Isha memandang suaminya dengan penuh rasa penasaran. "Bang Satrio, mau ngomong apa?"Pria berambut ikal itu berdeham terlebih dahulu sebelum bicara. "Sebenarnya Abang ga marah sama Dek Isha. Tadi Abang tidur dulu karena badan Abang capek banget. Hari ini Abang banyak kegiatan di kantor. Maaf ya, sudah membuat Dek Isha salah paham," ungkapnya."Jujur saja tadi Abang kaget karena Dek Isha tiba-tiba minta maaf. Setelah mendengar penjelasan Dek Isha, Abang jadi ingin tahu sejauh mana keseriusan Dek Isha karena itu Abang mengajukan syarat. Alhamdulillah, Abang bersyukur karena Dek Isha benar-benar serius meminta maaf," akunya.Satrio menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya lalu menyelipkan di belakang telinga Isha. "Mulai detik ini, mau 'kan Dek Isha menerima Abang sepenuh hati?" tanyanya seraya menatap lekat mata Isha."Bang Satrio sendiri apa sudah menerimaku sepenuh hati?" Isha balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan sang suami.Satrio mengangguk. "Sejak kita meni
“Sudah azan tuh, Bang. Sana buruan ke masjid biar tidak telat!” Isha gegas mendorong Satrio keluar dari kamar karena tidak mau menjawab pertanyaan suaminya. Semesta sedang berpihak padanya sebab setelah pria berambut ikal itu mengajukan pertanyaan, azan Subuh berkumandang dari masjid dekat rumah.Satrio tertawa melihat sikap istrinya yang jadi salah tingkah. Menggemaskan sekali, membuatnya ingin semakin menggoda. Namun panggilan dari Tuhannya lebih utama. “Abang ke masjid dulu. Assalamu’alaikum,” ucapnya sebelum berangkat ke masjid.“Wa’alaikumussalam,” balas Isha. Gadis itu menghela napas lega begitu Satrio menutup pintu kamar. “Untung saja azan, jadi aku tidak perlu menjawab pertanyaan Bang Satrio,” ucapnya sambil mengelus dada beberapa kali.“Bisa-bisanya Bang Satrio tanya kaya gitu. Lagian kenapa juga aku sampai tanya mimpi basahnya sampai sedetail itu. Bego banget sih aku.” Isha memukul kepalanya sendiri karena menyadari hal bodoh yang dilakukannya.“Eh, tapi benar apa tidak ya
“Bang, aku kasihan sama Bapak kalau harus menanggung biaya pernikahan Vita sendiri.” Isha berbicara dengan Satrio saat mereka sudah berbaring di atas tempat tidur dan bersiap tidur.“Terus gimana? Dek Isha, mau bantu Bapak?” Satrio memandang sang istri yang berbantal lengan kanannya.Isha mendesah. “Aku juga tidak punya uang, Bang. Tabunganku cuma berapa juta, buat uang muka katering juga tidak cukup.”“Kalau mau ditambah pakai tabungan Abang juga tidak apa-apa, Dek,” timpal Satrio.Isha seketika menoleh pada suaminya. “Tabungan Bang Satrio ‘kan tinggal lima juta, kalau ditambah sama tabunganku ga sampai sepuluh juta, Bang. Tapi nanti kita jadi tidak punya tabungan sama sekali.”“Dek Isha, doakan saja semoga Abang dapat proyek untuk bangun rumah baru. Memang jumlahnya ga banyak, tapi lumayan kalau buat tambah-tambah,” lontar pria berambut ikal itu.“Aamiin,” sahut Isha seraya mengusap wajah dengan telapak tangan.“Dek Isha, beneran mau membantu Bapak?” Satrio memastikan.“Inginnya git
“Dek, dengarkan penjelasan Abang dulu. Jangan langsung tidak setuju begitu. Abang belum selesai bicara, Dek Isha sudah menyahut saja.” Satrio mengelus pipi istrinya seraya memberikan senyum manisnya.“Ya udah, sekarang Bang Satrio jelaskan. Aku akan diam,” timpal gadis berusia 25 tahun itu.“Abang itu dapat hadiah dari yang punya proyek, Dek. Waktu bos Abang tahu kalau Abang sudah nikah, dia kasih hadiah voucher menginap di hotel selama dua hari. Terserah mau dipakai kapan saja. Katanya biar kita bisa bulan madu,” jelas Satrio.“Oh gitu ceritanya. Kirain pakai uang sendiri, Bang. Kalau gitu ya, aku mau.” Isha meringis karena malu sudah berprasangka buruk pada suaminya.Pria berambut ikal itu menghela napas lega. “Alhamdulillah kalau Dek Isha mau. Besok Abang bilang sama bos Abang kalau mau pakai voucer itu.”“Memangnya Bang Satrio belum menerima voucernya?” tanya Isha.Satrio menggeleng. “Ya belum, Dek. Abang ‘kan harus tanya dulu sama Dek Isha mau apa tidak. Takutnya Abang sudah neri
Vita mendengkus mendengar ucapan kakak tirinya. “Jangan sok tahu, Mbak! Mas Surya mau bantu kok biaya resepsinya,” balasnya dengan sengit.“Syukur deh kalau mau bantu, jadi Bapak tidak menanggung sendiri. Tapi harusnya kamu senang dong, bukan malah cemberut gitu. Apa karena Surya cuma mau bantu sedikit?” Isha kembali menggoda sang adik tiri.“Sok tahu banget sih, Mbak! Keluarga Mas Surya itu kaya, ga mungkin bantu sedikit. Memangnya suami Mbak yang cuma kasih tiga puluh juta sama Ibu?” Vita terpaksa berbohong agar tidak diledek kakak tirinya.Isha tersenyum sinis. “Bang Satrio ‘kan ngasihnya sesuai permintaan Ibu. Itu pun masih sisa uangnya. Memangnya Surya mau ngasih berapa? Lima puluh juta?” cecarnya.“Kepo banget sih. Nanti juga Mbak tahu berapa yang dikasih Mas Surya. Yang jelas lebih dari suami Mbak yang pengangguran itu,” balas Vita dengan sewot.“Dek, ke sini sebentar bantu Abang cari baju.” Satrio memanggil istrinya yang akan menanggapi Vita. Dia sengaja melakukannya agar tida
Surya meneguk saliva mendengar ucapan Vita. Memang rumah kedua orang tuanya terlihat megah dan mewah karena rumah itu dibangun saat usaha papanya masih berjalan lancar dan dalam masa keemasannya. Namun sekarang usahanya sudah tidak selancar dahulu, malah bisa dibilang redup. Penghasilannya juga tidak tentu.Kalau saja usaha papanya masih sebagus dahulu, tentu Surya tak akan bekerja di perusahaan lain. Lebih baik dia meneruskan usaha orang tuanya daripada menjadi bawahan orang.Banyak yang mengira keluarganya masih sekaya dahulu setelah melihat penampakan rumah mereka. Padahal dalam keseharian, hidupnya biasa saja. Bahkan mereka tidak punya asisten rumah tangga yang membantu membersihkan atau mengurus rumah sebab tidak mampu menggaji. Karena itu pula, mereka tidak mau menggelar resepsi pernikahan Surya dan Vita dengan dalih pihak laki-laki biasanya tidak melakukan hal tersebut.“Tidak semua yang kelihatan itu sama seperti yang dipikirkan orang, Beb,” lontar Surya.Vita mengernyit. “Mak
“Lho, kok jadi aku yang harus pinjam uang sih, Bu? Nanti gajiku berkurang buat angsuran, mana gaji Mas Surya juga sudah dipotong untuk bayar angsuran rumah. Nanti kalau uangku ga cukup untuk biaya sehari-hari gimana, Bu?” Vita langsung menolak mentah-mentah usul ibunya.“Kalau bukan kamu terus siapa, Vit? Uang itu ‘kan dipakai untuk pernikahanmu bukan untuk yang lain. Ya, kamu dong yang mengusahakan. Kamu dengar sendiri kemarin kalau Bapak sudah tidak bisa pinjam uang karena masih ada tanggungan,” tukas Lina.“Kalau kamu tidak mau pinjam juga tidak apa-apa, tapi nikahnya sederhana saja seperti Isha kemarin. Jangan minta yang bagus karena uang simpanan Bapak tidak cukup,” imbuhnya.“Masa seperti Mbak Isha, Bu. Malu dong aku sama teman-temanku kalau cuma sederhana,” timpal Vita.“Ya, gimana lagi. Surya cuma ngasih dua puluh juta. Uang Bapak cuma tinggal empat puluh juta. Mana bisa bikin resepsi yang seperti keinginanmu? Apalagi kamu maunya di gedung. Kalau undangan cuma buat 100 orang c
"Kamu itu kepala keluarga, Sat. Kamu bisa 'kan minta istrimu buat membantu tanpa Ibu harus ngomong sendiri sama Isha." Lina memaksa Satrio melakukan apa yang dia inginkan."Maaf, Bu. Menurut saya lebih baik, Ibu bicara sendiri dengan Dek Isha. Saya takut tidak bisa memberikan penjelasan yang tepat. Daripada nanti saya malah salah bicara," timpal Satrio.Lina mendesah. "Kamu tahu sendiri bagaimana istrimu kalau membicarakan soal uang, jadi sensitif sekali. Waktu kamu ngasih Ibu buat biaya syukuran sama belanja saja Isha tidak setuju 'kan?" "Itu karena Dek Isha takut saya tidak punya uang. Alhamdulillah kemarin saya masih ada tabungan, jadi bisa memberi apa yang Ibu minta. Kalau sekarang terus terang saya tidak bisa membantu, Bu," ujar pria berambut ikal itu."Kamu 'kan bisa utang di pinjol yang gampang syaratnya. Asal dapat uangnya, tidak dibayar juga tidak apa-apa," saran Lina."Waktu saya menikah kemarin, Ibu melarang saya meminjam di pinjol, kenapa sekarang malah menyuruh saya? Nan