Share

Bab 4

Penulis: Kokoro No Tomo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-16 17:25:57

“Dek, bagaimana?” Pertanyaan Satrio membuat kesadaran Isha kembali.

Gadis itu kembali menatap Satrio. Dia masih merasa bimbang.

“Apa Dek Isha ragu?” Satrio berusaha menyelami perasaan gadis di depannya melalui mata bening yang memandangnya.

Isha mengangguk pelan. “Maaf, Bang. Semua ini terlalu mendadak. Aku—aku belum bisa memutuskan,” ungkapnya sambil menunduk.

Satrio menghela napas panjang. “Abang ngerti, Dek. Pernikahan kita mendadak. Kita juga tidak saling cinta. Apalagi pekerjaan Abang tidak jelas. Wajar kalau Dek Isha merasa ragu.”

“Maaf, Bang.” Isha jadi merasa tak enak hati.

“Bagaimana kalau kita jalani saja dulu, Dek? Anggap saja kita baru jadian dan sekarang sedang pacaran.” Satrio menawarkan opsi baru. “Abang tidak akan meminta hak sebagai suami sampai Dek Isha yakin dengan pernikahan kita,” imbuhnya.

Isha berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, tapi Bang Satrio jangan terlalu berharap sama aku.”

Pria berambut ikal itu mengulum senyum. “Terima kasih, Dek.”

***

“Sebaiknya kalian segera mengesahkan pernikahan ke KUA,” lontar Baskoro pada Isha dan Satrio saat mereka duduk bersama di ruang makan.

“Kenapa harus cepat-cepat, Pak?” Isha tampak keberatan. Dia saja belum yakin dengan pernikahannya masa sudah harus diresmikan.

“Biar segera tercatat secara negara. Kalau nanti kamu hamil dan melahirkan, tidak perlu repot lagi mengurusnya,” jawab pria paruh baya itu.

Meskipun masih belum menerima sepenuhnya Satrio sebagai menantu, tapi Baskoro tidak ingin putri sulungnya itu dipermainkan. Kalau sudah nikah secara negara, Satrio tidak bisa meninggalkan Isha begitu saja.

“Nanti-nanti juga tidak apa-apa, Pak. Nunggu Dek Isha ada waktu saja,” cetus Satrio.

“Is, kamu bisa ‘kan izin kerja sehari atau dua hari buat ngurus ke KUA?” Baskoro memandang putri sulungnya.

Isha mendengkus. “Ya, nanti aku sama Bang Satrio ke KUA, Pak. Ga perlu izin kerja karena aku masuk siang,” tukasnya.

“Walaupun kalian baru nikah siri, harusnya tetap bagi-bagi makanan atau kue ke tetangga biar mereka tahu kalau kalian sudah menikah. Tidak kumpul kebo.” Lina memotong pembicaraan suami dan anak tirinya.

“Tapi Bapak sama Ibu sedang tidak punya uang, suamimu punya ‘kan, Is?” tanyanya sambil melirik Satrio dengan pandangan merendahkan.

“Saya akan usahakan, Bu. Tapi tidak sekarang, karena saya sama sekali tidak pegang uang.” Satrio menimpali ibu mertuanya.

“Halah! Tidak usah sok punya uang. Kalau tidak punya bilang saja. Kamu pikir Ibu sama Bapak tidak tahu kamu pengangguran, Sat?” cibir Lina dengan tatapan yang semakin meremehkan.

“Jangan sampai kamu utang pinjol apalagi mencuri ya! Bikin kami malu saja kalau sampai kejadian!” sergah wanita paruh baya itu.

“Insya Allah tidak, Bu.” Satrio tetap santai menanggapi ibu mertuanya meskipun sudah dipandang rendah. “Kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan untuk itu, Bu?” tanyanya.

Lina tampak berpikir sejenak. “Kalau satu keluarga harganya 50 ribu, jumlah tetangga di sini sekitar 100 kepala keluarga jadi totalnya lima juta. Syukur-syukur bisa lebih untuk cadangan, siapa tahu ada yang kelewat,” jawabnya.

“Sekalian sama uang buat belanja harian. Karena kalian tinggal di sini otomatis pengeluaran untuk makan jadi bertambah sementara uang belanja dari Bapak tetap. Makanya kalian cukup makan sama sayur dan tempe. Ibu hanya mampu beli satu ayam untuk Vita,” sambung wanita paruh baya itu.

Saat Isha dan Satrio baru bergabung di ruang makan tadi, Lina memang memberikan sepotong ayam goreng untuk Vita. Sementara yang lain diberi lauk tempe goreng.

“Insya Allah nanti malam saya berikan sekalian, Bu,” timpal Satrio.

Isha sekilas melirik suaminya yang tampak tenang. Dalam hati dia merasa khawatir, dari mana Satrio akan mendapat uang sebanyak itu. Sementara uang di dompet Satrio saja semalam hanya seratus ribu, itu pun diberikan untuknya sebagai mahar.

Uang tabungan yang disisihkan setiap bulan saja belum mencapai lima juta karena Isha juga memberikan sebagian gajinya pada Lina agar tidak terus-terusan disindir menumpang hidup tanpa tahu berterima kasih. Baskoro tidak tahu hal itu sebab Lina menyindir Isha saat suaminya tidak ada di rumah.

“Vit, katanya pacarmu mau naik jabatan ya?” Lina bertanya pada putrinya, sengaja memanas-manasi Isha dan Satrio.

“Iya, Bu. Makanya Mas Surya mau secepatnya melamar dan menikahi aku, tapi ‘kan tidak boleh sama Bapak karena Mbak Isha belum nikah,” jawab Vita seraya melirik kakak tirinya dengan kesal.

“Sekarang ‘kan Isha sudah nikah meskipun karena digerebek warga. Harusnya Bapak ngizinin kamu nikah,” timpal Lina.

“Vita sudah boleh nikah ‘kan, Pak?” Dia beralih pada suaminya.

Baskoro menghela napas panjang. “Iya, tapi tunggu setidaknya dua atau tiga bulan biar ada jeda. Bapak juga sambil mengumpulkan uang biar Isha dan Vita bisa resepsi bersama,” ucapnya.

“Aku tidak perlu resepsi, Pak. Sudah sah saja cukup,” tukas Isha. Dia tidak mau membebani bapaknya dengan pesta pernikahan. Toh gadis itu juga belum yakin dengan pernikahannya.

“Tuh, Pak. Isha saja tidak mau resepsi. Lagian siapa yang mau diundang sama mereka? Isha cuma pegawai toko, Satrio malah pengangguran. Beda sama Vita dan Surya yang kerja kantoran, pasti banyak teman yang akan mereka undang, termasuk bosnya,” sergah Lina yang tak pernah lelah merendahkan anak tiri dan menantunya.

“Iya, Pak. Aku mau mengundang teman-temanku dari SD sampai kuliah, sama teman-teman kantor. Mas Surya juga banyak temannya. Apalagi kenalannya banyak bos-bos perusahaan. Pokoknya kalau aku nikah, resepsiku harus mewah dan meriah. Jangan sampai malu-maluin,” lontar Vita.

“Calon suamimu ‘kan orang kaya minta saja dibuatkan pesta mewah sama keluarganya. Jangan membebani Bapak minta dibuatkan yang tidak sesuai kemampuan kita!” cetus Isha.

Vita melirik kakak tirinya itu dengan kesal. “Bilang saja Mbak Isha iri sama aku karena aku punya banyak teman. Tadi saja Bapak bilang sedang mengumpulkan uang untuk resepsi kita. Karena Mbak Isha tidak mau, ya berarti buat aku saja ‘kan?”

“Ya, tapi kamu tahu ‘kan gaji Bapak tidak seberapa. Kamu yang gajinya lebih besar harusnya sudah punya tabungan buat nikah. Tidak lagi memberatkan orang tua. Ibu saja tadi bilang tidak punya uang untuk bagi-bagi makanan ke tetangga,” tukas Isha.

“Hakku dong gajiku mau dipakai buat apa. Kenapa Mbak Isha jadi ngatur? Memangnya Mbak Isha nikah pake modal sendiri? Modal digerebek warga saja bangga,” sinis Vita.

“Heh! Jaga ya mulutmu!” Isha menuding Vita dengan emosi. Dia tidak terima direndahkan oleh adik tirinya itu.

“Isha! Vita! Cukup!” Baskoro memukul meja makan dengan keras. “Kalian ini pagi-pagi sudah ribut! Kakak adik itu harusnya yang akur. Jangan bertengkar terus!”

Pria paruh baya itu memandang kedua anaknya bergantian. “Kalau Bapak dan Ibu sudah tidak ada kalian mau sama siapa kalau sama saudara sendiri tidak akur?”

“Vita yang mulai, Pak,” timpal Isha.

“Sudah, Dek. Sabar. Tidak usah diladeni.” Satrio coba menenangkan istrinya.

“Bang Satrio lebih belain Vita daripada aku?” Isha meninggalkan meja makan lalu masuk ke kamar.

Bab terkait

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 5

    Satrio menyusul Isha ke kamar lalu duduk di samping istrinya. "Ngapain Bang Satrio ke sini?" tanya Isha sambil bersedekap. Dia kesal sekali pada suaminya itu. Satrio menghela napas panjang. "Dek, bukan maksud Abang membela Vita. Abang hanya tidak ingin Dek Isha ribut dengan Vita apalagi di depan Bapak. Kasihan Bapak nanti jadi tambah pikiran." Dia memberi pengertian pada istrinya. "Vita yang mulai duluan, Bang. Aku 'kan cuma menimpali." Isha membela diri. "Iya, Abang tahu. Biar saja orang bicara apa, yang penting kita tahu kebenarannya bagaimana. Kalau meladeni semua orang, nanti Dek Isha capek sendiri," timpal Satrio. Isha mendengkus. Dia merubah posisi duduknya jadi membelakangi Satrio. Pria berambut ikal sebahu itu bangkit. Melangkah lantas berlutut di depan Isha. "Abang minta maaf sudah membuat Dek Isha kesal. Mau 'kan memaafkan Abang?" tanyanya seraya menatap lekat istrinya. Melihat ketulusan dan kesungguhan Satrio, gadis itu pun mengangguk walau masih sedikit kesal. Satr

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-16
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 6

    "Ibu boleh tahu karena itu bukan rahasia. Tapi sekarang sudah malam, jadi ditunda besok saja sekalian sama Bapak. Dek Isha juga capek karena baru pulang dari kerja. Kami permisi ke kamar dulu, Bu." Satrio menarik tangan sang istri lantas mengajaknya masuk kamar. "Itu tadi Bang Satrio ngasih ibu uang sepuluh juta?" Isha memastikan saat mereka sudah di dalam kamar. Satrio mengangguk. "Iya, Dek. Buat berbagi makanan sama belanja." "Kebanyakan itu, Bang. Nanti sisanya pasti diambil Ibu," protes Isha seraya meletakkan tasnya di atas meja rias. "Gapapa. Anggap saja uang lelah buat Ibu yang sudah mengurus semuanya." Satrio kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah dari sana. "Ini untuk ganti uang yang tadi Abang pinjam, Dek." Dia menyerahkan uang itu pada Isha. "Tidak usah dikembalikan, Bang. Lagian aku juga tidak punya kembalian." Isha tidak mau menerima uang tersebut. Satrio menggeleng. Dia meraih tangan Isha lantas meletakkan uang itu di atas

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-27
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 7

    Tangan kiri Isha mengepal. Menahan kesal karena ucapan ibu tirinya. “Mau ini perhiasan asli atau palsu, yang penting Bang Satrio punya niat baik memberikan aku perhiasan, Bu,” balasnya. Lina mencebik. “Kalau Ibu sih alergi pakai perhiasan palsu. Bisa gatel-gatel dan merah kulit Ibu. Beda sama kulitmu itu, pakai perhiasan asli bisa jadi malah alergi karena biasa pakai yang palsu,” ledeknya.“Ibu, bisa tidak sekali saja tidak merendahkan aku atau Bang Satrio?” Isha lama-kelamaan tidak bisa menahan emosinya.Lina memandang anak tirinya itu dengan tatapan meremehkan. “Terus aku harus menyanjung kalian begitu? Apa yang harus aku sanjung kalau tidak ada kelebihan yang kalian miliki? Beda sama Vita dan Surya yang punya gaji besar dan kerja di perusahaan ternama. Ibu bisa membangga-banggakan mereka,” tukasnya.“Kamu saja cuma jadi karyawan toko biasa dengan gaji kecil. Terus suamimu si Satrio itu, entah punya kerjaan apa tidak. Setiap hari cuma keluyuran saja tidak pernah kelihatan kerja. Ap

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-27
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 8

    Satrio membalikkan badan lantas berjalan ke tempat tidur. Dia duduk di sana kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya. Memberi tanda agar sang istri duduk di sisinya.Isha pun menurut meski belum mendapat jawaban dari suaminya. Satrio kemudian mengubah posisi duduknya agar menghadap istrinya.“Apa Dek Isha ragu perhiasan yang Abang beri palsu?” tanya Satrio dengan lembut dan tenang.Wanita yang masih mengenakan gamis dan kerudung putih itu tak bersuara. Dia sendiri bingung karena tidak tahu bagaimana membedakan perhiasan asli dan palsu sebab tak pernah memakai perhiasan selain yang diberikan oleh bapak atau ibu tirinya. Itu juga hanya anting-anting yang menghiasi telinganya waktu masih sekolah.Melihat istrinya yang diam dan terlihat bingung, Satrio meraih tangan Isha lantas menggenggamnya. “Insya Allah semua perhiasan itu asli, Dek. Mana mungkin Abang ngasih barang palsu ke istri sendiri. Kalau Dek Isha masih tidak percaya, besok Abang mintakan nota pembeliannya. Dek Isha nanti bi

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-28
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 9

    “Dia memang tinggal di sini, tapi kalau urusan utang jangan sangkut pautkan dengan kami karena kami tidak tahu apa-apa. Saya panggilkan istrinya saja biar dia tahu bagaimana kelakuan suaminya yang sok berduit itu padahal hanya utang sana sini.” Tanpa memberi kesempatan pada dua orang itu untuk bicara, Lina pun gegas memanggil anak tirinya yang ada di kamar. “Is, cepat keluar! Ada yang cari suamimu!” teriak Lina di depan kamar sang anak tiri. Tak berapa lama pintu kamar itu dibuka dari dalam dan muncul Isha yang masih mengenakan mukena karena dia baru saja salat Isya. “Ada apa, Bu?” tanyanya. “Mana suamimu?” Bukannya menjawab, Lina malah balik bertanya. “Bang Satrio ke masjid untuk salat Isya, Bu,” jawab Isha. “Ada dua orang yang cari suamimu di depan. Dari penampilannya kaya debt collector, Is. Pakaian mereka hitam-hitam, terus badannya juga gede-gede. Ibu ngeri lihatnya,” papar Lina. “Hah! Debt collector?” Isha tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Selama ini Satrio selalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-29
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 10

    Satrio yang sedang melepas baju koko, mengernyit mendengar pertanyaan istrinya. "Kenapa Dek Isha berpikir mereka debt collector?""Eum, itu tadi Ibu yang ngomong kalau mereka debt collector, Bang. Makanya aku tanya benar apa tidak," jelas Isha.Pria berambut ikal itu tersenyum. "Tentu saja bukan. Mereka teman kerja Abang," terangnya. “Lagian Abang juga tidak punya utang. Apa yang mau ditagih?” tambahnya."Abang sebenarnya kerja apa sih?" Karena Satrio menyinggung soal pekerjaan, Isha menanyakannya sekalian."Nanti kalau sudah saatnya, Abang kasih tahu. Sekarang masih belum waktunya. Yang jelas pekerjaan Abang halal," tukas Satrio. "Dek Isha, mau pesan apa buat makan malam?" tanyanya kemudian."Terserah, Bang Satrio, saja," sahut Isha tak bersemangat. Gadis itu kecewa karena Satrio tidak mau memberi tahu pekerjaannya. Padahal apa susahnya bilang, biar dia tidak punya prasangka buruk pada suaminya. Walaupun bukan pekerja kantoran seperti pacar adik tirinya, tidak masalah untuk Isha."Ab

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-29
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 11

    Isha seketika mendongak dan memandang suaminya. "Maaf kenapa, Bang?" tanyanya dengan alis bertaut."Abang minta maaf karena sudah membuat Dek Isha menunggu lama sampai kelaparan. Abang juga minta maaf kalau lauk yang Abang beli tidak sesuai seleranya, Dek Isha. Abang tidak tahu kesukaannya Dek Isha apa, jadi tadi Abang samakan dengan yang lain," jawab Satrio sembari menatap lekat istrinya."Oh, soal itu. Kirain apa. Aku yang harusnya minta maaf karena tadi sudah bersikap buruk sama Bang Satrio. Soal lauk, aku tidak masalah kok. Bang Satrio tenang saja,” timpal Isha seraya mengulas senyum di wajah cantiknya.Satrio menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Abang khawatir Dek Isha marah karena sejak tadi diam,” ungkapnya.“Kalau makan ‘kan tidak boleh banyak bicara biar tidak tersedak, Bang.” Isha beralasan.Satrio tersenyum. “Ya udah, dilanjut makannya, Dek. Setelah makan, Abang mau bicara,” ucapnya sebelum kembali menyuapkan nasi padang dan rendang ke dalam mulut.Pasangan pengant

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-30
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 12

    Satrio terkesiap saat istrinya kembali menanyakan soal asal uang yang dipakai untuk membeli perhiasan. Untung saja dia cepat bisa menguasai diri jadi tidak kelihatan terkejut. “Itu ambil dari uang tabungan Abang, Dek. Hasil kerja Abang selama bertahun-tahun,” akunya.“Tabungan Bang Satrio banyak ya sampai ratusan juta?” Isha masih terus bertanya.“Dek Isha, mau tahu jumlah tabungan Abang?” Satrio balik bertanya tanpa menjawab istrinya.Isha menggeleng. “Enggak. Kalaupun aku mau tahu pasti Bang Satrio juga tidak akan memberi tahu. Aku tanya pekerjaan saja Abang tidak mau mengaku, apalagi jumlah tabungan.”Jawaban Isha membuat Satrio tersentak. Memang benar apa yang dikatakan oleh istrinya. Dia memang masih merahasiakan banyak hal dari wanita yang sudah dinikahinya itu. Namun Satrio punya alasan kenapa melakukannya. Menurutnya sekarang belum waktunya Isha tahu.“Maafkan Abang, Dek.” Hanya itu yang bisa Satrio katakan.Isha menghela napas panjang. Merasa sangat kecewa pada Satrio yang ti

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-31

Bab terbaru

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 197

    “Beb, Sabtu besok kita diundang syukuran empat bulanan hamilnya Mbak Isha sekaligus syukuran rumah. Kamu bisa ikut ‘kan?” Vita bicara pada Surya yang sedang asyik berbalas pesan di gawainya padahalSurya menoleh pada istrinya. “Jam berapa? Sabtu besok aku ada rapat persiapan reuni lagi,” ucapnya.“Pagi, jam 9.00. Bisa ‘kan?” Vita memandang suaminya dengan penuh harap.“Bisa, tapi aku paling sebentar. Setor muka aja soalnya teman-teman janjiannya jam 10.00 pagi,” timpal Surya yang kembali asyik dengan gawainya.“Emang ga bisa ya telat datang rapatnya atau izin sehari aja ga ikut? Kamu tuh setiap minggu rapat terus. Apa aja sih yang dibahas sampai harus setiap Sabtu dan Minggu rapatnya?” protes Vita.“Karena setiap Sabtu dan Minggu kamu pergi, kita itu sampai ga punya waktu buat berdua, Mas,” sambung wanita yang sedang hamil itu.“Kita ‘kan setiap hari ketemu, Vit. Tiap malam tidur bareng. Berangkat dan pulang kerja juga selalu bareng. Lima hari loh kita bersama terus,” sahut Surya.“Re

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 196

    "Apa? Yang benar, Pak?" sergah Lina tak percaya."Silakan Ibu tanya pada teman saya yang lain, kalau ibu tidak percaya," timpal sang penjaga keamanan."Tapi, ga mungkin itu Satrio. Penampilannya saja beda banget. Satrio itu rambutnya gondrong setelinga, terus ikal gitu. Ga klimis kaya tadi." Lina masih saja menyangkal kenyataan."Silakan Ibu mau percaya atau tidak. Tapi apa yang saya katakan itu benar," tukas penjaga keamanan tadi.“Bu Baskoro ini gimana sih? Masa tidak kenal sama menantunya sendiri. Itu tadi sebenarnya Satrio apa bukan?” celetuk salah satu ibu-ibu.“Kayanya bukan, Bu. Tadi Pak Satpam ‘kan manggilnya Pak Bhumi, bukan Pak Satrio,” timpal yang lainnya."Benar apa yang dikatakan teman Ibu itu. Bukankah tadi Ibu mengaku mertuanya Pak Bhumi? Tapi Ibu sama sekali tidak kenal waktu Pak Bhumi lewat. Pak Bhumi pun tidak menyapa Ibu, padahal beliau jelas tahu Ibu berdiri di sini. Sudahlah, Bu, tidak usah menipu kami dengan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti tadi," lon

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Ban 195

    “Beberapa hari ini kok rumahnya sepi, Bu? Pulang ke kampung ya?” tanya pemilik warung pada Lina saat sedang belanja di sana.Lina tersenyum. “Bukan ke kampung, Bu, tapi ke puncak. Menantu saya ngajak staycation di vila miliknya,” jawabnya dengan penuh rasa bangga.“Suaminya Vita ya, yang ngajak,” tebak seorang tetangga yang juga sedang belanja di warung tersebut. Sepengetahuan para tetangga, keluarga Surya adalah orang berada karena Lina sering memuji suami Vita saat belanja di warung.Lina menggeleng. “Bukan, Bu. Tapi Satrio, suaminya Isha,” ungkapnya.“Apa? Satrio yang pengangguran itu, Bu?” seru salah satu ibu-ibu yang terkejut mendengar ucapan Lina.Istri Baskoro itu mengangguk. “Iya. Ibu-ibu pasti kaget ‘kan?” tanyanya sambil melayangkan pandangan pada ibu-ibu yang sedang belanja di sana dan dijawab dengan anggukan oleh mereka.“Saya juga kaget waktu tahu siapa sebenarnya Satrio,” ucap Lina sambil tersenyum menyeringai.“Memangnya siapa sebenarnya Satrio, Bu? Artis sinetron atau

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 194

    Surya masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Berjaga-jaga kalau Vita tiba-tiba menyusul ke kamar. Setelah memastikan keadaan aman, Surya pun mengambil ponsel pintarnya yang ada di saku celana.“Ke, kenapa kamu telepon? Kamu tahu ‘kan aku lagi ngumpul sama keluarga istriku?” cecar Surya begitu menerima panggilan di gawainya.“Aku ‘kan khawatir sama kamu, Ya. Tadi katanya mau ngabarin kalau udah nyampai puncak. Tapi kamu sama sekali ga ngabarin aku. Pesanku juga ga kamu buka, apalagi dibalas. Makanya aku telepon biar aku tahu di mana posisimu sekarang.” Ike beralasan.Surya mendesah. “Sori, aku lupa. Tadi begitu nyampe, aku langsung tidur. Aku nyampe sini tadi sekitar jam empat. Aku sekarang lagi barbekuan sama keluarga istriku dan kakak iparku. Udah ya, Ke. Aku ga bisa lama-lama ngomong sama kamu.” Tanpa menunggu tanggapan dari Ike, Surya mengakhiri panggilan tersebut. Suami Vita itu lantas menonaktifkan ponselnya agar Ike tak lagi menghubunginya. Dia memasukkan ponselnya ke tas ransel

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 193

    Vita terkejut saat bangun karena pinggangnya terasa berat. Begitu tahu kalau tangan Surya yang menindih tubuhnya, Vita pun tersenyum. Wanita itu kemudian memutar badannya hingga berhadapan dengan sang suami tercinta. “Kamu kok sweet banget sih, Beb,” ucap Vita sambil menyentuh wajah suaminya.Surya yang merasa terganggu tidurnya karena mendapat sentuhan, lantas membuka mata. “Sudah bangun, Beb?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.Vita mengangguk. “Jam berapa nyampe? Kok ga ngabarin kalau mau ke sini?” Dia menatap lekat wajah yang sangat dirindukannya itu.“Sekitar jam empat. Emang sengaja ga ngabarin biar jadi kejutan,” timpal Surya sambil meringis. “Kamu pasti terkejut ‘kan. Hayo ngaku!” sambungnya.Wanita yang sedang hamil itu kembali mengangguk. “Aku benar-benar terkejut sih, Beb. Kirain tadi Ibu yang pindah tidur di sini. Tapi aku bingung, kok pakai meluk pinggang segala? Ibu ‘kan ga pernah meluk pinggangku kalau tidur bareng. Setelah kulihat kok ternyata tanganmu, Be

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 192

    "Ga mampir ngopi dulu, Ya?" tanya Ike saat Surya menghentikan mobil di depan pintu lobi bangunan apartemen dan tidak masuk ke area parkir.Surya menggeleng. "Makasih. Lain kali aja, Ke," sahutnya sambil menurunkan kaca jendela pintu yang dibuka oleh petugas yang berjaga di depan lobi."Oke. Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau udah nyampe," pesan Ike sebelum turun dari mobil."Siap. Aku pergi dulu," pamit Surya setelah Ike turun dan menutup pintu mobil.Ike melambaikan tangan saat kendaraan milik Surya itu meninggalkan kompleks apartemennya. Setelah mobil tak terlihat lagi, dia baru masuk ke lobi lantas berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai sepuluh di mana unitnya berada.Surya memutuskan menyusul Vita ke puncak untuk mengurangi rasa bersalahnya karena sejak semalam sampai tadi, Ike terus menempel padanya. Wanita itu bahkan tak malu bergelayut manja di lengannya saat berkumpul dengan teman-teman kuliah mereka. Memang tidak semua teman kuliahnya tahu kalau dia su

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 191

    “Vit, ayo pergi.” Lina menarik putrinya yang tak bergerak dan terus memandangi kakak iparnya padahal mereka sudah berpamitan pada Isha dan Satrio. Baskoro pun sudah beranjak dari taman samping.“Bu, aku ga jadi ikut aja.” Vita coba melepas tangan sang ibu yang menarik lengannya.“Kenapa ga jadi ikut?” Lina mengerutkan kening melihat sikap Vita. “Jangan punya pikiran aneh-aneh, Vit! Mending kamu ikut aja. Bapak sudah nungguin di mobil.” Lina tetap menarik putri kandungnya itu menuju mobil yang akan membawa mereka ke kebun teh.“Ibu kenapa sekarang maksa aku ikut sih,” protes Vita saat sedang berjalan menghampiri mobil yang sudah menanti mereka.“Mau ngapain juga kamu di sini sendirian? Mau jadi obat nyamuk buat Isha sama Satrio? Nanti galau lagi karena ga ada Surya,” lontar Lina dengan frontal.Vita mendengkus mendengar ucapan sang ibu yang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Isha dan Satrio pasti terus berduaan. Mereka seperti ga pernah terpisah sebentar saja. Di mana ada Isha pasti ada

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 190

    "Dek, renang yuk." Satrio mengajak Isha usai mereka menjalankan salat Duha sendiri-sendiri di kamar."Airnya dingin banget ga, Bang?" tanya Isha sambil melipat mukenanya.Satrio yang sedang melepas baju koko, menggeleng. "Ga terlalu, Dek. Ini 'kan udah agak siang. Matahari juga udah nongol dari tadi," jawabnya."Tapi aku ga bawa baju renang, Bang," lontar Isha seraya meletakkan alat salatnya di atas meja."Coba dicek dulu, Dek. Harusnya ada karena kemarin Abang masukin baju renang ke koper," timpal Satrio.Isha tampak terkejut. "Serius, Bang Satrio, masukin baju renang ke koper? Kok aku ga tahu sih?" ucapnya dengan kening yang mengerut."Abang masukin waktu Dek Isha lagi mandi kayanya," cakap Satrio sambil mengingat-ingat saat melakukannya."Masa sih?" Isha kemudian membuka koper pakaian mereka. Dia memang tak mengeluarkan pakaian dari koper dan menatanya di lemari karena semalam sudah capek setelah tiba di vila. Mau dikeluarkan semua juga tanggung karena tinggal semalam lagi mereka m

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 189

    "Kalau Bapak sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh atau ke mana, bilang saja sama Pak Kasno biar diantar ke sana, Pak." Satrio bicara pada Baskoro kala mereka bersantai di taman samping yang menghadap kolam renang setelah mereka makan pagi bersama."Memangnya kamu dan Isha tidak jalan-jalan?" Baskoro menoleh pada menantunya.Satrio menggeleng. "Dek Isha, ga mau, Pak. Katanya jalan-jalannya di sekitar sini saja karena sudah pernah ke kebun teh waktu saya ajak ke sini tempo hari," jelasnya.Baskoro menganggut. "Ya sudah, nanti Bapak tanya sama Ibu mau jalan-jalan ke kebun teh apa tidak," timpalnya."Mumpung libur ga ada salahnya jalan-jalan, Pak. Biar pikiran jadi lebih segar. Saya lihat Bapak ‘kan juga jarang bepergian kalau libur. Soal tiket masuk dan lainnya, ga usah dipikirkan. Pokoknya Bapak sama Ibu nanti tinggal berangkat saja dan nikmati liburannya," lontar pria berambut ikal itu."Wah, bapak jadi ga enak, Sat. Semua kamu yang menanggung. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah menci

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status