“Siapa kalian? Kenapa kalian datang menyerang kami!” teriak Tuan Fandy menatap mereka dengan penuh tanda tanya.
“Lebih baik tidak usah banyak tanya sebab ini adalah hari terakhir kalian di dunia ini!” Mereka pun tertawa puas.“Apa maksud kalian? Kenapa kalian ingin membunuh kami!”“Itu urusan bos kami, bodoh!”“Bos?” Tuan Fandy semakin bingung.“Iya, beliau ingin Anda mati agar tidak mendapatkan warisan dari ayahnya.”“Apa kamu bilang?” Tuan Fandy sangat terkejut mendengar penuturan para berandalan tersebut.Kini Tuan Fandy tahu apa yang sedang terjadi dengannya, siapa yang menyuruh mereka untuk menghabisinya, tidak mungkin!“Mas, apa perlu kita hubungi Danny agar ia lekas pulang,” ucap sang istri, seketika sorot mata para preman tertuju kearahnya.“Tidak, dia tidak boleh datang, Han!”“Kenapa, Mas? Danny kan bisa bela diri.”“Tetapi, mereka semua bukan tandingannya. Danny dalam bahaya, Han!”“Apa maksud kamu, Mas?”“Hey, siapa itu Danny!” seru ketua diantara para preman tersebut.“Kalian tidak perlu tahu, biar aku yang hadapi kalian!” tegas Tuan Fandy tidak ingin mereka tahu siapa Danny, sebab Tuan Fandy tahu siapa mereka.Perkelahian pun terjadi diantara para preman dan Tuan Fandy, beliau berusaha melindungi sang istri yang juga menjadi incaran mereka.Tuan Fandy meminta Rihana sang istri untuk menjauh.“Bagaimana denganmu, Mas?”“Jangan khawatirkan aku, Sayang. Cepat pergi dan lindungi Danny!” pinta sang suami membuat Nona Rihana dilemma.“Cepat!” seru Tuan Fandy sembari melawan beberapa preman bertubuh besar.Nona Rihana pun akhirnya berlari keluar dari rumahnya, berusaha mencari bantuan, namun sayang seribu sayang, salah satu preman berhasil menangkapnya, hingga beliau tidak mampu lari kemana-mana.“Mau kemana, ha? Anda tidak bisa lari lagi.” Preman tersebut mencengkram tangan Nona Rihana kuat-kuat.“Lepas!” Nona Rihana memberontak, namun tenaganya kalah telak dari preman tersebut.“Beritahu aku siapa itu Danny!”“Tidak mau! Aku tidak akan memberitahumu, puas!” tegas Nona Rihana dengan bola mata membulat sempurna.“Kurang ajar!”Brukkkkk!“Rihana!” teriak Tuan Fandy melihat sang istri didorong keras hingga mengenai meja makan oleh preman tersebut.“Akh!” Nona Rihana pun meringis kesakitan sembari memegangi punggungnya, rasanya remuk redam, hingga ia langsung ambruk, tidak mampu berdiri lagi.“Cepat katakan, atau aku akan berbuat yang lebih kejam dari ini!” ancam preman itu.Nona Rihana menggeleng, ia menaati perintah suaminya. Beliau pun dihampiri sang suami yang sudah babak belur.Para preman pun murka dengan kegigihan mereka yang tidak mau memberitahu tentang siapa Danny itu. Mereka sama-sama menyerang Tuan Fandy dan Nona Rihana tanpa ampun.Tuan Fandy yang begitu menyayangi sang istri memeluknya untuk melindungi tubuh wanita tersebut dari kerasnya kaki para preman.Bugh! Bugh!Berkali-kali para preman memberikan tendangan demi tendangan terhadap mereka berdua membuat Nona Rihana ingin menyerah dan memberitahu para preman tentang anaknya yang bernama Danny. Namun, Tuan Fandy melarangnya dengan keras, beliau tidak mau mereka juga membunuh Danny. Tuan Fandy berharap Danny tidak segera pulang.“Dasar keras kepala!” umpat ketua preman.“Kita tunggu saja orangnya di sini, bos. Yang penting mereka harus kita habisi terlebih dahulu,” usul anak buahnya.Ketua preman tersebut pun tersenyum sinis, “Kamu benar juga. Ayo kita lakukan tugas kita!” jawabnya diangguki anak buahnya.Mereka pun kembali memukuli Tuan Fandy secara brutal, wajah beliau dan tubuhnya kini dipenuhi oleh luka karena melindungi sang istri. Setelah Tuan Sandy sudah tidak bernyawa, para preman tersebut menatap Nona Rihana dengan tatapan penuh nafsu.Nona Rihana beringsut dari pelukan sang suami yang sudah tidak mampu melindunginya. Beliau ingin lari dari sana, akan tetapi tubuhnya terasa berat diajak bangkit. Beliau pun hanya bisa beringsut mundur sembari meringis menahan sakit. “Haha .. haha.” Para preman tertawa puas melihat Nona Rihana ketakutan.“Bos, tidak ada salahnya kan kita cobain dulu sebelum kita membunuhnya?” usul anak buahnya yang sangat biadab. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka semua sehingga mereka bisa berbuat kejam seperti ini.“Tentu saja, kebetulan aku juga sudah tegang,” jawab sang ketua, seketika wajah Nona Rihana tercengang mendengar ucapan mereka.“Pergi kalian, pergi!” teriak Nona Rihana, kini beliau tidak sanggup lagi menahan air matanya.“Jangan takut, Nona. Kami tidak akan kasar-kasar, kita main halus saja, oke?”“Dasar brengsek, aku bersumpah kalian akan masuk ke neraka Jahannam!” sumpah Nona Rihana.Para preman menanggapinya dengan tawa yang menggelegar, mereka seakan tidak takut dengan sumpah serapah tersebut. Bagi mereka, hidup hanya ada di dunia ini saja. Padahal, setelah kematian ada hidup yang lebih mengerikan lagi bagi para penjahat sepertinya.Mereka pun menghampiri Nona Rihana, melucuti pakaian wanita itu, tidak peduli dengan pemberontakan yang dilakukan Nona Rihana, mereka tetap memaksa dengan penuh nafsu.“Tidakkk!” jerit Nona Rihana.Jeritan demi jeritan tidak mampu menyusutkan niat mereka untuk terus menggauli Nona Rihana tanpa henti. Mereka seperti bajingan yang tidak punya akal sehat, tega berbuat kejam kepada seorang wanita yang sudah tidak berdaya.****Di sebuah tempat, tepatnya di depan café tempat Danny bekerja, ia tengah berdebat dengan kekasihnya lantaran diputusi tanpa alasan yang jelas.“Apa maksudmu, Cintya? Kenapa tiba-tiba kamu ingin menyudahi hubungan ini?” tanya Danny penasaran.“Tidak ada apa-apa, Mas. Aku hanya bosan denganmu dan aku capek.” Wanita yang bernama Cintya berbalik ingin pergi dari hadapan Danny, namun Danny mencegahnya.“Tidak, jelaskan dulu alasanmu ingin putus dariku, Cintya. Apa kamu tidak tahu kalau cintaku sangat besar untukmu?”Cintya menghela nafas panjang, lalu kembali berbalik berhadapan dengan Danny dengan wajah malas.“Menurutmu, hidup hanya butuh cinta?”“Apa maksudmu?”“Aku tidak mau hidup susah denganmu, Mas.”Mulut Danny menganga mendengar alasan Cintya, padahal selama ini ia berusaha memenuhi keinginan wanita itu meski ia harus menahan lapar demi keinginan wanita tersebut, tetapi pernyataan Cintya barusan sungguh menuai goresan dalam di hati Danny.“Kenapa tiba-tiba kamu berubah seperti ini?”“Karena aku sadar bahwa hidup tidak hanya butuh cinta, Mas. Tapi juga materi yang akan menunjang kebahagiaanku nantinya. Aku rasa kamu tidak bisa melakukannya, jika kamu masih betah menjadi pelayan café terus,” hina Cintya menciptakan luka di hati Danny.“Apa kamu sudah menemukan lelaki mapan, sehingga kamu mencampakanku seperti ini?”“Iya, kamu benar, Mas. Dan lelaki ini yang akan membahagiakanku, karena dia bukan hanya sekedar tampan tapi juga mapan, tidak sepertimu yang hanya pegawai rendahan,” jawabnya seraya menatap pnampilan Danny penuh ejekan dari atas sampai bawah..Danny melepaskan tangan Cintya, sorot matanya memancarkan kekecewaan, ia pikir Cintya berbeda dari wanita lain, ternyata sama saja.“Selamat, pergilah! Dan ingat satu hal, jangan pernah kembali kepadaku.”“Cih, memangnya siapa yang sudi kembali kepada pelayan café sepertimu, Mas?” ejek Cintya lalu berbalik, wanita itu melenggang meninggalkan Danny meninggalkan sejuta luka di hati Danny.Danny menarik nafas dalam-dalam seraya memejamkan mata, ia pun pergi ke parkiran untuk mengambil motor butut yang menjadi kendaraannya. Ia memilih pulang karena hari sudah malam, ia ingin istirahat dan menenangkan pikiran setelah diputusi oleh Cintya. Ia merindukan pelukan sang ibu yang mampu menenangkan hatinya saat terluka seperti ini.Sesampainya di rumah, kening Danny berkerut sebab ia melihat keadaan rumahnya yang gelap gulita seperti tidak ada penghuni, padahal biasanya kedua orangtuanya ada di rumah dan pasti menyambutnya pulang. “Apa ayah dan ibu sedang pergi? Tapi kenapa tidak bilang?” gumam Danny sembari turun dari motor bututnya.Cekrek!Gelap, itulah yang pertama kali Danny lihat. Ia segera melangkah menyusuri tembok rumahnya guna menyalakan lampu yang ada di sebelah kiri pintu.Betapa terkejutnya Danny saat lampu berhasil ia nyalakan.“Ayah, Ibu!”****Dengan tubuh gemetar, Danny menghampiri jasad kedua orangtuanya yang saat itu terpisah. Ia lebih dulu menghampiri jasad sang ayah yang sudah terluka parah.“Ayah, bangun, yah. Bangun!” pekik Danny dengan suara serak, rasanya ia ingin menangis.Beberapa kali ia memanggil nama samg ayah, namun tidak ada jawaban dari lelaki yang sudah membesarkannya.“Ayah!” jerit Danny dengan air mata yang kini mengalir deras membasahi wajahnya.Dipeluknya sang ayah dengan sangat erat, tidak peduli darah yang berada di tubuh sang ayah berpindah kepadanya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk membangunkan sang ayah, namun usahanya sia-sia. Lelaki berumur 60 tahun sudah terbujur kaku dengan darah dan luka yang memilukan.“Yah, tolong bangun, katakan siapa yang sudah melakukan hal ini, Yah.” Danny masih terus berusaha, suaranya sangat serak saat itu. Ia tidak menyangka kejadian mengerikan ini terjadi kepada keluarganya.Seberapa banyak ia bertanya kepada sang ayah, lelaki paruh baya tersebut tidak akan ma
“Akan saya jelaskan nanti setelah bertemu dengan ayahmu. Sekarang, dimana dia? Katakan padanya saya datang,” celoteh sang kakek.Danny menelan salivanya, pandangannya seketika kosong dan berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa kepada kakek tersebut.“Kenapa kamu diam saja, anak muda? Cepat panggil ayahmu!” tegur sang kakek yang tidak sabar ingin bertemu dengan ayah Danny.“Mari saya antar Anda bertemu dengannya.” Danny melangkah kearah keluar lalu menutup pintunya kembali.“Baiklah.” Sang kakek yang tidak tahu akan dibawa kemana hanya menurut saja kepada Danny. Beliau pikir orang yang beliau cari berada di luar.Danny dipersilahkan masuk ke mobil mewah milik sang kakek, awalnya Danny sempat tidak mau, namun sang kakek memaksa dengan alasan ingin segera bertemu dengan Tuan Fandy.Danny di depan sang supir untuk mengarahkan jalan, sedangkan sang kakek duduk di belakang bersama seorang lelaki berpakaian rapi, sepertinya lelaki tersebut adalah asisten sang kakek.“Berapa umur
“Ibra!” teriak sang kakek kepada anak sulungnya.Seorang lelaki paruh baya pun sedikit berlari menghadap sang kakek.“Ada apa, Pa?” Lelaki bernama Tuan Ibra itu pun bertanya, namun sejenak melirik kearah Danny yang berada di belakang Tuan Willam sembari menggendong tas dengan satu tangannya.“Dia siapa, Pa?” tanya Tuan Ibra, sorot matanya sedikit tajam, mungkin karena penasaran.“Dia Danny. Anak Fandy.”“Maksud Papa?” Tuan Ibra sedikit syok.“Itu artinya dia cucuku, bodoh!” sentak Tuan Willam kepada anak sulungnya.Tuan Ibra terlihat menelan salivanya, entah kenapa wajahnya mendadak pucat pasi mendengar jawaban sang kakek.“La – lu Fandynya mana, Pa?” Tuan Ibra gugup.Sang kakek menarik nafas panjang, kesedihan yang sempat hilang mendadak kembali hadir mendengar pertanyaan Tuan Ibra. Danny menyentuh pundak sang kakek guna menenangkannya, padahal ialah yang seharusnya mendapatkan hiburan sebab ia yang selama ini hidup bersama mereka. Akan tetapi, Danny sadar apa yang dirasakan
Sungguh di luar dugaan, reaksi paman Danny membuat Danny bertanya-tanya, lelaki parauh baya tersebut seakan tidak rela bila perusahaannya jatuh ke tangannya ataupun ayahnya. Mungkinkah … ah, tidak mungkin. Mana ada saudara membunuh saudaranya sendiri demi harta?“Cucuku, jangan hiraukan pamanmu. Kakek percaya, kamu adalah pewaris yang tepat,” kata sang kakek setelah Paman Ibra pergi dari rumah lantaran kesal dengan keputusan sang kakek.“Aku jadi merasa tidak enak, Kek.”“Tidak, Dan. Sudah lama Kakek memikirkan hal ini. Kakek mencari ayahmu karena Kakek yakin bahwa dialah pewaris yang terbaik bagi keturunan Kakek, tetapi takdir berkata lain. Ayahmu sudah tiada dan Kakek sangat berharap kamu adalah orang yang tepat memegang semua kekayaan kakek,” tutur Kakek Willam.Danny hanya bisa terdiam, ia pun dibawa ke kamarnya yang sangat luas dan megah. Sebenarnya, itu bukan kamarnya, melainkan kamar mendiang almarhum ayahnya yang kini sudah tiada. Sungguh, Danny tidak menyangka ayahnya bis
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Danny kepada Meysa untuk mengalih pertanyaan Eric terhadap Egard. “Hem, terima kasih.” Meysa pun memperbaiki posisi tubuhnya. “Hay, Cintya. Apa kabar?” sapa Danny sambil tersenyum paksa. “Baik, sangat baik. Kamu lihat, apalagi aku sekarang sudah memiliki kekasih yang bisa bahagiain aku. Tidak seperti kamu, gak bisa bahagiain aku!” sindir Cintya. Danny menghela nafas panjang, ingin sekali memberitahu kepada wanita itu bahwa dirinya cucu orang terkaya di negeri ini. “Kalau begitu selamat. Semoga kalian terus bahagia sampai akhir,” pesan Danny tanpa beban sama sekali. Entah hatinya sudah tertutup atau memang dirinya yang saat ini tidak peduli akan cinta, yang ia pedulikan mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Itu tujuan Danny sekarang. “Tentu saja.” Cintya pun melengos, berganti menatap Eric dengan senyuman manis. Tangannya pun tidak lupa merangkul mesra lengan kekasihnya. “Dasar pelakor!” umpat Meysa melihat kemesraan Cintya dan Eric. Cintya
Danny Laksana keluar dari mobil lalu masuk ke rumah sang kakek. Ia tidak peduli dengan tatapan kebencian Eric kepadanya. Toh, bukan dia yang mau berada di posisi ini, siapa suruh tidak bisa mengambil hati sang kakek, malah asyik bermain perempuan. “Dasar belagu, awas kamu!” umpat Eric sembari mengepalkan tangan kirinya dan mengarahkannya ke Danny yang sedang melangkah. “Tuan,” tegur Elgard. “Sekarang, kamu juga berada di posisinya?” “Bukan seperti itu, Tuan. Tetapi, sekarang dia juga cucu Tuan Besar. Saya harus menghormatinya.” “Cih!” kesal Eric lalu masuk ke mobil. Ia harus menemui papanya untuk membicarakan hal ini. Kenapa beliau tidak memberitahunya tentang Danny? “Papa!” teriak Eric saat sampai rumah. “Apa teriak-teriak begitu? Papa ini gak tuli, Ric!” “Kenapa Papa gak bilang soal Danny sama Eric? Dan kenapa pula Papa biarkan dia mendapatkan posisi kepemimpinan di perusahaan kakek?” terang Eric panjang lebar kepada sang papa. Lelaki berumur 67tahun itu duduk dengan wajah
Danny menemukan sebuah surat di bawah tumpukan baju almarhum ayahnya. Ia penasaran surat apa itu. Ia duduk di tepi ranjang milik kedua orang tuanya. Kasur yang tidak empuk, namun mampu menciptakan moment romantis keduanya. Sehingga pernikahan kedua orangtua Danny mampu bertahan sampai maut memisahkan mereka. Danny anakku.... Ada rahasia besar yang harus ayah dan ibu katakan kepadamu, namun kami tidak tahu waktu yang pas memberitahumu. Ayah dan Ibu sengaja menulis surat ini untuk memberitahumu bahwa kamu adalah cucu Tuan Willam, beliau ada orangtua kandung ayah. Kelak, jika ayah sudah tiada, temuilah beliau dan sampaikan permintaan maaf ayah pada beliau sebab ayah sudah tidak diperbolehkan lagi menginjakkan kakinya di sana. Ada alasan kenapa hal ini terjadi, nak. Sejak dulu hubungan Ayah dan Ibu tidak direstui oleh kedua orang Ayah, itu sebabnya ayah pergi menjauh dan memilih menikahi Ibumu. Nak, Ayah dan Ibu memberitahumu karena kami hanya ingin kamu tahu bahwa sebenarnya kamu
Karena ponsel sang ayah mati, Danny mengecesnya di rumah sang kakek saat pulang ke sana. Meninggalkan Cintya dan tidak memperdulikan keinginan wanita itu untuk kembali. Danny bukan tempat singgah dan pergi begitu saja. Apalagi alasan Cintya kembali kepadanya bukan atas dasar cinta, melainkan karena dirinya sekarang orang kaya. Hari berikutnya, Danny dan Egard mulai masuk kantor secara rutin. Tugasnya dari pelayan berubah menjadi pemimpin perusahaan. Sebuah takdir yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sedangkan Eric, menjadi wakil director di perusahaan tersebut. Lelaki itu sekarang juga mulai berangkat rutin. Bersaing dengan Danny karena memang itulah niat Eric. Saat mereka berdua berpapasan, pandangan mereka bertemu, Eric memancarkan pandangan kebencian, sedangkan Danny menatap Eric dengan tatapan malas. “Dengar, aku tidak akan pernah terima takdir ini,” kata Eric penuh penekanan. “Aku tahu,” balas Danny. “Perusahaan ini hanya milikku dan papa.” “Yang memutuskan adalah kakek, bu