Share

Bab 2

“Apa? Menikah?” teriak Isha dan Baskoro bersamaan.

Satrio sebenarnya juga sangat terkejut, tapi dia tetap terlihat tenang. Pria berambut ikal hanya melirik Isha dan Baskoro tanpa bersuara.

“Iya, Nak Isha dan Nak Satrio harus menikah sekarang. Kalau tidak kalian harus pergi dari sini,” sahut Pak RT.

Isha menggeleng berulang kali. “Aku tidak mau menikah, Pak,” ucapnya pada Baskoro.

“Pak RT dengar sendiri apa yang dikatakan anak saya! Dia tidak mau menikah. Saya juga tidak setuju Isha menikah dengan pengangguran seperti Satrio,” timpal Baskoro seraya menunjuk pemuda berambut ikal itu dengan dagunya.

“Kalau begitu Nak Isha dan Nak Satrio akan diarak dan diusir dari kampung ini,” sahut Pak RT.

“Harusnya Satrio saja yang diarak dan diusir! Selama ini anak saya baik-baik saja dan tidak pernah macam-macam. Kalau tidak karena pengangguran itu, mana mungkin anak saya seperti ini.” Baskoro membela anaknya.

“Tetap saja Isha melakukannya dengan Satrio. Tidak adil kalau Satrio saja yang dihukum. Mereka berdua harus sama-sama mendapat hukuman,” cetus seorang warga.

“Ya, benar. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Dua-duanya harus dihukum.”

“Pak Baskoro, dengar sendiri ‘kan apa yang diinginkan warga? Saya tidak bisa apa-apa kalau warga sudah sepakat. Menurut saya, menikahkan mereka adalah jalan terbaik. Sudah banyak pasangan zina di luar sana yang langsung dinikahkan saat itu juga setelah kepergok,” ujar Pak RT.

“Coba Pak Baskoro pikirkan, bagaimana kalau nanti Nak Isha sampai hamil? Siapa yang akan bertanggung jawab kalau tidak punya suami?” imbuh ketua Rukun Tetangga itu.

Kepala Baskoro semakin berdenyut. Di satu sisi, dia tidak rela putrinya menikah dengan orang yang tidak jelas masa depannya. Namun di sisi lainnya, dia juga tidak mau putrinya diusir apalagi sampai hamil tanpa suami.

“Pak, aku tidak mau menikah. Aku juga tidak akan hamil karena aku dan Bang Satrio tidak melakukan seperti yang dituduhkan mereka.” Isha kembali berbicara pada Baskoro.

“Yakin sekali tidak akan hamil, pasti tadi kalian pakai pengaman ya!” celetuk salah satu warga.

“Pak, lebih baik aku pergi dari sini daripada menikah.” Isha tidak menghiraukan celetukan warga.

“Mau tinggal di mana kalau kamu pergi, Is? Kita tidak punya saudara di dekat sini.” Baskoro memandang putri sulungnya.

“Aku bisa kos, Pak,” timpal gadis berusia 25 tahun itu.

Baskoro menggeleng. “Tidak! Bapak tidak mengizinkan kamu keluar dari rumah ini kecuali dengan suamimu. Kamu itu anak perempuan, tidak boleh tinggal jauh dari orang tua.”

“Saya akan menikahi Dek Isha, Pak.” Satrio tiba-tiba menyela pembicaraan bapak dan anak tersebut.

Sontak Isha dan Baskoro menoleh pada pria berambut ikal sebahu itu. Mereka memandang Satrio dengan tatapan berbeda.

“Kamu serius mau menikahi anak saya?” Baskoro memandang Satrio dengan tatapan meremehkan.

Pria yang mengenakan singlet putih dan sarung motif kotak-kotak itu, mengangguk. “Iya, Pak. Saya serius,” jawabnya dengan yakin.

Isha mengernyit. Memandang pria yang tadi mengajaknya pulang bersama itu dengan tatapan tak percaya.

“Bang, jangan bercanda! Kita tidak salah! Kalau kita menikah berarti kita mengakui kalau sudah ....” Gadis itu tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Sesak dan nyeri rasanya kalau mengingat tuduhan para warga. Mereka sama sekali tidak mau mendengarkan penjelasannya.

“Abang tidak bercanda. Abang akan bertanggung jawab karena sudah mengajak Dek Isha ke kontrakan dan membuat orang jadi salah paham pada kita,” tegas Satrio dengan mimik serius.

“Tapi, Bang—” Isha belum selesai bicara sudah dipotong oleh bapaknya.

“Tidak ada tapi-tapian, Is. Bapak setuju kamu menikah dengan Satrio daripada kalian diusir dari sini. Meskipun sebenarnya Bapak juga tidak ingin punya menantu seperti dia,” putus Baskoro.

Pria paruh baya itu terpaksa setuju setelah memikirkan reputasi dan masa depan putrinya. Selamanya Isha akan dicap pezina, tidak akan mudah bagi pria untuk bisa menerima masa lalunya. Lebih baik dinikahkan dengan Satrio saja yang jelas mau menikahi putrinya daripada nanti Isha susah mendapatkan jodoh.

“Kalau begitu saya akan panggilkan Pak Ustaz,” lontar salah satu warga yang langsung beranjak pergi tanpa menunggu tanggapan dari yang lain.

“Saya ingin akad nikahnya di rumah saya saja,” pinta Baskoro pada Pak RT.

“Ya, tidak apa-apa, Pak. Biasanya juga kalau menikah di rumah mempelai wanita.” Pak RT kemudian meminta warga yang berkumpul di depan kontrakan untuk bubar. Namun bukannya pulang ke rumah masing-masing, para warga malah berpindah ke rumah Baskoro yang ada di samping kontrakan tersebut.

“Is, sebaiknya kamu ganti bajumu dengan yang lebih pantas. Bapak juga akan ganti baju.” Baskoro bicara pada putrinya setelah masuk ke rumah dan mempersilakan Pak RT serta pemilik kontrakan untuk duduk di ruang tamu.

Isha menurut meskipun terpaksa. Gadis itu lantas masuk ke kamar dan mengganti kemeja milik Satrio dengan gamis terbaik yang dia punya. Wajahnya dipoles dengan bedak tipis, bibirnya pun diberi sedikit lipstik agar tidak terlihat pucat. Tak lupa Isha mengenakan jilbab yang warnanya senada dengan gamisnya.

Isha keluar kamar setelah dipanggil oleh Baskoro. Gadis itu diminta duduk di samping Satrio yang penampilannya jauh lebih rapi dari tadi. Pria itu mengenakan baju koko putih, celana bahan hitam, dan peci yang juga berwarna hitam.

“Nak Satrio mau memberi mahar apa pada Nak Isha?” tanya ustaz yang sudah datang dan duduk di salah satu kursi.

Satrio meraih dompet di saku belakang celana lalu mengambil uang yang jadi satu-satunya penghuni di sana. “Saya hanya punya uang seratus ribu. Apa Dek Isha ikhlas Abang beri mahar segitu?” Pria itu bertanya pada Isha seraya menunjukan selembar uang berwarna merah tersebut.

Gadis itu mengangguk. Mau minta banyak atau yang lain juga tidak mungkin, jadi lebih baik menerimanya saja daripada semakin lama dan panjang urusannya. “Seadanya Bang Satrio saja,” jawabnya kemudian.

“Alhamdulillah.” Satrio menghela napas lega, begitu juga yang lain.

Sang ustaz kemudian mempersilakan Baskoro untuk menikahkan putri sulungnya dengan Satrio.

“Saya terima nikah dan kawinnya Isha Umarani binti Baskoro dengan mas kawin uang seratus ribu rupiah, dibayar tunai,” ucap Satrio dengan lantang dan dalam sekali tarikan napas sambil menjabat tangan Baskoro.

“Bagaimana Bapak-bapak?” tanya sang ustaz.

“Sah,” jawab Pak RT dan pemilik kontrakan yang bertindak sebagai saksi.

“Alhamdulillah,” ucap Satrio dan Baskoro bersamaan.

Ustaz kemudian mendoakan Satrio dan Isha sekaligus memberikan beberapa nasihat pernikahan.

“Sekarang Nak Satrio dan Nak Isha sudah resmi menjadi suami istri secara agama, berarti sudah ada hak dan kewajiban suami istri yang harus kalian penuhi. Untuk pernikahan secara negara, sebaiknya segera diurus ke KUA ya. Kalau bisa jangan terlalu lama,” tandas sang ustaz.

Setelah akad nikah Satrio dan Isha selesai, satu per satu warga meninggalkan rumah Baskoro. Hanya tertinggal Pak RT dan pemilik kontrakan.

“Satrio, kemasi barang-barangmu di kontrakan! Aku tidak mau kamu tinggal di sana lagi!” perintah pemilik kontrakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status