Share

Bab 5

last update Last Updated: 2024-07-16 17:33:37

Satrio menyusul Isha ke kamar lalu duduk di samping istrinya.

"Ngapain Bang Satrio ke sini?" tanya Isha sambil bersedekap. Dia kesal sekali pada suaminya itu.

Satrio menghela napas panjang. "Dek, bukan maksud Abang membela Vita. Abang hanya tidak ingin Dek Isha ribut dengan Vita apalagi di depan Bapak. Kasihan Bapak nanti jadi tambah pikiran." Dia memberi pengertian pada istrinya.

"Vita yang mulai duluan, Bang. Aku 'kan cuma menimpali." Isha membela diri.

"Iya, Abang tahu. Biar saja orang bicara apa, yang penting kita tahu kebenarannya bagaimana. Kalau meladeni semua orang, nanti Dek Isha capek sendiri," timpal Satrio.

Isha mendengkus. Dia merubah posisi duduknya jadi membelakangi Satrio.

Pria berambut ikal sebahu itu bangkit. Melangkah lantas berlutut di depan Isha. "Abang minta maaf sudah membuat Dek Isha kesal. Mau 'kan memaafkan Abang?" tanyanya seraya menatap lekat istrinya.

Melihat ketulusan dan kesungguhan Satrio, gadis itu pun mengangguk walau masih sedikit kesal.

Satrio tersenyum. "Terima kasih, Dek. Oh ya, gimana kalau sekarang kita ke KUA biar tidak kesiangan?" usulnya kemudian.

"Aku saja belum yakin sama pernikahan ini, masa sudah harus ke KUA," gerutu Isha.

"Apa Dek Isha mau mengecewakan Bapak?" tanya Satrio.

Isha menggeleng. "Enggak, Bang. Aku ingin membahagiakan Bapak."

"Kalau begitu kita harus pergi ke KUA seperti yang Bapak minta," ujar Satrio.

"Ya udah, aku siap-siap dulu. Abang tunggu di luar ya, aku mau ganti baju," pinta Isha.

***

“Apa Bang Satrio beneran mau ngasih Ibu lima juta?” tanya Isha saat mereka dalam perjalanan menuju KUA.

“Insya Allah akan Abang usahakan, Dek. Jangan khawatir!” sahut Satrio.

“Aku ada sedikit tabungan kalau misalnya kurang, Bang. Dipakai saja tidak apa-apa,” imbuh Isha setelah mengingat uang di dompet suaminya hanya tinggal seratus ribu, itu pun juga diberikan untuknya sebagai mahar.

“Tidak usah, Dek. Uangnya disimpan saja untuk tabungan. Insya Allah Abang ada untuk ngasih ke Ibu,” timpal Satrio dengan tenang.

“Kalau kurang bilang saja, Bang. Aku ikhlas kok,” desak Isha.

“Insya Allah tidak akan kurang. Dek Isha, tenang saja.” Satrio kembali menenangkan istrinya.

“Bang Satrio tidak perlu memberi Ibu tambahan uang belanja karena setiap bulan aku udah ngasih ke Ibu setelah gajian,” lontar Isha.

“Gapapa, Dek. Abang ‘kan juga numpang makan di rumah. Kasihan Ibu kalau nanti uang belanjanya kurang,” ujar Satrio.

Isha menghela napas panjang. "Kalau tidak punya, jangan dipaksakan, Bang."

"Tenang saja, Dek. Insya Allah ada," sahut Satrio.

Pasangan pengantin baru itu akhirnya tiba di KUA. Mereka disambut baik oleh petugas di sana. Setelah menyatakan maksud kedatangannya, petugas KUA itu menjelaskan masing-masing syarat untuk mengajukan isbat nikah dan nikah di KUA. Sesudahnya menyerahkan keputusan pada sejoli itu mau mengajukan yang mana.

“Apa boleh kami bicarakan dulu dengan keluarga, Pak?” tanya Satrio pada petugas KUA.

“Tentu saja, silakan. Memang lebih baik dimusyawarahkan dulu dengan keluarga,” jawab petugas tersebut.

Satrio dan Isha lantas pamit dan meninggalkan KUA. Tak lama kemudian Satrio menghentikan motor di pinggir jalan. Dia juga turun dari motor.

"Kenapa berhenti, Bang?" Isha merasa penasaran.

Satrio meringis. "Bensinnya habis, Dek. Indikator bahan bakarnya rusak. Abang tadi in juga lupa ngecek," jawabnya.

"Ya udah, gapapa." Isha pun turun dari motor.

Satrio kemudian mendorong motor sambil mencari penjual BBM.

"Dek, boleh Abang pinjam lima puluh ribu dulu buat beli bensin? Nanti malam Abang ganti. Abang mau ambil uang, tapi di sini tidak ada mesin ATM.” Satrio terpaksa meminjam uang meskipun jadi tak enak hati pada wanita yang baru kemarin dinikahinya itu.

Isha mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari dompet lalu menyerahkan pada Satrio. “Pakai saja, Bang. Tidak usah diganti. Kita 'kan perginya bersama,” ucapnya seraya mengulas senyum.

“Terima kasih, Dek. Abang pasti ganti uangnya,” cakap Satrio usai menerima uang dari istrinya.

Setelah berjalan sekitar satu kilometer, akhirnya mereka berhenti di depan pom mini.

“Bang, tolong diisi penuh,” pinta Satrio pada penjaga pom mini.

“Kita mau langsung pulang atau mampir ke mana dulu, Dek?” tanya Satrio sesudah motor bebeknya kembali menyala dan keduanya duduk di atas jok.

“Pulang saja, Bang. Aku mau istirahat dulu sebelum nanti masuk kerja,” jawab Isha.

“Siap, Dek. Nanti Abang yang antar dan jemput ya, sekalian Abang ada perlu di luar,” lontar Satrio.

“Ya, Bang,” jawab Isha.

***

“Assalamu’alaikum,” salam Isha setelah membuka pintu rumah. Dia mengernyit karena lampu ruang tamu masih menyala padahal sudah hampir pukul sepuluh malam. Biasanya saat gadis itu pulang kerja shift siang, lampu sudah dipadamkan.

“Wa’alaikumussalam,” balas Lina yang duduk di kursi ruang tamu sambil bersedekap.

“Ibu belum tidur?” tanya Isha setelah menyalami ibu tirinya.

“Kalau sudah, siapa yang akan menjaga pintu depan? Nanti kamu tidak bisa masuk lagi kaya kemarin gara-gara tidak punya kunci rumah,” jawab Lina dengan ketus.

“Kalau begitu, besok pagi saya duplikat kuncinya biar tidak merepotkan Ibu,” cetus Satrio yang menyusul di belakang Isha. Dia pun ikut menyalami ibu mertuanya.

Lina langsung mengusap tangannya yang disalami Satrio ke daster kembang-kembang yang dikenakannya. Seolah-olah ada noda yang ditinggalkan Satrio di sana.

“Mana uang yang kamu janjikan tadi pagi, Sat?” Lina langsung menagih tanpa basa-basi.

“Para tetangga sudah bergunjing karena kita tidak bagi-bagi makanan padahal kamu dan Isha sudah nikah biarpun karena digerebek warga,” cibirnya.

“Sebentar, Bu.” Satrio membuka tas pinggang, lantas mengeluarkan satu bundel uang pecahan seratus ribu.

“Ini untuk bagi-bagi makanan dan uang belanja, Bu. Semoga cukup.” Satrio menyerahkan uang tersebut pada ibu mertuanya.

Mata Lina membelalak melihat uang tersebut. Dia tidak menduga Satrio punya uang sebanyak itu. Tahu begitu tadi pagi dia meminta lebih. Namun wanita paruh baya itu tetap menampakkan wajah sinis saat menerima uang tersebut. “Kamu tidak ngutang pinjol atau nyuri ‘kan?” tanyanya.

“Insya Allah aman, Bu. Itu uang halal hasil kerja saya. Tidak mungkin saya memberikan uang tidak halal pada keluarga istri saya. Tidak berkah nanti,” jawab Satrio sambil tetap tersenyum.

Lina mengernyit. “Hasil kerja? Memangnya kamu kerja apa? Jadi tukang ojek, tukang parkir apa tukang bangunan?” cecarnya.

“Ehm, itu ....” Satrio mengusap tengkuknya. Bingung harus mengatakan apa.

“Bu, Bapak sudah pulang apa belum?” Isha mengalihkan pembicaraan karena tak enak hati pada Satrio yang terus disudutkan ibu tirinya.

“Belum. Kenapa memangnya?” Lina masih tetap ketus meskipun sudah mendapat uang yang tidak sedikit dari Satrio.

“Ada yang mau aku dan Bang Satrio bicarakan sama Bapak,” ungkap Isha.

“Apa memangnya yang mau kamu bicarakan? Bicara saja sama Ibu biar nanti Ibu sampaikan pada Bapak kalau sudah pulang,” sergah Lina.

“Besok pagi saja, Dek. Ini sudah malam.” Satrio mengingatkan istrinya.

“Kenapa harus sama Bapak langsung? Memangnya Ibu tidak boleh tahu?” hardik Lina.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Kokoro No Tomo
terima kasih, Kak
goodnovel comment avatar
Kasmin U Bobihu
lanjut makin adyik
goodnovel comment avatar
Elios EliosBengkulu
Dasar ibu tiri mataduitan nggak tau malu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 6

    "Ibu boleh tahu karena itu bukan rahasia. Tapi sekarang sudah malam, jadi ditunda besok saja sekalian sama Bapak. Dek Isha juga capek karena baru pulang dari kerja. Kami permisi ke kamar dulu, Bu." Satrio menarik tangan sang istri lantas mengajaknya masuk kamar. "Itu tadi Bang Satrio ngasih ibu uang sepuluh juta?" Isha memastikan saat mereka sudah di dalam kamar. Satrio mengangguk. "Iya, Dek. Buat berbagi makanan sama belanja." "Kebanyakan itu, Bang. Nanti sisanya pasti diambil Ibu," protes Isha seraya meletakkan tasnya di atas meja rias. "Gapapa. Anggap saja uang lelah buat Ibu yang sudah mengurus semuanya." Satrio kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah dari sana. "Ini untuk ganti uang yang tadi Abang pinjam, Dek." Dia menyerahkan uang itu pada Isha. "Tidak usah dikembalikan, Bang. Lagian aku juga tidak punya kembalian." Isha tidak mau menerima uang tersebut. Satrio menggeleng. Dia meraih tangan Isha lantas meletakkan uang itu di atas

    Last Updated : 2024-07-27
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 7

    Tangan kiri Isha mengepal. Menahan kesal karena ucapan ibu tirinya. “Mau ini perhiasan asli atau palsu, yang penting Bang Satrio punya niat baik memberikan aku perhiasan, Bu,” balasnya. Lina mencebik. “Kalau Ibu sih alergi pakai perhiasan palsu. Bisa gatel-gatel dan merah kulit Ibu. Beda sama kulitmu itu, pakai perhiasan asli bisa jadi malah alergi karena biasa pakai yang palsu,” ledeknya.“Ibu, bisa tidak sekali saja tidak merendahkan aku atau Bang Satrio?” Isha lama-kelamaan tidak bisa menahan emosinya.Lina memandang anak tirinya itu dengan tatapan meremehkan. “Terus aku harus menyanjung kalian begitu? Apa yang harus aku sanjung kalau tidak ada kelebihan yang kalian miliki? Beda sama Vita dan Surya yang punya gaji besar dan kerja di perusahaan ternama. Ibu bisa membangga-banggakan mereka,” tukasnya.“Kamu saja cuma jadi karyawan toko biasa dengan gaji kecil. Terus suamimu si Satrio itu, entah punya kerjaan apa tidak. Setiap hari cuma keluyuran saja tidak pernah kelihatan kerja. Ap

    Last Updated : 2024-07-27
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 8

    Satrio membalikkan badan lantas berjalan ke tempat tidur. Dia duduk di sana kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya. Memberi tanda agar sang istri duduk di sisinya.Isha pun menurut meski belum mendapat jawaban dari suaminya. Satrio kemudian mengubah posisi duduknya agar menghadap istrinya.“Apa Dek Isha ragu perhiasan yang Abang beri palsu?” tanya Satrio dengan lembut dan tenang.Wanita yang masih mengenakan gamis dan kerudung putih itu tak bersuara. Dia sendiri bingung karena tidak tahu bagaimana membedakan perhiasan asli dan palsu sebab tak pernah memakai perhiasan selain yang diberikan oleh bapak atau ibu tirinya. Itu juga hanya anting-anting yang menghiasi telinganya waktu masih sekolah.Melihat istrinya yang diam dan terlihat bingung, Satrio meraih tangan Isha lantas menggenggamnya. “Insya Allah semua perhiasan itu asli, Dek. Mana mungkin Abang ngasih barang palsu ke istri sendiri. Kalau Dek Isha masih tidak percaya, besok Abang mintakan nota pembeliannya. Dek Isha nanti bi

    Last Updated : 2024-07-28
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 9

    “Dia memang tinggal di sini, tapi kalau urusan utang jangan sangkut pautkan dengan kami karena kami tidak tahu apa-apa. Saya panggilkan istrinya saja biar dia tahu bagaimana kelakuan suaminya yang sok berduit itu padahal hanya utang sana sini.” Tanpa memberi kesempatan pada dua orang itu untuk bicara, Lina pun gegas memanggil anak tirinya yang ada di kamar. “Is, cepat keluar! Ada yang cari suamimu!” teriak Lina di depan kamar sang anak tiri. Tak berapa lama pintu kamar itu dibuka dari dalam dan muncul Isha yang masih mengenakan mukena karena dia baru saja salat Isya. “Ada apa, Bu?” tanyanya. “Mana suamimu?” Bukannya menjawab, Lina malah balik bertanya. “Bang Satrio ke masjid untuk salat Isya, Bu,” jawab Isha. “Ada dua orang yang cari suamimu di depan. Dari penampilannya kaya debt collector, Is. Pakaian mereka hitam-hitam, terus badannya juga gede-gede. Ibu ngeri lihatnya,” papar Lina. “Hah! Debt collector?” Isha tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Selama ini Satrio selalu

    Last Updated : 2024-07-29
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 10

    Satrio yang sedang melepas baju koko, mengernyit mendengar pertanyaan istrinya. "Kenapa Dek Isha berpikir mereka debt collector?""Eum, itu tadi Ibu yang ngomong kalau mereka debt collector, Bang. Makanya aku tanya benar apa tidak," jelas Isha.Pria berambut ikal itu tersenyum. "Tentu saja bukan. Mereka teman kerja Abang," terangnya. “Lagian Abang juga tidak punya utang. Apa yang mau ditagih?” tambahnya."Abang sebenarnya kerja apa sih?" Karena Satrio menyinggung soal pekerjaan, Isha menanyakannya sekalian."Nanti kalau sudah saatnya, Abang kasih tahu. Sekarang masih belum waktunya. Yang jelas pekerjaan Abang halal," tukas Satrio. "Dek Isha, mau pesan apa buat makan malam?" tanyanya kemudian."Terserah, Bang Satrio, saja," sahut Isha tak bersemangat. Gadis itu kecewa karena Satrio tidak mau memberi tahu pekerjaannya. Padahal apa susahnya bilang, biar dia tidak punya prasangka buruk pada suaminya. Walaupun bukan pekerja kantoran seperti pacar adik tirinya, tidak masalah untuk Isha."Ab

    Last Updated : 2024-07-29
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 11

    Isha seketika mendongak dan memandang suaminya. "Maaf kenapa, Bang?" tanyanya dengan alis bertaut."Abang minta maaf karena sudah membuat Dek Isha menunggu lama sampai kelaparan. Abang juga minta maaf kalau lauk yang Abang beli tidak sesuai seleranya, Dek Isha. Abang tidak tahu kesukaannya Dek Isha apa, jadi tadi Abang samakan dengan yang lain," jawab Satrio sembari menatap lekat istrinya."Oh, soal itu. Kirain apa. Aku yang harusnya minta maaf karena tadi sudah bersikap buruk sama Bang Satrio. Soal lauk, aku tidak masalah kok. Bang Satrio tenang saja,” timpal Isha seraya mengulas senyum di wajah cantiknya.Satrio menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Abang khawatir Dek Isha marah karena sejak tadi diam,” ungkapnya.“Kalau makan ‘kan tidak boleh banyak bicara biar tidak tersedak, Bang.” Isha beralasan.Satrio tersenyum. “Ya udah, dilanjut makannya, Dek. Setelah makan, Abang mau bicara,” ucapnya sebelum kembali menyuapkan nasi padang dan rendang ke dalam mulut.Pasangan pengant

    Last Updated : 2024-07-30
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 12

    Satrio terkesiap saat istrinya kembali menanyakan soal asal uang yang dipakai untuk membeli perhiasan. Untung saja dia cepat bisa menguasai diri jadi tidak kelihatan terkejut. “Itu ambil dari uang tabungan Abang, Dek. Hasil kerja Abang selama bertahun-tahun,” akunya.“Tabungan Bang Satrio banyak ya sampai ratusan juta?” Isha masih terus bertanya.“Dek Isha, mau tahu jumlah tabungan Abang?” Satrio balik bertanya tanpa menjawab istrinya.Isha menggeleng. “Enggak. Kalaupun aku mau tahu pasti Bang Satrio juga tidak akan memberi tahu. Aku tanya pekerjaan saja Abang tidak mau mengaku, apalagi jumlah tabungan.”Jawaban Isha membuat Satrio tersentak. Memang benar apa yang dikatakan oleh istrinya. Dia memang masih merahasiakan banyak hal dari wanita yang sudah dinikahinya itu. Namun Satrio punya alasan kenapa melakukannya. Menurutnya sekarang belum waktunya Isha tahu.“Maafkan Abang, Dek.” Hanya itu yang bisa Satrio katakan.Isha menghela napas panjang. Merasa sangat kecewa pada Satrio yang ti

    Last Updated : 2024-07-31
  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 13

    Isha menghampiri Satrio yang sudah menunggunya di depan toko. Dari atas sepeda motor, pria itu tersenyum menyambut kedatangan istrinya. Dia mengulurkan tangan kanan begitu Isha tiba di samping motornya.“Maaf ya, Bang, agak lama nunggunya. Tadi toko ramai jadi bantu teman yang shift siang dulu,” ucap Isha sesudah mencium punggung tangan suaminya.“Gapapa, Dek. Abang akan menunggu selama apa pun itu,” timpal Satrio sambil tetap memasang senyum di wajah tampannya.“Pakai helm ya karena kita nanti lewat jalan besar.” Pria berambut ikal itu memasangkan helm di kepala Isha kemudian mengancingkan kaitan talinya.Jantung Isha jadi berdetak semakin kencang karena tindakan suaminya itu. Padahal dia bisa memakai helm sendiri, tapi malah Satrio melakukan untuknya.“Naik, Dek,” titah Satrio setelah membuka kedua pijakan kaki belakang untuk istrinya.“Ya, Bang.” Isha pun naik ke atas motor dan duduk di belakang Satrio.“Pegangan, Dek, biar ga jatuh.” Satrio menarik kedua tangan Isha lalu melingkar

    Last Updated : 2024-08-02

Latest chapter

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 220 (TAMAT)

    “Bu, kita kabur aja yuk! Aku ga tahan hidup di sini.” Vita mengeluh pada ibunya saat mereka berbaring sebelum tidur. Lina menatap lekat putrinya meskipun dalam cahaya remang-remang. “Ga usah aneh-aneh, Vit. Apa kamu lupa kemarin ada yang kabur terus ketangkap? Sekarang dia dimasukkan ke ruang isolasi. Kamu mau hidup di ruangan sempit, gelap, pengap, dan ga bisa keluar sama sekali?” “Lebih baik aku mati saja daripada dikurung di sana, Bu,” timpal Vita dengan bibir mengerucut. “Ya sudah, kalau gitu terima aja apa adanya!” tukas Lina. “Tapi aku capek banget kalau kaya gini tiap hari, Bu. Kulitku jadi cokelat, kukuku juga rusak semua. Sia-sia perawatan yang aku lakukan selama ini,” keluh Vita. “Vit, kita seperti ini sekarang karena siapa? Kamu ‘kan! Kalau kamu ga mendorong Isha dari tangga, Satrio ga akan semarah itu sama kita. Ya sudah, sekarang kamu terima aja konsekuensinya!” Lama-lama Lina merasa kesal pada Vita yang selalu dia banggakan. “Kita dibiarkan hidup sama Satrio sudah

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 219

    Kondisi Abi setiap hari semakin membaik. Berat badannya terus naik karena rutin minum ASI sang ibu. Paru-parunya sudah berfungsi dengan baik, hingga tak perlu alat bantu pernapasan lagi. Jantungnya pun detaknya sudah normal. Pada hari ke-6, Abi pun keluar dari NICU, tapi belum diperbolehkan pulang oleh dokter. Dokter masih harus mengobservasi kondisi Abi setelah tidak berada di inkubator. Sebenarnya di hari ketiga paska-operasi, Isha sudah diperbolehkan pulang. Namun karena tak tega meninggalkan Abi sendiri di sana, dan repot kalau harus bolak-balik ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, akhirnya Isha tetap tinggal di ruangan rawat inapnya. Satrio yang bolak-balik karena dia tetap harus pergi ke kantor untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai presdir Digdaya Grup. Marni juga setiap hari ke rumah sakit, membawakan baju ganti untuk Isha, Satrio, dan Abi, lalu pulangnya membawa baju mereka yang kotor untuk dicuci di rumah. Selain baju, dia juga membawakan jamu pelancar ASI untuk Isha

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 218

    “Sudah, tapi nanti saja aku kasih tahu kalau semua kumpul biar sekalian jelasin arti namanya.” Satrio menjawab rasa penasaran adiknya. Nila berdecak. “Terus selama Kak Bhumi belum ngasih tahu namanya, kita manggilnya apa dong? Masa Baby sih?” protes gadis yang masih kuliah semester akhir itu. “Kalau begitu panggil saja Abi. Itu nama panggilan yang diambil dari nama tengahnya,” sahut Satrio setelah berpikir beberapa saat. “Iya, deh. Suka-suka, Kak Bhumi, aja. Lagian sok misterius banget namanya sampai ga mau nyebutin.” Nila merasa gemas pada kakak sulungnya itu. “Bukannya sok misterius, tadi aku dah bilang ‘kan alasannya,” tukas Satrio. “Terus kapan rencanamu mau ngadain akikah buat Abi?” Kali ini Krisna yang bertanya. “Sunahnya tujuh hari ‘kan, Pa? Tapi aku belum tahu nanti pas itu Abi sudah bisa pulang atau belum. Menurut Papa sebaiknya gimana?” Satrio memandang papanya. “Tidak harus tujuh hari tidak apa-apa bisa setelah empat belas atau dua puluh satu hari. Tapi kalau kamu mau

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 217

    Isha langsung diberi ucapan selamat oleh Baskoro, Bisman, Bayu, Marni, dan Kasno begitu dia dibawa ke kamar oleh petugas. Wanita yang baru menjadi ibu itu mengucapkan terima kasih atas perhatian dan doa-doanya mereka. Baru setelah itu Satrio mendekati sang istri yang duduk menyandar pada bagian atas brankar yang dinaikkan dan diatur posisinya sampai Isha merasa nyaman. “Makasih ya, Dek, sudah bertahan dan berjuang bersama anak kita. Terima kasih sudah melahirkan jagoan di keluarga kita,” lontar Satrio sambil menggenggam tangan sang istri tercinta. Dia duduk di kursi samping brankar, menghadap belahan jiwanya itu. Isha mengangguk. Wajahnya yang masih tampak pucat tersenyum. “Bang Satrio udah ketemu anak kita?” Dia berusaha tetap tegar dan tenang walaupun sang putra saat ini menjalani perawatan yang intensif. Pria yang kini mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digulung sampai siku itu, menggeleng. “Belum, Dek. Katanya kalau mau ketemu harus ke NICU. Abang maunya ke sana sama Dek

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 216

    Satrio sontak berdiri kala melihat dokter keluar dari ruang operasi. Dia gegas menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana operasinya, Dok? Lancar ‘kan?” tanyanya tak sabar. Dokter itu tersenyum. “Alhamdulillah lancar. Kondisi Ibu sejauh ini stabil, tapi putra Bapak harus mendapatkan perawatan intensif karena lahir prematur dan berat badan lahirnya rendah,” jawabnya. Satrio menghela napas lega meskipun kondisi sang anak masih belum bagus. Setidaknya istri dan anaknya selamat. “Alhamdulillah. Berarti saya boleh menemui istri dan anak saya sekarang, Dok?” tanyanya lagi. Sang dokter menggeleng. “Untuk saat ini belum, Pak. Ibu masih di ruang pemulihan untuk diobservasi. Kalau putra Bapak nanti bisa ditemui di NICU, sekarang masih ditangani oleh dokter anak,” jelasnya. Bahu Satrio meluruh karena tidak bisa menemui istri dan anaknya. “Kalau begitu sebaiknya saya menunggu di mana, Dok? Di sini atau di kamarnya?” Dia kembali bertanya. “Di sini boleh. Di kamar juga boleh. Nanti kalau Ibu seles

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 215

    “Vit, ada tamu tuh. Sana buka pintunya!” titah Lina yang sedang tiduran di sofa depan televisi pada putrinya setelah mendengar bel rumah berbunyi.“Siapa sih? Ganggu aja orang lagi santai!” Meskipun menggerutu, Vita tetap melangkah menuju pintu depan. Keningnya mengerut kala melihat beberapa sosok pria berbadan tinggi, kekar, dan mengenakan pakaian serba hitam. Sejujurnya dia takut melihat para pria di hadapannya yang tampangnya tampak menyeramkan dan sama sekali tak ramah.“Kalau kalian mencari Bang Satrio dan Mbak Isha, mereka tidak ada di rumah!” Vita bicara dengan ketus untuk menutupi ketakutannya.“Siapa, Vit?” Lina menyusul ke depan karena penasaran dengan tamu yang datang.“Ga tahu, Bu!” Vita menggeleng.Lina terkesiap melihat orang-orang yang bertamu. Dia langsung menelan ludah dan mendekat pada putrinya. “Mereka bukan debt collector yang mau nagih utang Satrio atau Isha ‘kan?” bisiknya.“Mana kutahu, Bu. Sejak tadi mereka cuma diam. Ga ngomong apa-apa,” balas Vita juga dengan

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 214

    Bayu mendekat pada Satrio yang sedang makan siang dengan para pejabat daerah dan pengusaha lokal—yang datang di acara pembukaan anak perusahaan Digdaya Grup. "Pak, saya baru dapat kabar kalau Bu Isha jatuh dari tangga dan sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit," bisiknya usai mendapat pesan dari Marni. Satrio sontak menghentikan makan lalu mengelap mulut dengan sapu tangan. "Segera siapkan helikopter. Kita pulang ke Jakarta sekarang!" perintahnya juga dengan berbisik. "Baik, Pak." Bayu menjauh lalu melakukan koordinasi dengan yang lain untuk mengatur kepulangan sang atasan. Di setiap kantor anak perusahaan Digdaya Grup memang ada helipad untuk memudahkan transportasi para petinggi perusahaan bila ada kepentingan yang mendesak. Meskipun mengkhawatirkan keselamatan istri dan calon anaknya, Satrio tetap berusaha bersikap tenang di hadapan yang lain. Dia minta maaf pada para pejabat dan pengusaha yang semeja dengannya karena tidak bisa menemani makan siang sampai selesai. Tak l

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 213

    “Mau ke mana, Bi?” tanya Vita saat melihat ART Isha akan menaiki tangga.“Saya mau manggil Ibu untuk makan siang, Mbak,” jawab Marni.“Bi Marni, lakukan pekerjaan lain saja. Biar aku yang panggil Mbak Isha.” Vita menawakan diri.“Tapi Bapak sudah pesan kalau saya sendiri yang harus manggil Ibu di kamar, Mbak.” Marni tak mau begitu saja menerima tawaran adik tiri Isha itu.Vita tampak mengernyit. “Kenapa memangnya?”“Soalnya Bapak minta saya membantu Ibu waktu turun tangga karena Bapak khawatir Ibu jatuh atau kepleset.” Marni mengungkapkan alasannya.“Kalau cuma bantu Mbak Isha turun tangga, aku juga bisa, Bi. Sudah sana Bi Marni siapin aja makannya, aku yang akan manggil Mbak Isha.” Vita meminta ART itu pergi.“Biar saya yang manggil Ibu, Mbak. Makanannya sudah siap semua kok di meja makan. Lebih baik Mbak Vita panggil bapak dan ibunya atau langsung ke ruang makan saja.” Marni tetap bersikeras memanggil Isha.“Kenapa sih ga mau dibantu, Bi? Takut saya ngapa-ngapain Mbak Isha?” tukas Vi

  • Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan   Bab 212

    Vita kembali ke rumah Baskoro setelah dokter mengizinkan dia pulang dari rumah sakit. Sejak Vita dirawat sampai pulang, Surya selalu memberi perhatian walau sering diabaikan oleh sang istri. Namun pria itu tak mau menyerah begitu saja untuk mengambil hati istri yang pernah disakitinya. Walaupun Surya sudah menunjukkan perubahannya, Vita tetap bersikeras untuk bercerai. Sejak awal Surya memang tidak mau berpisah dengan istrinya. Dia ingin mempertahankan pernikahan mereka. Surya menunjukkan kesungguhannya dengan meninggalkan Ike dan tidak pernah berhubungan lagi dengan teman kuliahnya itu. Dia juga janji akan bekerja di perusahaan yang direkomendasikan oleh Satrio demi masa depan mereka meskipun harus tinggal di luar Pulau Jawa. Orang tua dari kedua belah pihak sudah berusaha menasihati dan menengahi permasalahan antara Vita dan Surya. Namun Vita tetap pada pendiriannya. Dia ingin bercerai dari Surya. Vita sudah tidak bisa percaya lagi pada suaminya jadi percuma kalau tetap bersama t

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status