Share

Bab 7

Tangan kiri Isha mengepal. Menahan kesal karena ucapan ibu tirinya. “Mau ini perhiasan asli atau palsu, yang penting Bang Satrio punya niat baik memberikan aku perhiasan, Bu,” balasnya.

Lina mencebik. “Kalau Ibu sih alergi pakai perhiasan palsu. Bisa gatel-gatel dan merah kulit Ibu. Beda sama kulitmu itu, pakai perhiasan asli bisa jadi malah alergi karena biasa pakai yang palsu,” ledeknya.

“Ibu, bisa tidak sekali saja tidak merendahkan aku atau Bang Satrio?” Isha lama-kelamaan tidak bisa menahan emosinya.

Lina memandang anak tirinya itu dengan tatapan meremehkan. “Terus aku harus menyanjung kalian begitu? Apa yang harus aku sanjung kalau tidak ada kelebihan yang kalian miliki? Beda sama Vita dan Surya yang punya gaji besar dan kerja di perusahaan ternama. Ibu bisa membangga-banggakan mereka,” tukasnya.

“Kamu saja cuma jadi karyawan toko biasa dengan gaji kecil. Terus suamimu si Satrio itu, entah punya kerjaan apa tidak. Setiap hari cuma keluyuran saja tidak pernah kelihatan kerja. Apa yang mau Ibu banggakan hah?” sergah wanita paruh baya itu.

“Biarpun gajiku kecil, tapi setiap bulan aku kasih Ibu uang belanja. Bang Satrio juga memberi Ibu uang untuk biaya resepsi dan belanja harian. Apa itu tidak ada artinya buat Ibu?” Isha semakin terpancing emosinya.

“Halah berapa sih yang kalian kasih, kaya yang kasih puluhan juta saja. Dipakai belanja seminggu juga sudah habis uangnya. Kalian itu harusnya bersyukur, Bapak ngizinin kalian tinggal di sini. Tidak terus mengusir kalian padahal sudah membuat malu keluarga,” sembur Lina.

“Makanya kalau cari suami yang seperti pacar Vita itu. Pegawai perusahaan besar bukan pengangguran tidak jelas kaya Satrio. Sudah diusir dari kontrakan, sekarang numpang hidup sama mertua. Apa sih, Is, yang kamu cari dan banggakan dari Satrio itu selain tampangnya yang agak ganteng? Hidup itu butuh duit bukan ganteng,” tekannya.

Kulit wajah Isha yang putih jadi memerah karena menahan emosi. “Terus saja banggakan Vita, Bu. Padahal dia sama sekali tidak pernah memberi Ibu uang belanja. Malah kadang Ibu yang ngasih kalau dia kehabisan uang. Harusnya kalau gajinya besar, Vita ngasih Ibu lebih banyak daripada aku.” Dia balik menyindir adik tirinya.

“Wajar dong Ibu membanggakan anak sendiri. Kamu 'kan juga tahu Vita itu kerja di perusahaan besar. Dia harus memperhatikan penampilan agar tidak kalah dengan teman-teman kantornya, karena itu dia harus perawatan wajah sama pakai baju-baju yang mahal. Tidak seperti kamu yang kerja di toko kecil. Pakai bedak sama lipstik murah saja cukup, tidak perlu perawatan di salon yang mahal dan baju bermerek,” tampik Lina.

“Ada apa ini?” Baskoro yang baru saja masuk ke rumah memandang istri dan anak sulungnya bergantian. Dia tidak mendengar apa yang sebelumnya mereka bicarakan tapi dari gestur dapat dilihat kalau keduanya tengah bersitegang.

“Anakmu itu loh, Pak, minta dipuji-puji. Padahal tidak ada yang bisa dipuji dari dia.” Lina membuka mulutnya terlebih dahulu.

“Aku tidak minta dipuji, Pak, tapi aku hanya minta dihargai. Apa yang selama ini aku dan Bang Satrio lakukan tidak ada artinya sama sekali di mata Ibu dan Bapak?” Isha pun menimpali.

“Kalian ini sebenarnya bicara apa? Yang satu bilang minta dipuji, satu bilangnya minta dihargai. Yang benar yang mana? Bapak jadi bingung.” Baskoro duduk di kursi lantas memegang kepala dengan kedua tangan.

“Ibu itu loh, Pak, selalu saja menjelek-jelekkan aku sama Bang Satrio kaya kami ini hanya numpang saja di sini tanpa memberikan kontribusi sedikit pun. Padahal juga setiap bu—” Belum selesai Isha bicara, Satrio sudah memotongnya.

“Dek, ayo kita ke kamar. Kamu pasti capek.” Pria yang masih mengenakan setelan jas itu berpamitan pada kedua mertuanya sebelum menarik istrinya ke kamar.

Satrio menutup pintu lantas menguncinya begitu masuk ke ruang tidur mereka.

“Apa-apaan sih, Bang, pintunya pakai dikunci segala!” protes Isha yang masih terlihat emosi.

“Biar Dek Isha tetap di kamar dan istirahat. Tidak usah menanggapi apa yang dikatakan sama Ibu,” jawab Satrio sambil membuka kancingjas.

“Tapi Ibu sudah keterlaluan, Bang. Kita dianggap parasit di rumah ini padahal kita selalu memberi Ibu uang kalau diminta. Biaya resepsi itu ‘kan juga semuanya dari Bang Satrio. Bisa dibilang Bapak dan Ibu tidak mengeluarkan uang sedikit pun. Kok ya masih menjelek-jelekkan kita. Ditambah menuduh cincin kawin dan mahar yang Bang Satrio beri juga palsu.” Isha menunjuk cincin yang melingkar di jari manisnya.

“Enggak apa-apa. Biarkan saja. Yang penting apa yang dibilang Ibu tidak benar. Termasuk soal cincin dan mahar itu.” Satrio tersenyum lantas menanggalkan jas dan memasangnya di hanger. Kamar istrinya itu tidak menggunakan AC, hanya kipas angin, jadi terasa panas bila tetap mengenakan jas.

Isha mengernyit. “Memangnya cincin dan maharnya asli, Bang?” Dia jadi ikut ragu seperti ibu tirinya.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Kokoro No Tomo
semoga Satrio bisa ya membeli rumah sendiri
goodnovel comment avatar
Dwi Astuti
kasihan mending kluar dri rumah itu, dan bli rumah sndiri kasihn istrimu satrio
goodnovel comment avatar
Kokoro No Tomo
hahaha, jadi begitu cara membedakan perhiasan asli dan palsu?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status