Dengan tubuh gemetar, Danny menghampiri jasad kedua orangtuanya yang saat itu terpisah. Ia lebih dulu menghampiri jasad sang ayah yang sudah terluka parah.
“Ayah, bangun, yah. Bangun!” pekik Danny dengan suara serak, rasanya ia ingin menangis.Beberapa kali ia memanggil nama samg ayah, namun tidak ada jawaban dari lelaki yang sudah membesarkannya.“Ayah!” jerit Danny dengan air mata yang kini mengalir deras membasahi wajahnya.Dipeluknya sang ayah dengan sangat erat, tidak peduli darah yang berada di tubuh sang ayah berpindah kepadanya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk membangunkan sang ayah, namun usahanya sia-sia. Lelaki berumur 60 tahun sudah terbujur kaku dengan darah dan luka yang memilukan.“Yah, tolong bangun, katakan siapa yang sudah melakukan hal ini, Yah.” Danny masih terus berusaha, suaranya sangat serak saat itu. Ia tidak menyangka kejadian mengerikan ini terjadi kepada keluarganya.Seberapa banyak ia bertanya kepada sang ayah, lelaki paruh baya tersebut tidak akan mampu menjawabnya.Tidak, bagaimana hal kejam ini terjadi? Kedua orangtuanya adalah orang yang sangat baik, selama ini hubungannya dengan masyarakat pun tidak ada masalah, lalu kenapa hal ini terjadi? Siapa yang tega melakukan hal sekeji ini?Kedua bola mata Danny berpindah kearah sang ibu yang juga sudah terbaring lemah penuh luka dan darah di atas lantai. Ia meletakkan kembali tubuh sang ayah dari pangkuannya dengan pelan, lalu ia berhambur menghampiri sang ibu yang kondisinya tidak kalah memilukan.“Ibu!” Danny kembali menjerit histeris.Keadaan Nona Rihana jauh lebih memilukan. Bajunya terkoyak, jelas wanita paruh baya itu mendapatkan kekerasan seksual.“Tidakkkk!” Danny berteriak histeris melihat keadaan kedua orangtua yang ia sayangi seperti itu.Dipeluknya jasad kedua orangtuanya dengan tangisan pilu. Tangan Danny yang semula bersih kini berlumuran dengan darah kedua orangtuanya. Ia masih bertanya-tanya siapa yang tega melakukan hal keji seperti ini kepada mereka.Demi Tuhan, Danny tidak akan memaafkan pelaku penganiayaan ini!Keesokan harinya ….Kedua orangtua Danny dimakamkan di pemakaman umum. Banyak tetangga yang terkejut dengan kematian dua manusia yang selama ini mereka kenal sangat baik.Dugaan sementara dari kasus yang dialami oleh keluarga Danny adalah perampokan, akan tetapi Danny tidak memercayai dugaan tersebut, sebab tidak ada barang-barang berharga yang hilang. Lagian siapa yang mau merampok rumahnya? Rumahnya jelek dan tidak ada barang berharga yang bisa dirampok. Kehidupan Danny dan keluarganya selama ini cukup sederhana. Meski begitu, Danny selalu menikmati momen kebersamaan bersama kedua orangtuanya, mereka adalah orangtua yang sangat baik, penyayang dan penuh cinta, ia merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Sehingga kematian mereka saat ini menjadikan Danny menyimpan seribu pertanyaan dan seribu dendam. Siapapun pelakunya, ia harus membalasnya dengan balasan yang setimpal!Satu persatu pelayat yang ikut mengantarkan kedua orangtua Danny ke tempat peristirahatan yang terakhir pergi. Tinggal Danny seorang yang berada di sana. Iya, ia tidak memiliki saudara, ia anak tunggal dari Tuan Fandy dan Nona Rihana. Danny juga tidak memiliki kerabat dekat.“Ayah, Ibu, siapa yang melakukan ini kepada kalian?” rintih Danny seraya mengusap nisan kedua orangtuanya.Selama ini, ia tidak pernah menangis, namun saat ini tangisannya tidak terbendung. Semalaman ia tidak tidur, meratapi kematian kedua orangtuanya. Ia tidak pernah menduga hal sekejam ini terjadi kepada kedua orangtuanya. Ia tidak pernah membayangkan akan kehilangan kedua orangtuanya dengan cara yang tragis seperti ini.“Katakan kepada Danny, Yah, Bu. Siapa yang sudah melakukan ini sama kalian? Danny ingin membalasnya! Danny ingin membunuhnya!” ucap Danny kejam.Anak mana yang tidak ingin balas dendam bila melihat kedua orangtuanya terbujur kaku dengan cara yang sangat tragis? Danny yakin, semua anak akan berpikir yang sama seperti dirinya. Danny bersumpah, akan mencari tahu penyebab kedua orangtuanya meninggal dan memberikan balasan yang setimpal atas apa yang sudah dilakukan kepada kedua orangtuanya.Danny menggenggam tanah kuburan kedua orangtuanya dengan kedua tangan, ia memandang kepalan tangannya dengan sorot mata yang begitu tajam.“Aku tidak akan membiarkan orang yang menyakiti kalian hidup tenang, Yah, Bu.” Danny berucap dingin.Beberapa detik kemudian, genggaman tangannya melonggar, ia tertunduk lesu, kedua bahunya bergetar, tangisnya kembali pecah saat itu juga, dipeluknya dua pusara kedua orangtuanya. Danny seperti anak kecil yang sangat kehilangan kedua orangtuanya.Lelaki berusia 30 tahun itu terus berada di sana sampai sore hari menjelang malam. Saat matahari mulai redup, Danny baru bangkit dari sana.Sebelum pergi, ia memandangi kedua pusara kedua orangtuanya dengan perasaan pilu, hancur sudah kebahagiaannya. Kepergian mereka berdua meninggalkan luka yang teramat dalam baginya.Danny pulang dengan perasaan hampa, tidak ada senyum yang menghiasi wajahnya seperti biasa. Para tetangga sangat memaklumi perasaan Danny, sehingga mereka hanya bisa menatap iba lelaki itu saat melewati rumah.Lelaki tampan nan gagah itu membuka pintu rumahnya yang sejak pagi tadi tertutup rapat, ia berdiri di ambang pintu seraya menatap seluruh ruangan di rumahnya dengan perasaan hampa dan pilu. Saat ini, keadaan rumahnya sudah rapi seperti biasanya, namun terasa kosong. Tidak ada lagi tawa dan sambutan hangat dari kedua orangtuanya.“Permisi, Tuan!” salam seseorang membuyarkan lamunan Danny.Dengan wajah sembab, ia berbalik dan menatap seseorang yang barusan memberi salam kepadanya. Ia nampak bingung melihat beberapa laki-laki berjas hitam tiba-tiba berbaris rapi dihalaman rumahnya yang tidak luas.“Siapa kalian?” tanya Danny keheranan.Sejenak, mereka saling pandang sebelum menjawab pertanyaan Danny. Tiba-tiba saja barisan mereka terbelah menjadi dua, menampilkan seorang kakek berkulit putih dan memakai kacamata turun dari mobil mewah.Danny semakin keheranan melihatnya, ia sama sekali tidak kenal mereka. Apa mereka mau melayat? Jika iya, mereka sungguh terlambat. Pikir Danny.“Apa benar ini rumah Fandy Laksana?” tanya kakek tersebut, yang entah sejak kapan sudah berada di depan Danny.“Hem.” Danny berdehem seraya mengangguk.“Suruh dia keluar, saya ingin bertemu dengannya,” suruh kakek tersebut.“Siapa Anda?” tanya Danny.Bukannya menjawab, kakek tersebut justru menatapnya dari atas sampai bawah dengan tatapan penuh makna, sayangnya Danny tidak mampu menerka arti tatapan tersebut.“Kamu sendiri siapa? Anak Fandy?” tebak kakek tersebut.Danny menghela nafas sejenak, jika di depannya bukan orangtua, mungkin ia sudah beralu masuk dan tidak mau meladeni pertanyaan bodoh tersebut, apalagi keadaannya sedang berduka seperti sekarang.“Jawab pertanyaanku anak muda.” Sang kakek memaksa.“Iya, saya anaknya. Ada apa Anda ingin bertemu dengan ayahku? Apa beliau mempunyai hutang kepada Anda?” tanya Danny, meski ia tahu kalau sang ayah tidak mungkin mempunyai hutang.“Bukan ayahmu yang mempunyai hutang, tapi saya yang mempunyai hutang kepadanya.”“Apa maksud Anda?”****“Akan saya jelaskan nanti setelah bertemu dengan ayahmu. Sekarang, dimana dia? Katakan padanya saya datang,” celoteh sang kakek.Danny menelan salivanya, pandangannya seketika kosong dan berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa kepada kakek tersebut.“Kenapa kamu diam saja, anak muda? Cepat panggil ayahmu!” tegur sang kakek yang tidak sabar ingin bertemu dengan ayah Danny.“Mari saya antar Anda bertemu dengannya.” Danny melangkah kearah keluar lalu menutup pintunya kembali.“Baiklah.” Sang kakek yang tidak tahu akan dibawa kemana hanya menurut saja kepada Danny. Beliau pikir orang yang beliau cari berada di luar.Danny dipersilahkan masuk ke mobil mewah milik sang kakek, awalnya Danny sempat tidak mau, namun sang kakek memaksa dengan alasan ingin segera bertemu dengan Tuan Fandy.Danny di depan sang supir untuk mengarahkan jalan, sedangkan sang kakek duduk di belakang bersama seorang lelaki berpakaian rapi, sepertinya lelaki tersebut adalah asisten sang kakek.“Berapa umur
“Ibra!” teriak sang kakek kepada anak sulungnya.Seorang lelaki paruh baya pun sedikit berlari menghadap sang kakek.“Ada apa, Pa?” Lelaki bernama Tuan Ibra itu pun bertanya, namun sejenak melirik kearah Danny yang berada di belakang Tuan Willam sembari menggendong tas dengan satu tangannya.“Dia siapa, Pa?” tanya Tuan Ibra, sorot matanya sedikit tajam, mungkin karena penasaran.“Dia Danny. Anak Fandy.”“Maksud Papa?” Tuan Ibra sedikit syok.“Itu artinya dia cucuku, bodoh!” sentak Tuan Willam kepada anak sulungnya.Tuan Ibra terlihat menelan salivanya, entah kenapa wajahnya mendadak pucat pasi mendengar jawaban sang kakek.“La – lu Fandynya mana, Pa?” Tuan Ibra gugup.Sang kakek menarik nafas panjang, kesedihan yang sempat hilang mendadak kembali hadir mendengar pertanyaan Tuan Ibra. Danny menyentuh pundak sang kakek guna menenangkannya, padahal ialah yang seharusnya mendapatkan hiburan sebab ia yang selama ini hidup bersama mereka. Akan tetapi, Danny sadar apa yang dirasakan
Sungguh di luar dugaan, reaksi paman Danny membuat Danny bertanya-tanya, lelaki parauh baya tersebut seakan tidak rela bila perusahaannya jatuh ke tangannya ataupun ayahnya. Mungkinkah … ah, tidak mungkin. Mana ada saudara membunuh saudaranya sendiri demi harta?“Cucuku, jangan hiraukan pamanmu. Kakek percaya, kamu adalah pewaris yang tepat,” kata sang kakek setelah Paman Ibra pergi dari rumah lantaran kesal dengan keputusan sang kakek.“Aku jadi merasa tidak enak, Kek.”“Tidak, Dan. Sudah lama Kakek memikirkan hal ini. Kakek mencari ayahmu karena Kakek yakin bahwa dialah pewaris yang terbaik bagi keturunan Kakek, tetapi takdir berkata lain. Ayahmu sudah tiada dan Kakek sangat berharap kamu adalah orang yang tepat memegang semua kekayaan kakek,” tutur Kakek Willam.Danny hanya bisa terdiam, ia pun dibawa ke kamarnya yang sangat luas dan megah. Sebenarnya, itu bukan kamarnya, melainkan kamar mendiang almarhum ayahnya yang kini sudah tiada. Sungguh, Danny tidak menyangka ayahnya bis
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Danny kepada Meysa untuk mengalih pertanyaan Eric terhadap Egard. “Hem, terima kasih.” Meysa pun memperbaiki posisi tubuhnya. “Hay, Cintya. Apa kabar?” sapa Danny sambil tersenyum paksa. “Baik, sangat baik. Kamu lihat, apalagi aku sekarang sudah memiliki kekasih yang bisa bahagiain aku. Tidak seperti kamu, gak bisa bahagiain aku!” sindir Cintya. Danny menghela nafas panjang, ingin sekali memberitahu kepada wanita itu bahwa dirinya cucu orang terkaya di negeri ini. “Kalau begitu selamat. Semoga kalian terus bahagia sampai akhir,” pesan Danny tanpa beban sama sekali. Entah hatinya sudah tertutup atau memang dirinya yang saat ini tidak peduli akan cinta, yang ia pedulikan mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Itu tujuan Danny sekarang. “Tentu saja.” Cintya pun melengos, berganti menatap Eric dengan senyuman manis. Tangannya pun tidak lupa merangkul mesra lengan kekasihnya. “Dasar pelakor!” umpat Meysa melihat kemesraan Cintya dan Eric. Cintya
Danny Laksana keluar dari mobil lalu masuk ke rumah sang kakek. Ia tidak peduli dengan tatapan kebencian Eric kepadanya. Toh, bukan dia yang mau berada di posisi ini, siapa suruh tidak bisa mengambil hati sang kakek, malah asyik bermain perempuan. “Dasar belagu, awas kamu!” umpat Eric sembari mengepalkan tangan kirinya dan mengarahkannya ke Danny yang sedang melangkah. “Tuan,” tegur Elgard. “Sekarang, kamu juga berada di posisinya?” “Bukan seperti itu, Tuan. Tetapi, sekarang dia juga cucu Tuan Besar. Saya harus menghormatinya.” “Cih!” kesal Eric lalu masuk ke mobil. Ia harus menemui papanya untuk membicarakan hal ini. Kenapa beliau tidak memberitahunya tentang Danny? “Papa!” teriak Eric saat sampai rumah. “Apa teriak-teriak begitu? Papa ini gak tuli, Ric!” “Kenapa Papa gak bilang soal Danny sama Eric? Dan kenapa pula Papa biarkan dia mendapatkan posisi kepemimpinan di perusahaan kakek?” terang Eric panjang lebar kepada sang papa. Lelaki berumur 67tahun itu duduk dengan wajah
Danny menemukan sebuah surat di bawah tumpukan baju almarhum ayahnya. Ia penasaran surat apa itu. Ia duduk di tepi ranjang milik kedua orang tuanya. Kasur yang tidak empuk, namun mampu menciptakan moment romantis keduanya. Sehingga pernikahan kedua orangtua Danny mampu bertahan sampai maut memisahkan mereka. Danny anakku.... Ada rahasia besar yang harus ayah dan ibu katakan kepadamu, namun kami tidak tahu waktu yang pas memberitahumu. Ayah dan Ibu sengaja menulis surat ini untuk memberitahumu bahwa kamu adalah cucu Tuan Willam, beliau ada orangtua kandung ayah. Kelak, jika ayah sudah tiada, temuilah beliau dan sampaikan permintaan maaf ayah pada beliau sebab ayah sudah tidak diperbolehkan lagi menginjakkan kakinya di sana. Ada alasan kenapa hal ini terjadi, nak. Sejak dulu hubungan Ayah dan Ibu tidak direstui oleh kedua orang Ayah, itu sebabnya ayah pergi menjauh dan memilih menikahi Ibumu. Nak, Ayah dan Ibu memberitahumu karena kami hanya ingin kamu tahu bahwa sebenarnya kamu
Karena ponsel sang ayah mati, Danny mengecesnya di rumah sang kakek saat pulang ke sana. Meninggalkan Cintya dan tidak memperdulikan keinginan wanita itu untuk kembali. Danny bukan tempat singgah dan pergi begitu saja. Apalagi alasan Cintya kembali kepadanya bukan atas dasar cinta, melainkan karena dirinya sekarang orang kaya. Hari berikutnya, Danny dan Egard mulai masuk kantor secara rutin. Tugasnya dari pelayan berubah menjadi pemimpin perusahaan. Sebuah takdir yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sedangkan Eric, menjadi wakil director di perusahaan tersebut. Lelaki itu sekarang juga mulai berangkat rutin. Bersaing dengan Danny karena memang itulah niat Eric. Saat mereka berdua berpapasan, pandangan mereka bertemu, Eric memancarkan pandangan kebencian, sedangkan Danny menatap Eric dengan tatapan malas. “Dengar, aku tidak akan pernah terima takdir ini,” kata Eric penuh penekanan. “Aku tahu,” balas Danny. “Perusahaan ini hanya milikku dan papa.” “Yang memutuskan adalah kakek, bu
Setelah pertemuannya dengan Meysa, Danny kembali ke rumah. Ia sudah membuat kesepakatan dengan wanita tersebut – mantan kekasih Eric. Lelaki yang menjadi selingkuhan Cintya. Kemalangan yang menimpa hidupnya membuat hati Danny menjadi keras, ia tidak mau jatuh ke dalam penderitaan yang sama pula. Tujuan hidupnya sekarang membuat Cintya menyesal, juga mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Danny teringat dengan Paman Ibra. Apakah beliau sudah mencari tahu tentang pembunuhan kedua orang tuanya? Kenapa sampai sekarang beliau tidak memberinya kabar? Mengingat hal itu, Danny segera mengajak Paman Ibra untuk bertemu. Membahas pencarian pembunuhan tersebut. Keesokan harinya, Danny berangkat ke kantor. Sebelum berangkat ke kantor, lelaki itu menuju sebuah kontrakan dimana Meysa berada. Sesampainya di sana, ia berniat menghubungi Meysa, namun tidak lama kemudian wanita yang ia tunggu keluar dari kontrakan dengan pakaian rapi. “Tepat waktu juga kamu,” puji Danny, segera menggeser tub