Isha menghampiri Satrio yang sudah menunggunya di depan toko. Dari atas sepeda motor, pria itu tersenyum menyambut kedatangan istrinya. Dia mengulurkan tangan kanan begitu Isha tiba di samping motornya.“Maaf ya, Bang, agak lama nunggunya. Tadi toko ramai jadi bantu teman yang shift siang dulu,” ucap Isha sesudah mencium punggung tangan suaminya.“Gapapa, Dek. Abang akan menunggu selama apa pun itu,” timpal Satrio sambil tetap memasang senyum di wajah tampannya.“Pakai helm ya karena kita nanti lewat jalan besar.” Pria berambut ikal itu memasangkan helm di kepala Isha kemudian mengancingkan kaitan talinya.Jantung Isha jadi berdetak semakin kencang karena tindakan suaminya itu. Padahal dia bisa memakai helm sendiri, tapi malah Satrio melakukan untuknya.“Naik, Dek,” titah Satrio setelah membuka kedua pijakan kaki belakang untuk istrinya.“Ya, Bang.” Isha pun naik ke atas motor dan duduk di belakang Satrio.“Pegangan, Dek, biar ga jatuh.” Satrio menarik kedua tangan Isha lalu melingkar
Satria sontak menoleh pada istrinya. “Dari teman kerja, Dek. Dia tanya Abang sudah sampai mana,” terangnya.“Abang sudah ditunggu ya sama temannya?” tebak Isha.Pria berambut ikal itu menggeleng. “Enggak. Santai saja, Dek. Lagian kita sudah dekat kok,” timpalnya. “Abang habisin makan dulu ya.” Satrio kembali menyantap makan siangnya yang tinggal beberapa sendok.Setelah menandaskan makanan dan minumannya, Satrio membayar pada pemilik warteg. Dia dan Isha pun kembali menyusuri jalanan. Lagi-lagi pria itu meminta sang istri melingkarkan tangan di perutnya.Tak sampai lima menit, Satrio menghentikan motor di sebuah kompleks perumahan yang baru dibangun beberapa unit.“Ini rumah siapa, Bang?” tanya Isha setelah turun dari motor.“Rumah orang, Dek,” jawab Satrio. “Ayo ikut, Dek. Biar tahu apa kerjaan Abang.”Pria itu menyapa dan berbicara dengan para pekerja yang ada di sana. Isha mengikuti ke mana suaminya melangkah. Dia merasa canggung berada di antara para pria yang mengangguk saat bert
Satrio merasa miris mendengar istrinya selalu bertanya apa dia punya uang setiap kali mau melakukan sesuatu. Seolah-olah uang adalah sesuatu yang jarang dipunya. Apa mungkin karena dia pernah hanya punya uang seratus ribu di dompet saat mereka digerebek warga tempo hari, jadi Isha terus bertanya soal itu?“Insya Allah ada kalau untuk mengajak Dek Isha nonton dan beli popcorn di bioskop,” ucapnya kemudian.“Ya udah, kalau ada gapapa, Bang. Tapi jangan dipaksakan kalau uang Bang Satrio mepet,” sahut Isha.“Aman, Dek. Tenang saja. Jadi kita jalan ke bioskop ya sekarang.” Satrio pun mengarahkan motornya ke bioskop yang ada di salah satu mal setelah Isha menyetujuinya.Setelah memarkirkan motor, Satrio menggandeng tangan Isha saat berjalan masuk ke mal. Mereka kemudian naik ke lantai di mana salah satu jaringan bioskop terbesar di Indonesia berada. Sesudah memilih film yang akan ditonton, Satrio membeli minuman dan popcorn sebagai camilan saat menonton film.Pegangan tangan Isha pada Satri
“Ya, Bu. Lain waktu saya akan mengajak Dek Isha belanja di butik dan makan di restoran mahal,” sahut Satrio. “Kalau tidak punya uang tidak usah bermimpi terlalu tinggi, Sat. Kasihan Isha kalau cuma kamu beri harapan palsu,” tukas Lina. “Insya Allah saya tidak akan memberi Dek Isha harapan palsu,” timpal pria berambut ikal itu. Lina tak mengatakan apa pun, hanya memberi senyum sinis pada Satrio.“Kami ke kamar dulu, Bu,” pamit Satrio karena sudah malas meladeni mertuanya lagi. “Kalau kalian mau makan, masak sendiri. Ibu tidak masak karena Vita dan Surya mau membawakan makanan dari restoran,” lontar Lina.“Kami tidak makan, Bu.” Kali ini Isha yang menimpali.“Terserah kalian mau makan atau tidak. Yang penting Ibu sudah kasih tahu kalau tidak masak malam ini. Jangan sampai kamu ngadu sama Bapak gara-gara kelaparan karena tidak makan,” sergah wanita paruh baya itu.“Ya, Bu.” Satrio langsung menarik istrinya masuk ke kamar agar tidak menanggapi Lina lagi. Mereka pulang dalam keadaan ha
Satrio lekas menggeleng. “Buat apa malu, Dek. Itu ‘kan pekerjaan yang halal. Abang takut Dek Isha yang malu karena pekerjaan Abang tidak sekeren pacarnya Vita yang kerja di kantor dengan gaji tinggi,” kilahnya.“Aku malu?” Isha menunjuk dirinya sendiri lantas menggeleng. “Enggaklah. Ngapain malu? Aku ‘kan juga cuma karyawan toko biasa, Bang. Aku sama sekali tidak pernah memimpikan punya suami yang kerja kantoran, yang penting punya kerjaan jelas dan halal. Bisa untuk menafkahi aku dan anak-anak kami. Kalau dapat lebih dari itu ya alhamdulillah, kalau tidak ya tidak apa-apa,” tandasnya.“Jadi karena itu Dek Isha sangat ingin tahu kerjaan Abang apa?” Satrio memandang istrinya.Isha mengangguk. “Iya, Bang. Aku tidak mau makan dari uang yang tidak jelas halal haramnya. Apalagi Bang Satrio bisa punya uang banyak dalam sekejap. Siapa yang tidak curiga?”Satrio tersenyum mendengar kejujuran istrinya. “Sekarang ‘kan Dek Isha sudah tahu pekerjaan dan saldo tabungan Abang. Apa Dek Isha sudah pe
“Bang, sebenarnya mau minta apa sih?” Isha lama-lama merasa kesal karena Satrio tak juga mengatakan apa permintaannya. Sejak tadi ucapan pria itu terus menggantung.“Kalau Bang Satrio tidak segera ngomong, aku tinggal tidur nih,” ancam Isha yang sudah sangat mengantuk. Dia menarik selimut, menutupi kaki sampai perut lalu merebahkan diri. Gadis itu merapal doa sebelum memejamkan mata.Satrio mengacak rambutnya karena merasa frustrasi. Pria itu kemudian merebah di samping sang istri. Dia memiringkan badan hingga menghadap pada Isha yang berbaring telentang."Dek, apa boleh Abang memeluk Dek Isha saat kita tidur?" Satrio akhirnya mengungkapkan keinginannya. Selama ini mereka memang tidur bersisian tapi sama sekali tidak melakukan apa pun selain mengobrol. Itu pun hanya bicara seperlunya. Isha juga lebih sering tidur memunggungi Satrio daripada telentang. Setelah pembicaraan mereka tadi, pria berambut ikal itu ingin ada kemajuan dalam hubungan mereka. Karena itu dia memberanikan menyatak
“Is, nanti malam keluarga Surya mau datang ke sini melamar Vita. Kamu tidak kerja ‘kan?” Baskoro bertanya pada putri pertamanya saat mereka makan pagi bersama.“Engga, Pak. Hari ini aku masuk pagi,” jawab Isha.“Syukurlah. Kalau kamu gimana, Sat? Tidak ada kegiatan ‘kan malam ini?” Baskoro beralih pada menantunya.“Pengangguran seperti Satrio ya jelas tidak ada kegiatan, Pak.” Lina terlebih dahulu menimpali suaminya sebelum pria berambut ikal itu menjawab.“Bang Sat—” Belum selesai Isha berbicara, Satrio sudah memotongnya.“Insya Allah, saya tidak ada kegiatan, Pak,” tukas Satrio cepat sebelum istrinya membalas ucapan Lina.“Bagus, jadi kalian bisa ikut menyambut keluarga Surya yang melamar sekaligus perkenalan keluarga,” ujar Baskoro.“Bapak ga malu mengenalkan Isha dan Satrio sama keluarga Surya? Tidak ada yang dibanggakan dari mereka berdua, Pak. Isha cuma karyawan toko, sementara Satrio entah dia punya kerjaan atau tidak.” Lina menentang niat suaminya.Tangan Isha yang tidak memega
Saat Isha dan Satrio pulang, di depan rumah Baskoro sudah terpasang tenda dengan rumbai berwarna putih. Seperti orang yang akan mengadakan hajatan besar. Beda sekali dengan saat mereka menikah yang hanya menggunakan tenda dan kursi biasa.Satrio memarkirkan motor di luar agar tidak mengganggu aktivitas orang-orang yang sedang menata meja, kursi serta memasang berbagai hiasan. Dekorasi lamaran Vita sudah seperti para artis saja yang dihiasi dengan berbagai macam bunga. Meskipun hanya bunga palsu, tetap saja terlihat lebih mewah dari acara syukuran pernikahan Isha dan Satrio beberapa waktu yang lalu.“Kalian baru pulang?” sapa Baskoro kala melihat anak dan menantunya memasuki ruang tamu.“Iya, Pak,” sahut Isha sebelum menyalami sang bapak.“Ya sudah. Kalian istirahat dulu. Nanti habis Magrib siap-siap,” titah pria paruh baya itu.Isha menghela napas panjang begitu masuk ke kamar. Diletakkannya tas di atas meja rias lalu duduk di depannya.“Dek, nanti pakai baju ini ya.” Satrio menyerahk
“Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re
"Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon
“Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau
Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel
Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be
"Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su
“Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada
"Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m
"Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci