Share

Bab 3

Pria berambut ikal sebahu itu seketika menoleh pada pemilik kontrakan. Satrio pikir masalahnya selesai begitu menikah dengan Isha, ternyata masih saja ada. Di mana dia dan istrinya akan tinggal kalau begini?

“Bawa barang-barangmu ke sini! Kalian lebih baik tinggal di sini daripada harus mencari kontrakan lagi.” Belum sempat Satrio menimpali, Baskoro sudah berbicara terlebih dahulu dengannya.

“Ya, Pak. Terima kasih.” Satrio menghela napas lega karena masalah tempat tinggal sudah mendapat solusi.

“Is, bantu Satrio berkemas,” titah Baskoro pada putrinya. Walau sebenarnya masih tak rela Isha menikah dengan Satrio, tapi dia tidak tega membiarkan putri sulungnya itu tidak punya tempat tinggal.

Isha mengangguk kemudian ikut Satrio ke kontrakan. Tak banyak barang milik pria itu. Hanya pakaian dan alat makan saja. Barang eletronik juga tak punya. Jadi tak butuh waktu lama untuk berkemas.

“Ini kuncinya, Pak. Terima kasih sudah mengizinkan saya mengontrak di sini. Mohon maaf atas segala salah dan khilaf saya.” Satrio menyerahkan kunci pada pemilik kontrakan yang menunggunya berkemas.

“Gara-gara kamu, citra kontrakanku jadi jelek,” decak pemilik kontrakan saat menerima kunci kontrakannya.

“Sekali lagi saya mohon maaf, Pak.” Satrio mengatupkan kedua tangan di depan dada. Dia lantas mengajak Isha kembali ke rumah Baskoro.

“Pak, ada apa ini? Kenapa pengangguran ini ada di sini? Bawa tas lagi!” cecar Lina, istri Baskoro, yang baru datang entah dari mana bersama Vita, anak kandungnya. Dia kagaet melihat Satrio yang masuk ke rumah bersama Isha.

“Ibu dari mana sama Vita?” Baskoro balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan istrinya. Waktu sudah hampir tengah malam tapi istri dan anaknya baru pulang.

“Ibu tadi diundang makan malam sama keluarga pacarnya Vita, Pak. Karena keasyikan mengobrol jadi baru pulang. Gimana ga betah, di sana rumahnya bagus dan lebih besar dari rumah kita ini.” Lina sengaja memuji pacar Vita seraya melirik Isha, anak tirinya.

“Kalau Ibu sama Vita mau pergi, bisa ‘kan ngabarin Bapak atau Isha biar Isha tetap bisa masuk rumah begitu pulang kerja? Kuncinya juga bisa disimpan di bawah keset atau dititip tetangga! Gara-gara Ibu sama Vita pergi tanpa kabar, Isha jadi harus menikah dengan Satrio.” Baskoro masih menyesali putrinya yang menikah dengan Satrio. Apalagi penyebabnya karena digerebek warga. Sebagai bapak, dia merasa sudah gagal karena tidak bisa menjaga anak sulungnya itu.

“Apa? Isha menikah sama pengangguran itu? Kaya ga ada pria lain saja yang lebih layak dinikahi,” ucap Lina seraya menatap pasangan pengantin baru itu dengan sinis.

“Lihat Vita ini, punya pacar yang kerja di perusahaan besar. Katanya juga sebentar mau naik jabatan.” Wanita paruh baya itu membanggakan sang putri kandung yang berdiri di sampingnya.

Vita yang disanjung merasa besar kepala. Dia melipat kedua tangan di depan dada dengan senyum mengejek.

“Memang beda sih selera orang yang lulusan sarjana sama SMA. Kalau anak SMA pengangguran pun tidak masalah.” Lina kembali menyindir anak tirinya.

“Ya mau gimana lagi, Bu. Pergaulan Mbak Isha ‘kan tidak luas, jadi kenalannya juga terbatas. Asal jenis kelaminnya laki-laki saja pasti mau daripada ga laku. Beda sama pacarku, selain ganteng dia juga punya gaji besar dan jabatan bagus. Masa depan jelas terjamin, enggak abu-abu,” timpal Vita, menyombongkan diri.

“Kamu memang pintar cari calon suami, Vit. Ibu bangga sama kamu.” Lina kembali memuji putri kandungnya.

“Ya jelas, Bu. Aku ini sarjana, terpelajar. Calon suamiku pastinya lulusan sarjana, punya gaji dan juga jabatan bagus. Bukan pengangguran tidak jelas. Mau makan apa nanti setelah menikah kalau tidak punya kerjaan.” Vita semakin merendahkan Isha dan Satrio.

“Sudah cukup! Tidak baik membanding-bandingkan orang!” Baskoro menegur istri dan anak bungsunya. Dia kemudian beralih pada Isha dan Satrio. “Kalian sebaiknya masuk ke kamar. Sudah malam, waktunya istirahat,” titahnya.

“Kami permisi dulu, Pak, Bu.” Meskipun sudah dihina dan direndahkan, Satrio tetap bersikap hormat pada ibu tiri Isha. Dia mengikuti istrinya masuk ke kamar sambil membawa barang yang dibawa dari kontrakan.

Dalam ruangan berukuran 3 x 3 meter itu tidak terdapat banyak barang atau pernak-pernik khas seorang gadis. Hanya ada meja rias kecil yang menunjukkan kalau pemiliknya adalah seorang wanita. Itu juga dilihat dari beberapa kosmetik yang ada di atas meja.

“Dek, kita salat Isya dulu yuk. Sekalian sama salat sunah pengantin,” ajak Satrio setelah meletakkan barangnya di sudut ruangan.

“I—iya, Bang. Aku ambil wudu dulu sekalian membersihkan diri.” Isha gegas keluar dari kamarnya karena merasa gugup. Gadis itu tidak menduga Satrio mengajaknya salat sunah pengantin bersama. Apa mungkin suaminya akan meminta haknya malam ini?

Tak ingin pikirannya semakin melantur, Isha segera membersihkan diri kemudian berwudu. Setelah dia masuk ke kamar, gantian Satrio yang membersihkan diri dan mengambil wudu.

Usai menjalankan salat Isya dan salat sunah pengantin, keduanya tak langsung berdiri. Satrio duduk menghadap sang istri lantas mengulurkan tangan kanannya. Isha menyambut uluran tangan itu kemudian mencium punggung tangan suaminya untuk pertama kali. Jantung keduanya berdetak dengan cepat karena baru pertama mereka seintens ini.

Satrio duduk lebih dekat dengan Isha. Dia meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun sang istri kemudian melantunkan doa. Setelah itu Satrio mencium kening istrinya untuk pertama kali.

“Dek, ada yang ingin Abang bicarakan,” ucap Satrio seraya memandang wajah cantik Isha.

“Apa, Bang?” Isha menunduk. Dia jadi gugup dan salah tingkah karena dipandangi dengan intens oleh Satrio. Baru kali ini gadis itu benar-benar dekat dengan seorang pria. Selama ini Isha memang belum pernah pacaran.

Pria berambut ikal sebahu itu tersenyum tipis melihat tingkah istrinya. Dia lantas memberanikan diri meraih tangan Isha dan menggenggamnya. Membuat gadis itu mendongak dan menatapnya dengan malu-malu.

“Dek, walau pernikahan kita terjadi karena desakan warga, tapi Abang ingin benar-benar menjalaninya. Meskipun masih secara agama, tapi kita sudah terikat sebagai suami istri. Abang akan berusaha memenuhi kewajiban sebagai suami. Abang akan menafkahi Dek Isha semampu abang,” ucap Satrio tanpa melepaskan pandangan dari wanita yang sudah dihalalkannya itu.

“Apa Dek Isha setuju sama Abang?” tanyanya kemudian.

Isha menatap mata pria di hadapannya. Berusaha mencari kebohongan di sana. Namun sayang, dia tak menemukannya. Hatinya bimbang, haruskah dia menerima pria yang tidak jelas masa depannya itu? Atau menolaknya saja. Toh, mereka belum melakukan apa-apa. Kalaupun berpisah, ya tinggal pisah saja tidak usah mengurus ke pengadilan agama. Yang jelas, mereka sudah menuruti keinginan warga, berarti sudah selesai ‘kan masalahnya?

Dalam hatinya Isha juga ingin punya suami yang mapan, yang bisa menafkahi dia dan anak-anaknya. Bukan pengangguran yang hanya punya uang seratus ribu di dompetnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status