Dengan tubuh gemetar, Danny menghampiri jasad kedua orangtuanya yang saat itu terpisah. Ia lebih dulu menghampiri jasad sang ayah yang sudah terluka parah.
“Ayah, bangun, yah. Bangun!” pekik Danny dengan suara serak, rasanya ia ingin menangis.Beberapa kali ia memanggil nama samg ayah, namun tidak ada jawaban dari lelaki yang sudah membesarkannya.“Ayah!” jerit Danny dengan air mata yang kini mengalir deras membasahi wajahnya.Dipeluknya sang ayah dengan sangat erat, tidak peduli darah yang berada di tubuh sang ayah berpindah kepadanya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk membangunkan sang ayah, namun usahanya sia-sia. Lelaki berumur 60 tahun sudah terbujur kaku dengan darah dan luka yang memilukan.“Yah, tolong bangun, katakan siapa yang sudah melakukan hal ini, Yah.” Danny masih terus berusaha, suaranya sangat serak saat itu. Ia tidak menyangka kejadian mengerikan ini terjadi kepada keluarganya.Seberapa banyak ia bertanya kepada sang ayah, lelaki paruh baya tersebut tidak akan mampu menjawabnya.Tidak, bagaimana hal kejam ini terjadi? Kedua orangtuanya adalah orang yang sangat baik, selama ini hubungannya dengan masyarakat pun tidak ada masalah, lalu kenapa hal ini terjadi? Siapa yang tega melakukan hal sekeji ini?Kedua bola mata Danny berpindah kearah sang ibu yang juga sudah terbaring lemah penuh luka dan darah di atas lantai. Ia meletakkan kembali tubuh sang ayah dari pangkuannya dengan pelan, lalu ia berhambur menghampiri sang ibu yang kondisinya tidak kalah memilukan.“Ibu!” Danny kembali menjerit histeris.Keadaan Nona Rihana jauh lebih memilukan. Bajunya terkoyak, jelas wanita paruh baya itu mendapatkan kekerasan seksual.“Tidakkkk!” Danny berteriak histeris melihat keadaan kedua orangtua yang ia sayangi seperti itu.Dipeluknya jasad kedua orangtuanya dengan tangisan pilu. Tangan Danny yang semula bersih kini berlumuran dengan darah kedua orangtuanya. Ia masih bertanya-tanya siapa yang tega melakukan hal keji seperti ini kepada mereka.Demi Tuhan, Danny tidak akan memaafkan pelaku penganiayaan ini!Keesokan harinya ….Kedua orangtua Danny dimakamkan di pemakaman umum. Banyak tetangga yang terkejut dengan kematian dua manusia yang selama ini mereka kenal sangat baik.Dugaan sementara dari kasus yang dialami oleh keluarga Danny adalah perampokan, akan tetapi Danny tidak memercayai dugaan tersebut, sebab tidak ada barang-barang berharga yang hilang. Lagian siapa yang mau merampok rumahnya? Rumahnya jelek dan tidak ada barang berharga yang bisa dirampok. Kehidupan Danny dan keluarganya selama ini cukup sederhana. Meski begitu, Danny selalu menikmati momen kebersamaan bersama kedua orangtuanya, mereka adalah orangtua yang sangat baik, penyayang dan penuh cinta, ia merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Sehingga kematian mereka saat ini menjadikan Danny menyimpan seribu pertanyaan dan seribu dendam. Siapapun pelakunya, ia harus membalasnya dengan balasan yang setimpal!Satu persatu pelayat yang ikut mengantarkan kedua orangtua Danny ke tempat peristirahatan yang terakhir pergi. Tinggal Danny seorang yang berada di sana. Iya, ia tidak memiliki saudara, ia anak tunggal dari Tuan Fandy dan Nona Rihana. Danny juga tidak memiliki kerabat dekat.“Ayah, Ibu, siapa yang melakukan ini kepada kalian?” rintih Danny seraya mengusap nisan kedua orangtuanya.Selama ini, ia tidak pernah menangis, namun saat ini tangisannya tidak terbendung. Semalaman ia tidak tidur, meratapi kematian kedua orangtuanya. Ia tidak pernah menduga hal sekejam ini terjadi kepada kedua orangtuanya. Ia tidak pernah membayangkan akan kehilangan kedua orangtuanya dengan cara yang tragis seperti ini.“Katakan kepada Danny, Yah, Bu. Siapa yang sudah melakukan ini sama kalian? Danny ingin membalasnya! Danny ingin membunuhnya!” ucap Danny kejam.Anak mana yang tidak ingin balas dendam bila melihat kedua orangtuanya terbujur kaku dengan cara yang sangat tragis? Danny yakin, semua anak akan berpikir yang sama seperti dirinya. Danny bersumpah, akan mencari tahu penyebab kedua orangtuanya meninggal dan memberikan balasan yang setimpal atas apa yang sudah dilakukan kepada kedua orangtuanya.Danny menggenggam tanah kuburan kedua orangtuanya dengan kedua tangan, ia memandang kepalan tangannya dengan sorot mata yang begitu tajam.“Aku tidak akan membiarkan orang yang menyakiti kalian hidup tenang, Yah, Bu.” Danny berucap dingin.Beberapa detik kemudian, genggaman tangannya melonggar, ia tertunduk lesu, kedua bahunya bergetar, tangisnya kembali pecah saat itu juga, dipeluknya dua pusara kedua orangtuanya. Danny seperti anak kecil yang sangat kehilangan kedua orangtuanya.Lelaki berusia 30 tahun itu terus berada di sana sampai sore hari menjelang malam. Saat matahari mulai redup, Danny baru bangkit dari sana.Sebelum pergi, ia memandangi kedua pusara kedua orangtuanya dengan perasaan pilu, hancur sudah kebahagiaannya. Kepergian mereka berdua meninggalkan luka yang teramat dalam baginya.Danny pulang dengan perasaan hampa, tidak ada senyum yang menghiasi wajahnya seperti biasa. Para tetangga sangat memaklumi perasaan Danny, sehingga mereka hanya bisa menatap iba lelaki itu saat melewati rumah.Lelaki tampan nan gagah itu membuka pintu rumahnya yang sejak pagi tadi tertutup rapat, ia berdiri di ambang pintu seraya menatap seluruh ruangan di rumahnya dengan perasaan hampa dan pilu. Saat ini, keadaan rumahnya sudah rapi seperti biasanya, namun terasa kosong. Tidak ada lagi tawa dan sambutan hangat dari kedua orangtuanya.“Permisi, Tuan!” salam seseorang membuyarkan lamunan Danny.Dengan wajah sembab, ia berbalik dan menatap seseorang yang barusan memberi salam kepadanya. Ia nampak bingung melihat beberapa laki-laki berjas hitam tiba-tiba berbaris rapi dihalaman rumahnya yang tidak luas.“Siapa kalian?” tanya Danny keheranan.Sejenak, mereka saling pandang sebelum menjawab pertanyaan Danny. Tiba-tiba saja barisan mereka terbelah menjadi dua, menampilkan seorang kakek berkulit putih dan memakai kacamata turun dari mobil mewah.Danny semakin keheranan melihatnya, ia sama sekali tidak kenal mereka. Apa mereka mau melayat? Jika iya, mereka sungguh terlambat. Pikir Danny.“Apa benar ini rumah Fandy Laksana?” tanya kakek tersebut, yang entah sejak kapan sudah berada di depan Danny.“Hem.” Danny berdehem seraya mengangguk.“Suruh dia keluar, saya ingin bertemu dengannya,” suruh kakek tersebut.“Siapa Anda?” tanya Danny.Bukannya menjawab, kakek tersebut justru menatapnya dari atas sampai bawah dengan tatapan penuh makna, sayangnya Danny tidak mampu menerka arti tatapan tersebut.“Kamu sendiri siapa? Anak Fandy?” tebak kakek tersebut.Danny menghela nafas sejenak, jika di depannya bukan orangtua, mungkin ia sudah beralu masuk dan tidak mau meladeni pertanyaan bodoh tersebut, apalagi keadaannya sedang berduka seperti sekarang.“Jawab pertanyaanku anak muda.” Sang kakek memaksa.“Iya, saya anaknya. Ada apa Anda ingin bertemu dengan ayahku? Apa beliau mempunyai hutang kepada Anda?” tanya Danny, meski ia tahu kalau sang ayah tidak mungkin mempunyai hutang.“Bukan ayahmu yang mempunyai hutang, tapi saya yang mempunyai hutang kepadanya.”“Apa maksud Anda?”****“Akan saya jelaskan nanti setelah bertemu dengan ayahmu. Sekarang, dimana dia? Katakan padanya saya datang,” celoteh sang kakek.Danny menelan salivanya, pandangannya seketika kosong dan berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa kepada kakek tersebut.“Kenapa kamu diam saja, anak muda? Cepat panggil ayahmu!” tegur sang kakek yang tidak sabar ingin bertemu dengan ayah Danny.“Mari saya antar Anda bertemu dengannya.” Danny melangkah kearah keluar lalu menutup pintunya kembali.“Baiklah.” Sang kakek yang tidak tahu akan dibawa kemana hanya menurut saja kepada Danny. Beliau pikir orang yang beliau cari berada di luar.Danny dipersilahkan masuk ke mobil mewah milik sang kakek, awalnya Danny sempat tidak mau, namun sang kakek memaksa dengan alasan ingin segera bertemu dengan Tuan Fandy.Danny di depan sang supir untuk mengarahkan jalan, sedangkan sang kakek duduk di belakang bersama seorang lelaki berpakaian rapi, sepertinya lelaki tersebut adalah asisten sang kakek.“Berapa umur
“Ibra!” teriak sang kakek kepada anak sulungnya.Seorang lelaki paruh baya pun sedikit berlari menghadap sang kakek.“Ada apa, Pa?” Lelaki bernama Tuan Ibra itu pun bertanya, namun sejenak melirik kearah Danny yang berada di belakang Tuan Willam sembari menggendong tas dengan satu tangannya.“Dia siapa, Pa?” tanya Tuan Ibra, sorot matanya sedikit tajam, mungkin karena penasaran.“Dia Danny. Anak Fandy.”“Maksud Papa?” Tuan Ibra sedikit syok.“Itu artinya dia cucuku, bodoh!” sentak Tuan Willam kepada anak sulungnya.Tuan Ibra terlihat menelan salivanya, entah kenapa wajahnya mendadak pucat pasi mendengar jawaban sang kakek.“La – lu Fandynya mana, Pa?” Tuan Ibra gugup.Sang kakek menarik nafas panjang, kesedihan yang sempat hilang mendadak kembali hadir mendengar pertanyaan Tuan Ibra. Danny menyentuh pundak sang kakek guna menenangkannya, padahal ialah yang seharusnya mendapatkan hiburan sebab ia yang selama ini hidup bersama mereka. Akan tetapi, Danny sadar apa yang dirasakan
Sungguh di luar dugaan, reaksi paman Danny membuat Danny bertanya-tanya, lelaki parauh baya tersebut seakan tidak rela bila perusahaannya jatuh ke tangannya ataupun ayahnya. Mungkinkah … ah, tidak mungkin. Mana ada saudara membunuh saudaranya sendiri demi harta?“Cucuku, jangan hiraukan pamanmu. Kakek percaya, kamu adalah pewaris yang tepat,” kata sang kakek setelah Paman Ibra pergi dari rumah lantaran kesal dengan keputusan sang kakek.“Aku jadi merasa tidak enak, Kek.”“Tidak, Dan. Sudah lama Kakek memikirkan hal ini. Kakek mencari ayahmu karena Kakek yakin bahwa dialah pewaris yang terbaik bagi keturunan Kakek, tetapi takdir berkata lain. Ayahmu sudah tiada dan Kakek sangat berharap kamu adalah orang yang tepat memegang semua kekayaan kakek,” tutur Kakek Willam.Danny hanya bisa terdiam, ia pun dibawa ke kamarnya yang sangat luas dan megah. Sebenarnya, itu bukan kamarnya, melainkan kamar mendiang almarhum ayahnya yang kini sudah tiada. Sungguh, Danny tidak menyangka ayahnya bis
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Danny kepada Meysa untuk mengalih pertanyaan Eric terhadap Egard. “Hem, terima kasih.” Meysa pun memperbaiki posisi tubuhnya. “Hay, Cintya. Apa kabar?” sapa Danny sambil tersenyum paksa. “Baik, sangat baik. Kamu lihat, apalagi aku sekarang sudah memiliki kekasih yang bisa bahagiain aku. Tidak seperti kamu, gak bisa bahagiain aku!” sindir Cintya. Danny menghela nafas panjang, ingin sekali memberitahu kepada wanita itu bahwa dirinya cucu orang terkaya di negeri ini. “Kalau begitu selamat. Semoga kalian terus bahagia sampai akhir,” pesan Danny tanpa beban sama sekali. Entah hatinya sudah tertutup atau memang dirinya yang saat ini tidak peduli akan cinta, yang ia pedulikan mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Itu tujuan Danny sekarang. “Tentu saja.” Cintya pun melengos, berganti menatap Eric dengan senyuman manis. Tangannya pun tidak lupa merangkul mesra lengan kekasihnya. “Dasar pelakor!” umpat Meysa melihat kemesraan Cintya dan Eric. Cintya
Danny Laksana keluar dari mobil lalu masuk ke rumah sang kakek. Ia tidak peduli dengan tatapan kebencian Eric kepadanya. Toh, bukan dia yang mau berada di posisi ini, siapa suruh tidak bisa mengambil hati sang kakek, malah asyik bermain perempuan. “Dasar belagu, awas kamu!” umpat Eric sembari mengepalkan tangan kirinya dan mengarahkannya ke Danny yang sedang melangkah. “Tuan,” tegur Elgard. “Sekarang, kamu juga berada di posisinya?” “Bukan seperti itu, Tuan. Tetapi, sekarang dia juga cucu Tuan Besar. Saya harus menghormatinya.” “Cih!” kesal Eric lalu masuk ke mobil. Ia harus menemui papanya untuk membicarakan hal ini. Kenapa beliau tidak memberitahunya tentang Danny? “Papa!” teriak Eric saat sampai rumah. “Apa teriak-teriak begitu? Papa ini gak tuli, Ric!” “Kenapa Papa gak bilang soal Danny sama Eric? Dan kenapa pula Papa biarkan dia mendapatkan posisi kepemimpinan di perusahaan kakek?” terang Eric panjang lebar kepada sang papa. Lelaki berumur 67tahun itu duduk dengan wajah
Danny menemukan sebuah surat di bawah tumpukan baju almarhum ayahnya. Ia penasaran surat apa itu. Ia duduk di tepi ranjang milik kedua orang tuanya. Kasur yang tidak empuk, namun mampu menciptakan moment romantis keduanya. Sehingga pernikahan kedua orangtua Danny mampu bertahan sampai maut memisahkan mereka. Danny anakku.... Ada rahasia besar yang harus ayah dan ibu katakan kepadamu, namun kami tidak tahu waktu yang pas memberitahumu. Ayah dan Ibu sengaja menulis surat ini untuk memberitahumu bahwa kamu adalah cucu Tuan Willam, beliau ada orangtua kandung ayah. Kelak, jika ayah sudah tiada, temuilah beliau dan sampaikan permintaan maaf ayah pada beliau sebab ayah sudah tidak diperbolehkan lagi menginjakkan kakinya di sana. Ada alasan kenapa hal ini terjadi, nak. Sejak dulu hubungan Ayah dan Ibu tidak direstui oleh kedua orang Ayah, itu sebabnya ayah pergi menjauh dan memilih menikahi Ibumu. Nak, Ayah dan Ibu memberitahumu karena kami hanya ingin kamu tahu bahwa sebenarnya kamu
Karena ponsel sang ayah mati, Danny mengecesnya di rumah sang kakek saat pulang ke sana. Meninggalkan Cintya dan tidak memperdulikan keinginan wanita itu untuk kembali. Danny bukan tempat singgah dan pergi begitu saja. Apalagi alasan Cintya kembali kepadanya bukan atas dasar cinta, melainkan karena dirinya sekarang orang kaya. Hari berikutnya, Danny dan Egard mulai masuk kantor secara rutin. Tugasnya dari pelayan berubah menjadi pemimpin perusahaan. Sebuah takdir yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sedangkan Eric, menjadi wakil director di perusahaan tersebut. Lelaki itu sekarang juga mulai berangkat rutin. Bersaing dengan Danny karena memang itulah niat Eric. Saat mereka berdua berpapasan, pandangan mereka bertemu, Eric memancarkan pandangan kebencian, sedangkan Danny menatap Eric dengan tatapan malas. “Dengar, aku tidak akan pernah terima takdir ini,” kata Eric penuh penekanan. “Aku tahu,” balas Danny. “Perusahaan ini hanya milikku dan papa.” “Yang memutuskan adalah kakek, bu
Setelah pertemuannya dengan Meysa, Danny kembali ke rumah. Ia sudah membuat kesepakatan dengan wanita tersebut – mantan kekasih Eric. Lelaki yang menjadi selingkuhan Cintya. Kemalangan yang menimpa hidupnya membuat hati Danny menjadi keras, ia tidak mau jatuh ke dalam penderitaan yang sama pula. Tujuan hidupnya sekarang membuat Cintya menyesal, juga mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Danny teringat dengan Paman Ibra. Apakah beliau sudah mencari tahu tentang pembunuhan kedua orang tuanya? Kenapa sampai sekarang beliau tidak memberinya kabar? Mengingat hal itu, Danny segera mengajak Paman Ibra untuk bertemu. Membahas pencarian pembunuhan tersebut. Keesokan harinya, Danny berangkat ke kantor. Sebelum berangkat ke kantor, lelaki itu menuju sebuah kontrakan dimana Meysa berada. Sesampainya di sana, ia berniat menghubungi Meysa, namun tidak lama kemudian wanita yang ia tunggu keluar dari kontrakan dengan pakaian rapi. “Tepat waktu juga kamu,” puji Danny, segera menggeser tub
Kakek Willam berhasil Danny tenangkan, beliau dibawa pulang dan istirahat di rumah. Danny terus mendampingi sang kakek agar tidak kembali nekat seperti tadi.“Istirahat, Kek. Semoga impi ayah,” pesan Danny lalu menarik selimut menutupi tubuh kakeknya.“Maafin Kakek, Dan.”“Kakek tidak salah apa-apa,” jawab Danny, hatinya ikut sesak melihat beliau sesedih ini.Siapa yang tidak syok mendapati anaknya membunuh anaknya yang lain. Tuan Willam tidak pernah menduga Ibra akan melakukan hal kejam tersebut. Ternyata, harta membuat buta memang buukan isapan belaka. Bukan hanya cinta yang membuat buta, harta juga.“Jangan lakukan hal nekat seperti tadi, Kek. Ayah tidak suka dengan orang yang mudah putus asa,” kata Danny.Tuan Willam kembali bersedih, rasa rindu terhadap anak bungsunya membuncah. Seandainya saja dulu beliau tidak mengusir dan menerima istri Fandy, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Sekarang beliau menyadari, bahwa tidak semua orangtua benar dan anak selalu salah, terkad
[Tidak, Tuan. Memangnya kenapa?][Beliau tidak ada di rumah, Gard!][Apa!]Danny menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara Egard yang melengking kuat, reaksi Egard sungguh luar biasa. Sambungan telepon langsung dimatikan, tidak lama kemudian Egard datang ke rumah untuk memastikan perkataan Danny. Danny sampai terkejut melihat kedatangan Egard yang cepat sampainya. “Naik apa kamu? Pesawat? Cepet banget datangnya!” Danny malah melawak. “Saya khawatir dengan keadaan Tuan Besar, Tuan. Bisa saja beliau berada dalam masalah besar,” ujarnya membuat kening Danny berkerut. “Masalah besar apa maksudmu?”Egard menelan Salivanya, saking khawatirnya dengan sang majikan, ia sampai keceplosan bicara. Egard bingung harus jawab apa, pasalnya sang majikan melarangnya untuk berbicara apa-apa kepada Danny. Tidak mau membuat cucunya itu semakin terlihat masalah. “Egard, masalah apa yang sedang kakek hadapi, katakan padaku!” desak Danny. “Maaf, Tuan.” Egard menggeleng. Beru
“Kejam sekali mereka.” Meysa geram mengetahui pelaku pembunuhan orangtua Danny.“Terkadang, musuh terbesar adalah saudara sendiri, kadang juga mereka adalah orang yang paling berjasa,” kata Danny penuh makna.Memang, terkadang musuh terbesar seseorang adalah orang terdekat, namun terkadang mereka adalah orang yang paling berjasa. Bergantung dari saudara itu sendiri.Entah apa yang ada di dalam pikiran Tuan Ibra dan anaknya, sehingga mereka tega menghabisi nyawa saudaranya sendiri. Hanya karena sebuah harta, mereka tega berbuat keji. Seharusnya, mereka berusaha menyayangi, bukannya menyakiti.Mungkin, kalau sang kakek tidak berniat memberikan warisan kepada orangtua Danny, mungkin Tuan Ibra tidak membunuh mereka. Padahal, selama ini sang ayah sudah pergi menjauh dan tidak pernah merepotkan mereka. Beliau mampu membuktikan bahwa bisa hidup dengan tenang dan damai tanpa embel-embel keluarga besar yang kaya raya. “Sekarang, apa yang akan kamu lakukan sama mereka?” tanya Meysa ingin
“Hay, Kek. Perkenalkan, saya Cintya. Kekasih Danny.” Cintya mengulurkan tangannya kearah Tuan Willam. Begitu pd-nya memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Danny. Memang wanita tidak tahu malu. “Kekasih Danny?” Tuan Willam memandang Cintya tidak percaya. Beliau lalu beralih memandang Danny. Meminta kepastian lelaki tersebut. Tuan Willam tidak yakin kalau Danny lelaki buaya. “Bukan, Kek. Tapi, mantan.” Danny menatap tajam mata Cintya. Kesal karena berani mengaku-ngaku sebagai kekasihnya. “Oh, cuman mantan....” Tuan Willam pun merasa lega atas jawaban cucunya. Cintya tersenyum kaku, menahan malu, namun ia sudah bertekad bahwa akan merebut Danny kembali. “Mas, apa boleh kita bicara sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku katakan sama kamu, Mas.”“Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Lebih baik kamu pergi. Kamu tidak lihat aku sedang makan bersama keluarga?” Danny menolak mentah-mentah ajakan Cintya. Danny yakin, Cintya hanya akan membicarakan soal keinginannya kembali kepadanya la
Eric menenggak minuman, suasana siang itu sedang panas, sama seperti suasana hatinya yang tengah terbakar api cemburu melihat kemesraan Danny dan Meysa tadi. Drrrrttt! Ponselnya berdering, dengan malas ia melihat layar ponselnya, memastikan siapa yang menghubunginya. Apa dia tidak tahu kalau saat ini hatinya sedang patah? “Wanita ini lagi!” keluh Eric memandang nama Cintya. Eric hampir meletakkan kembali ponselnya, namun tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. [Iya?] Akhirnya, Eric menjawab panggilan dari Cintya. [Hallo, Sayang. Bagaimana kabarmu? Kita ketemuan ya.][Oke!]Dibalik telepon, Cintya sangat senang sekali mendengar jawaban Eric.Segera Eric mematikan ponselnya, lalu bergegas bertemu dengan Cintya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan wanita itu. Eric berharap, Cintya bisa melakukan apa yang ia inginkan. Mereka berdua di sebuah restoran sederhana, tidak mewah seperti dulu sebab saat ini Eric tengah menerima hukuman dari sang kakek, hukuman yang membuat diri
Kedatangan Tuan Willam ke kantor membuat seluruh karyawan yang bertemu dengan beliau segera membungkuk, memberikan hormat kepada pemilik perusahaan. Keadaan kantor pun mendadak sunyi, biasanya mereka akan bising dengan pekerjaan mereka, namun kali ini hanya tangan dan mata mereka yang bekerja, mulut mereka kunci rapat-rapat sebab Tuan Willam tidak suka dengan orang yang banyak mulut. “Papa?”“Kakek?”Tuan Ibra dan Eric sama-sama memanggil nama beliau lalu membungkukan setengah badan mereka, begitu juga dengan Meysa. Wanita tersebut mengikuti apa yang dilakukan oleh banyak karyawan. Sejenak, pandangan Meysa bertemu dengan Danny. Bertanya lewat tatapan kenapa sang kakek tiba-tiba datang ke kantor. Danny yang kini berdiri di belakang sang kakek mengedikan bahunya. Ia juga tidak tahu kenapa sang kakek ingin ikut ke kantor. “Kalian semua ikut ke ruangan saya!” perintahnya lalu melangkah ke ruangan Danny yang dulu menjadi ruangan beliau. Tuan Ibra dan Eric memicingkan kedua bola
Keringat dingin tiba-tiba saja mengalir dari dahi mereka berdua. Mereka seakan mendengar ucapan tajam dari mulut sang tuan rumah. Apa mungkin Tuan Willam tahu kalau mereka berdua pelaku pembunuhan kedua orangtua Danny?“Ma – na mungkin aku berniat jahat, Pa?” Tuan Ibra tertawa kecut, menyembunyikan rasa geroginya. Tuan Willam mengangguk pelan, “Bagus kalau kamu tidak ada niat jahat. Danny pun begitu.” Jawaban Tuan Willam tidak membuat mereka berdua lega sama sekali. “Ya terus kenapa kita dihukum begini, Kek? Memang apa salah kita?” heran Eric. Tuan Willam menghela nafas sejenak. Menunduk entah kenapa. Seakan-akan beliau memiliki beban yang sedang mengganggunya. Ketika beliau tengah menghadapi masalah, beliau sering menunduk untuk berpikir. Tuan Ibra tahu betul sifat sang ayah. “Papa punya masalah?” Tuan Ibra bertanya penuh kehati-hatian. “Tidak ada. Masalahku hanya pada kalian berdua yang tidak pernah berubah sejak dulu,” jawabnya penuh makna. Eric mendengus kesal, ia me
Hal serupa juga dialami oleh Tuan Ibra, beliau harus menanggung malu lantaran tidak mampu membayar wanita yang sudah beliau unboxing. Makian dan cacian harus beliau dengar dari wanita yang baru saja selesai meleyaninya.“Dasar tua bangka, sudah tahu tidak bisa bayar, kenapa harus memesan wanita panggilan sepertiku?”“Hey, apa kamu tidak tahu siapa saya. Jangankan membayarmu untuk malam ini, membeli untuk mati pun aku bisa!” Tuan Ibra tidak terima dihina oleh sang wanita panggilan yang sekarang tengah memakai gaun seksinya kembali.“Buktinya apa? Anda tidak bisa membayarnya bukan? Saya akan melaporkan Anda. Anda harus diberi pelajaran oleh anak buah madam!” ancamnya. Siapapun yang tidak mampu membayar akan dipukuli oleh anak buah madam.“Shit!” geram Tuan Ibra.Sebelumnya, Tuan Ibra memesan seorang wanita seperti biasanya ke orang biasa. Beliau terbiasa membayarnya belakangan sesuai dengan pelayanan yang akan diberikan wanita panggilan, kalau memuaskan beliau akan membayarnya lebi
“Tidak maksud apa-apa, Kek. Sepertinya beliau sedang sibuk sehingga tidak sempat mencarinya,” kata Danny menutupi. Kakek Willam merasa ada yang aneh dengan jawaban Danny, beliau juga melihat sebuah kebencian dari mimik wajah sang cucu. Drrrttt! Ponsel sang kakek berdering, lelaki yang sudah senja itu segera bangkit setelah melihat sebuah nama di layar benda pipihnya. “Kakek angkat telepon dulu ya.” “Iya, Kek. Danny sama Meysa ke atas dulu ya.” “He'em.” Kakek Willam mengangguk. Danny membawa Meysa ke balkon kamarnya. Masuk ke kamar Danny membuat Meysa takjub karena kamar tersebut begitu luas dan mewah. Semua perabotan di kamar tersebut nampak mewah dan elegan. Seumur-umur Meysa baru memasuki kamar semewah itu. Dulu, saat bersama Eric, ia hanya melihat dalamnya apartemen, itupun hanya sekali, sebab ia tidak pernah lagi mau diajak ke apartemen karena Eric selalu meminta dirinya bercinta dengannya. Danny duduk di balkon kamarnya, menatap pemandangan di bawah sana dengan pandangan