Satrio membalikkan badan lantas berjalan ke tempat tidur. Dia duduk di sana kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya. Memberi tanda agar sang istri duduk di sisinya.
Isha pun menurut meski belum mendapat jawaban dari suaminya. Satrio kemudian mengubah posisi duduknya agar menghadap istrinya.
“Apa Dek Isha ragu perhiasan yang Abang beri palsu?” tanya Satrio dengan lembut dan tenang.
Wanita yang masih mengenakan gamis dan kerudung putih itu tak bersuara. Dia sendiri bingung karena tidak tahu bagaimana membedakan perhiasan asli dan palsu sebab tak pernah memakai perhiasan selain yang diberikan oleh bapak atau ibu tirinya. Itu juga hanya anting-anting yang menghiasi telinganya waktu masih sekolah.
Melihat istrinya yang diam dan terlihat bingung, Satrio meraih tangan Isha lantas menggenggamnya. “Insya Allah semua perhiasan itu asli, Dek. Mana mungkin Abang ngasih barang palsu ke istri sendiri. Kalau Dek Isha masih tidak percaya, besok Abang mintakan nota pembeliannya. Dek Isha nanti bisa cek sendiri ke tokonya,” jelas pria berambut ikal itu.
“Apa harganya mahal, Bang?” Isha akhirnya mengeluarkan suara.
Satrio tak langsung menjawab. Dia terlebih dulu menyusun kalimat yang bisa diterima oleh istrinya. “Dek Isha, lihat sendiri saja besok di nota harganya berapa. Karena mahal atau tidak itu relatif. Standar mahal dan murah suatu barang itu berbeda setiap orang,” tuturnya bijak.
“Ibu bilang cincinku ini kaya berlian. Kalau berlian asli pasti mahal ‘kan, Bang?” Isha kembali bertanya.
Satrio mengulum senyum. “Abang cuma bisa bilang, Dek Isha pantas mendapatkan yang terbaik,” ucapnya seraya menatap lekat istrinya.
Wajah Isha jadi tersipu mendapat tatapan dan ucapan manis dari suaminya. Meskipun belum ada cinta dan masih ada keraguan di hatinya, tapi Isha sudah berusaha menerima kehadiran pria itu dalam hidupnya sebagai suami. Apalagi pernikahan mereka sekarang sudah sah secara agama dan juga negara. Membuat ikatan mereka jadi semakin kuat.
“Bang Satrio bisa saja ngomongnya,” celetuk Isha untuk menghilangkan rasa malunya.
“Aku ‘kan cuma lulusan SMA, Bang. Kerja juga cuma jadi karyawan toko. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Mana mungkin dapat yang terbaik?” kilah gadis itu.
“Dek Isha, terlalu memandang rendah diri sendiri. Setiap wanita pasti istimewa di mata lelaki yang mencintainya. Begitu pun Dek Isha, istimewa di mata Abang. Jadi wajar ‘kan kalau Abang memberikan yang terbaik untuk Dek Isha,” tukas Satrio seraya tersenyum.
Isha terdiam mendengar apa yang diucapkan suaminya. Apa maksud Satrio bicara seperti itu? Tidak mungkin ‘kan pria itu mencintainya? Pasti itu hanya untuk menyenangkan hatinya dan tidak serius.
“Dek, kok diam.” Suara Satrio membuyarkan lamunan sang wanita.
“Eh, aku capek, Bang. Mau ganti baju terus tidur.” Isha beralasan.
“Apa Abang perlu keluar?” Sejak menikah, Satrio memang selalu diminta ke luar dari kamar setiap kali Isha mau berganti pakaian. Siapa tahu ‘kan setelah nikah resmi Isha berubah, jadi dia memutuskan bertanya pada istrinya.
Namun apa yang diharapkan pria berambut ikal itu tak menjadi kenyataan. Isha langsung mengangguk setelah tadi dia bertanya. “Kalau begitu Abang ganti baju sekalian mandi saja.” Satrio mengambil baju ganti kemudian keluar dari kamar.
Isha pun gegas mengunci pintu setelah suaminya pergi. Dia masih merasa malu pada Satrio. Lagi pula gadis itu juga belum siap memberikan hak Satrio sebagai suami meskipun dia tahu kalau hal tersebut tidak benar.
***
“Permisi!” Dua orang pria yang mengenakan pakaian serba hitam berdiri di depan rumah Baskoro.
Lina yang mendengar ada orang di depan rumahnya langsung keluar dari kamar. Diam-diam wanita paruh baya itu mengintip dari jendela. Dia mengernyit melihat penampilan dua orang yang ada di depan rumah. “Siapa ya mereka?” gumamnya.
“Permisi!” Salah satu dari mereka kemudian berteriak dan mengetuk pintu lebih keras.
“Ya, sebentar,” sahut Lina. Dia masuk ke kamar sebentar untuk mengambil gawai dan menyiapkan rekaman. Kalau ternyata kedua orang itu punya niat jahat, dia jadi punya bukti.
Lina menenangkan diri terlebih dahulu sebelum akhirnya membuka pintu. “Mencari siapa ya?” tanyanya tanpa basa basi.
“Selamat malam, Bu,” sapa salah seorang dari mereka dengan senyum ramah. Membuat Lina yang tadinya memasang wajah ketus, jadi mau tidak mau tersenyum.
“Malam,” balas Lina.
“Maaf, Bu, mengganggu. Apa benar Pak Satrio Bhumi Wicaksono tinggal di sini?” tanya orang tadi.
“Maksudnya Satrio suaminya Isha?” Lina memastikan.
“Iya. Pak Satrio yang baru menikah hari ini,” jawab pria berpakaian serba hitam itu.
“Iya, dia memang tinggal di sini. Tapi kayanya sekarang lagi pergi ke masjid salat Isya. Memangnya kalian ada perlu apa sama dia?” Lina kembali bersikap ketus karena menyangkut suami anak tirinya.
“Maaf kami tidak bisa mengatakannya, Bu. Yang pasti kami ingin bertemu dan berbicara langsung dengan beliau,” jelas pria yang satunya.
“Kalian pasti debt collector yang mau menagih utang karena Satrio nunggak bayar utang ya?” tebak Lina dengan penuh percaya diri.
“Dia memang tinggal di sini, tapi kalau urusan utang jangan sangkut pautkan dengan kami karena kami tidak tahu apa-apa. Saya panggilkan istrinya saja biar dia tahu bagaimana kelakuan suaminya yang sok berduit itu padahal hanya utang sana sini.” Tanpa memberi kesempatan pada dua orang itu untuk bicara, Lina pun gegas memanggil anak tirinya yang ada di kamar. “Is, cepat keluar! Ada yang cari suamimu!” teriak Lina di depan kamar sang anak tiri. Tak berapa lama pintu kamar itu dibuka dari dalam dan muncul Isha yang masih mengenakan mukena karena dia baru saja salat Isya. “Ada apa, Bu?” tanyanya. “Mana suamimu?” Bukannya menjawab, Lina malah balik bertanya. “Bang Satrio ke masjid untuk salat Isya, Bu,” jawab Isha. “Ada dua orang yang cari suamimu di depan. Dari penampilannya kaya debt collector, Is. Pakaian mereka hitam-hitam, terus badannya juga gede-gede. Ibu ngeri lihatnya,” papar Lina. “Hah! Debt collector?” Isha tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Selama ini Satrio selalu
Satrio yang sedang melepas baju koko, mengernyit mendengar pertanyaan istrinya. "Kenapa Dek Isha berpikir mereka debt collector?""Eum, itu tadi Ibu yang ngomong kalau mereka debt collector, Bang. Makanya aku tanya benar apa tidak," jelas Isha.Pria berambut ikal itu tersenyum. "Tentu saja bukan. Mereka teman kerja Abang," terangnya. “Lagian Abang juga tidak punya utang. Apa yang mau ditagih?” tambahnya."Abang sebenarnya kerja apa sih?" Karena Satrio menyinggung soal pekerjaan, Isha menanyakannya sekalian."Nanti kalau sudah saatnya, Abang kasih tahu. Sekarang masih belum waktunya. Yang jelas pekerjaan Abang halal," tukas Satrio. "Dek Isha, mau pesan apa buat makan malam?" tanyanya kemudian."Terserah, Bang Satrio, saja," sahut Isha tak bersemangat. Gadis itu kecewa karena Satrio tidak mau memberi tahu pekerjaannya. Padahal apa susahnya bilang, biar dia tidak punya prasangka buruk pada suaminya. Walaupun bukan pekerja kantoran seperti pacar adik tirinya, tidak masalah untuk Isha."Ab
Isha seketika mendongak dan memandang suaminya. "Maaf kenapa, Bang?" tanyanya dengan alis bertaut."Abang minta maaf karena sudah membuat Dek Isha menunggu lama sampai kelaparan. Abang juga minta maaf kalau lauk yang Abang beli tidak sesuai seleranya, Dek Isha. Abang tidak tahu kesukaannya Dek Isha apa, jadi tadi Abang samakan dengan yang lain," jawab Satrio sembari menatap lekat istrinya."Oh, soal itu. Kirain apa. Aku yang harusnya minta maaf karena tadi sudah bersikap buruk sama Bang Satrio. Soal lauk, aku tidak masalah kok. Bang Satrio tenang saja,” timpal Isha seraya mengulas senyum di wajah cantiknya.Satrio menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Abang khawatir Dek Isha marah karena sejak tadi diam,” ungkapnya.“Kalau makan ‘kan tidak boleh banyak bicara biar tidak tersedak, Bang.” Isha beralasan.Satrio tersenyum. “Ya udah, dilanjut makannya, Dek. Setelah makan, Abang mau bicara,” ucapnya sebelum kembali menyuapkan nasi padang dan rendang ke dalam mulut.Pasangan pengant
Satrio terkesiap saat istrinya kembali menanyakan soal asal uang yang dipakai untuk membeli perhiasan. Untung saja dia cepat bisa menguasai diri jadi tidak kelihatan terkejut. “Itu ambil dari uang tabungan Abang, Dek. Hasil kerja Abang selama bertahun-tahun,” akunya.“Tabungan Bang Satrio banyak ya sampai ratusan juta?” Isha masih terus bertanya.“Dek Isha, mau tahu jumlah tabungan Abang?” Satrio balik bertanya tanpa menjawab istrinya.Isha menggeleng. “Enggak. Kalaupun aku mau tahu pasti Bang Satrio juga tidak akan memberi tahu. Aku tanya pekerjaan saja Abang tidak mau mengaku, apalagi jumlah tabungan.”Jawaban Isha membuat Satrio tersentak. Memang benar apa yang dikatakan oleh istrinya. Dia memang masih merahasiakan banyak hal dari wanita yang sudah dinikahinya itu. Namun Satrio punya alasan kenapa melakukannya. Menurutnya sekarang belum waktunya Isha tahu.“Maafkan Abang, Dek.” Hanya itu yang bisa Satrio katakan.Isha menghela napas panjang. Merasa sangat kecewa pada Satrio yang ti
Isha menghampiri Satrio yang sudah menunggunya di depan toko. Dari atas sepeda motor, pria itu tersenyum menyambut kedatangan istrinya. Dia mengulurkan tangan kanan begitu Isha tiba di samping motornya.“Maaf ya, Bang, agak lama nunggunya. Tadi toko ramai jadi bantu teman yang shift siang dulu,” ucap Isha sesudah mencium punggung tangan suaminya.“Gapapa, Dek. Abang akan menunggu selama apa pun itu,” timpal Satrio sambil tetap memasang senyum di wajah tampannya.“Pakai helm ya karena kita nanti lewat jalan besar.” Pria berambut ikal itu memasangkan helm di kepala Isha kemudian mengancingkan kaitan talinya.Jantung Isha jadi berdetak semakin kencang karena tindakan suaminya itu. Padahal dia bisa memakai helm sendiri, tapi malah Satrio melakukan untuknya.“Naik, Dek,” titah Satrio setelah membuka kedua pijakan kaki belakang untuk istrinya.“Ya, Bang.” Isha pun naik ke atas motor dan duduk di belakang Satrio.“Pegangan, Dek, biar ga jatuh.” Satrio menarik kedua tangan Isha lalu melingkar
Satria sontak menoleh pada istrinya. “Dari teman kerja, Dek. Dia tanya Abang sudah sampai mana,” terangnya.“Abang sudah ditunggu ya sama temannya?” tebak Isha.Pria berambut ikal itu menggeleng. “Enggak. Santai saja, Dek. Lagian kita sudah dekat kok,” timpalnya. “Abang habisin makan dulu ya.” Satrio kembali menyantap makan siangnya yang tinggal beberapa sendok.Setelah menandaskan makanan dan minumannya, Satrio membayar pada pemilik warteg. Dia dan Isha pun kembali menyusuri jalanan. Lagi-lagi pria itu meminta sang istri melingkarkan tangan di perutnya.Tak sampai lima menit, Satrio menghentikan motor di sebuah kompleks perumahan yang baru dibangun beberapa unit.“Ini rumah siapa, Bang?” tanya Isha setelah turun dari motor.“Rumah orang, Dek,” jawab Satrio. “Ayo ikut, Dek. Biar tahu apa kerjaan Abang.”Pria itu menyapa dan berbicara dengan para pekerja yang ada di sana. Isha mengikuti ke mana suaminya melangkah. Dia merasa canggung berada di antara para pria yang mengangguk saat bert
Satrio merasa miris mendengar istrinya selalu bertanya apa dia punya uang setiap kali mau melakukan sesuatu. Seolah-olah uang adalah sesuatu yang jarang dipunya. Apa mungkin karena dia pernah hanya punya uang seratus ribu di dompet saat mereka digerebek warga tempo hari, jadi Isha terus bertanya soal itu?“Insya Allah ada kalau untuk mengajak Dek Isha nonton dan beli popcorn di bioskop,” ucapnya kemudian.“Ya udah, kalau ada gapapa, Bang. Tapi jangan dipaksakan kalau uang Bang Satrio mepet,” sahut Isha.“Aman, Dek. Tenang saja. Jadi kita jalan ke bioskop ya sekarang.” Satrio pun mengarahkan motornya ke bioskop yang ada di salah satu mal setelah Isha menyetujuinya.Setelah memarkirkan motor, Satrio menggandeng tangan Isha saat berjalan masuk ke mal. Mereka kemudian naik ke lantai di mana salah satu jaringan bioskop terbesar di Indonesia berada. Sesudah memilih film yang akan ditonton, Satrio membeli minuman dan popcorn sebagai camilan saat menonton film.Pegangan tangan Isha pada Satri
“Ya, Bu. Lain waktu saya akan mengajak Dek Isha belanja di butik dan makan di restoran mahal,” sahut Satrio. “Kalau tidak punya uang tidak usah bermimpi terlalu tinggi, Sat. Kasihan Isha kalau cuma kamu beri harapan palsu,” tukas Lina. “Insya Allah saya tidak akan memberi Dek Isha harapan palsu,” timpal pria berambut ikal itu. Lina tak mengatakan apa pun, hanya memberi senyum sinis pada Satrio.“Kami ke kamar dulu, Bu,” pamit Satrio karena sudah malas meladeni mertuanya lagi. “Kalau kalian mau makan, masak sendiri. Ibu tidak masak karena Vita dan Surya mau membawakan makanan dari restoran,” lontar Lina.“Kami tidak makan, Bu.” Kali ini Isha yang menimpali.“Terserah kalian mau makan atau tidak. Yang penting Ibu sudah kasih tahu kalau tidak masak malam ini. Jangan sampai kamu ngadu sama Bapak gara-gara kelaparan karena tidak makan,” sergah wanita paruh baya itu.“Ya, Bu.” Satrio langsung menarik istrinya masuk ke kamar agar tidak menanggapi Lina lagi. Mereka pulang dalam keadaan ha
“Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah
Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha
“Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau
Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek
Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles
“Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan
Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l
“Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi
Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t