Share

Bab 5

Satrio menyusul Isha ke kamar lalu duduk di samping istrinya.

"Ngapain Bang Satrio ke sini?" tanya Isha sambil bersedekap. Dia kesal sekali pada suaminya itu.

Satrio menghela napas panjang. "Dek, bukan maksud Abang membela Vita. Abang hanya tidak ingin Dek Isha ribut dengan Vita apalagi di depan Bapak. Kasihan Bapak nanti jadi tambah pikiran." Dia memberi pengertian pada istrinya.

"Vita yang mulai duluan, Bang. Aku 'kan cuma menimpali." Isha membela diri.

"Iya, Abang tahu. Biar saja orang bicara apa, yang penting kita tahu kebenarannya bagaimana. Kalau meladeni semua orang, nanti Dek Isha capek sendiri," timpal Satrio.

Isha mendengkus. Dia merubah posisi duduknya jadi membelakangi Satrio.

Pria berambut ikal sebahu itu bangkit. Melangkah lantas berlutut di depan Isha. "Abang minta maaf sudah membuat Dek Isha kesal. Mau 'kan memaafkan Abang?" tanyanya seraya menatap lekat istrinya.

Melihat ketulusan dan kesungguhan Satrio, gadis itu pun mengangguk walau masih sedikit kesal.

Satrio tersenyum. "Terima kasih, Dek. Oh ya, gimana kalau sekarang kita ke KUA biar tidak kesiangan?" usulnya kemudian.

"Aku saja belum yakin sama pernikahan ini, masa sudah harus ke KUA," gerutu Isha.

"Apa Dek Isha mau mengecewakan Bapak?" tanya Satrio.

Isha menggeleng. "Enggak, Bang. Aku ingin membahagiakan Bapak."

"Kalau begitu kita harus pergi ke KUA seperti yang Bapak minta," ujar Satrio.

"Ya udah, aku siap-siap dulu. Abang tunggu di luar ya, aku mau ganti baju," pinta Isha.

***

“Apa Bang Satrio beneran mau ngasih Ibu lima juta?” tanya Isha saat mereka dalam perjalanan menuju KUA.

“Insya Allah akan Abang usahakan, Dek. Jangan khawatir!” sahut Satrio.

“Aku ada sedikit tabungan kalau misalnya kurang, Bang. Dipakai saja tidak apa-apa,” imbuh Isha setelah mengingat uang di dompet suaminya hanya tinggal seratus ribu, itu pun juga diberikan untuknya sebagai mahar.

“Tidak usah, Dek. Uangnya disimpan saja untuk tabungan. Insya Allah Abang ada untuk ngasih ke Ibu,” timpal Satrio dengan tenang.

“Kalau kurang bilang saja, Bang. Aku ikhlas kok,” desak Isha.

“Insya Allah tidak akan kurang. Dek Isha, tenang saja.” Satrio kembali menenangkan istrinya.

“Bang Satrio tidak perlu memberi Ibu tambahan uang belanja karena setiap bulan aku udah ngasih ke Ibu setelah gajian,” lontar Isha.

“Gapapa, Dek. Abang ‘kan juga numpang makan di rumah. Kasihan Ibu kalau nanti uang belanjanya kurang,” ujar Satrio.

Isha menghela napas panjang. "Kalau tidak punya, jangan dipaksakan, Bang."

"Tenang saja, Dek. Insya Allah ada," sahut Satrio.

Pasangan pengantin baru itu akhirnya tiba di KUA. Mereka disambut baik oleh petugas di sana. Setelah menyatakan maksud kedatangannya, petugas KUA itu menjelaskan masing-masing syarat untuk mengajukan isbat nikah dan nikah di KUA. Sesudahnya menyerahkan keputusan pada sejoli itu mau mengajukan yang mana.

“Apa boleh kami bicarakan dulu dengan keluarga, Pak?” tanya Satrio pada petugas KUA.

“Tentu saja, silakan. Memang lebih baik dimusyawarahkan dulu dengan keluarga,” jawab petugas tersebut.

Satrio dan Isha lantas pamit dan meninggalkan KUA. Tak lama kemudian Satrio menghentikan motor di pinggir jalan. Dia juga turun dari motor.

"Kenapa berhenti, Bang?" Isha merasa penasaran.

Satrio meringis. "Bensinnya habis, Dek. Indikator bahan bakarnya rusak. Abang tadi in juga lupa ngecek," jawabnya.

"Ya udah, gapapa." Isha pun turun dari motor.

Satrio kemudian mendorong motor sambil mencari penjual BBM.

"Dek, boleh Abang pinjam lima puluh ribu dulu buat beli bensin? Nanti malam Abang ganti. Abang mau ambil uang, tapi di sini tidak ada mesin ATM.” Satrio terpaksa meminjam uang meskipun jadi tak enak hati pada wanita yang baru kemarin dinikahinya itu.

Isha mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari dompet lalu menyerahkan pada Satrio. “Pakai saja, Bang. Tidak usah diganti. Kita 'kan perginya bersama,” ucapnya seraya mengulas senyum.

“Terima kasih, Dek. Abang pasti ganti uangnya,” cakap Satrio usai menerima uang dari istrinya.

Setelah berjalan sekitar satu kilometer, akhirnya mereka berhenti di depan pom mini.

“Bang, tolong diisi penuh,” pinta Satrio pada penjaga pom mini.

“Kita mau langsung pulang atau mampir ke mana dulu, Dek?” tanya Satrio sesudah motor bebeknya kembali menyala dan keduanya duduk di atas jok.

“Pulang saja, Bang. Aku mau istirahat dulu sebelum nanti masuk kerja,” jawab Isha.

“Siap, Dek. Nanti Abang yang antar dan jemput ya, sekalian Abang ada perlu di luar,” lontar Satrio.

“Ya, Bang,” jawab Isha.

***

“Assalamu’alaikum,” salam Isha setelah membuka pintu rumah. Dia mengernyit karena lampu ruang tamu masih menyala padahal sudah hampir pukul sepuluh malam. Biasanya saat gadis itu pulang kerja shift siang, lampu sudah dipadamkan.

“Wa’alaikumussalam,” balas Lina yang duduk di kursi ruang tamu sambil bersedekap.

“Ibu belum tidur?” tanya Isha setelah menyalami ibu tirinya.

“Kalau sudah, siapa yang akan menjaga pintu depan? Nanti kamu tidak bisa masuk lagi kaya kemarin gara-gara tidak punya kunci rumah,” jawab Lina dengan ketus.

“Kalau begitu, besok pagi saya duplikat kuncinya biar tidak merepotkan Ibu,” cetus Satrio yang menyusul di belakang Isha. Dia pun ikut menyalami ibu mertuanya.

Lina langsung mengusap tangannya yang disalami Satrio ke daster kembang-kembang yang dikenakannya. Seolah-olah ada noda yang ditinggalkan Satrio di sana.

“Mana uang yang kamu janjikan tadi pagi, Sat?” Lina langsung menagih tanpa basa-basi.

“Para tetangga sudah bergunjing karena kita tidak bagi-bagi makanan padahal kamu dan Isha sudah nikah biarpun karena digerebek warga,” cibirnya.

“Sebentar, Bu.” Satrio membuka tas pinggang, lantas mengeluarkan satu bundel uang pecahan seratus ribu.

“Ini untuk bagi-bagi makanan dan uang belanja, Bu. Semoga cukup.” Satrio menyerahkan uang tersebut pada ibu mertuanya.

Mata Lina membelalak melihat uang tersebut. Dia tidak menduga Satrio punya uang sebanyak itu. Tahu begitu tadi pagi dia meminta lebih. Namun wanita paruh baya itu tetap menampakkan wajah sinis saat menerima uang tersebut. “Kamu tidak ngutang pinjol atau nyuri ‘kan?” tanyanya.

“Insya Allah aman, Bu. Itu uang halal hasil kerja saya. Tidak mungkin saya memberikan uang tidak halal pada keluarga istri saya. Tidak berkah nanti,” jawab Satrio sambil tetap tersenyum.

Lina mengernyit. “Hasil kerja? Memangnya kamu kerja apa? Jadi tukang ojek, tukang parkir apa tukang bangunan?” cecarnya.

“Ehm, itu ....” Satrio mengusap tengkuknya. Bingung harus mengatakan apa.

“Bu, Bapak sudah pulang apa belum?” Isha mengalihkan pembicaraan karena tak enak hati pada Satrio yang terus disudutkan ibu tirinya.

“Belum. Kenapa memangnya?” Lina masih tetap ketus meskipun sudah mendapat uang yang tidak sedikit dari Satrio.

“Ada yang mau aku dan Bang Satrio bicarakan sama Bapak,” ungkap Isha.

“Apa memangnya yang mau kamu bicarakan? Bicara saja sama Ibu biar nanti Ibu sampaikan pada Bapak kalau sudah pulang,” sergah Lina.

“Besok pagi saja, Dek. Ini sudah malam.” Satrio mengingatkan istrinya.

“Kenapa harus sama Bapak langsung? Memangnya Ibu tidak boleh tahu?” hardik Lina.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Kokoro No Tomo
siap, Kakak. Makasih udah mampir
goodnovel comment avatar
Nelangsa
lanjut thor.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status