Share

Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan
Dikira Pengangguran Ternyata Hartawan
Penulis: Kokoro No Tomo

Bab 1

"Astaghfirullah! Apa yang kalian lakukan di kontrakanku ini!?" Teriakan seorang pria membangunkan Isha dan Satrio yang tertidur di ruang tamu.

"Bisa-bisanya kalian berzina di sini!" tuduh sang pemilik kontrakan sambil berkacak pinggang.

Kesadaran Isha dan Satrio langsung terkumpul begitu mendengar tuduhan tersebut. Keduanya sontak berdiri. Satrio membenarkan ikatan sarungnya yang tidak sempurna, sementara Isha mengancingkan bagian atas kemeja yang terbuka dan menutupnya dengan hijab yang tadi tersingkap.

Kedua orang itu membelalakkan mata begitu menyadari beberapa warga melihat mereka dengan sorot mata tajam dan penuh amarah. Membuat Isha jadi bergidik.

"A-apa?! Zina? Itu tidak benar, Pak! Kami sama sekali tidak melakukan apa-apa!" sahut Isha dengan panik.

“Jangan mengelak! Buktinya sudah jelas! Lihat! Kamu saja memakai baju Satrio!” Pemilik kontrakan itu menunjuk kemeja yang dikenakan Isha.

Gadis berusia 25 tahun itu melihat pakaiannya. Dia baru ingat memakai kemeja Satrio karena kemejanya basah akibat kehujanan. “I-ni tidak seperti yang Bapak-bapak pikirkan!” sanggahnya.

“Mana mungkin kalian berduaan tapi tidak melakukan apa-apa. Kalau ada pria dan wanita yang bukan mahram berduaan, pasti setan jadi orang ketiganya!” tukas pemilik kontrakan yang tetap bersikeras dengan pendapatnya.

“Astaghfirullah! Itu tidak benar, Pak! Demi Allah, kami tidak melakukan zina.” Isha kembali menyangkal tuduhan warga. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Tidak usah menyebut nama Allah! Tidak pantas pezina kalian menyebut nama-Nya!”

“Iya. Kelihatannya saja alim ternyata doyan juga tidur sama pria.”

“Jangan-jangan ini bukan pertama kali mereka begituan, tapi baru ketahuan sekarang!”

Berbagai celetukan warga yang menyudutkan Isha terdengar silih berganti hingga membuat air mata yang tadi menggenang, jatuh membasahi pipi gadis itu. Hatinya sakit sekali mendengar tuduhan warga yang sama sekali tidak benar.

“Ketahuan zina saja menangis. Lupa tadi sudah bersenang-senang dengan Satrio!” lontar seorang warga dengan sinis.

“Hapus air mata buayamu itu! Kami tidak akan terpengaruh!” hardik warga lainnya.

“Bapak-bapak, tolong jangan berkata seperti itu pada Dek Isha!” Satrio akhirnya membuka mulut karena tidak tahan melihat Isha yang menangis.

“Heh, Satrio! Kamu sok mau jadi pahlawan kesiangan? Pengangguran saja belagu!”

“Kamu itu pendatang! Bisa-bisanya malah bikin masalah dan mencoreng nama baik kampung ini!”

“Lagian Isha, mau-maunya sama pengangguran kaya Satrio. Apa yang mau dibanggakan kalau cuma bisa memberi kepuasan?!”

“Kamu memang tidak tahu diuntung, Sat. Warga sudah menerimamu tapi kamu malah berbuat zina di kampung ini. Bikin malu saja!”

Rahang Satrio mengetat, kedua tangannya pun mengepal saat mendengar berbagai hinaan warga padanya. Namun dia tetap diam. Percuma juga membela diri karena warga tak akan percaya.

"Seret saja yang sudah berbuat mesum di kampung ini!" teriak salah satu warga.

"Iya. Kita arak keliling kampung biar semua orang tahu kelakuan tidak bermoral mereka!" timpal warga yang lain.

"Iya. Betul itu! Kalau perlu diusir karena sudah mempermalukan kampung ini!" Berbagai macam kalimat dilontarkan oleh warga.

“Tenang, Bapak-bapak semua. Mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin!" Pak RT yang baru saja datang berusaha menenangkan warga.

“Mereka harus dihukum biar jera, Pak. Jangan dilepas begitu saja!”

“Ada apa ini, Pak?” Seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam satpam mendatangi kontrakan Satrio yang dipenuhi banyak orang.

“Wah, Pak Baskoro. Kebetulan sekali Bapak datang. Kami sedang bermusyawarah untuk menentukan nasib Nak Satrio dan Nak Isha. Mereka kepergok berduaan di sini. Dan menurut warga yang memergoki, mereka sudah berzina,” jelas Pak RT.

“Apa? Kurang ajar!” Mata Baskoro berubah nyalang. Tanpa mengatakan apa pun dia mendekati Satrio dan memukul pemuda itu sebanyak dua kali sebelum akhirnya ditarik oleh warga.

“Pengangguran seperti kamu, berani-beraninya menodai anakku,” teriak Baskoro sambil menuding Satrio yang sedang menyeka darah di sudut bibirnya.

“Kamu benar-benar tidak tahu diri!” Baskoro kembali ingin memukul Satrio, tapi warga berhasil menahannya.

Satrio hanya diam, menunduk. Tidak membalas juga tidak berbicara untuk membela diri.

“Bapak! Sudah! Jangan pukuli Bang Satrio!” Isha berdiri di depan Satrio.

“Isha, minggir! Buat apa kamu membela pengangguran tidak berguna seperti dia! Apa kamu sudah dibutakan dengan ketampanannya?” Baskoro menatap tajam putrinya.

“Astaghfirullah! Apa yang mereka katakan tidak benar, Pak. Apa Bapak tidak percaya sama aku, anak kandung Bapak sendiri? Demi Allah, aku tidak melakukan zina, Pak!” tukas Isha. Air matanya semakin deras mengalir. Hatinya semakin sakit karena Baskoro tidak percaya padanya.

“Terus apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya pulang ke rumah, malah berduaan sama pengangguran itu! Kalau kamu suka sama laki-laki, carilah yang masa depannya bagus. Jangan seperti dia!” Baskoro kembali menunjuk Satrio.

“Mau dikasih makan apa kamu sama anak-anakmu nanti? Batu?” sergah pria paruh baya itu.

“Pak, aku sama Bang Satrio tidak melakukan apa-apa. Tadinya aku mau pulang tapi tidak ada orang di rumah. Aku tidak bawa kunci, makanya aku nunggu Bapak di sini,” jelas Isha. Berharap dengan penjelasannya itu bapaknya bisa mengerti.

“Kamu ‘kan bisa menunggu di teras rumah. Kenapa harus di sini, Is?” tukas Baskoro.

Isha terdiam karena tidak punya alasan yang tepat. Benar apa yang dikatakan bapaknya, harusnya dia menunggu saja di teras, tidak malah ikut ajakan Satrio.

“Sudah, tidak usah banyak drama! Kita arak saja mereka keliling kampung biar jera!” lontar warga.

“Ya, benar. Ayo!”

“Bapak-bapak, saya mohon tenang! Tahan emosi dulu! Negara kita negara demokrasi, mari kita selesaikan masalah ini dengan musyawarah.” Pak RT lagi-lagi menenangkan warga. Setelah kondisi kembali kondusif, dia kembali berbicara.

“Pak Baskoro, warga kampung sini tidak bisa menerima tindakan tidak terpuji yang sudah dilakukan Nak Satrio dan Nak Isha. Mereka ingin mengarak lalu mengusir pelaku zina dari kampung sini,” ujar Pak RT.

“Siapa yang akan diusir, Pak?” Baskoro memandang Pak RT. Kepalanya berdenyut mendengar ucapan pengurus kampung itu. Pulang kerja harusnya beristirahat, malah anak dari almarhum istri pertamanya membuat masalah.

“Nak Satrio dan Nak Isha, Pak,” jawab Pak RT.

“Apa? Kami ‘kan sudah lama tinggal di sini. Masa warga sendiri mau diusir? Kalau Satrio, wajar karena dia pendatang dan belum lama tinggal di sini,” protes Baskoro, tak terima dengan keputusan warga. Emosi yang sempat turun, naik lagi.

“Warga tidak mau tahu, Pak. Mereka tidak ingin kampung ini jadi sial karena ada yang melakukan zina. Siapa pun yang berbuat zina di sini harus mendapat sanksi sosial baik warga lama maupun baru. Karena Pak Baskoro dan keluarga sudah lama menjadi warga sini, jadi satu-satunya solusi agar Nak Isha dan Nak Satrio tidak diusir, ya harus dinikahkan saat ini juga,” jelas Pak RT dengan tenang.

“Apa? Menikah?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status