Share

Bab 8

Satrio membalikkan badan lantas berjalan ke tempat tidur. Dia duduk di sana kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya. Memberi tanda agar sang istri duduk di sisinya.

Isha pun menurut meski belum mendapat jawaban dari suaminya. Satrio kemudian mengubah posisi duduknya agar menghadap istrinya.

“Apa Dek Isha ragu perhiasan yang Abang beri palsu?” tanya Satrio dengan lembut dan tenang.

Wanita yang masih mengenakan gamis dan kerudung putih itu tak bersuara. Dia sendiri bingung karena tidak tahu bagaimana membedakan perhiasan asli dan palsu sebab tak pernah memakai perhiasan selain yang diberikan oleh bapak atau ibu tirinya. Itu juga hanya anting-anting yang menghiasi telinganya waktu masih sekolah.

Melihat istrinya yang diam dan terlihat bingung, Satrio meraih tangan Isha lantas menggenggamnya. “Insya Allah semua perhiasan itu asli, Dek. Mana mungkin Abang ngasih barang palsu ke istri sendiri. Kalau Dek Isha masih tidak percaya, besok Abang mintakan nota pembeliannya. Dek Isha nanti bisa cek sendiri ke tokonya,” jelas pria berambut ikal itu.

“Apa harganya mahal, Bang?” Isha akhirnya mengeluarkan suara.

Satrio tak langsung menjawab. Dia terlebih dulu menyusun kalimat yang bisa diterima oleh istrinya. “Dek Isha, lihat sendiri saja besok di nota harganya berapa. Karena mahal atau tidak itu relatif. Standar mahal dan murah suatu barang itu berbeda setiap orang,” tuturnya bijak.

“Ibu bilang cincinku ini kaya berlian. Kalau berlian asli pasti mahal ‘kan, Bang?” Isha kembali bertanya.

Satrio mengulum senyum. “Abang cuma bisa bilang, Dek Isha pantas mendapatkan yang terbaik,” ucapnya seraya menatap lekat istrinya.

Wajah Isha jadi tersipu mendapat tatapan dan ucapan manis dari suaminya. Meskipun belum ada cinta dan masih ada keraguan di hatinya, tapi Isha sudah berusaha menerima kehadiran pria itu dalam hidupnya sebagai suami. Apalagi pernikahan mereka sekarang sudah sah secara agama dan juga negara. Membuat ikatan mereka jadi semakin kuat.

“Bang Satrio bisa saja ngomongnya,” celetuk Isha untuk menghilangkan rasa malunya.

“Aku ‘kan cuma lulusan SMA, Bang. Kerja juga cuma jadi karyawan toko. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Mana mungkin dapat yang terbaik?” kilah gadis itu.

“Dek Isha, terlalu memandang rendah diri sendiri. Setiap wanita pasti istimewa di mata lelaki yang mencintainya. Begitu pun Dek Isha, istimewa di mata Abang. Jadi wajar ‘kan kalau Abang memberikan yang terbaik untuk Dek Isha,” tukas Satrio seraya tersenyum.

Isha terdiam mendengar apa yang diucapkan suaminya. Apa maksud Satrio bicara seperti itu? Tidak mungkin ‘kan pria itu mencintainya? Pasti itu hanya untuk menyenangkan hatinya dan tidak serius.

“Dek, kok diam.” Suara Satrio membuyarkan lamunan sang wanita.

“Eh, aku capek, Bang. Mau ganti baju terus tidur.” Isha beralasan.

“Apa Abang perlu keluar?” Sejak menikah, Satrio memang selalu diminta ke luar dari kamar setiap kali Isha mau berganti pakaian. Siapa tahu ‘kan setelah nikah resmi Isha berubah, jadi dia memutuskan bertanya pada istrinya.

Namun apa yang diharapkan pria berambut ikal itu tak menjadi kenyataan. Isha langsung mengangguk setelah tadi dia bertanya. “Kalau begitu Abang ganti baju sekalian mandi saja.” Satrio mengambil baju ganti kemudian keluar dari kamar.

Isha pun gegas mengunci pintu setelah suaminya pergi. Dia masih merasa malu pada Satrio. Lagi pula gadis itu juga belum siap memberikan hak Satrio sebagai suami meskipun dia tahu kalau hal tersebut tidak benar.

***

“Permisi!” Dua orang pria yang mengenakan pakaian serba hitam berdiri di depan rumah Baskoro.

Lina yang mendengar ada orang di depan rumahnya langsung keluar dari kamar. Diam-diam wanita paruh baya itu mengintip dari jendela. Dia mengernyit melihat penampilan dua orang yang ada di depan rumah. “Siapa ya mereka?” gumamnya.

“Permisi!” Salah satu dari mereka kemudian berteriak dan mengetuk pintu lebih keras.

“Ya, sebentar,” sahut Lina. Dia masuk ke kamar sebentar untuk mengambil gawai dan menyiapkan rekaman. Kalau ternyata kedua orang itu punya niat jahat, dia jadi punya bukti.

Lina menenangkan diri terlebih dahulu sebelum akhirnya membuka pintu. “Mencari siapa ya?” tanyanya tanpa basa basi.

“Selamat malam, Bu,” sapa salah seorang dari mereka dengan senyum ramah. Membuat Lina yang tadinya memasang wajah ketus, jadi mau tidak mau tersenyum.

“Malam,” balas Lina.

“Maaf, Bu, mengganggu. Apa benar Pak Satrio Bhumi Wicaksono tinggal di sini?” tanya orang tadi.

“Maksudnya Satrio suaminya Isha?” Lina memastikan.

“Iya. Pak Satrio yang baru menikah hari ini,” jawab pria berpakaian serba hitam itu.

“Iya, dia memang tinggal di sini. Tapi kayanya sekarang lagi pergi ke masjid salat Isya. Memangnya kalian ada perlu apa sama dia?” Lina kembali bersikap ketus karena menyangkut suami anak tirinya.

“Maaf kami tidak bisa mengatakannya, Bu. Yang pasti kami ingin bertemu dan berbicara langsung dengan beliau,” jelas pria yang satunya.

“Kalian pasti debt collector yang mau menagih utang karena Satrio nunggak bayar utang ya?” tebak Lina dengan penuh percaya diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status