Isha merenung sambil membersihkan wajah saat Satrio ke kamar mandi. Apakah dia sudah bersikap keterlaluan pada pria itu hanya karena pipinya tiba-tiba dicium? Kalau dipikir-pikir Satrio sudah melakukan banyak hal untuknya sejak mereka menikah sementara bisa dibilang dia tidak melakukan apa-apa untuk suaminya.Sebagai istri sebenarnya Isha sudah zalim pada Satrio karena belum juga memberikan haknya. Apa pantas dirinya marah hanya karena ciuman di pipi? Seperti yang Satrio katakan tadi kalau dia bisa saja memaksa Isha untuk memenuhi haknya, tapi pria itu tidak melakukannya. Satrio bahkan bersedia menunggu dirinya sampai siap, walau entah kapan itu akan terjadi.Isha mendesah. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Harusnya dia tidak perlu semarah itu pada Satrio karena suaminya berhak atas dirinya. Toh yang dilakukan juga tidak melanggar norma dan agama. Justru dirinya yang jadi berdosa karena menolak disentuh suaminya.Gadis berusia 25 tahun itu memandang suaminya yang baru masuk ke kamar
Isha sontak membelalakkan mata begitu mendengar pertanyaan suaminya. Tak mengira Satrio langsung menanyakan hal itu padahal niatnya hanya untuk meminta maaf. Tentu saja dia belum siap menyerahkan diri sepenuhnya pada pria yang sudah menghalalkannya itu. Namun lidahnya kelu saat tatapan Satrio begitu menusuk ke dalam jiwanya. Pria berambut ikal itu tak menunjukkan senyum sedikit pun. Wajahnya tampak serius. Membuat Isha jadi semakin gugup dan salah tingkah."Apa diamnya Dek Isha berarti Abang boleh mendapatkan hak sebagai suami malam ini?" Satrio kembali bertanya pada istrinya dengan nada tegas dan dingin."A-aku sedang haid, Bang." Isha akhirnya bisa menjawab meskipun dengan terbata-bata."Apa itu berarti kalau Dek Isha tidak haid, Abang boleh memintanya?" Satrio butuh kepastian."So-al itu, bisa kita bicarakan lain waktu 'kan, Bang? Sekarang soal permintaan maafku yang tadi. Apa Bang Satrio mau memaafkan aku?" Isha berusaha mengalihkan pembicaraan mereka kembali ke awal. "Bagaimana
Isha memandang suaminya dengan penuh rasa penasaran. "Bang Satrio, mau ngomong apa?"Pria berambut ikal itu berdeham terlebih dahulu sebelum bicara. "Sebenarnya Abang ga marah sama Dek Isha. Tadi Abang tidur dulu karena badan Abang capek banget. Hari ini Abang banyak kegiatan di kantor. Maaf ya, sudah membuat Dek Isha salah paham," ungkapnya."Jujur saja tadi Abang kaget karena Dek Isha tiba-tiba minta maaf. Setelah mendengar penjelasan Dek Isha, Abang jadi ingin tahu sejauh mana keseriusan Dek Isha karena itu Abang mengajukan syarat. Alhamdulillah, Abang bersyukur karena Dek Isha benar-benar serius meminta maaf," akunya.Satrio menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya lalu menyelipkan di belakang telinga Isha. "Mulai detik ini, mau 'kan Dek Isha menerima Abang sepenuh hati?" tanyanya seraya menatap lekat mata Isha."Bang Satrio sendiri apa sudah menerimaku sepenuh hati?" Isha balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan sang suami.Satrio mengangguk. "Sejak kita meni
“Sudah azan tuh, Bang. Sana buruan ke masjid biar tidak telat!” Isha gegas mendorong Satrio keluar dari kamar karena tidak mau menjawab pertanyaan suaminya. Semesta sedang berpihak padanya sebab setelah pria berambut ikal itu mengajukan pertanyaan, azan Subuh berkumandang dari masjid dekat rumah.Satrio tertawa melihat sikap istrinya yang jadi salah tingkah. Menggemaskan sekali, membuatnya ingin semakin menggoda. Namun panggilan dari Tuhannya lebih utama. “Abang ke masjid dulu. Assalamu’alaikum,” ucapnya sebelum berangkat ke masjid.“Wa’alaikumussalam,” balas Isha. Gadis itu menghela napas lega begitu Satrio menutup pintu kamar. “Untung saja azan, jadi aku tidak perlu menjawab pertanyaan Bang Satrio,” ucapnya sambil mengelus dada beberapa kali.“Bisa-bisanya Bang Satrio tanya kaya gitu. Lagian kenapa juga aku sampai tanya mimpi basahnya sampai sedetail itu. Bego banget sih aku.” Isha memukul kepalanya sendiri karena menyadari hal bodoh yang dilakukannya.“Eh, tapi benar apa tidak ya
“Bang, aku kasihan sama Bapak kalau harus menanggung biaya pernikahan Vita sendiri.” Isha berbicara dengan Satrio saat mereka sudah berbaring di atas tempat tidur dan bersiap tidur.“Terus gimana? Dek Isha, mau bantu Bapak?” Satrio memandang sang istri yang berbantal lengan kanannya.Isha mendesah. “Aku juga tidak punya uang, Bang. Tabunganku cuma berapa juta, buat uang muka katering juga tidak cukup.”“Kalau mau ditambah pakai tabungan Abang juga tidak apa-apa, Dek,” timpal Satrio.Isha seketika menoleh pada suaminya. “Tabungan Bang Satrio ‘kan tinggal lima juta, kalau ditambah sama tabunganku ga sampai sepuluh juta, Bang. Tapi nanti kita jadi tidak punya tabungan sama sekali.”“Dek Isha, doakan saja semoga Abang dapat proyek untuk bangun rumah baru. Memang jumlahnya ga banyak, tapi lumayan kalau buat tambah-tambah,” lontar pria berambut ikal itu.“Aamiin,” sahut Isha seraya mengusap wajah dengan telapak tangan.“Dek Isha, beneran mau membantu Bapak?” Satrio memastikan.“Inginnya git
“Dek, dengarkan penjelasan Abang dulu. Jangan langsung tidak setuju begitu. Abang belum selesai bicara, Dek Isha sudah menyahut saja.” Satrio mengelus pipi istrinya seraya memberikan senyum manisnya.“Ya udah, sekarang Bang Satrio jelaskan. Aku akan diam,” timpal gadis berusia 25 tahun itu.“Abang itu dapat hadiah dari yang punya proyek, Dek. Waktu bos Abang tahu kalau Abang sudah nikah, dia kasih hadiah voucher menginap di hotel selama dua hari. Terserah mau dipakai kapan saja. Katanya biar kita bisa bulan madu,” jelas Satrio.“Oh gitu ceritanya. Kirain pakai uang sendiri, Bang. Kalau gitu ya, aku mau.” Isha meringis karena malu sudah berprasangka buruk pada suaminya.Pria berambut ikal itu menghela napas lega. “Alhamdulillah kalau Dek Isha mau. Besok Abang bilang sama bos Abang kalau mau pakai voucer itu.”“Memangnya Bang Satrio belum menerima voucernya?” tanya Isha.Satrio menggeleng. “Ya belum, Dek. Abang ‘kan harus tanya dulu sama Dek Isha mau apa tidak. Takutnya Abang sudah neri
Vita mendengkus mendengar ucapan kakak tirinya. “Jangan sok tahu, Mbak! Mas Surya mau bantu kok biaya resepsinya,” balasnya dengan sengit.“Syukur deh kalau mau bantu, jadi Bapak tidak menanggung sendiri. Tapi harusnya kamu senang dong, bukan malah cemberut gitu. Apa karena Surya cuma mau bantu sedikit?” Isha kembali menggoda sang adik tiri.“Sok tahu banget sih, Mbak! Keluarga Mas Surya itu kaya, ga mungkin bantu sedikit. Memangnya suami Mbak yang cuma kasih tiga puluh juta sama Ibu?” Vita terpaksa berbohong agar tidak diledek kakak tirinya.Isha tersenyum sinis. “Bang Satrio ‘kan ngasihnya sesuai permintaan Ibu. Itu pun masih sisa uangnya. Memangnya Surya mau ngasih berapa? Lima puluh juta?” cecarnya.“Kepo banget sih. Nanti juga Mbak tahu berapa yang dikasih Mas Surya. Yang jelas lebih dari suami Mbak yang pengangguran itu,” balas Vita dengan sewot.“Dek, ke sini sebentar bantu Abang cari baju.” Satrio memanggil istrinya yang akan menanggapi Vita. Dia sengaja melakukannya agar tida
Surya meneguk saliva mendengar ucapan Vita. Memang rumah kedua orang tuanya terlihat megah dan mewah karena rumah itu dibangun saat usaha papanya masih berjalan lancar dan dalam masa keemasannya. Namun sekarang usahanya sudah tidak selancar dahulu, malah bisa dibilang redup. Penghasilannya juga tidak tentu.Kalau saja usaha papanya masih sebagus dahulu, tentu Surya tak akan bekerja di perusahaan lain. Lebih baik dia meneruskan usaha orang tuanya daripada menjadi bawahan orang.Banyak yang mengira keluarganya masih sekaya dahulu setelah melihat penampakan rumah mereka. Padahal dalam keseharian, hidupnya biasa saja. Bahkan mereka tidak punya asisten rumah tangga yang membantu membersihkan atau mengurus rumah sebab tidak mampu menggaji. Karena itu pula, mereka tidak mau menggelar resepsi pernikahan Surya dan Vita dengan dalih pihak laki-laki biasanya tidak melakukan hal tersebut.“Tidak semua yang kelihatan itu sama seperti yang dipikirkan orang, Beb,” lontar Surya.Vita mengernyit. “Mak
“Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re
"Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m
"Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci