Share

Bab 34

last update Last Updated: 2024-08-17 00:16:50

"Kamu itu kepala keluarga, Sat. Kamu bisa 'kan minta istrimu buat membantu tanpa Ibu harus ngomong sendiri sama Isha." Lina memaksa Satrio melakukan apa yang dia inginkan.

"Maaf, Bu. Menurut saya lebih baik, Ibu bicara sendiri dengan Dek Isha. Saya takut tidak bisa memberikan penjelasan yang tepat. Daripada nanti saya malah salah bicara," timpal Satrio.

Lina mendesah. "Kamu tahu sendiri bagaimana istrimu kalau membicarakan soal uang, jadi sensitif sekali. Waktu kamu ngasih Ibu buat biaya syukuran sama belanja saja Isha tidak setuju 'kan?"

"Itu karena Dek Isha takut saya tidak punya uang. Alhamdulillah kemarin saya masih ada tabungan, jadi bisa memberi apa yang Ibu minta. Kalau sekarang terus terang saya tidak bisa membantu, Bu," ujar pria berambut ikal itu.

"Kamu 'kan bisa utang di pinjol yang gampang syaratnya. Asal dapat uangnya, tidak dibayar juga tidak apa-apa," saran Lina.

"Waktu saya menikah kemarin, Ibu melarang saya meminjam di pinjol, kenapa sekarang malah menyuruh saya? Nan
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 35

    Lina langsung masuk ke kamar Vita setelah berbicara dengan Satrio. Anak kandungnya itu sedang berbaring sambil memegang gawai. Wajah cantik Vita tertutup masker berwarna emas.“Vit, bangun! Ibu mau bicara.” Lina menepuk paha Vita lantas duduk di sisi tempat tidur.Mau tak mau Vita menurut. Dia bangun lalu duduk menghadap sang ibu. Gadis itu juga meletakkan gawainya. “Ada apa, Bu?” tanyanya.“Barusan Ibu bicara sama Satrio. Dia bilang tidak punya uang. Malah nyuruh Ibu ngomong sama Isha karena mbakmu itu katanya punya tabungan,” jawab Lina.“Memangnya uang Bang Satrio sudah habis? Kemarin ‘kan katanya dia ambil tabungan buat biaya nikahnya sama Mbak Isha,” lontar Vita.Lina mengangguk. “Satrio tadi bilang tabungannya sudah dipakai untuk itu. Sekarang dia tidak punya uang lagi.”“Apa Bang Satrio ga bisa mengusahakan pinjam sama teman apa pinjol?” cetus Vita.Wanita paruh baya itu menggeleng. “Satrio tidak mau, Vit. Bisa-bisanya malah membalik omongan Ibu yang melarang dia utang di pinjo

    Last Updated : 2024-08-17
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 36

    “Bisa-bisanya Ibu punya pikiran seperti itu! Apa Ibu tidak ingat kalau Ibu dan Vita sering merendahkan pekerjaan Isha yang hanya karyawan toko? Sekarang Ibu dengan tidak tahu malu malah minta Isha buat bantu biaya pernikahan Vita? Apa Ibu masih waras?” Baskoro terpancing emosinya setelah Lina coba membujuknya agar minta tolong pada Isha.“Tentu saja Ibu masih waras. Kalau tidak waras, Ibu sudah masuk rumah sakit jiwa, Pak.” Lina coba menahan emosi agar tidak membuat suaminya semakin marah.“Kalau Ibu masih waras, harusnya Ibu punya rasa malu sama Isha! Pokoknya Bapak tidak mau minta sama Isha. Titik!” tegas Baskoro.“Kita adakan pernikahan sesuai dengan uang yang ada saja. Tidak perlu menuruti anak kesayanganmu itu. Kecuali dia mau menanggung sendiri biayanya,” sambungnya.Pria itu kemudian mengenakan pakaiannya lalu keluar dari kamar. Dia duduk di teras rumah lalu menyalakan dan menghisap rokoknya. Mencoba menghilangkan emosi sebelum masuk ke kamar lagi untuk beristirahat dan memulih

    Last Updated : 2024-08-18
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 37

    “Buat apa Dek Isha mau ketemu sama bos Abang?” Satrio merasa heran pada istrinya.“Mau mengucapkan terima kasih karena sudah memberi kita hadiah, Bang. Kenapa memangnya? Tidak boleh?” cecar Isha.“Boleh, Dek. Siapa bilang tidak boleh?” timpal Satrio.“Habis tadi kayanya Bang Satrio ga suka aku ketemu sama bosnya,” lontar gadis 25 tahun itu.“Bukannya ga suka, Dek, tapi bos Abang itu orangnya sibuk. Ga gampang kalau mau ketemu sama dia. Mesti nunggu jadwalnya kosong dulu,” jelas Satrio.“Oh gitu ya, Bang, kirain bisa ketemu setiap saat,” gumam Isha.“Kita mesti ngomong dulu sama asistennya kalau mau ketemu sama bos biar dijadwalkan, Dek. Itu juga kadang belum tentu bisa ketemu soalnya bos sering ada meeting mendadak,” terang pria berambut ikal itu.“Susah juga ya kalau mau ketemu sama bos Bang Satrio. Beda sama bosku yang setiap hari ada di toko dan bisa ditemui setiap saat,” timpal Isha.Satrio tersenyum. “Bos Abang ‘kan perusahaannya besar, Dek. Cabangnya di mana-mana, jadi urusannya

    Last Updated : 2024-08-19
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 38

    “Enak ga, Dek?” Satrio bertanya pada Isha setelah mencicipi gurami bakar yang sudah tersaji di depan mereka.Isha mengangguk. “Enak banget, Bang. Aku baru pertama kali makan kaya gini,” akunya sambil mengambil sambal terasi yang disajikan di mangkuk sambal.“Alhamdulillah kalau Dek Isha suka. Abang jadi tidak sia-sia mengajak ke sini,” timpal Satrio dengan senyum mengembang di wajah tampannya.“Bang Satrio pernah makan di sini?” Isha memandang suaminya.Pria berambut ikal itu menyengguk. “Pernah sekali atau dua kali ke sini. Abang ‘kan cuma hidup sendiri di kontrakan, Dek, jadi jarang masak. Kalaupun masak paling mi instan sama telur. Itu juga kalau sudah benar-benar kelaparan,” ungkapnya sambil tertawa kecil.“Pantas barang-barang Bang Satrio cuma sedikit di kontrakan,” cetus Isha.Satrio mengulum senyum. “Namanya juga bujangan, Dek. Beda kalau sudah punya istri pasti barang-barangnya lebih banyak. Kalau kita nanti ngekos atau ngontrak ya harus beli peralatan masak dulu karena Abang

    Last Updated : 2024-08-20
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 39

    “Apaan sih, Bang!” Wajah Isha jadi memerah karena malu. Dia lalu berusaha melepas pelukan Satrio di pinggangnya.Merasa tak tega melihat sang istri yang malu, Satrio pun mengurai pelukannya.“Abang atau Dek Isha dulu yang ke kamar mandi? Atau bareng saja biar lebih cepat?” Pria itu masih coba menggoda istrinya.“Aku dulu.” Isha gegas mengambil baju ganti lalu beranjak ke kamar mandi.Satrio tersenyum seraya menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya. Wajah malu Isha sungguh menggemaskan. Membuatnya ingin menciumi wajah cantik sang kekasih hati.Setelah Isha masuk ke kamar, gantian Satrio yang membersihkan diri dan berganti pakaian. Gadis itu menyisir rambutnya di depan meja rias baru kemudian naik ke atas tempat tidur. Dia duduk menyender di dinding kamar, menunggu sang suami sambil mengecek ponselnya.Tak lama Satrio kembali. Setelah menutup dan mengunci pintu, dia menyalakan lampu tidur lalu memadamkan lampu utama. Sesudah itu beranjak ke tempat tidur.“Mau ngobrol dulu apa langs

    Last Updated : 2024-08-20
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 40

    “Hah!” Isha refleks berseru. Dia tidak menduga Satrio langsung bertanya soal itu padanya.Kedua alis tebal pria itu bertaut. “Kenapa Dek Isha terkejut begitu? Apa Dek Isha tidak mau?” cecarnya.Isha menggeleng. “Bukan tidak mau, Bang. Siapa yang tidak kaget kalau ditanya seperti itu?” kilahnya.Pria berambut ikal itu mengangguk-angguk. “Oke. Berarti Dek Isha mau ‘kan punya anak dari Abang?”“Apa aku boleh menolak?” Isha balik bertanya pada suaminya.“Kalau Abang bilang tidak boleh, gimana?” sahut Satrio.“Berarti aku harus mau ‘kan, Bang?” Isha memandang pria yang duduk di sebelahnya.Satrio mengangguk. “Kalau Dek Isha tidak mau, siapa yang akan hamil dan melahirkan anak-anak Abang?”“Ya siapa tahu Bang Satrio ingin wanita yang lebih cantik, baik, berpendidikan. Tidak seperti aku yang—” Satrio langsung membungkam mulut sang istri dengan ciuman padahal Isha belum selesai bicara.Pria itu mengulum dan menyesap bibir Isha. Sentuhan Satrio yang sangat mendadak, membuat Isha jadi terpaku.

    Last Updated : 2024-08-21
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 41

    Satrio mengajak Isha ke salah satu mal terbesar di Jakarta. Setelah memarkirkan motor, pria itu menggandeng istrinya masuk ke mal.“Bang, malnya bagus dan besar banget. Pasti di sini harganya mahal-mahal ya?” Isha bertanya pada suaminya begitu memasuki area mal.“Mahal atau murah itu relatif, Dek. Selama kita mampu, tidak mahal. Insya Allah uang kita cukup untuk belanja di sini.” Satrio menenangkan istrinya.“Bang, pakaian orang-orang yang ke sini bagus-bagus. Tidak seperti pakaianku ini.” Isha jadi minder melihat penampilan pengunjung mal lainnya.Satrio seketika menghentikan langkah hingga membuat Isha ikut berhenti. Dia memindai penampilan istrinya dari ujung kepala sampai kaki. Memang pakaian istrinya sederhana dan tidak bermerek, tapi sopan dan pantas untuk bepergian.“Memangnya pakaian Dek Isha kenapa? Bagus dan cocok kok,” ucapnya agar sang istri tidak merasa rendah diri.“Masa sih, Bang?” Isha tak mau percaya begitu saja pada suaminya.Satrio mengangguk. “Iya. Masa Dek Isha ti

    Last Updated : 2024-08-22
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 42

    “Assalamu’alaikum.” Isha mengucap salam saat membuka pintu rumah karena lampu ruang tamu masih menyala. Menandakan masih ada yang duduk di sana.“Wa’alaikumussalam,” balas Lina. “Mana martabak pesanan Ibu?” tanyanya tanpa basa-basi.“Ini, Bu.” Isha meletakkan kantong plastik yang berisi martabak manis kesukaan ibu tirinya di atas meja ruang tamu.“Ini rasa apa?” tanya Lina sembari mengeluarkan kemasan kardus dari kantong plastik.“Ya, seperti yang biasa Bapak beli, Bu,” jawab Isha dengan tenang.“Ya sudah, Ibu kira rasa lainnya. Ambilkan piring sama garpu sana!” titah wanita paruh baya itu pada anak tirinya.“Kenapa ga nyuruh Vita saja, Bu? Dia nganggur tuh. Aku ‘kan baru pulang, mau istirahat.” Isha menunjuk adik tirinya yang tiduran di sofa sambil memainkan gawai.“Kamu ‘kan yang masih berdiri, biar sekalian jalannya. Ambilin piring sama garpu dulu baru ke kamar, apa sih susahnya?” Lina memandang Isha dengan kesal.“Kenapa, Dek?” Satrio langsung bertanya pada Isha begitu melihat ket

    Last Updated : 2024-08-23

Latest chapter

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 197

    “Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 196

    "Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Ban 195

    “Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 194

    Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 193

    Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 192

    "Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 191

    “Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 190

    "Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 189

    "Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status