Ditunggu komentar, kritik dan saran, ulasan, dan bintang limanya ya, Kak. Yang mau berbagi gem untuk Isha dan Satrio, saya ucapkan banyak terima kasih.
Saat Isha dan Satrio pulang, di depan rumah Baskoro sudah terpasang tenda dengan rumbai berwarna putih. Seperti orang yang akan mengadakan hajatan besar. Beda sekali dengan saat mereka menikah yang hanya menggunakan tenda dan kursi biasa.Satrio memarkirkan motor di luar agar tidak mengganggu aktivitas orang-orang yang sedang menata meja, kursi serta memasang berbagai hiasan. Dekorasi lamaran Vita sudah seperti para artis saja yang dihiasi dengan berbagai macam bunga. Meskipun hanya bunga palsu, tetap saja terlihat lebih mewah dari acara syukuran pernikahan Isha dan Satrio beberapa waktu yang lalu.“Kalian baru pulang?” sapa Baskoro kala melihat anak dan menantunya memasuki ruang tamu.“Iya, Pak,” sahut Isha sebelum menyalami sang bapak.“Ya sudah. Kalian istirahat dulu. Nanti habis Magrib siap-siap,” titah pria paruh baya itu.Isha menghela napas panjang begitu masuk ke kamar. Diletakkannya tas di atas meja rias lalu duduk di depannya.“Dek, nanti pakai baju ini ya.” Satrio menyerahk
Satrio menatap kedua bola mata istrinya yang menyiratkan permohonan untuk sesuatu yang saat ini tidak bisa dia kabulkan. Tebersit rasa bersalah di hati karenanya. Namun, keadaan juga tidak memungkinkan untuknya mewujudkan keinginan Isha. “Maaf ya, Dek. Bukannya Abang tidak setuju, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk kita membahas soal pindah dari sini dan tinggal di kos atau kontrakan,” timpal Satrio.“Kenapa, Bang?” Raut Isha terlihat kecewa. “Nanti ‘kan lamarannya Vita, lebih baik kita fokus ke acara itu dulu. Besok atau lusa baru kita bicarakan soal ini.” Satrio beralasan.Isha melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. “Masih ada waktu beberapa jam, Bang. Kita bisa bicara sebentar.” Satrio menggeleng. “Abang tidak mau pembicaraan kita menggantung, Dek. Daripada tidak selesai, terus mood Dek Isha jadi jelek, mending ditunda saja.” “Pasti Bang Satrio tidak mau ‘kan kita kos atau ngontrak,” tebak Isha. Satrio bangkit dari duduk lantas mengelus kepala istrinya. “Abang
Satrio menggandeng tangan Isha saat mereka keluar dari kamar. Kerabat dan tetangga yang melihat keduanya memuji keserasian pengantin baru itu. Selain pakaiannya yang selaras, kecantikan Isha dan ketampanan Satrio membuat mereka terlihat sebagai pasangan ideal. “Bajumu baru, Is?” Lina menelisik gamis dan hijab yang dikenakan anak tirinya. Isha tidak seperti Vita yang hampir setiap minggu beli pakaian baru, jadi dia cukup tahu pakaian apa saja yang anak tirinya punya. Wanita paruh baya itu belum pernah melihat Isha mengenakan gamis tersebut, jadi wajar ‘kan kalau dia bertanya?Isha mengangguk. “Iya, Bu. Dibelikan sama Bang Satrio,” jawabnya.Lina melirik pria yang berdiri di samping Isha. “Ceritanya kalian pakai baju pasangan ini?” ledeknya.“Bapak sama Ibu ‘kan juga pakai baju kembar. Jadi aku sama Bang Satrio ikut menyesuaikan,” timpal Isha.“Beli di pasar mana bajunya?” tanya Lina lagi.“Ini ga beli di pasar, Bu, tapi di—” Satrio langsung menyela istrinya yang akan mengungkapkan me
“Beb, itu yang pakai baju couple beneran kakakmu sama suaminya yang kamu bilang pengangguran itu?” Surya bertanya pada Vita saat mereka duduk bersisian usai acara lamaran.Vita menoleh pada calon suaminya. “Iya. Memangnya kenapa, Beb?” “Kakakmu beda banget kalau dirias gitu. Jadi jauh lebih cantik,” cetus Surya.“Beb, bisa-bisanya kamu malah muji Mbak Isha sih? Memangnya aku kalah cantik dari dia.” Vita langsung sewot begitu sang calon suami memuji kakak tirinya.“Bu—bukan begitu, Beb. Kamu tetap yang tercantik kok di mataku. Maksudku selama ini ‘kan aku tidak pernah melihat kakakmu dandan, begitu didandani jadi beda banget.” Surya berusaha menjelaskan maksudnya agar sang kekasih tidak murka.“Benar ya tetap aku yang paling cantik! Awas kalau sampai kamu lirik-lirik Mbak Isha apalagi mengagumi dia!” ancam Vita.“Enggak, Beb. Mana mungkin aku melirik kakakmu. Aku kaget aja tadi waktu salaman sama dia, kaya kakakmu tapi aku ga yakin. Makanya aku tanya kamu buat memastikan.” Surya meyak
Rahang Isha mengetat, kedua tangannya pun mengepal begitu mendengar ucapan sang ibu tiri. Andai tak ada Baskoro di sana, dia pasti akan membalas ucapan wanita yang selalu merendahkannya itu.“Bu, cukup! Tidak perlu membahas soal itu!” Baskoro langsung menegur istrinya.“Anakmu itu, Pak, yang mulai duluan. Ibu ‘kan cuma menimpali.” Lina membela diri dan tak mau disalahkan oleh sang suami.“Bisa tidak untuk kali ini kalian rukun?” Baskoro memandang Lina, Vita, dan Isha bergantian. “Kita ini satu keluarga. Sudah seharusnya saling bekerja sama bukan malah saling menjatuhkan. Kalau Vita memang ingin mengadakan resepsi pernikahan, itu butuh persiapan yang matang. Tidak bisa dilakukan begitu saja,” imbuhnya.“Bisa saja, Pak. Kaya kemarin waktu pernikahannya Mbak Isha. Itu juga mendadak,” timpal Vita.“Tapi tetap saja harus ada persiapan, Vit. Kalau hanya menikah saja gampang. Tinggal datang ke KUA sudah selesai. Kalau mau mengundang orang untuk acara resepsi, tidak cukup pasang tenda dan pes
Isha merenung sambil membersihkan wajah saat Satrio ke kamar mandi. Apakah dia sudah bersikap keterlaluan pada pria itu hanya karena pipinya tiba-tiba dicium? Kalau dipikir-pikir Satrio sudah melakukan banyak hal untuknya sejak mereka menikah sementara bisa dibilang dia tidak melakukan apa-apa untuk suaminya.Sebagai istri sebenarnya Isha sudah zalim pada Satrio karena belum juga memberikan haknya. Apa pantas dirinya marah hanya karena ciuman di pipi? Seperti yang Satrio katakan tadi kalau dia bisa saja memaksa Isha untuk memenuhi haknya, tapi pria itu tidak melakukannya. Satrio bahkan bersedia menunggu dirinya sampai siap, walau entah kapan itu akan terjadi.Isha mendesah. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Harusnya dia tidak perlu semarah itu pada Satrio karena suaminya berhak atas dirinya. Toh yang dilakukan juga tidak melanggar norma dan agama. Justru dirinya yang jadi berdosa karena menolak disentuh suaminya.Gadis berusia 25 tahun itu memandang suaminya yang baru masuk ke kamar
Isha sontak membelalakkan mata begitu mendengar pertanyaan suaminya. Tak mengira Satrio langsung menanyakan hal itu padahal niatnya hanya untuk meminta maaf. Tentu saja dia belum siap menyerahkan diri sepenuhnya pada pria yang sudah menghalalkannya itu. Namun lidahnya kelu saat tatapan Satrio begitu menusuk ke dalam jiwanya. Pria berambut ikal itu tak menunjukkan senyum sedikit pun. Wajahnya tampak serius. Membuat Isha jadi semakin gugup dan salah tingkah."Apa diamnya Dek Isha berarti Abang boleh mendapatkan hak sebagai suami malam ini?" Satrio kembali bertanya pada istrinya dengan nada tegas dan dingin."A-aku sedang haid, Bang." Isha akhirnya bisa menjawab meskipun dengan terbata-bata."Apa itu berarti kalau Dek Isha tidak haid, Abang boleh memintanya?" Satrio butuh kepastian."So-al itu, bisa kita bicarakan lain waktu 'kan, Bang? Sekarang soal permintaan maafku yang tadi. Apa Bang Satrio mau memaafkan aku?" Isha berusaha mengalihkan pembicaraan mereka kembali ke awal. "Bagaimana
Isha memandang suaminya dengan penuh rasa penasaran. "Bang Satrio, mau ngomong apa?"Pria berambut ikal itu berdeham terlebih dahulu sebelum bicara. "Sebenarnya Abang ga marah sama Dek Isha. Tadi Abang tidur dulu karena badan Abang capek banget. Hari ini Abang banyak kegiatan di kantor. Maaf ya, sudah membuat Dek Isha salah paham," ungkapnya."Jujur saja tadi Abang kaget karena Dek Isha tiba-tiba minta maaf. Setelah mendengar penjelasan Dek Isha, Abang jadi ingin tahu sejauh mana keseriusan Dek Isha karena itu Abang mengajukan syarat. Alhamdulillah, Abang bersyukur karena Dek Isha benar-benar serius meminta maaf," akunya.Satrio menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya lalu menyelipkan di belakang telinga Isha. "Mulai detik ini, mau 'kan Dek Isha menerima Abang sepenuh hati?" tanyanya seraya menatap lekat mata Isha."Bang Satrio sendiri apa sudah menerimaku sepenuh hati?" Isha balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan sang suami.Satrio mengangguk. "Sejak kita meni