Share

Bab 14

Penulis: Kokoro No Tomo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-03 22:53:18

Satria sontak menoleh pada istrinya. “Dari teman kerja, Dek. Dia tanya Abang sudah sampai mana,” terangnya.

“Abang sudah ditunggu ya sama temannya?” tebak Isha.

Pria berambut ikal itu menggeleng. “Enggak. Santai saja, Dek. Lagian kita sudah dekat kok,” timpalnya. “Abang habisin makan dulu ya.” Satrio kembali menyantap makan siangnya yang tinggal beberapa sendok.

Setelah menandaskan makanan dan minumannya, Satrio membayar pada pemilik warteg. Dia dan Isha pun kembali menyusuri jalanan. Lagi-lagi pria itu meminta sang istri melingkarkan tangan di perutnya.

Tak sampai lima menit, Satrio menghentikan motor di sebuah kompleks perumahan yang baru dibangun beberapa unit.

“Ini rumah siapa, Bang?” tanya Isha setelah turun dari motor.

“Rumah orang, Dek,” jawab Satrio. “Ayo ikut, Dek. Biar tahu apa kerjaan Abang.”

Pria itu menyapa dan berbicara dengan para pekerja yang ada di sana. Isha mengikuti ke mana suaminya melangkah. Dia merasa canggung berada di antara para pria yang mengangguk saat bert
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 15

    Satrio merasa miris mendengar istrinya selalu bertanya apa dia punya uang setiap kali mau melakukan sesuatu. Seolah-olah uang adalah sesuatu yang jarang dipunya. Apa mungkin karena dia pernah hanya punya uang seratus ribu di dompet saat mereka digerebek warga tempo hari, jadi Isha terus bertanya soal itu?“Insya Allah ada kalau untuk mengajak Dek Isha nonton dan beli popcorn di bioskop,” ucapnya kemudian.“Ya udah, kalau ada gapapa, Bang. Tapi jangan dipaksakan kalau uang Bang Satrio mepet,” sahut Isha.“Aman, Dek. Tenang saja. Jadi kita jalan ke bioskop ya sekarang.” Satrio pun mengarahkan motornya ke bioskop yang ada di salah satu mal setelah Isha menyetujuinya.Setelah memarkirkan motor, Satrio menggandeng tangan Isha saat berjalan masuk ke mal. Mereka kemudian naik ke lantai di mana salah satu jaringan bioskop terbesar di Indonesia berada. Sesudah memilih film yang akan ditonton, Satrio membeli minuman dan popcorn sebagai camilan saat menonton film.Pegangan tangan Isha pada Satri

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-04
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 16

    “Ya, Bu. Lain waktu saya akan mengajak Dek Isha belanja di butik dan makan di restoran mahal,” sahut Satrio. “Kalau tidak punya uang tidak usah bermimpi terlalu tinggi, Sat. Kasihan Isha kalau cuma kamu beri harapan palsu,” tukas Lina. “Insya Allah saya tidak akan memberi Dek Isha harapan palsu,” timpal pria berambut ikal itu. Lina tak mengatakan apa pun, hanya memberi senyum sinis pada Satrio.“Kami ke kamar dulu, Bu,” pamit Satrio karena sudah malas meladeni mertuanya lagi. “Kalau kalian mau makan, masak sendiri. Ibu tidak masak karena Vita dan Surya mau membawakan makanan dari restoran,” lontar Lina.“Kami tidak makan, Bu.” Kali ini Isha yang menimpali.“Terserah kalian mau makan atau tidak. Yang penting Ibu sudah kasih tahu kalau tidak masak malam ini. Jangan sampai kamu ngadu sama Bapak gara-gara kelaparan karena tidak makan,” sergah wanita paruh baya itu.“Ya, Bu.” Satrio langsung menarik istrinya masuk ke kamar agar tidak menanggapi Lina lagi. Mereka pulang dalam keadaan ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-05
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 17

    Satrio lekas menggeleng. “Buat apa malu, Dek. Itu ‘kan pekerjaan yang halal. Abang takut Dek Isha yang malu karena pekerjaan Abang tidak sekeren pacarnya Vita yang kerja di kantor dengan gaji tinggi,” kilahnya.“Aku malu?” Isha menunjuk dirinya sendiri lantas menggeleng. “Enggaklah. Ngapain malu? Aku ‘kan juga cuma karyawan toko biasa, Bang. Aku sama sekali tidak pernah memimpikan punya suami yang kerja kantoran, yang penting punya kerjaan jelas dan halal. Bisa untuk menafkahi aku dan anak-anak kami. Kalau dapat lebih dari itu ya alhamdulillah, kalau tidak ya tidak apa-apa,” tandasnya.“Jadi karena itu Dek Isha sangat ingin tahu kerjaan Abang apa?” Satrio memandang istrinya.Isha mengangguk. “Iya, Bang. Aku tidak mau makan dari uang yang tidak jelas halal haramnya. Apalagi Bang Satrio bisa punya uang banyak dalam sekejap. Siapa yang tidak curiga?”Satrio tersenyum mendengar kejujuran istrinya. “Sekarang ‘kan Dek Isha sudah tahu pekerjaan dan saldo tabungan Abang. Apa Dek Isha sudah pe

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-06
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 18

    “Bang, sebenarnya mau minta apa sih?” Isha lama-lama merasa kesal karena Satrio tak juga mengatakan apa permintaannya. Sejak tadi ucapan pria itu terus menggantung.“Kalau Bang Satrio tidak segera ngomong, aku tinggal tidur nih,” ancam Isha yang sudah sangat mengantuk. Dia menarik selimut, menutupi kaki sampai perut lalu merebahkan diri. Gadis itu merapal doa sebelum memejamkan mata.Satrio mengacak rambutnya karena merasa frustrasi. Pria itu kemudian merebah di samping sang istri. Dia memiringkan badan hingga menghadap pada Isha yang berbaring telentang."Dek, apa boleh Abang memeluk Dek Isha saat kita tidur?" Satrio akhirnya mengungkapkan keinginannya. Selama ini mereka memang tidur bersisian tapi sama sekali tidak melakukan apa pun selain mengobrol. Itu pun hanya bicara seperlunya. Isha juga lebih sering tidur memunggungi Satrio daripada telentang. Setelah pembicaraan mereka tadi, pria berambut ikal itu ingin ada kemajuan dalam hubungan mereka. Karena itu dia memberanikan menyatak

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-06
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 19

    “Is, nanti malam keluarga Surya mau datang ke sini melamar Vita. Kamu tidak kerja ‘kan?” Baskoro bertanya pada putri pertamanya saat mereka makan pagi bersama.“Engga, Pak. Hari ini aku masuk pagi,” jawab Isha.“Syukurlah. Kalau kamu gimana, Sat? Tidak ada kegiatan ‘kan malam ini?” Baskoro beralih pada menantunya.“Pengangguran seperti Satrio ya jelas tidak ada kegiatan, Pak.” Lina terlebih dahulu menimpali suaminya sebelum pria berambut ikal itu menjawab.“Bang Sat—” Belum selesai Isha berbicara, Satrio sudah memotongnya.“Insya Allah, saya tidak ada kegiatan, Pak,” tukas Satrio cepat sebelum istrinya membalas ucapan Lina.“Bagus, jadi kalian bisa ikut menyambut keluarga Surya yang melamar sekaligus perkenalan keluarga,” ujar Baskoro.“Bapak ga malu mengenalkan Isha dan Satrio sama keluarga Surya? Tidak ada yang dibanggakan dari mereka berdua, Pak. Isha cuma karyawan toko, sementara Satrio entah dia punya kerjaan atau tidak.” Lina menentang niat suaminya.Tangan Isha yang tidak memega

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-07
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 20

    Saat Isha dan Satrio pulang, di depan rumah Baskoro sudah terpasang tenda dengan rumbai berwarna putih. Seperti orang yang akan mengadakan hajatan besar. Beda sekali dengan saat mereka menikah yang hanya menggunakan tenda dan kursi biasa.Satrio memarkirkan motor di luar agar tidak mengganggu aktivitas orang-orang yang sedang menata meja, kursi serta memasang berbagai hiasan. Dekorasi lamaran Vita sudah seperti para artis saja yang dihiasi dengan berbagai macam bunga. Meskipun hanya bunga palsu, tetap saja terlihat lebih mewah dari acara syukuran pernikahan Isha dan Satrio beberapa waktu yang lalu.“Kalian baru pulang?” sapa Baskoro kala melihat anak dan menantunya memasuki ruang tamu.“Iya, Pak,” sahut Isha sebelum menyalami sang bapak.“Ya sudah. Kalian istirahat dulu. Nanti habis Magrib siap-siap,” titah pria paruh baya itu.Isha menghela napas panjang begitu masuk ke kamar. Diletakkannya tas di atas meja rias lalu duduk di depannya.“Dek, nanti pakai baju ini ya.” Satrio menyerahk

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-07
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 21

    Satrio menatap kedua bola mata istrinya yang menyiratkan permohonan untuk sesuatu yang saat ini tidak bisa dia kabulkan. Tebersit rasa bersalah di hati karenanya. Namun, keadaan juga tidak memungkinkan untuknya mewujudkan keinginan Isha. “Maaf ya, Dek. Bukannya Abang tidak setuju, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk kita membahas soal pindah dari sini dan tinggal di kos atau kontrakan,” timpal Satrio.“Kenapa, Bang?” Raut Isha terlihat kecewa. “Nanti ‘kan lamarannya Vita, lebih baik kita fokus ke acara itu dulu. Besok atau lusa baru kita bicarakan soal ini.” Satrio beralasan.Isha melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. “Masih ada waktu beberapa jam, Bang. Kita bisa bicara sebentar.” Satrio menggeleng. “Abang tidak mau pembicaraan kita menggantung, Dek. Daripada tidak selesai, terus mood Dek Isha jadi jelek, mending ditunda saja.” “Pasti Bang Satrio tidak mau ‘kan kita kos atau ngontrak,” tebak Isha. Satrio bangkit dari duduk lantas mengelus kepala istrinya. “Abang

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-08
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 22

    Satrio menggandeng tangan Isha saat mereka keluar dari kamar. Kerabat dan tetangga yang melihat keduanya memuji keserasian pengantin baru itu. Selain pakaiannya yang selaras, kecantikan Isha dan ketampanan Satrio membuat mereka terlihat sebagai pasangan ideal. “Bajumu baru, Is?” Lina menelisik gamis dan hijab yang dikenakan anak tirinya. Isha tidak seperti Vita yang hampir setiap minggu beli pakaian baru, jadi dia cukup tahu pakaian apa saja yang anak tirinya punya. Wanita paruh baya itu belum pernah melihat Isha mengenakan gamis tersebut, jadi wajar ‘kan kalau dia bertanya?Isha mengangguk. “Iya, Bu. Dibelikan sama Bang Satrio,” jawabnya.Lina melirik pria yang berdiri di samping Isha. “Ceritanya kalian pakai baju pasangan ini?” ledeknya.“Bapak sama Ibu ‘kan juga pakai baju kembar. Jadi aku sama Bang Satrio ikut menyesuaikan,” timpal Isha.“Beli di pasar mana bajunya?” tanya Lina lagi.“Ini ga beli di pasar, Bu, tapi di—” Satrio langsung menyela istrinya yang akan mengungkapkan me

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-08

Bab terbaru

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 160

    Satrio tertawa mendengar pertanyaan istrinya. Hal itu membuat Isha jadi cemberut. “Bang, ditanya kok malah ketawa sih,” protesnya.“Habisnya pertanyaan Dek Isha lucu,” timpal Satrio sambil menahan tawa.“Lucu gimana sih, Bang? Perasaan pertanyaanku ga lucu sama sekali,” tukas Isha dengan kening mengerut.“Ya, lucu aja menurut Abang. Perasaan Abang ga ada tampang suka pergi ke diskotek atau klub malam, tapi Dek Isha tanyanya begitu,” sahut pria berambut ikal itu dengan santai.“Berarti Bang Satrio sama sekali tidak pernah pergi ke diskotek dan klub malam?” Isha menatap suaminya lekat.Satrio menggeleng. “Jujur saja Abang pernah ke diskotek dan klub malam waktu SMA dan kuliah. Biasalah, diajak teman-teman nongkrong pas weekend. Tapi ga setiap minggu Abang pergi, paling sebulan sekali atau dua kali,” akunya.Isha cukup terkejut mendengar pengakuan suaminya. Namun dia bisa memaklumi apalagi hal itu dilakukan saat suaminya dalam masa pencarian jati diri. “Berarti Bang Satrio dulu sering mi

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 159

    “Surya belum kembali, Pak?” Satrio bertanya pada Baskoro saat mereka bertemu di restoran hotel untuk makan siang. Dia tak melihat pria itu datang bersama Baskoro, Lina, dan juga Vita. Wajah adik iparnya juga terlihat sendu, tak ceria seperti biasanya.Baskoro menggeleng. “Belum. Bapak, Ibu, dan Vita sudah menghubungi dia berulang kali tapi hapenya tidak aktif. Kirim pesan juga cuma centang satu,” jawabnya lesu.Satrio mengangguk. Dalam hati dia merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa sang adik ipar. “Nanti saya coba bantu cari Surya, Pak. Sekarang kita makan siang dulu.” Pria berambut ikal itu mengajak sang mertua duduk di kursi yang berhadapan dengan Krisna."Suaminya Vita mana kok ga ikut ke sini?" tanya Laksmi yang belum tahu kalau Surya pergi. Satrio memang tidak memberi tahu keluarganya karena itu privasi keluarga Isha. Dia tak berhak menyebarluaskan tanpa minta izin pada keluarga istrinya terlebih dahulu."Surya ada keperluan jadi pulang dulu, Bu." Baskoro yang menjawab per

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 158

    “Maksudmu apa, Vit? Jangan sembarangan bicara! Ibu saja terakhir bertemu Surya tadi malam dan tidak bicara apa-apa.” Lina memandang putri kandungnya dengan tatapan heran.“Ibu memang ga bicara sama Mas Surya, tapi sama aku,” tukas Vita.“Terus gimana ceritanya kamu bisa nyalahin Ibu?” Kerutan di kening Lina semakin dalam.“Gara-gara Ibu ngomong menyesal menjebak Mbak Isha dengan Bang Satrio, dan juga kebahagiaan bisa didapat dengan harta bukan cinta. Aku jadi bilang sama Mas Surya kalau harusnya kami ga nikah dulu sebelum keadaan ekonomi stabil, ga kaya sekarang mau apa-apa ga punya uang. Setelah itu Mas Surya marah dan pergi ninggalin aku,” jawab Vita.“Lagian kenapa kamu ngomong seperti itu sama Surya, Vit? Bukannya kamu yang minta cepat-cepat nikah sama minta dibeliin rumah? Kamu juga selalu ga mau keluar uang kalau mau apa-apa. Wajar kalau Surya marah,” timpal Lina yang tak mau disalahkan begitu saja.“Tapi itu ‘kan gara-gara Ibu ngomong lebih baik aku nikah sama Bang Satrio darip

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 157

    “Beb, aku ingin kita extend satu hari lagi di sini,” ucap Vita pada suaminya saat mereka duduk menyandar di tempat tidur sambil menonton televisi.“Memangnya kamu sudah bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio?” Surya balik bertanya.Vita menggeleng. “Maksudku kita pakai uang sendiri, Beb. Kalau bilang sama Mbak Isha pasti ga dibolehin sama dia. Ntar aku dibilang ga tahu diri.”Surya menghela napas panjang. “Beb, ingat ‘kan kita harus nabung buat biaya lahiran? Nambah menginap semalam di sini itu lumayan lho harganya. Belum untuk makan. Kalau kamu masih mau extend, ya bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio, siapa tahu mereka mau membantu,” timpalnya.Vita mengerucutkan bibir. “Harusnya kita ga usah nikah dulu kalau kondisi ekonomi belum stabil. Mau apa-apa selalu ga ada uang,” keluhnya.Rahang Surya seketika mengeras. Dia mencengkeram lengan Vita dan membuat istrinya itu menatapnya. “Kamu menyesal nikah sama aku? Siapa yang dulu minta dinikahi cepat-cepat dan minta beli rumah? Aku udah

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 156

    Satrio sontak menghentikan kegiatannya, lantas balas menatap sang belahan jiwa. “Astaghfirullah. Bukan seperti, Dek. Jangan salah paham,” sanggahnya cepat. “Kayanya Abang pernah cerita kalau Abang naksir Dek Isha sudah lama. Jauh sebelum kita digerebek warga. Abang pindah ke kontrakan yang dekat sama rumah Bapak ‘kan biar bisa sering melihat dan ketemu Dek Isha. Cuma memang Abang ga mau terang-terangan kelihatan lagi pedekate,” beber Satrio. “Alasan Abang mau menikah dengan Dek Isha tentu saja karena cinta. Kalau ga cinta, Abang ga akan mau. Mending Abang diusir dari kontrakan daripada dipaksa menikah sama orang yang ga Abang cintai,” sambung pria berambut ikal itu. Dia meraih kedua tangan istrinya lalu menggenggamnya erat. “Dan secara kebetulan, kriteria yang disyaratkan Kakek ada dalam diri Dek Isha. Demi Allah, Abang cinta sama Dek Isha sejak pertama kali Abang melihat Dek Isha. Sebenarnya Abang sedang menyusun rencana untuk melamar Dek Isha, eh malah sudah keduluan digerebek wa

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 155

    Vita sependapat kalau hidup itu tidak hanya butuh cinta karena yang paling penting punya harta. Kalau modal cinta tanpa harta, gimana mau bahagia? Terbukti sekarang, dia harus menahan diri kalau ingin sesuatu karena Surya tak bisa memenuhi keinginannya. Salahnya juga dahulu memaksa Surya membeli rumah biar setelah menikah menikah bisa tinggal di rumah sendiri. Nyatanya sampai sekarang malah rumah yang dibeli belum jadi.Wanita yang sedang hamil muda itu menghela napas. “Belum tentu juga Bang Satrio mau nikah sama aku, Bu,” ucapnya kemudian.“Pasti maulah. Buktinya pas digerebek sama Isha langsung mau dia. Asal warga kompak minta kalian nikah, pasti Satrio mau. Ibu benar-benar menyesal. Harusnya kamu yang datang ke kontrakan Satrio, bukan Isha.” Lina kembali menyesali apa yang sudah dia lakukan beberapa bulan yang lalu.“Ibu ‘kan yang merencanakan semuanya, aku cuma ikut saja. Waktu itu kita sengaja pergi ke rumah Mas Surya sampai malam biar Mbak Isha tidak bisa masuk rumah. Ibu yang

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 154

    “Pegal juga berdiri dan salaman sama banyak orang. Belum lagi harus terus tersenyum, bibir ikutan pegal,” keluh Lina begitu bertemu dengan Vita.“Ya, mau gimana lagi, Bu. Tamunya ‘kan jauh lebih banyak dari resepsiku dulu. Setidaknya Ibu ‘kan bisa salaman dan foto sama presiden dan wakilnya,” sahut Vita yang coba membangkitkan semangat sang ibu.Lina seketika tersenyum kala ingat apa yang dikatakan putrinya. “Ibu harus minta foto waktu bareng Pak Presiden dan Wakil Presiden nih sama fotografernya,” cetusnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling hall.“Ibu, cari siapa?” kepo Vita.“Cari fotografer. Kamu lihat ga, Vit? Ibu mau cepat-cepat pamer,” aku wanita paruh baya itu.“Mungkin lagi makan, Bu. Coba tanya aja sama timnya yang lagi beresin perlengkapan mereka,” timpal Vita seraya menunjuk seorang pria dengan kemeja yang bagian belakangnya bertuliskan nama sang fotografer.“Ibu ke sana dulu ya.” Lina pun gegas bangkit dan pergi menghampiri pria tersebut.“Ibu mau ke mana itu, Vit?

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 153

    “Bang, beneran itu tadi Pak Presiden?” Isha berbisik pada Satrio saat sang kepala negara sudah meninggalkan pelaminan.Satrio mengangguk. “Kenapa memangnya, Dek?” “Ga nyangka aja bisa ketemu Pak Presiden. Dulu cuma bisa lihat di TV, sekarang bisa salaman, malah didoakan juga tadi,” jawab Isha dengan wajah semringah. Sebagai warga biasa tentu saja dia merasa bangga dan bahagia bisa bertemu langsung dengan presiden.Pria berambut ikal itu tersenyum. “Ke depannya kita akan sering bertemu beliau, wapres, dan menteri-menteri, Dek,” ucapnya.Isha menutup mulut dengan tangan begitu mendengar ucapan suaminya. “Beneran, Bang?” tanyanya kemudian.Satrio mengangguk. “Dek, itu tamu-tamu sudah mulai naik. Ayo, siap-siap salaman lagi.” Dia menunjuk barisan tamu yang mulai berjalan kembali. Mereka tadi dihentikan oleh satuan keamanan untuk memberi waktu pada presiden memberi selamat pada orang tua dan kedua mempelai.Sementara itu di sisi lain hall, Vita dan Surya duduk di kursi yang disediakan khu

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 152

    Wajah Satrio yang awalnya semringah langsung berubah datar begitu mendengar suara wanita tadi. “Bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Seingatku tidak ada undangan untukmu,” cecar Satrio.Wanita itu tersenyum lebar. “Kamu lupa kalau circle pertemanan kita sama? Aku tinggal datang dengan yang dapat undangan. Gampang ‘kan?” ucapnya santai.“Untuk apa kamu datang ke sini?” Satrio menatap wanita itu tajam.“Tentu saja aku ingin melihat wanita yang bisa meluluhkan hatimu," aku wanita tersebut dengan jujur. "Dia yang bersamamu di restoran waktu itu 'kan?” “Siapa wanita yang kunikahi bukan urusanmu!” timpal Satrio dengan ketus.“Tentu saja jadi urusanku. Karena dia, kamu sudah tidak mau lagi dekat denganku,” tukas wanita berpakaian seksi itu dengan penuh percaya diri.Satrio tersenyum sinis. “Dengar ya, Gwen! Dari dulu sampai sekarang aku sama sekali tidak tertarik denganmu. Aku bersikap baik padamu hanya sebagai bentuk sopan santun. Tidak lebih!” tandasnya.“Sebaiknya kamu segera pergi atau ak

DMCA.com Protection Status