“Lho, kok jadi aku yang harus pinjam uang sih, Bu? Nanti gajiku berkurang buat angsuran, mana gaji Mas Surya juga sudah dipotong untuk bayar angsuran rumah. Nanti kalau uangku ga cukup untuk biaya sehari-hari gimana, Bu?” Vita langsung menolak mentah-mentah usul ibunya.“Kalau bukan kamu terus siapa, Vit? Uang itu ‘kan dipakai untuk pernikahanmu bukan untuk yang lain. Ya, kamu dong yang mengusahakan. Kamu dengar sendiri kemarin kalau Bapak sudah tidak bisa pinjam uang karena masih ada tanggungan,” tukas Lina.“Kalau kamu tidak mau pinjam juga tidak apa-apa, tapi nikahnya sederhana saja seperti Isha kemarin. Jangan minta yang bagus karena uang simpanan Bapak tidak cukup,” imbuhnya.“Masa seperti Mbak Isha, Bu. Malu dong aku sama teman-temanku kalau cuma sederhana,” timpal Vita.“Ya, gimana lagi. Surya cuma ngasih dua puluh juta. Uang Bapak cuma tinggal empat puluh juta. Mana bisa bikin resepsi yang seperti keinginanmu? Apalagi kamu maunya di gedung. Kalau undangan cuma buat 100 orang c
"Kamu itu kepala keluarga, Sat. Kamu bisa 'kan minta istrimu buat membantu tanpa Ibu harus ngomong sendiri sama Isha." Lina memaksa Satrio melakukan apa yang dia inginkan."Maaf, Bu. Menurut saya lebih baik, Ibu bicara sendiri dengan Dek Isha. Saya takut tidak bisa memberikan penjelasan yang tepat. Daripada nanti saya malah salah bicara," timpal Satrio.Lina mendesah. "Kamu tahu sendiri bagaimana istrimu kalau membicarakan soal uang, jadi sensitif sekali. Waktu kamu ngasih Ibu buat biaya syukuran sama belanja saja Isha tidak setuju 'kan?" "Itu karena Dek Isha takut saya tidak punya uang. Alhamdulillah kemarin saya masih ada tabungan, jadi bisa memberi apa yang Ibu minta. Kalau sekarang terus terang saya tidak bisa membantu, Bu," ujar pria berambut ikal itu."Kamu 'kan bisa utang di pinjol yang gampang syaratnya. Asal dapat uangnya, tidak dibayar juga tidak apa-apa," saran Lina."Waktu saya menikah kemarin, Ibu melarang saya meminjam di pinjol, kenapa sekarang malah menyuruh saya? Nan
Lina langsung masuk ke kamar Vita setelah berbicara dengan Satrio. Anak kandungnya itu sedang berbaring sambil memegang gawai. Wajah cantik Vita tertutup masker berwarna emas.“Vit, bangun! Ibu mau bicara.” Lina menepuk paha Vita lantas duduk di sisi tempat tidur.Mau tak mau Vita menurut. Dia bangun lalu duduk menghadap sang ibu. Gadis itu juga meletakkan gawainya. “Ada apa, Bu?” tanyanya.“Barusan Ibu bicara sama Satrio. Dia bilang tidak punya uang. Malah nyuruh Ibu ngomong sama Isha karena mbakmu itu katanya punya tabungan,” jawab Lina.“Memangnya uang Bang Satrio sudah habis? Kemarin ‘kan katanya dia ambil tabungan buat biaya nikahnya sama Mbak Isha,” lontar Vita.Lina mengangguk. “Satrio tadi bilang tabungannya sudah dipakai untuk itu. Sekarang dia tidak punya uang lagi.”“Apa Bang Satrio ga bisa mengusahakan pinjam sama teman apa pinjol?” cetus Vita.Wanita paruh baya itu menggeleng. “Satrio tidak mau, Vit. Bisa-bisanya malah membalik omongan Ibu yang melarang dia utang di pinjo
“Bisa-bisanya Ibu punya pikiran seperti itu! Apa Ibu tidak ingat kalau Ibu dan Vita sering merendahkan pekerjaan Isha yang hanya karyawan toko? Sekarang Ibu dengan tidak tahu malu malah minta Isha buat bantu biaya pernikahan Vita? Apa Ibu masih waras?” Baskoro terpancing emosinya setelah Lina coba membujuknya agar minta tolong pada Isha.“Tentu saja Ibu masih waras. Kalau tidak waras, Ibu sudah masuk rumah sakit jiwa, Pak.” Lina coba menahan emosi agar tidak membuat suaminya semakin marah.“Kalau Ibu masih waras, harusnya Ibu punya rasa malu sama Isha! Pokoknya Bapak tidak mau minta sama Isha. Titik!” tegas Baskoro.“Kita adakan pernikahan sesuai dengan uang yang ada saja. Tidak perlu menuruti anak kesayanganmu itu. Kecuali dia mau menanggung sendiri biayanya,” sambungnya.Pria itu kemudian mengenakan pakaiannya lalu keluar dari kamar. Dia duduk di teras rumah lalu menyalakan dan menghisap rokoknya. Mencoba menghilangkan emosi sebelum masuk ke kamar lagi untuk beristirahat dan memulih
“Buat apa Dek Isha mau ketemu sama bos Abang?” Satrio merasa heran pada istrinya.“Mau mengucapkan terima kasih karena sudah memberi kita hadiah, Bang. Kenapa memangnya? Tidak boleh?” cecar Isha.“Boleh, Dek. Siapa bilang tidak boleh?” timpal Satrio.“Habis tadi kayanya Bang Satrio ga suka aku ketemu sama bosnya,” lontar gadis 25 tahun itu.“Bukannya ga suka, Dek, tapi bos Abang itu orangnya sibuk. Ga gampang kalau mau ketemu sama dia. Mesti nunggu jadwalnya kosong dulu,” jelas Satrio.“Oh gitu ya, Bang, kirain bisa ketemu setiap saat,” gumam Isha.“Kita mesti ngomong dulu sama asistennya kalau mau ketemu sama bos biar dijadwalkan, Dek. Itu juga kadang belum tentu bisa ketemu soalnya bos sering ada meeting mendadak,” terang pria berambut ikal itu.“Susah juga ya kalau mau ketemu sama bos Bang Satrio. Beda sama bosku yang setiap hari ada di toko dan bisa ditemui setiap saat,” timpal Isha.Satrio tersenyum. “Bos Abang ‘kan perusahaannya besar, Dek. Cabangnya di mana-mana, jadi urusannya
“Enak ga, Dek?” Satrio bertanya pada Isha setelah mencicipi gurami bakar yang sudah tersaji di depan mereka.Isha mengangguk. “Enak banget, Bang. Aku baru pertama kali makan kaya gini,” akunya sambil mengambil sambal terasi yang disajikan di mangkuk sambal.“Alhamdulillah kalau Dek Isha suka. Abang jadi tidak sia-sia mengajak ke sini,” timpal Satrio dengan senyum mengembang di wajah tampannya.“Bang Satrio pernah makan di sini?” Isha memandang suaminya.Pria berambut ikal itu menyengguk. “Pernah sekali atau dua kali ke sini. Abang ‘kan cuma hidup sendiri di kontrakan, Dek, jadi jarang masak. Kalaupun masak paling mi instan sama telur. Itu juga kalau sudah benar-benar kelaparan,” ungkapnya sambil tertawa kecil.“Pantas barang-barang Bang Satrio cuma sedikit di kontrakan,” cetus Isha.Satrio mengulum senyum. “Namanya juga bujangan, Dek. Beda kalau sudah punya istri pasti barang-barangnya lebih banyak. Kalau kita nanti ngekos atau ngontrak ya harus beli peralatan masak dulu karena Abang
“Apaan sih, Bang!” Wajah Isha jadi memerah karena malu. Dia lalu berusaha melepas pelukan Satrio di pinggangnya.Merasa tak tega melihat sang istri yang malu, Satrio pun mengurai pelukannya.“Abang atau Dek Isha dulu yang ke kamar mandi? Atau bareng saja biar lebih cepat?” Pria itu masih coba menggoda istrinya.“Aku dulu.” Isha gegas mengambil baju ganti lalu beranjak ke kamar mandi.Satrio tersenyum seraya menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya. Wajah malu Isha sungguh menggemaskan. Membuatnya ingin menciumi wajah cantik sang kekasih hati.Setelah Isha masuk ke kamar, gantian Satrio yang membersihkan diri dan berganti pakaian. Gadis itu menyisir rambutnya di depan meja rias baru kemudian naik ke atas tempat tidur. Dia duduk menyender di dinding kamar, menunggu sang suami sambil mengecek ponselnya.Tak lama Satrio kembali. Setelah menutup dan mengunci pintu, dia menyalakan lampu tidur lalu memadamkan lampu utama. Sesudah itu beranjak ke tempat tidur.“Mau ngobrol dulu apa langs
“Hah!” Isha refleks berseru. Dia tidak menduga Satrio langsung bertanya soal itu padanya.Kedua alis tebal pria itu bertaut. “Kenapa Dek Isha terkejut begitu? Apa Dek Isha tidak mau?” cecarnya.Isha menggeleng. “Bukan tidak mau, Bang. Siapa yang tidak kaget kalau ditanya seperti itu?” kilahnya.Pria berambut ikal itu mengangguk-angguk. “Oke. Berarti Dek Isha mau ‘kan punya anak dari Abang?”“Apa aku boleh menolak?” Isha balik bertanya pada suaminya.“Kalau Abang bilang tidak boleh, gimana?” sahut Satrio.“Berarti aku harus mau ‘kan, Bang?” Isha memandang pria yang duduk di sebelahnya.Satrio mengangguk. “Kalau Dek Isha tidak mau, siapa yang akan hamil dan melahirkan anak-anak Abang?”“Ya siapa tahu Bang Satrio ingin wanita yang lebih cantik, baik, berpendidikan. Tidak seperti aku yang—” Satrio langsung membungkam mulut sang istri dengan ciuman padahal Isha belum selesai bicara.Pria itu mengulum dan menyesap bibir Isha. Sentuhan Satrio yang sangat mendadak, membuat Isha jadi terpaku.
Satrio tertawa mendengar pertanyaan istrinya. Hal itu membuat Isha jadi cemberut. “Bang, ditanya kok malah ketawa sih,” protesnya.“Habisnya pertanyaan Dek Isha lucu,” timpal Satrio sambil menahan tawa.“Lucu gimana sih, Bang? Perasaan pertanyaanku ga lucu sama sekali,” tukas Isha dengan kening mengerut.“Ya, lucu aja menurut Abang. Perasaan Abang ga ada tampang suka pergi ke diskotek atau klub malam, tapi Dek Isha tanyanya begitu,” sahut pria berambut ikal itu dengan santai.“Berarti Bang Satrio sama sekali tidak pernah pergi ke diskotek dan klub malam?” Isha menatap suaminya lekat.Satrio menggeleng. “Jujur saja Abang pernah ke diskotek dan klub malam waktu SMA dan kuliah. Biasalah, diajak teman-teman nongkrong pas weekend. Tapi ga setiap minggu Abang pergi, paling sebulan sekali atau dua kali,” akunya.Isha cukup terkejut mendengar pengakuan suaminya. Namun dia bisa memaklumi apalagi hal itu dilakukan saat suaminya dalam masa pencarian jati diri. “Berarti Bang Satrio dulu sering mi
“Surya belum kembali, Pak?” Satrio bertanya pada Baskoro saat mereka bertemu di restoran hotel untuk makan siang. Dia tak melihat pria itu datang bersama Baskoro, Lina, dan juga Vita. Wajah adik iparnya juga terlihat sendu, tak ceria seperti biasanya.Baskoro menggeleng. “Belum. Bapak, Ibu, dan Vita sudah menghubungi dia berulang kali tapi hapenya tidak aktif. Kirim pesan juga cuma centang satu,” jawabnya lesu.Satrio mengangguk. Dalam hati dia merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa sang adik ipar. “Nanti saya coba bantu cari Surya, Pak. Sekarang kita makan siang dulu.” Pria berambut ikal itu mengajak sang mertua duduk di kursi yang berhadapan dengan Krisna."Suaminya Vita mana kok ga ikut ke sini?" tanya Laksmi yang belum tahu kalau Surya pergi. Satrio memang tidak memberi tahu keluarganya karena itu privasi keluarga Isha. Dia tak berhak menyebarluaskan tanpa minta izin pada keluarga istrinya terlebih dahulu."Surya ada keperluan jadi pulang dulu, Bu." Baskoro yang menjawab per
“Maksudmu apa, Vit? Jangan sembarangan bicara! Ibu saja terakhir bertemu Surya tadi malam dan tidak bicara apa-apa.” Lina memandang putri kandungnya dengan tatapan heran.“Ibu memang ga bicara sama Mas Surya, tapi sama aku,” tukas Vita.“Terus gimana ceritanya kamu bisa nyalahin Ibu?” Kerutan di kening Lina semakin dalam.“Gara-gara Ibu ngomong menyesal menjebak Mbak Isha dengan Bang Satrio, dan juga kebahagiaan bisa didapat dengan harta bukan cinta. Aku jadi bilang sama Mas Surya kalau harusnya kami ga nikah dulu sebelum keadaan ekonomi stabil, ga kaya sekarang mau apa-apa ga punya uang. Setelah itu Mas Surya marah dan pergi ninggalin aku,” jawab Vita.“Lagian kenapa kamu ngomong seperti itu sama Surya, Vit? Bukannya kamu yang minta cepat-cepat nikah sama minta dibeliin rumah? Kamu juga selalu ga mau keluar uang kalau mau apa-apa. Wajar kalau Surya marah,” timpal Lina yang tak mau disalahkan begitu saja.“Tapi itu ‘kan gara-gara Ibu ngomong lebih baik aku nikah sama Bang Satrio darip
“Beb, aku ingin kita extend satu hari lagi di sini,” ucap Vita pada suaminya saat mereka duduk menyandar di tempat tidur sambil menonton televisi.“Memangnya kamu sudah bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio?” Surya balik bertanya.Vita menggeleng. “Maksudku kita pakai uang sendiri, Beb. Kalau bilang sama Mbak Isha pasti ga dibolehin sama dia. Ntar aku dibilang ga tahu diri.”Surya menghela napas panjang. “Beb, ingat ‘kan kita harus nabung buat biaya lahiran? Nambah menginap semalam di sini itu lumayan lho harganya. Belum untuk makan. Kalau kamu masih mau extend, ya bilang sama Mbak Isha atau Bang Satrio, siapa tahu mereka mau membantu,” timpalnya.Vita mengerucutkan bibir. “Harusnya kita ga usah nikah dulu kalau kondisi ekonomi belum stabil. Mau apa-apa selalu ga ada uang,” keluhnya.Rahang Surya seketika mengeras. Dia mencengkeram lengan Vita dan membuat istrinya itu menatapnya. “Kamu menyesal nikah sama aku? Siapa yang dulu minta dinikahi cepat-cepat dan minta beli rumah? Aku udah
Satrio sontak menghentikan kegiatannya, lantas balas menatap sang belahan jiwa. “Astaghfirullah. Bukan seperti, Dek. Jangan salah paham,” sanggahnya cepat. “Kayanya Abang pernah cerita kalau Abang naksir Dek Isha sudah lama. Jauh sebelum kita digerebek warga. Abang pindah ke kontrakan yang dekat sama rumah Bapak ‘kan biar bisa sering melihat dan ketemu Dek Isha. Cuma memang Abang ga mau terang-terangan kelihatan lagi pedekate,” beber Satrio. “Alasan Abang mau menikah dengan Dek Isha tentu saja karena cinta. Kalau ga cinta, Abang ga akan mau. Mending Abang diusir dari kontrakan daripada dipaksa menikah sama orang yang ga Abang cintai,” sambung pria berambut ikal itu. Dia meraih kedua tangan istrinya lalu menggenggamnya erat. “Dan secara kebetulan, kriteria yang disyaratkan Kakek ada dalam diri Dek Isha. Demi Allah, Abang cinta sama Dek Isha sejak pertama kali Abang melihat Dek Isha. Sebenarnya Abang sedang menyusun rencana untuk melamar Dek Isha, eh malah sudah keduluan digerebek wa
Vita sependapat kalau hidup itu tidak hanya butuh cinta karena yang paling penting punya harta. Kalau modal cinta tanpa harta, gimana mau bahagia? Terbukti sekarang, dia harus menahan diri kalau ingin sesuatu karena Surya tak bisa memenuhi keinginannya. Salahnya juga dahulu memaksa Surya membeli rumah biar setelah menikah menikah bisa tinggal di rumah sendiri. Nyatanya sampai sekarang malah rumah yang dibeli belum jadi.Wanita yang sedang hamil muda itu menghela napas. “Belum tentu juga Bang Satrio mau nikah sama aku, Bu,” ucapnya kemudian.“Pasti maulah. Buktinya pas digerebek sama Isha langsung mau dia. Asal warga kompak minta kalian nikah, pasti Satrio mau. Ibu benar-benar menyesal. Harusnya kamu yang datang ke kontrakan Satrio, bukan Isha.” Lina kembali menyesali apa yang sudah dia lakukan beberapa bulan yang lalu.“Ibu ‘kan yang merencanakan semuanya, aku cuma ikut saja. Waktu itu kita sengaja pergi ke rumah Mas Surya sampai malam biar Mbak Isha tidak bisa masuk rumah. Ibu yang
“Pegal juga berdiri dan salaman sama banyak orang. Belum lagi harus terus tersenyum, bibir ikutan pegal,” keluh Lina begitu bertemu dengan Vita.“Ya, mau gimana lagi, Bu. Tamunya ‘kan jauh lebih banyak dari resepsiku dulu. Setidaknya Ibu ‘kan bisa salaman dan foto sama presiden dan wakilnya,” sahut Vita yang coba membangkitkan semangat sang ibu.Lina seketika tersenyum kala ingat apa yang dikatakan putrinya. “Ibu harus minta foto waktu bareng Pak Presiden dan Wakil Presiden nih sama fotografernya,” cetusnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling hall.“Ibu, cari siapa?” kepo Vita.“Cari fotografer. Kamu lihat ga, Vit? Ibu mau cepat-cepat pamer,” aku wanita paruh baya itu.“Mungkin lagi makan, Bu. Coba tanya aja sama timnya yang lagi beresin perlengkapan mereka,” timpal Vita seraya menunjuk seorang pria dengan kemeja yang bagian belakangnya bertuliskan nama sang fotografer.“Ibu ke sana dulu ya.” Lina pun gegas bangkit dan pergi menghampiri pria tersebut.“Ibu mau ke mana itu, Vit?
“Bang, beneran itu tadi Pak Presiden?” Isha berbisik pada Satrio saat sang kepala negara sudah meninggalkan pelaminan.Satrio mengangguk. “Kenapa memangnya, Dek?” “Ga nyangka aja bisa ketemu Pak Presiden. Dulu cuma bisa lihat di TV, sekarang bisa salaman, malah didoakan juga tadi,” jawab Isha dengan wajah semringah. Sebagai warga biasa tentu saja dia merasa bangga dan bahagia bisa bertemu langsung dengan presiden.Pria berambut ikal itu tersenyum. “Ke depannya kita akan sering bertemu beliau, wapres, dan menteri-menteri, Dek,” ucapnya.Isha menutup mulut dengan tangan begitu mendengar ucapan suaminya. “Beneran, Bang?” tanyanya kemudian.Satrio mengangguk. “Dek, itu tamu-tamu sudah mulai naik. Ayo, siap-siap salaman lagi.” Dia menunjuk barisan tamu yang mulai berjalan kembali. Mereka tadi dihentikan oleh satuan keamanan untuk memberi waktu pada presiden memberi selamat pada orang tua dan kedua mempelai.Sementara itu di sisi lain hall, Vita dan Surya duduk di kursi yang disediakan khu
Wajah Satrio yang awalnya semringah langsung berubah datar begitu mendengar suara wanita tadi. “Bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Seingatku tidak ada undangan untukmu,” cecar Satrio.Wanita itu tersenyum lebar. “Kamu lupa kalau circle pertemanan kita sama? Aku tinggal datang dengan yang dapat undangan. Gampang ‘kan?” ucapnya santai.“Untuk apa kamu datang ke sini?” Satrio menatap wanita itu tajam.“Tentu saja aku ingin melihat wanita yang bisa meluluhkan hatimu," aku wanita tersebut dengan jujur. "Dia yang bersamamu di restoran waktu itu 'kan?” “Siapa wanita yang kunikahi bukan urusanmu!” timpal Satrio dengan ketus.“Tentu saja jadi urusanku. Karena dia, kamu sudah tidak mau lagi dekat denganku,” tukas wanita berpakaian seksi itu dengan penuh percaya diri.Satrio tersenyum sinis. “Dengar ya, Gwen! Dari dulu sampai sekarang aku sama sekali tidak tertarik denganmu. Aku bersikap baik padamu hanya sebagai bentuk sopan santun. Tidak lebih!” tandasnya.“Sebaiknya kamu segera pergi atau ak