Share

Bab 4

“Dek, bagaimana?” Pertanyaan Satrio membuat kesadaran Isha kembali.

Gadis itu kembali menatap Satrio. Dia masih merasa bimbang.

“Apa Dek Isha ragu?” Satrio berusaha menyelami perasaan gadis di depannya melalui mata bening yang memandangnya.

Isha mengangguk pelan. “Maaf, Bang. Semua ini terlalu mendadak. Aku—aku belum bisa memutuskan,” ungkapnya sambil menunduk.

Satrio menghela napas panjang. “Abang ngerti, Dek. Pernikahan kita mendadak. Kita juga tidak saling cinta. Apalagi pekerjaan Abang tidak jelas. Wajar kalau Dek Isha merasa ragu.”

“Maaf, Bang.” Isha jadi merasa tak enak hati.

“Bagaimana kalau kita jalani saja dulu, Dek? Anggap saja kita baru jadian dan sekarang sedang pacaran.” Satrio menawarkan opsi baru. “Abang tidak akan meminta hak sebagai suami sampai Dek Isha yakin dengan pernikahan kita,” imbuhnya.

Isha berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, tapi Bang Satrio jangan terlalu berharap sama aku.”

Pria berambut ikal itu mengulum senyum. “Terima kasih, Dek.”

***

“Sebaiknya kalian segera mengesahkan pernikahan ke KUA,” lontar Baskoro pada Isha dan Satrio saat mereka duduk bersama di ruang makan.

“Kenapa harus cepat-cepat, Pak?” Isha tampak keberatan. Dia saja belum yakin dengan pernikahannya masa sudah harus diresmikan.

“Biar segera tercatat secara negara. Kalau nanti kamu hamil dan melahirkan, tidak perlu repot lagi mengurusnya,” jawab pria paruh baya itu.

Meskipun masih belum menerima sepenuhnya Satrio sebagai menantu, tapi Baskoro tidak ingin putri sulungnya itu dipermainkan. Kalau sudah nikah secara negara, Satrio tidak bisa meninggalkan Isha begitu saja.

“Nanti-nanti juga tidak apa-apa, Pak. Nunggu Dek Isha ada waktu saja,” cetus Satrio.

“Is, kamu bisa ‘kan izin kerja sehari atau dua hari buat ngurus ke KUA?” Baskoro memandang putri sulungnya.

Isha mendengkus. “Ya, nanti aku sama Bang Satrio ke KUA, Pak. Ga perlu izin kerja karena aku masuk siang,” tukasnya.

“Walaupun kalian baru nikah siri, harusnya tetap bagi-bagi makanan atau kue ke tetangga biar mereka tahu kalau kalian sudah menikah. Tidak kumpul kebo.” Lina memotong pembicaraan suami dan anak tirinya.

“Tapi Bapak sama Ibu sedang tidak punya uang, suamimu punya ‘kan, Is?” tanyanya sambil melirik Satrio dengan pandangan merendahkan.

“Saya akan usahakan, Bu. Tapi tidak sekarang, karena saya sama sekali tidak pegang uang.” Satrio menimpali ibu mertuanya.

“Halah! Tidak usah sok punya uang. Kalau tidak punya bilang saja. Kamu pikir Ibu sama Bapak tidak tahu kamu pengangguran, Sat?” cibir Lina dengan tatapan yang semakin meremehkan.

“Jangan sampai kamu utang pinjol apalagi mencuri ya! Bikin kami malu saja kalau sampai kejadian!” sergah wanita paruh baya itu.

“Insya Allah tidak, Bu.” Satrio tetap santai menanggapi ibu mertuanya meskipun sudah dipandang rendah. “Kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan untuk itu, Bu?” tanyanya.

Lina tampak berpikir sejenak. “Kalau satu keluarga harganya 50 ribu, jumlah tetangga di sini sekitar 100 kepala keluarga jadi totalnya lima juta. Syukur-syukur bisa lebih untuk cadangan, siapa tahu ada yang kelewat,” jawabnya.

“Sekalian sama uang buat belanja harian. Karena kalian tinggal di sini otomatis pengeluaran untuk makan jadi bertambah sementara uang belanja dari Bapak tetap. Makanya kalian cukup makan sama sayur dan tempe. Ibu hanya mampu beli satu ayam untuk Vita,” sambung wanita paruh baya itu.

Saat Isha dan Satrio baru bergabung di ruang makan tadi, Lina memang memberikan sepotong ayam goreng untuk Vita. Sementara yang lain diberi lauk tempe goreng.

“Insya Allah nanti malam saya berikan sekalian, Bu,” timpal Satrio.

Isha sekilas melirik suaminya yang tampak tenang. Dalam hati dia merasa khawatir, dari mana Satrio akan mendapat uang sebanyak itu. Sementara uang di dompet Satrio saja semalam hanya seratus ribu, itu pun diberikan untuknya sebagai mahar.

Uang tabungan yang disisihkan setiap bulan saja belum mencapai lima juta karena Isha juga memberikan sebagian gajinya pada Lina agar tidak terus-terusan disindir menumpang hidup tanpa tahu berterima kasih. Baskoro tidak tahu hal itu sebab Lina menyindir Isha saat suaminya tidak ada di rumah.

“Vit, katanya pacarmu mau naik jabatan ya?” Lina bertanya pada putrinya, sengaja memanas-manasi Isha dan Satrio.

“Iya, Bu. Makanya Mas Surya mau secepatnya melamar dan menikahi aku, tapi ‘kan tidak boleh sama Bapak karena Mbak Isha belum nikah,” jawab Vita seraya melirik kakak tirinya dengan kesal.

“Sekarang ‘kan Isha sudah nikah meskipun karena digerebek warga. Harusnya Bapak ngizinin kamu nikah,” timpal Lina.

“Vita sudah boleh nikah ‘kan, Pak?” Dia beralih pada suaminya.

Baskoro menghela napas panjang. “Iya, tapi tunggu setidaknya dua atau tiga bulan biar ada jeda. Bapak juga sambil mengumpulkan uang biar Isha dan Vita bisa resepsi bersama,” ucapnya.

“Aku tidak perlu resepsi, Pak. Sudah sah saja cukup,” tukas Isha. Dia tidak mau membebani bapaknya dengan pesta pernikahan. Toh gadis itu juga belum yakin dengan pernikahannya.

“Tuh, Pak. Isha saja tidak mau resepsi. Lagian siapa yang mau diundang sama mereka? Isha cuma pegawai toko, Satrio malah pengangguran. Beda sama Vita dan Surya yang kerja kantoran, pasti banyak teman yang akan mereka undang, termasuk bosnya,” sergah Lina yang tak pernah lelah merendahkan anak tiri dan menantunya.

“Iya, Pak. Aku mau mengundang teman-temanku dari SD sampai kuliah, sama teman-teman kantor. Mas Surya juga banyak temannya. Apalagi kenalannya banyak bos-bos perusahaan. Pokoknya kalau aku nikah, resepsiku harus mewah dan meriah. Jangan sampai malu-maluin,” lontar Vita.

“Calon suamimu ‘kan orang kaya minta saja dibuatkan pesta mewah sama keluarganya. Jangan membebani Bapak minta dibuatkan yang tidak sesuai kemampuan kita!” cetus Isha.

Vita melirik kakak tirinya itu dengan kesal. “Bilang saja Mbak Isha iri sama aku karena aku punya banyak teman. Tadi saja Bapak bilang sedang mengumpulkan uang untuk resepsi kita. Karena Mbak Isha tidak mau, ya berarti buat aku saja ‘kan?”

“Ya, tapi kamu tahu ‘kan gaji Bapak tidak seberapa. Kamu yang gajinya lebih besar harusnya sudah punya tabungan buat nikah. Tidak lagi memberatkan orang tua. Ibu saja tadi bilang tidak punya uang untuk bagi-bagi makanan ke tetangga,” tukas Isha.

“Hakku dong gajiku mau dipakai buat apa. Kenapa Mbak Isha jadi ngatur? Memangnya Mbak Isha nikah pake modal sendiri? Modal digerebek warga saja bangga,” sinis Vita.

“Heh! Jaga ya mulutmu!” Isha menuding Vita dengan emosi. Dia tidak terima direndahkan oleh adik tirinya itu.

“Isha! Vita! Cukup!” Baskoro memukul meja makan dengan keras. “Kalian ini pagi-pagi sudah ribut! Kakak adik itu harusnya yang akur. Jangan bertengkar terus!”

Pria paruh baya itu memandang kedua anaknya bergantian. “Kalau Bapak dan Ibu sudah tidak ada kalian mau sama siapa kalau sama saudara sendiri tidak akur?”

“Vita yang mulai, Pak,” timpal Isha.

“Sudah, Dek. Sabar. Tidak usah diladeni.” Satrio coba menenangkan istrinya.

“Bang Satrio lebih belain Vita daripada aku?” Isha meninggalkan meja makan lalu masuk ke kamar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status