Pria berambut ikal sebahu itu seketika menoleh pada pemilik kontrakan. Satrio pikir masalahnya selesai begitu menikah dengan Isha, ternyata masih saja ada. Di mana dia dan istrinya akan tinggal kalau begini?
“Bawa barang-barangmu ke sini! Kalian lebih baik tinggal di sini daripada harus mencari kontrakan lagi.” Belum sempat Satrio menimpali, Baskoro sudah berbicara terlebih dahulu dengannya.
“Ya, Pak. Terima kasih.” Satrio menghela napas lega karena masalah tempat tinggal sudah mendapat solusi.
“Is, bantu Satrio berkemas,” titah Baskoro pada putrinya. Walau sebenarnya masih tak rela Isha menikah dengan Satrio, tapi dia tidak tega membiarkan putri sulungnya itu tidak punya tempat tinggal.
Isha mengangguk kemudian ikut Satrio ke kontrakan. Tak banyak barang milik pria itu. Hanya pakaian dan alat makan saja. Barang eletronik juga tak punya. Jadi tak butuh waktu lama untuk berkemas.
“Ini kuncinya, Pak. Terima kasih sudah mengizinkan saya mengontrak di sini. Mohon maaf atas segala salah dan khilaf saya.” Satrio menyerahkan kunci pada pemilik kontrakan yang menunggunya berkemas.
“Gara-gara kamu, citra kontrakanku jadi jelek,” decak pemilik kontrakan saat menerima kunci kontrakannya.
“Sekali lagi saya mohon maaf, Pak.” Satrio mengatupkan kedua tangan di depan dada. Dia lantas mengajak Isha kembali ke rumah Baskoro.
“Pak, ada apa ini? Kenapa pengangguran ini ada di sini? Bawa tas lagi!” cecar Lina, istri Baskoro, yang baru datang entah dari mana bersama Vita, anak kandungnya. Dia kagaet melihat Satrio yang masuk ke rumah bersama Isha.
“Ibu dari mana sama Vita?” Baskoro balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan istrinya. Waktu sudah hampir tengah malam tapi istri dan anaknya baru pulang.
“Ibu tadi diundang makan malam sama keluarga pacarnya Vita, Pak. Karena keasyikan mengobrol jadi baru pulang. Gimana ga betah, di sana rumahnya bagus dan lebih besar dari rumah kita ini.” Lina sengaja memuji pacar Vita seraya melirik Isha, anak tirinya.
“Kalau Ibu sama Vita mau pergi, bisa ‘kan ngabarin Bapak atau Isha biar Isha tetap bisa masuk rumah begitu pulang kerja? Kuncinya juga bisa disimpan di bawah keset atau dititip tetangga! Gara-gara Ibu sama Vita pergi tanpa kabar, Isha jadi harus menikah dengan Satrio.” Baskoro masih menyesali putrinya yang menikah dengan Satrio. Apalagi penyebabnya karena digerebek warga. Sebagai bapak, dia merasa sudah gagal karena tidak bisa menjaga anak sulungnya itu.
“Apa? Isha menikah sama pengangguran itu? Kaya ga ada pria lain saja yang lebih layak dinikahi,” ucap Lina seraya menatap pasangan pengantin baru itu dengan sinis.
“Lihat Vita ini, punya pacar yang kerja di perusahaan besar. Katanya juga sebentar mau naik jabatan.” Wanita paruh baya itu membanggakan sang putri kandung yang berdiri di sampingnya.
Vita yang disanjung merasa besar kepala. Dia melipat kedua tangan di depan dada dengan senyum mengejek.
“Memang beda sih selera orang yang lulusan sarjana sama SMA. Kalau anak SMA pengangguran pun tidak masalah.” Lina kembali menyindir anak tirinya.
“Ya mau gimana lagi, Bu. Pergaulan Mbak Isha ‘kan tidak luas, jadi kenalannya juga terbatas. Asal jenis kelaminnya laki-laki saja pasti mau daripada ga laku. Beda sama pacarku, selain ganteng dia juga punya gaji besar dan jabatan bagus. Masa depan jelas terjamin, enggak abu-abu,” timpal Vita, menyombongkan diri.
“Kamu memang pintar cari calon suami, Vit. Ibu bangga sama kamu.” Lina kembali memuji putri kandungnya.
“Ya jelas, Bu. Aku ini sarjana, terpelajar. Calon suamiku pastinya lulusan sarjana, punya gaji dan juga jabatan bagus. Bukan pengangguran tidak jelas. Mau makan apa nanti setelah menikah kalau tidak punya kerjaan.” Vita semakin merendahkan Isha dan Satrio.
“Sudah cukup! Tidak baik membanding-bandingkan orang!” Baskoro menegur istri dan anak bungsunya. Dia kemudian beralih pada Isha dan Satrio. “Kalian sebaiknya masuk ke kamar. Sudah malam, waktunya istirahat,” titahnya.
“Kami permisi dulu, Pak, Bu.” Meskipun sudah dihina dan direndahkan, Satrio tetap bersikap hormat pada ibu tiri Isha. Dia mengikuti istrinya masuk ke kamar sambil membawa barang yang dibawa dari kontrakan.
Dalam ruangan berukuran 3 x 3 meter itu tidak terdapat banyak barang atau pernak-pernik khas seorang gadis. Hanya ada meja rias kecil yang menunjukkan kalau pemiliknya adalah seorang wanita. Itu juga dilihat dari beberapa kosmetik yang ada di atas meja.
“Dek, kita salat Isya dulu yuk. Sekalian sama salat sunah pengantin,” ajak Satrio setelah meletakkan barangnya di sudut ruangan.
“I—iya, Bang. Aku ambil wudu dulu sekalian membersihkan diri.” Isha gegas keluar dari kamarnya karena merasa gugup. Gadis itu tidak menduga Satrio mengajaknya salat sunah pengantin bersama. Apa mungkin suaminya akan meminta haknya malam ini?
Tak ingin pikirannya semakin melantur, Isha segera membersihkan diri kemudian berwudu. Setelah dia masuk ke kamar, gantian Satrio yang membersihkan diri dan mengambil wudu.
Usai menjalankan salat Isya dan salat sunah pengantin, keduanya tak langsung berdiri. Satrio duduk menghadap sang istri lantas mengulurkan tangan kanannya. Isha menyambut uluran tangan itu kemudian mencium punggung tangan suaminya untuk pertama kali. Jantung keduanya berdetak dengan cepat karena baru pertama mereka seintens ini.
Satrio duduk lebih dekat dengan Isha. Dia meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun sang istri kemudian melantunkan doa. Setelah itu Satrio mencium kening istrinya untuk pertama kali.
“Dek, ada yang ingin Abang bicarakan,” ucap Satrio seraya memandang wajah cantik Isha.
“Apa, Bang?” Isha menunduk. Dia jadi gugup dan salah tingkah karena dipandangi dengan intens oleh Satrio. Baru kali ini gadis itu benar-benar dekat dengan seorang pria. Selama ini Isha memang belum pernah pacaran.
Pria berambut ikal sebahu itu tersenyum tipis melihat tingkah istrinya. Dia lantas memberanikan diri meraih tangan Isha dan menggenggamnya. Membuat gadis itu mendongak dan menatapnya dengan malu-malu.
“Dek, walau pernikahan kita terjadi karena desakan warga, tapi Abang ingin benar-benar menjalaninya. Meskipun masih secara agama, tapi kita sudah terikat sebagai suami istri. Abang akan berusaha memenuhi kewajiban sebagai suami. Abang akan menafkahi Dek Isha semampu abang,” ucap Satrio tanpa melepaskan pandangan dari wanita yang sudah dihalalkannya itu.
“Apa Dek Isha setuju sama Abang?” tanyanya kemudian.
Isha menatap mata pria di hadapannya. Berusaha mencari kebohongan di sana. Namun sayang, dia tak menemukannya. Hatinya bimbang, haruskah dia menerima pria yang tidak jelas masa depannya itu? Atau menolaknya saja. Toh, mereka belum melakukan apa-apa. Kalaupun berpisah, ya tinggal pisah saja tidak usah mengurus ke pengadilan agama. Yang jelas, mereka sudah menuruti keinginan warga, berarti sudah selesai ‘kan masalahnya?
Dalam hatinya Isha juga ingin punya suami yang mapan, yang bisa menafkahi dia dan anak-anaknya. Bukan pengangguran yang hanya punya uang seratus ribu di dompetnya.
“Dek, bagaimana?” Pertanyaan Satrio membuat kesadaran Isha kembali. Gadis itu kembali menatap Satrio. Dia masih merasa bimbang. “Apa Dek Isha ragu?” Satrio berusaha menyelami perasaan gadis di depannya melalui mata bening yang memandangnya. Isha mengangguk pelan. “Maaf, Bang. Semua ini terlalu mendadak. Aku—aku belum bisa memutuskan,” ungkapnya sambil menunduk. Satrio menghela napas panjang. “Abang ngerti, Dek. Pernikahan kita mendadak. Kita juga tidak saling cinta. Apalagi pekerjaan Abang tidak jelas. Wajar kalau Dek Isha merasa ragu.” “Maaf, Bang.” Isha jadi merasa tak enak hati. “Bagaimana kalau kita jalani saja dulu, Dek? Anggap saja kita baru jadian dan sekarang sedang pacaran.” Satrio menawarkan opsi baru. “Abang tidak akan meminta hak sebagai suami sampai Dek Isha yakin dengan pernikahan kita,” imbuhnya. Isha berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, tapi Bang Satrio jangan terlalu berharap sama aku.” Pria berambut ikal itu mengulum senyum. “Terima kasih, Dek.”
Satrio menyusul Isha ke kamar lalu duduk di samping istrinya. "Ngapain Bang Satrio ke sini?" tanya Isha sambil bersedekap. Dia kesal sekali pada suaminya itu. Satrio menghela napas panjang. "Dek, bukan maksud Abang membela Vita. Abang hanya tidak ingin Dek Isha ribut dengan Vita apalagi di depan Bapak. Kasihan Bapak nanti jadi tambah pikiran." Dia memberi pengertian pada istrinya. "Vita yang mulai duluan, Bang. Aku 'kan cuma menimpali." Isha membela diri. "Iya, Abang tahu. Biar saja orang bicara apa, yang penting kita tahu kebenarannya bagaimana. Kalau meladeni semua orang, nanti Dek Isha capek sendiri," timpal Satrio. Isha mendengkus. Dia merubah posisi duduknya jadi membelakangi Satrio. Pria berambut ikal sebahu itu bangkit. Melangkah lantas berlutut di depan Isha. "Abang minta maaf sudah membuat Dek Isha kesal. Mau 'kan memaafkan Abang?" tanyanya seraya menatap lekat istrinya. Melihat ketulusan dan kesungguhan Satrio, gadis itu pun mengangguk walau masih sedikit kesal. Satr
"Ibu boleh tahu karena itu bukan rahasia. Tapi sekarang sudah malam, jadi ditunda besok saja sekalian sama Bapak. Dek Isha juga capek karena baru pulang dari kerja. Kami permisi ke kamar dulu, Bu." Satrio menarik tangan sang istri lantas mengajaknya masuk kamar. "Itu tadi Bang Satrio ngasih ibu uang sepuluh juta?" Isha memastikan saat mereka sudah di dalam kamar. Satrio mengangguk. "Iya, Dek. Buat berbagi makanan sama belanja." "Kebanyakan itu, Bang. Nanti sisanya pasti diambil Ibu," protes Isha seraya meletakkan tasnya di atas meja rias. "Gapapa. Anggap saja uang lelah buat Ibu yang sudah mengurus semuanya." Satrio kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan satu lembar uang berwarna merah dari sana. "Ini untuk ganti uang yang tadi Abang pinjam, Dek." Dia menyerahkan uang itu pada Isha. "Tidak usah dikembalikan, Bang. Lagian aku juga tidak punya kembalian." Isha tidak mau menerima uang tersebut. Satrio menggeleng. Dia meraih tangan Isha lantas meletakkan uang itu di atas
Tangan kiri Isha mengepal. Menahan kesal karena ucapan ibu tirinya. “Mau ini perhiasan asli atau palsu, yang penting Bang Satrio punya niat baik memberikan aku perhiasan, Bu,” balasnya. Lina mencebik. “Kalau Ibu sih alergi pakai perhiasan palsu. Bisa gatel-gatel dan merah kulit Ibu. Beda sama kulitmu itu, pakai perhiasan asli bisa jadi malah alergi karena biasa pakai yang palsu,” ledeknya.“Ibu, bisa tidak sekali saja tidak merendahkan aku atau Bang Satrio?” Isha lama-kelamaan tidak bisa menahan emosinya.Lina memandang anak tirinya itu dengan tatapan meremehkan. “Terus aku harus menyanjung kalian begitu? Apa yang harus aku sanjung kalau tidak ada kelebihan yang kalian miliki? Beda sama Vita dan Surya yang punya gaji besar dan kerja di perusahaan ternama. Ibu bisa membangga-banggakan mereka,” tukasnya.“Kamu saja cuma jadi karyawan toko biasa dengan gaji kecil. Terus suamimu si Satrio itu, entah punya kerjaan apa tidak. Setiap hari cuma keluyuran saja tidak pernah kelihatan kerja. Ap
Satrio membalikkan badan lantas berjalan ke tempat tidur. Dia duduk di sana kemudian menepuk tempat kosong di sampingnya. Memberi tanda agar sang istri duduk di sisinya.Isha pun menurut meski belum mendapat jawaban dari suaminya. Satrio kemudian mengubah posisi duduknya agar menghadap istrinya.“Apa Dek Isha ragu perhiasan yang Abang beri palsu?” tanya Satrio dengan lembut dan tenang.Wanita yang masih mengenakan gamis dan kerudung putih itu tak bersuara. Dia sendiri bingung karena tidak tahu bagaimana membedakan perhiasan asli dan palsu sebab tak pernah memakai perhiasan selain yang diberikan oleh bapak atau ibu tirinya. Itu juga hanya anting-anting yang menghiasi telinganya waktu masih sekolah.Melihat istrinya yang diam dan terlihat bingung, Satrio meraih tangan Isha lantas menggenggamnya. “Insya Allah semua perhiasan itu asli, Dek. Mana mungkin Abang ngasih barang palsu ke istri sendiri. Kalau Dek Isha masih tidak percaya, besok Abang mintakan nota pembeliannya. Dek Isha nanti bi
“Dia memang tinggal di sini, tapi kalau urusan utang jangan sangkut pautkan dengan kami karena kami tidak tahu apa-apa. Saya panggilkan istrinya saja biar dia tahu bagaimana kelakuan suaminya yang sok berduit itu padahal hanya utang sana sini.” Tanpa memberi kesempatan pada dua orang itu untuk bicara, Lina pun gegas memanggil anak tirinya yang ada di kamar. “Is, cepat keluar! Ada yang cari suamimu!” teriak Lina di depan kamar sang anak tiri. Tak berapa lama pintu kamar itu dibuka dari dalam dan muncul Isha yang masih mengenakan mukena karena dia baru saja salat Isya. “Ada apa, Bu?” tanyanya. “Mana suamimu?” Bukannya menjawab, Lina malah balik bertanya. “Bang Satrio ke masjid untuk salat Isya, Bu,” jawab Isha. “Ada dua orang yang cari suamimu di depan. Dari penampilannya kaya debt collector, Is. Pakaian mereka hitam-hitam, terus badannya juga gede-gede. Ibu ngeri lihatnya,” papar Lina. “Hah! Debt collector?” Isha tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Selama ini Satrio selalu
Satrio yang sedang melepas baju koko, mengernyit mendengar pertanyaan istrinya. "Kenapa Dek Isha berpikir mereka debt collector?""Eum, itu tadi Ibu yang ngomong kalau mereka debt collector, Bang. Makanya aku tanya benar apa tidak," jelas Isha.Pria berambut ikal itu tersenyum. "Tentu saja bukan. Mereka teman kerja Abang," terangnya. “Lagian Abang juga tidak punya utang. Apa yang mau ditagih?” tambahnya."Abang sebenarnya kerja apa sih?" Karena Satrio menyinggung soal pekerjaan, Isha menanyakannya sekalian."Nanti kalau sudah saatnya, Abang kasih tahu. Sekarang masih belum waktunya. Yang jelas pekerjaan Abang halal," tukas Satrio. "Dek Isha, mau pesan apa buat makan malam?" tanyanya kemudian."Terserah, Bang Satrio, saja," sahut Isha tak bersemangat. Gadis itu kecewa karena Satrio tidak mau memberi tahu pekerjaannya. Padahal apa susahnya bilang, biar dia tidak punya prasangka buruk pada suaminya. Walaupun bukan pekerja kantoran seperti pacar adik tirinya, tidak masalah untuk Isha."Ab
Isha seketika mendongak dan memandang suaminya. "Maaf kenapa, Bang?" tanyanya dengan alis bertaut."Abang minta maaf karena sudah membuat Dek Isha menunggu lama sampai kelaparan. Abang juga minta maaf kalau lauk yang Abang beli tidak sesuai seleranya, Dek Isha. Abang tidak tahu kesukaannya Dek Isha apa, jadi tadi Abang samakan dengan yang lain," jawab Satrio sembari menatap lekat istrinya."Oh, soal itu. Kirain apa. Aku yang harusnya minta maaf karena tadi sudah bersikap buruk sama Bang Satrio. Soal lauk, aku tidak masalah kok. Bang Satrio tenang saja,” timpal Isha seraya mengulas senyum di wajah cantiknya.Satrio menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Abang khawatir Dek Isha marah karena sejak tadi diam,” ungkapnya.“Kalau makan ‘kan tidak boleh banyak bicara biar tidak tersedak, Bang.” Isha beralasan.Satrio tersenyum. “Ya udah, dilanjut makannya, Dek. Setelah makan, Abang mau bicara,” ucapnya sebelum kembali menyuapkan nasi padang dan rendang ke dalam mulut.Pasangan pengant