“Bang, sebenarnya mau minta apa sih?” Isha lama-lama merasa kesal karena Satrio tak juga mengatakan apa permintaannya. Sejak tadi ucapan pria itu terus menggantung.“Kalau Bang Satrio tidak segera ngomong, aku tinggal tidur nih,” ancam Isha yang sudah sangat mengantuk. Dia menarik selimut, menutupi kaki sampai perut lalu merebahkan diri. Gadis itu merapal doa sebelum memejamkan mata.Satrio mengacak rambutnya karena merasa frustrasi. Pria itu kemudian merebah di samping sang istri. Dia memiringkan badan hingga menghadap pada Isha yang berbaring telentang."Dek, apa boleh Abang memeluk Dek Isha saat kita tidur?" Satrio akhirnya mengungkapkan keinginannya. Selama ini mereka memang tidur bersisian tapi sama sekali tidak melakukan apa pun selain mengobrol. Itu pun hanya bicara seperlunya. Isha juga lebih sering tidur memunggungi Satrio daripada telentang. Setelah pembicaraan mereka tadi, pria berambut ikal itu ingin ada kemajuan dalam hubungan mereka. Karena itu dia memberanikan menyatak
“Is, nanti malam keluarga Surya mau datang ke sini melamar Vita. Kamu tidak kerja ‘kan?” Baskoro bertanya pada putri pertamanya saat mereka makan pagi bersama.“Engga, Pak. Hari ini aku masuk pagi,” jawab Isha.“Syukurlah. Kalau kamu gimana, Sat? Tidak ada kegiatan ‘kan malam ini?” Baskoro beralih pada menantunya.“Pengangguran seperti Satrio ya jelas tidak ada kegiatan, Pak.” Lina terlebih dahulu menimpali suaminya sebelum pria berambut ikal itu menjawab.“Bang Sat—” Belum selesai Isha berbicara, Satrio sudah memotongnya.“Insya Allah, saya tidak ada kegiatan, Pak,” tukas Satrio cepat sebelum istrinya membalas ucapan Lina.“Bagus, jadi kalian bisa ikut menyambut keluarga Surya yang melamar sekaligus perkenalan keluarga,” ujar Baskoro.“Bapak ga malu mengenalkan Isha dan Satrio sama keluarga Surya? Tidak ada yang dibanggakan dari mereka berdua, Pak. Isha cuma karyawan toko, sementara Satrio entah dia punya kerjaan atau tidak.” Lina menentang niat suaminya.Tangan Isha yang tidak memega
Saat Isha dan Satrio pulang, di depan rumah Baskoro sudah terpasang tenda dengan rumbai berwarna putih. Seperti orang yang akan mengadakan hajatan besar. Beda sekali dengan saat mereka menikah yang hanya menggunakan tenda dan kursi biasa.Satrio memarkirkan motor di luar agar tidak mengganggu aktivitas orang-orang yang sedang menata meja, kursi serta memasang berbagai hiasan. Dekorasi lamaran Vita sudah seperti para artis saja yang dihiasi dengan berbagai macam bunga. Meskipun hanya bunga palsu, tetap saja terlihat lebih mewah dari acara syukuran pernikahan Isha dan Satrio beberapa waktu yang lalu.“Kalian baru pulang?” sapa Baskoro kala melihat anak dan menantunya memasuki ruang tamu.“Iya, Pak,” sahut Isha sebelum menyalami sang bapak.“Ya sudah. Kalian istirahat dulu. Nanti habis Magrib siap-siap,” titah pria paruh baya itu.Isha menghela napas panjang begitu masuk ke kamar. Diletakkannya tas di atas meja rias lalu duduk di depannya.“Dek, nanti pakai baju ini ya.” Satrio menyerahk
Satrio menatap kedua bola mata istrinya yang menyiratkan permohonan untuk sesuatu yang saat ini tidak bisa dia kabulkan. Tebersit rasa bersalah di hati karenanya. Namun, keadaan juga tidak memungkinkan untuknya mewujudkan keinginan Isha. “Maaf ya, Dek. Bukannya Abang tidak setuju, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk kita membahas soal pindah dari sini dan tinggal di kos atau kontrakan,” timpal Satrio.“Kenapa, Bang?” Raut Isha terlihat kecewa. “Nanti ‘kan lamarannya Vita, lebih baik kita fokus ke acara itu dulu. Besok atau lusa baru kita bicarakan soal ini.” Satrio beralasan.Isha melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. “Masih ada waktu beberapa jam, Bang. Kita bisa bicara sebentar.” Satrio menggeleng. “Abang tidak mau pembicaraan kita menggantung, Dek. Daripada tidak selesai, terus mood Dek Isha jadi jelek, mending ditunda saja.” “Pasti Bang Satrio tidak mau ‘kan kita kos atau ngontrak,” tebak Isha. Satrio bangkit dari duduk lantas mengelus kepala istrinya. “Abang
Satrio menggandeng tangan Isha saat mereka keluar dari kamar. Kerabat dan tetangga yang melihat keduanya memuji keserasian pengantin baru itu. Selain pakaiannya yang selaras, kecantikan Isha dan ketampanan Satrio membuat mereka terlihat sebagai pasangan ideal. “Bajumu baru, Is?” Lina menelisik gamis dan hijab yang dikenakan anak tirinya. Isha tidak seperti Vita yang hampir setiap minggu beli pakaian baru, jadi dia cukup tahu pakaian apa saja yang anak tirinya punya. Wanita paruh baya itu belum pernah melihat Isha mengenakan gamis tersebut, jadi wajar ‘kan kalau dia bertanya?Isha mengangguk. “Iya, Bu. Dibelikan sama Bang Satrio,” jawabnya.Lina melirik pria yang berdiri di samping Isha. “Ceritanya kalian pakai baju pasangan ini?” ledeknya.“Bapak sama Ibu ‘kan juga pakai baju kembar. Jadi aku sama Bang Satrio ikut menyesuaikan,” timpal Isha.“Beli di pasar mana bajunya?” tanya Lina lagi.“Ini ga beli di pasar, Bu, tapi di—” Satrio langsung menyela istrinya yang akan mengungkapkan me
“Beb, itu yang pakai baju couple beneran kakakmu sama suaminya yang kamu bilang pengangguran itu?” Surya bertanya pada Vita saat mereka duduk bersisian usai acara lamaran.Vita menoleh pada calon suaminya. “Iya. Memangnya kenapa, Beb?” “Kakakmu beda banget kalau dirias gitu. Jadi jauh lebih cantik,” cetus Surya.“Beb, bisa-bisanya kamu malah muji Mbak Isha sih? Memangnya aku kalah cantik dari dia.” Vita langsung sewot begitu sang calon suami memuji kakak tirinya.“Bu—bukan begitu, Beb. Kamu tetap yang tercantik kok di mataku. Maksudku selama ini ‘kan aku tidak pernah melihat kakakmu dandan, begitu didandani jadi beda banget.” Surya berusaha menjelaskan maksudnya agar sang kekasih tidak murka.“Benar ya tetap aku yang paling cantik! Awas kalau sampai kamu lirik-lirik Mbak Isha apalagi mengagumi dia!” ancam Vita.“Enggak, Beb. Mana mungkin aku melirik kakakmu. Aku kaget aja tadi waktu salaman sama dia, kaya kakakmu tapi aku ga yakin. Makanya aku tanya kamu buat memastikan.” Surya meyak
Rahang Isha mengetat, kedua tangannya pun mengepal begitu mendengar ucapan sang ibu tiri. Andai tak ada Baskoro di sana, dia pasti akan membalas ucapan wanita yang selalu merendahkannya itu.“Bu, cukup! Tidak perlu membahas soal itu!” Baskoro langsung menegur istrinya.“Anakmu itu, Pak, yang mulai duluan. Ibu ‘kan cuma menimpali.” Lina membela diri dan tak mau disalahkan oleh sang suami.“Bisa tidak untuk kali ini kalian rukun?” Baskoro memandang Lina, Vita, dan Isha bergantian. “Kita ini satu keluarga. Sudah seharusnya saling bekerja sama bukan malah saling menjatuhkan. Kalau Vita memang ingin mengadakan resepsi pernikahan, itu butuh persiapan yang matang. Tidak bisa dilakukan begitu saja,” imbuhnya.“Bisa saja, Pak. Kaya kemarin waktu pernikahannya Mbak Isha. Itu juga mendadak,” timpal Vita.“Tapi tetap saja harus ada persiapan, Vit. Kalau hanya menikah saja gampang. Tinggal datang ke KUA sudah selesai. Kalau mau mengundang orang untuk acara resepsi, tidak cukup pasang tenda dan pes
Isha merenung sambil membersihkan wajah saat Satrio ke kamar mandi. Apakah dia sudah bersikap keterlaluan pada pria itu hanya karena pipinya tiba-tiba dicium? Kalau dipikir-pikir Satrio sudah melakukan banyak hal untuknya sejak mereka menikah sementara bisa dibilang dia tidak melakukan apa-apa untuk suaminya.Sebagai istri sebenarnya Isha sudah zalim pada Satrio karena belum juga memberikan haknya. Apa pantas dirinya marah hanya karena ciuman di pipi? Seperti yang Satrio katakan tadi kalau dia bisa saja memaksa Isha untuk memenuhi haknya, tapi pria itu tidak melakukannya. Satrio bahkan bersedia menunggu dirinya sampai siap, walau entah kapan itu akan terjadi.Isha mendesah. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Harusnya dia tidak perlu semarah itu pada Satrio karena suaminya berhak atas dirinya. Toh yang dilakukan juga tidak melanggar norma dan agama. Justru dirinya yang jadi berdosa karena menolak disentuh suaminya.Gadis berusia 25 tahun itu memandang suaminya yang baru masuk ke kamar