

Om dan Tante tinggal duduk santai, terima beres. Percayakan semuanya padaku!" Ungkapan wajah Lilly penuh keyakinan seolah-olah ia sudah menanggung segala tanggung jawab.

Dalam nada meyakinkan, ia mengeluarkan kertas berisi nomor rekeningnya, menanti transfer dana yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Mayang mengepalkan tangannya, emosi marah dan iri menyala di dalam dada, meski dia menantu pertama dikeluarga Palla, belum pernah dia memegang uang sebanyak 15 miliar.

Tetapi Lilly, anak sialan ini, dalam semalam sudah melampaui dirinya. Rasa iri tumbuh subur dalam hatinya.

"Harus pakai ini? Ponselmu mana?" Ammar bertanya sambil memiringkan kepalanya, menunjukkan wajah angkuh.

Di jaman modern seperti sekarang, rasanya sangat ketinggalan jika mau transfer uang harus pakai nomer rekening.

Lilly hanya tersenyum tipis, ia berikan kode dengan dagunya agar Ammar segera mengirim uangnya tanpa banyak bicara.

"Tanda tangani dulu surat ini!" ucap Mayang tiba-tiba, ketika Ammar hampir saja mengirim uangnya, ponsel suaminya itu ia rebut dan sembunyikan kedalam tasnya dengan cepat.

Lilly tertawa kecil, menoleh ke arah lain sambil menggosok hidungnya dengan telunjuk. Lalu, ia menatap Mayang dan Ammar bergantian, senyum sinis menghiasi bibirnya.

"Di sini, kalian berdua tidak punya hak untuk tawar-menawar, " ucap Lilly dengan nada merendahkan.

"Yang mengambil keputusan adalah aku, bukan kalian. " Tambahnya, memberikan tekanan melalui sorot matanya yang tajam dan menentang.

Seketika, Mayang merasa terhina. la mengacungkan telunjuknya tepat di hidung Lilly, tapi dengan sigap, gadis itu menggenggam dan memelintir jari Mayang hingga membuatnya meringis kesakitan.

"Pengawal!" teriak Ammar dengan wajah memerah. Berbeda dengan Mayang yang bebas bergerak, Ammar selalu memiliki penjaga di sekitarnya.

Ia telah merencanakan pertemuan ini dengan saksama, yakin bahwa jika Lilly menolak menandatangani surat perjanjian, ia akan menggunakan cara paksa.

Namun, sekarang Ammar merasa terpojok, menghadapi keponakannya yang berani menantang otoritasnya.

Namun, Lilly tidak akanmenyerah begitu saja. la berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus berjuang demi mempertahankan haknya, meskipun harus melawan orang-orang terdekatnya yang seharusnya melindunginya.

"Mau bermain kekerasan?" Tanya Lilly dengan nada mengejek sambil berdiri berpangku tangan. Wajahnya tampak tenang dan tersenyum lebar, menunjukkan keberanian yang tiada tara.

"Lihatlah!" Telunjuk Lilly mengarah pada sebuah CCTV tersembunyi di balik pot bunga di sampingnya.

Mata Ammar dan Mayang membelalak, terkejut bukan kepalang. Mereka duduk di sana seiak tadi. namun bagaimana mungkin tidak menyadari keberadaan kamera itu?

Tidak, bukan itu masalahnya, mereka hanya tidak menyangka, keponakannya yang pendiam dan tampak polos itu bisa memiliki pemikiran licik begitu.

Seolah mereka baru melihat Sisi lain dari Lilly yang selama ini terpendam.

"CCTV itu, tersambung langsung ke ponsel temanku. Semua yang terjadi di sini terekam jelas di sana. Kalian semua maju, dan lanjutkan, " ujar Lilly dengan mengejek sambil menatap para bodyguard itu.

"Besok, wajah kalian akan terpampang di siaran tv, dan Palla akan jadi perbincangan hangat di internet."

Sikap acuh tak acuh Lilly semakin memompa emosi Amar dan Mayang. Mereka hanya bisa menggertakkan gigi, mencengkeramkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih.

Dalam bayangan mereka, tinju itu telah melayangkan pukulan hingga rahang Lilly pindah tempat. Namun, dendam itu hanya bisa isimpan untuk dibalas di kemudian hari.

Gigi Amar bergemelatuk menahan amarah. "Aku akan transfer semuanya, keponakanku. Tenang saja," katanya dengan nada getir.

"Kami meminta bantuanmu, tentu harus tahu diri." Amar mencoba menelan emosinya agar tidak meledak.

Lilly menggelengkan kepala sambil tersenyum miring, kalimat yang Ammar katakan terdengar seolah dia ini baru saja di tindas.

Tetapi, Lilly tidak peduli dengan wajah memelas itu. Dibalik saku jaketnya, Lilly melempar secarik kertas kedepan Ammar dan Mayang.

Sepasang suami istri itu saling berpandangan, lalu Mayang mengambilnya dan membaca kertas berstempel martai tersebut.

Disana tertulis, uang 15 miliar yang mereka kirim, bukan uang pinjaman, ataupun uang sogokan, melainkan uang kompensasi, atas harta keluarganya yang mereka sita.

Melihat isi surat itu, amarah Mayang meronta-ronta. Ingin rasanya ia merobek-robek kertas tersebut, namun perkataan Lilly seolah menusuk jantungnya.

"Robek saja. Jika anda ingin putri kesayangan yang selama ini jadi kebanggaan kalian akan bersanding dengan pria gendut itu, " ujar Lilly sambil mengeluarkan senyuman mengejek.

Mayang dan Ammar sama-sama merasakan darahnya mendidih. Tak rela mereka melihat Alena menikahi lelaki tak berguna itu.

Dalam kekalutan, Mayang meremas gaunnya hingga berantakan, sedangkan Ammar menandatangani surat itu dengan tangan gemetaran.

Api kemarahan yang menyala di kedua bola mata mereka seolah akan membakar kertas itu menjadi abu.

"Senang bekerja sama dengan kalian," ucap Lilly dengan nada mengejek. "Kalau ada proyek besar lainnya, jangan segan menghubungiku, ya. "

Tanpa berpamitan gadis berkulit putih itu melangkah masuk ke rumah setelah mengambil CCTV yang dia pasang, dan menutup pintu dengan keras.

Tak tahan menahan kemarahan, Mayang dan Ammar, membanting pot bunga yang ada di depan mereka hingga hancur berkeping. "Anak sialan!" teriak mereka berbarengan, meluapkan amarah yang mendalam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status