Lina langsung masuk ke kamar Vita setelah berbicara dengan Satrio. Anak kandungnya itu sedang berbaring sambil memegang gawai. Wajah cantik Vita tertutup masker berwarna emas.“Vit, bangun! Ibu mau bicara.” Lina menepuk paha Vita lantas duduk di sisi tempat tidur.Mau tak mau Vita menurut. Dia bangun lalu duduk menghadap sang ibu. Gadis itu juga meletakkan gawainya. “Ada apa, Bu?” tanyanya.“Barusan Ibu bicara sama Satrio. Dia bilang tidak punya uang. Malah nyuruh Ibu ngomong sama Isha karena mbakmu itu katanya punya tabungan,” jawab Lina.“Memangnya uang Bang Satrio sudah habis? Kemarin ‘kan katanya dia ambil tabungan buat biaya nikahnya sama Mbak Isha,” lontar Vita.Lina mengangguk. “Satrio tadi bilang tabungannya sudah dipakai untuk itu. Sekarang dia tidak punya uang lagi.”“Apa Bang Satrio ga bisa mengusahakan pinjam sama teman apa pinjol?” cetus Vita.Wanita paruh baya itu menggeleng. “Satrio tidak mau, Vit. Bisa-bisanya malah membalik omongan Ibu yang melarang dia utang di pinjo
“Bisa-bisanya Ibu punya pikiran seperti itu! Apa Ibu tidak ingat kalau Ibu dan Vita sering merendahkan pekerjaan Isha yang hanya karyawan toko? Sekarang Ibu dengan tidak tahu malu malah minta Isha buat bantu biaya pernikahan Vita? Apa Ibu masih waras?” Baskoro terpancing emosinya setelah Lina coba membujuknya agar minta tolong pada Isha.“Tentu saja Ibu masih waras. Kalau tidak waras, Ibu sudah masuk rumah sakit jiwa, Pak.” Lina coba menahan emosi agar tidak membuat suaminya semakin marah.“Kalau Ibu masih waras, harusnya Ibu punya rasa malu sama Isha! Pokoknya Bapak tidak mau minta sama Isha. Titik!” tegas Baskoro.“Kita adakan pernikahan sesuai dengan uang yang ada saja. Tidak perlu menuruti anak kesayanganmu itu. Kecuali dia mau menanggung sendiri biayanya,” sambungnya.Pria itu kemudian mengenakan pakaiannya lalu keluar dari kamar. Dia duduk di teras rumah lalu menyalakan dan menghisap rokoknya. Mencoba menghilangkan emosi sebelum masuk ke kamar lagi untuk beristirahat dan memulih
“Buat apa Dek Isha mau ketemu sama bos Abang?” Satrio merasa heran pada istrinya.“Mau mengucapkan terima kasih karena sudah memberi kita hadiah, Bang. Kenapa memangnya? Tidak boleh?” cecar Isha.“Boleh, Dek. Siapa bilang tidak boleh?” timpal Satrio.“Habis tadi kayanya Bang Satrio ga suka aku ketemu sama bosnya,” lontar gadis 25 tahun itu.“Bukannya ga suka, Dek, tapi bos Abang itu orangnya sibuk. Ga gampang kalau mau ketemu sama dia. Mesti nunggu jadwalnya kosong dulu,” jelas Satrio.“Oh gitu ya, Bang, kirain bisa ketemu setiap saat,” gumam Isha.“Kita mesti ngomong dulu sama asistennya kalau mau ketemu sama bos biar dijadwalkan, Dek. Itu juga kadang belum tentu bisa ketemu soalnya bos sering ada meeting mendadak,” terang pria berambut ikal itu.“Susah juga ya kalau mau ketemu sama bos Bang Satrio. Beda sama bosku yang setiap hari ada di toko dan bisa ditemui setiap saat,” timpal Isha.Satrio tersenyum. “Bos Abang ‘kan perusahaannya besar, Dek. Cabangnya di mana-mana, jadi urusannya
“Enak ga, Dek?” Satrio bertanya pada Isha setelah mencicipi gurami bakar yang sudah tersaji di depan mereka.Isha mengangguk. “Enak banget, Bang. Aku baru pertama kali makan kaya gini,” akunya sambil mengambil sambal terasi yang disajikan di mangkuk sambal.“Alhamdulillah kalau Dek Isha suka. Abang jadi tidak sia-sia mengajak ke sini,” timpal Satrio dengan senyum mengembang di wajah tampannya.“Bang Satrio pernah makan di sini?” Isha memandang suaminya.Pria berambut ikal itu menyengguk. “Pernah sekali atau dua kali ke sini. Abang ‘kan cuma hidup sendiri di kontrakan, Dek, jadi jarang masak. Kalaupun masak paling mi instan sama telur. Itu juga kalau sudah benar-benar kelaparan,” ungkapnya sambil tertawa kecil.“Pantas barang-barang Bang Satrio cuma sedikit di kontrakan,” cetus Isha.Satrio mengulum senyum. “Namanya juga bujangan, Dek. Beda kalau sudah punya istri pasti barang-barangnya lebih banyak. Kalau kita nanti ngekos atau ngontrak ya harus beli peralatan masak dulu karena Abang
“Apaan sih, Bang!” Wajah Isha jadi memerah karena malu. Dia lalu berusaha melepas pelukan Satrio di pinggangnya.Merasa tak tega melihat sang istri yang malu, Satrio pun mengurai pelukannya.“Abang atau Dek Isha dulu yang ke kamar mandi? Atau bareng saja biar lebih cepat?” Pria itu masih coba menggoda istrinya.“Aku dulu.” Isha gegas mengambil baju ganti lalu beranjak ke kamar mandi.Satrio tersenyum seraya menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya. Wajah malu Isha sungguh menggemaskan. Membuatnya ingin menciumi wajah cantik sang kekasih hati.Setelah Isha masuk ke kamar, gantian Satrio yang membersihkan diri dan berganti pakaian. Gadis itu menyisir rambutnya di depan meja rias baru kemudian naik ke atas tempat tidur. Dia duduk menyender di dinding kamar, menunggu sang suami sambil mengecek ponselnya.Tak lama Satrio kembali. Setelah menutup dan mengunci pintu, dia menyalakan lampu tidur lalu memadamkan lampu utama. Sesudah itu beranjak ke tempat tidur.“Mau ngobrol dulu apa langs
“Hah!” Isha refleks berseru. Dia tidak menduga Satrio langsung bertanya soal itu padanya.Kedua alis tebal pria itu bertaut. “Kenapa Dek Isha terkejut begitu? Apa Dek Isha tidak mau?” cecarnya.Isha menggeleng. “Bukan tidak mau, Bang. Siapa yang tidak kaget kalau ditanya seperti itu?” kilahnya.Pria berambut ikal itu mengangguk-angguk. “Oke. Berarti Dek Isha mau ‘kan punya anak dari Abang?”“Apa aku boleh menolak?” Isha balik bertanya pada suaminya.“Kalau Abang bilang tidak boleh, gimana?” sahut Satrio.“Berarti aku harus mau ‘kan, Bang?” Isha memandang pria yang duduk di sebelahnya.Satrio mengangguk. “Kalau Dek Isha tidak mau, siapa yang akan hamil dan melahirkan anak-anak Abang?”“Ya siapa tahu Bang Satrio ingin wanita yang lebih cantik, baik, berpendidikan. Tidak seperti aku yang—” Satrio langsung membungkam mulut sang istri dengan ciuman padahal Isha belum selesai bicara.Pria itu mengulum dan menyesap bibir Isha. Sentuhan Satrio yang sangat mendadak, membuat Isha jadi terpaku.
Satrio mengajak Isha ke salah satu mal terbesar di Jakarta. Setelah memarkirkan motor, pria itu menggandeng istrinya masuk ke mal.“Bang, malnya bagus dan besar banget. Pasti di sini harganya mahal-mahal ya?” Isha bertanya pada suaminya begitu memasuki area mal.“Mahal atau murah itu relatif, Dek. Selama kita mampu, tidak mahal. Insya Allah uang kita cukup untuk belanja di sini.” Satrio menenangkan istrinya.“Bang, pakaian orang-orang yang ke sini bagus-bagus. Tidak seperti pakaianku ini.” Isha jadi minder melihat penampilan pengunjung mal lainnya.Satrio seketika menghentikan langkah hingga membuat Isha ikut berhenti. Dia memindai penampilan istrinya dari ujung kepala sampai kaki. Memang pakaian istrinya sederhana dan tidak bermerek, tapi sopan dan pantas untuk bepergian.“Memangnya pakaian Dek Isha kenapa? Bagus dan cocok kok,” ucapnya agar sang istri tidak merasa rendah diri.“Masa sih, Bang?” Isha tak mau percaya begitu saja pada suaminya.Satrio mengangguk. “Iya. Masa Dek Isha ti
“Assalamu’alaikum.” Isha mengucap salam saat membuka pintu rumah karena lampu ruang tamu masih menyala. Menandakan masih ada yang duduk di sana.“Wa’alaikumussalam,” balas Lina. “Mana martabak pesanan Ibu?” tanyanya tanpa basa-basi.“Ini, Bu.” Isha meletakkan kantong plastik yang berisi martabak manis kesukaan ibu tirinya di atas meja ruang tamu.“Ini rasa apa?” tanya Lina sembari mengeluarkan kemasan kardus dari kantong plastik.“Ya, seperti yang biasa Bapak beli, Bu,” jawab Isha dengan tenang.“Ya sudah, Ibu kira rasa lainnya. Ambilkan piring sama garpu sana!” titah wanita paruh baya itu pada anak tirinya.“Kenapa ga nyuruh Vita saja, Bu? Dia nganggur tuh. Aku ‘kan baru pulang, mau istirahat.” Isha menunjuk adik tirinya yang tiduran di sofa sambil memainkan gawai.“Kamu ‘kan yang masih berdiri, biar sekalian jalannya. Ambilin piring sama garpu dulu baru ke kamar, apa sih susahnya?” Lina memandang Isha dengan kesal.“Kenapa, Dek?” Satrio langsung bertanya pada Isha begitu melihat ket