Eric menenggak minuman, suasana siang itu sedang panas, sama seperti suasana hatinya yang tengah terbakar api cemburu melihat kemesraan Danny dan Meysa tadi. Drrrrttt! Ponselnya berdering, dengan malas ia melihat layar ponselnya, memastikan siapa yang menghubunginya. Apa dia tidak tahu kalau saat ini hatinya sedang patah? “Wanita ini lagi!” keluh Eric memandang nama Cintya. Eric hampir meletakkan kembali ponselnya, namun tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. [Iya?] Akhirnya, Eric menjawab panggilan dari Cintya. [Hallo, Sayang. Bagaimana kabarmu? Kita ketemuan ya.][Oke!]Dibalik telepon, Cintya sangat senang sekali mendengar jawaban Eric.Segera Eric mematikan ponselnya, lalu bergegas bertemu dengan Cintya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan wanita itu. Eric berharap, Cintya bisa melakukan apa yang ia inginkan. Mereka berdua di sebuah restoran sederhana, tidak mewah seperti dulu sebab saat ini Eric tengah menerima hukuman dari sang kakek, hukuman yang membuat diri
“Hay, Kek. Perkenalkan, saya Cintya. Kekasih Danny.” Cintya mengulurkan tangannya kearah Tuan Willam. Begitu pd-nya memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Danny. Memang wanita tidak tahu malu. “Kekasih Danny?” Tuan Willam memandang Cintya tidak percaya. Beliau lalu beralih memandang Danny. Meminta kepastian lelaki tersebut. Tuan Willam tidak yakin kalau Danny lelaki buaya. “Bukan, Kek. Tapi, mantan.” Danny menatap tajam mata Cintya. Kesal karena berani mengaku-ngaku sebagai kekasihnya. “Oh, cuman mantan....” Tuan Willam pun merasa lega atas jawaban cucunya. Cintya tersenyum kaku, menahan malu, namun ia sudah bertekad bahwa akan merebut Danny kembali. “Mas, apa boleh kita bicara sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku katakan sama kamu, Mas.”“Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Lebih baik kamu pergi. Kamu tidak lihat aku sedang makan bersama keluarga?” Danny menolak mentah-mentah ajakan Cintya. Danny yakin, Cintya hanya akan membicarakan soal keinginannya kembali kepadanya la
“Kejam sekali mereka.” Meysa geram mengetahui pelaku pembunuhan orangtua Danny.“Terkadang, musuh terbesar adalah saudara sendiri, kadang juga mereka adalah orang yang paling berjasa,” kata Danny penuh makna.Memang, terkadang musuh terbesar seseorang adalah orang terdekat, namun terkadang mereka adalah orang yang paling berjasa. Bergantung dari saudara itu sendiri.Entah apa yang ada di dalam pikiran Tuan Ibra dan anaknya, sehingga mereka tega menghabisi nyawa saudaranya sendiri. Hanya karena sebuah harta, mereka tega berbuat keji. Seharusnya, mereka berusaha menyayangi, bukannya menyakiti.Mungkin, kalau sang kakek tidak berniat memberikan warisan kepada orangtua Danny, mungkin Tuan Ibra tidak membunuh mereka. Padahal, selama ini sang ayah sudah pergi menjauh dan tidak pernah merepotkan mereka. Beliau mampu membuktikan bahwa bisa hidup dengan tenang dan damai tanpa embel-embel keluarga besar yang kaya raya. “Sekarang, apa yang akan kamu lakukan sama mereka?” tanya Meysa ingin
[Tidak, Tuan. Memangnya kenapa?][Beliau tidak ada di rumah, Gard!][Apa!]Danny menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara Egard yang melengking kuat, reaksi Egard sungguh luar biasa. Sambungan telepon langsung dimatikan, tidak lama kemudian Egard datang ke rumah untuk memastikan perkataan Danny. Danny sampai terkejut melihat kedatangan Egard yang cepat sampainya. “Naik apa kamu? Pesawat? Cepet banget datangnya!” Danny malah melawak. “Saya khawatir dengan keadaan Tuan Besar, Tuan. Bisa saja beliau berada dalam masalah besar,” ujarnya membuat kening Danny berkerut. “Masalah besar apa maksudmu?”Egard menelan Salivanya, saking khawatirnya dengan sang majikan, ia sampai keceplosan bicara. Egard bingung harus jawab apa, pasalnya sang majikan melarangnya untuk berbicara apa-apa kepada Danny. Tidak mau membuat cucunya itu semakin terlihat masalah. “Egard, masalah apa yang sedang kakek hadapi, katakan padaku!” desak Danny. “Maaf, Tuan.” Egard menggeleng. Beru
Kakek Willam berhasil Danny tenangkan, beliau dibawa pulang dan istirahat di rumah. Danny terus mendampingi sang kakek agar tidak kembali nekat seperti tadi.“Istirahat, Kek. Semoga impi ayah,” pesan Danny lalu menarik selimut menutupi tubuh kakeknya.“Maafin Kakek, Dan.”“Kakek tidak salah apa-apa,” jawab Danny, hatinya ikut sesak melihat beliau sesedih ini.Siapa yang tidak syok mendapati anaknya membunuh anaknya yang lain. Tuan Willam tidak pernah menduga Ibra akan melakukan hal kejam tersebut. Ternyata, harta membuat buta memang buukan isapan belaka. Bukan hanya cinta yang membuat buta, harta juga.“Jangan lakukan hal nekat seperti tadi, Kek. Ayah tidak suka dengan orang yang mudah putus asa,” kata Danny.Tuan Willam kembali bersedih, rasa rindu terhadap anak bungsunya membuncah. Seandainya saja dulu beliau tidak mengusir dan menerima istri Fandy, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Sekarang beliau menyadari, bahwa tidak semua orangtua benar dan anak selalu salah, terkad
“Siapa kalian? Kenapa kalian datang menyerang kami!” teriak Tuan Fandy menatap mereka dengan penuh tanda tanya.“Lebih baik tidak usah banyak tanya sebab ini adalah hari terakhir kalian di dunia ini!” Mereka pun tertawa puas.“Apa maksud kalian? Kenapa kalian ingin membunuh kami!”“Itu urusan bos kami, bodoh!”“Bos?” Tuan Fandy semakin bingung.“Iya, beliau ingin Anda mati agar tidak mendapatkan warisan dari ayahnya.”“Apa kamu bilang?” Tuan Fandy sangat terkejut mendengar penuturan para berandalan tersebut.Kini Tuan Fandy tahu apa yang sedang terjadi dengannya, siapa yang menyuruh mereka untuk menghabisinya, tidak mungkin!“Mas, apa perlu kita hubungi Danny agar ia lekas pulang,” ucap sang istri, seketika sorot mata para preman tertuju kearahnya.“Tidak, dia tidak boleh datang, Han!”“Kenapa, Mas? Danny kan bisa bela diri.”“Tetapi, mereka semua bukan tandingannya. Danny dalam bahaya, Han!”“Apa maksud kamu, Mas?”“Hey, siapa itu Danny!” seru ketua diantara para prema
Dengan tubuh gemetar, Danny menghampiri jasad kedua orangtuanya yang saat itu terpisah. Ia lebih dulu menghampiri jasad sang ayah yang sudah terluka parah.“Ayah, bangun, yah. Bangun!” pekik Danny dengan suara serak, rasanya ia ingin menangis.Beberapa kali ia memanggil nama samg ayah, namun tidak ada jawaban dari lelaki yang sudah membesarkannya.“Ayah!” jerit Danny dengan air mata yang kini mengalir deras membasahi wajahnya.Dipeluknya sang ayah dengan sangat erat, tidak peduli darah yang berada di tubuh sang ayah berpindah kepadanya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk membangunkan sang ayah, namun usahanya sia-sia. Lelaki berumur 60 tahun sudah terbujur kaku dengan darah dan luka yang memilukan.“Yah, tolong bangun, katakan siapa yang sudah melakukan hal ini, Yah.” Danny masih terus berusaha, suaranya sangat serak saat itu. Ia tidak menyangka kejadian mengerikan ini terjadi kepada keluarganya.Seberapa banyak ia bertanya kepada sang ayah, lelaki paruh baya tersebut tidak akan ma
“Akan saya jelaskan nanti setelah bertemu dengan ayahmu. Sekarang, dimana dia? Katakan padanya saya datang,” celoteh sang kakek.Danny menelan salivanya, pandangannya seketika kosong dan berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa kepada kakek tersebut.“Kenapa kamu diam saja, anak muda? Cepat panggil ayahmu!” tegur sang kakek yang tidak sabar ingin bertemu dengan ayah Danny.“Mari saya antar Anda bertemu dengannya.” Danny melangkah kearah keluar lalu menutup pintunya kembali.“Baiklah.” Sang kakek yang tidak tahu akan dibawa kemana hanya menurut saja kepada Danny. Beliau pikir orang yang beliau cari berada di luar.Danny dipersilahkan masuk ke mobil mewah milik sang kakek, awalnya Danny sempat tidak mau, namun sang kakek memaksa dengan alasan ingin segera bertemu dengan Tuan Fandy.Danny di depan sang supir untuk mengarahkan jalan, sedangkan sang kakek duduk di belakang bersama seorang lelaki berpakaian rapi, sepertinya lelaki tersebut adalah asisten sang kakek.“Berapa umur