“Akan saya jelaskan nanti setelah bertemu dengan ayahmu. Sekarang, dimana dia? Katakan padanya saya datang,” celoteh sang kakek.
Danny menelan salivanya, pandangannya seketika kosong dan berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus berkata apa kepada kakek tersebut.“Kenapa kamu diam saja, anak muda? Cepat panggil ayahmu!” tegur sang kakek yang tidak sabar ingin bertemu dengan ayah Danny.“Mari saya antar Anda bertemu dengannya.” Danny melangkah kearah keluar lalu menutup pintunya kembali.“Baiklah.” Sang kakek yang tidak tahu akan dibawa kemana hanya menurut saja kepada Danny. Beliau pikir orang yang beliau cari berada di luar.Danny dipersilahkan masuk ke mobil mewah milik sang kakek, awalnya Danny sempat tidak mau, namun sang kakek memaksa dengan alasan ingin segera bertemu dengan Tuan Fandy.Danny di depan sang supir untuk mengarahkan jalan, sedangkan sang kakek duduk di belakang bersama seorang lelaki berpakaian rapi, sepertinya lelaki tersebut adalah asisten sang kakek.“Berapa umurmu, Nak?” tanya sang kakek.“30, Tuan.”Sang kakek mengangguk sambil tersenyum tipis, “Apa ayahmu tidak pernah bercerita tentangku?” tanyanya lagi membuat Danny mengangkat satu alisnya. Pertanyaan itu mampu sedikit mengulik hati Danny. Rasa penasaran pun tiba.“Maksud Anda?” Danny mencoba bertanya.“Ah, tidak. Lupakan saja.”Danny pun diam seribu bahasa, tidak mau membahas apalagi saat ini keadaannya tengah berduka, ia tidak perlu memikirkan siapa orang yang sedang bersamanya, tugasnya hanya satu yaitu mengantar sang kakek ke tempat peristirahatan terakhir kedua orangtuanya.“Tuan, apa jalan ini tidak salah? Ini jalan kepemakaman?” Supir sang kakek menengok kearah Danny untuk memastikan apakah jalan yang Danny arahkan benar atau salah.“Apa? Jalan ke pemakaman?” Sang kakek pun berjingkat kaget lalu melihat jalan di sekitar, benar saja saat ini mobilnya tengah melaju menuju ke pemakaman umum.“Iya, benar.” Danny mengangguk tegas.“Apa maksud kamu membawaku ke sini?”“Nanti Anda juga akan tahu sendiri, Tuan.”“Jangan main-main anak muda, saya ini ingin bertemu dengan Fandy, bukan ke pemakaman begini? Atau jangan-jangan Fandy bekerja di sini?” tebak sang kakek, tidak mau berburuk sangka, meski saat ini jantungnya sudah tidak karuan rasanya.Danny tidak menjawab pertanyaan sang kakek, sebab mobil yang ia tumpangi sudah berhenti, lebih baik ia menjawab dengan tindakan, menunjukan makam kedua orangtuanya kepadanya.“Silahkan turun, Tuan.” Danny mempersilahkan sang kakek turun lalu melangkah menjadi pemimpin jalan.Suasana yanag sudah gelap membuat para lelaki berjas hitam sigap menerangi jalan dengan sebuah baterai.Sang kakek hanya bisa mengikuti langkah kaki Danny, sampai saatnya tiba mereka sampai di dua gundukan tanah yang masih basah dan bertaburan bunga segar.“Maaf, Tuan. Orang yang Anda cari ada di sini,” kata Danny lalu tertunduk sedih.Brukkkkk!Tubuh sang kakek merosot ke bawah membuat Danny semakin penasaran, siapa orang yang berada di sampingnya itu, kenapa beliau terlihat sangat kehilangan mengetahui orang yang dicarinya sudah meninggal.“Fandy ….” Tiba-tiba sang kakek merintih, beliau menangis penuh penyesalan.“Fandy, anakku!” pekik sang kakek seraya memeluk pusara ayah Danny.Jedeeerrr!Hati Danny bagai tersambar petir mendengar rintihan sang kakek, anak? Apa maksud ucapan kakek itu? Ah tidak, selama ini ayahnya tidak pernah mengatakan apapun tentang sang kakek, bagaimana bisa sang kakek itu menyebut ayahnya sebagai anaknya?“Fandy, kenapa kamu meninggalkan Papa secepat ini, Nak. Maafin Papa, Fan.” Sang kakek kembali merintih penuh penyesalan. Dadanya terasa sesak melihat anaknya sudah terkubur di dalam tanah.“Maafin Papa, Fan. Seharusnya sejak dulu Papa singkirkan ego Papa. Papa menyesal, Fan. Maafin Papa.”Mulut Danny menganga, entah apa yang dilakukan sang kakek sehingga ia baru mengetahui bahwa ayahnya masih memiliki keluarga dan ternyata keluarganya dari golongan orang terkaya di negara ini. Danny tidak mengerti kenapa ayahnya tidak pernah menceritakan hal ini kepadanya? Ah, tidak. Bisa saja kakek tersebut salah orang.“Maaf, Tuan. Kenapa Anda memanggil ayahku sebagai anak Anda? Apa Anda tidak salah orang?” Danny bertanya langsung.Tangisan sang kakek sejenak berhenti, ia memandangi pusara anaknya penuh penyesalan. Beliau pun berdiri dan berhadapan dengan Danny, anak Tuan Fandy, cucunya.“Bagaimana dia bisa meninggal? Apa selama ini dia sakit? Apa selama ini hidupnya menderita?” Sang kakek justru bertanya balik, beliau penasaran kenapa anaknya meninggal secepat itu, padahal usianya lebih muda darinya. Umur memang tidak ada yang tahu, entah besok atau lusa orang akan mudah meninggalkan dunia, sayangnya sang kakek tidak menyadari hal tersebut.“Tidak, selama ini kami hidup bahagia, bahkan sangat bahagia,” jawab Danny meyakinkan.“Lalu bagaimana dia bisa meninggal secepat ini?”Danny diam cukup lama, kedua bola matanya tertuju kearah pusara kedua orangtuanya, bayangan keadaan mereka yang parah seketika membuat tubuh Danny menegang dan memerah.“Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, bisakah Anda menjawab pertanyaan saya terlebih dahulu? Siapa Anda sebenarnya? Kenapa memanggil ayahku dengan sebutan anak?”“Ayahmu memang anakku.”“Tidak mungkin, selama ini ayah tidak pernah bercerita tentang Anda.” Kedua netra Danny berkaca-kaca, rasanya tidak percaya bila orang yang berada di depannya itu adalah orangtua ayahnya yang berarti kakeknya.Sang kakek tertunduk sedih, mereka pun membicarakan hal serius itu di rumah Danny. Ada suatu hal yang harus Danny tahu kenapa hal itu bisa terjadi.Danny dan sang kakek yang bernama Tuan Willam Laksana duduk berhadapan di ruang tamu. Ruang tamu tersebut menjadi saksi bisu atas penganyiaan yang terjadi kepada orangtua Danny kemarin malam.“Hanya satu alasannya, Nak. Kakek tidak pernah merestui pernikahan ayahmu dengan ibumu,” jawab sang kakek sambil menerawang ke masalalu dimana ia menentang keras anaknya menikah dengan wanita pilihannya sebab Nona Rihana hanya dari kalangan biasa-biasa saja, sedangkan Tuan Fandy terlahir dari keturunan ningrat.Danny menghela nafas pendek, asalan yang cukup konyol menurut Danny.“Lalu kenapa sekarang Anda datang?” tanya Danny dengan nada mengejek.“Maafin kakek. Mungkin kamu kesal dan marah atas alasan kakek itu. Saat itu, Kakek masih mementingkan ego Kakek, tetapi ternyata Kakek sadar bahwa apa yang Kakek lakukan salah besar. Kakek ingin memperbaiki semuanya, dan Kakek tidak tahu kalau ….” Tuan Willam tidak mampu berucap, ia tertunduk sedih mengetahui anaknya sudah tiada.Danny menengadahkan kepalanya, menghalangi air matanya agar tidak turun. Satu pertanyaannya, kenapa Tuhan memberikan takdir serumit ini kepadanya?“Maafin Kakek, Dan. Seandainya saja Kakek tahu akan kehilangannya secepat ini, mungkin Kakek sejak dulu menyingkirkan ego Kakek dan hidup bersama ayah, ibumu sejak dulu.”“Selama ini Kakek tersiksa oleh rasa rindu dan ego Kakek, dan sekarang Kakek ingin memperbaikinya, tapi Kakek tidak tahu harus dengan cara apa. Kakek semakin merasa menyesal.” Sang Kakek tiba-tiba bersimpuh memohon di kaki Danny.Danny terpaku, ia tidak tahu harus berkata apa, ia juga sangat terkejut mendapati kenyataan bahwa ternyata ia cucu dari Tuan Willam.“Dan, katakan apa yang harus Kakek lakukan untuk mendapatkan maafmu dan ayahmu,” kata sang kakek memohon.“Mungkin Anda bisa melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan Anda,” jawab Danny.“Apa? Kakek akan melakukannya.”“Bantu aku untuk membalas kematian mereka.”“Maksud kamu apa?”“Mereka mati dibunuh!”“Apa!”“Siapa yang melakukannya! Berani sekali dia membunuh keturunan Laksana!” seru Tuan Willam seraya berdiri tegak dengan wajah berang.****“Ibra!” teriak sang kakek kepada anak sulungnya.Seorang lelaki paruh baya pun sedikit berlari menghadap sang kakek.“Ada apa, Pa?” Lelaki bernama Tuan Ibra itu pun bertanya, namun sejenak melirik kearah Danny yang berada di belakang Tuan Willam sembari menggendong tas dengan satu tangannya.“Dia siapa, Pa?” tanya Tuan Ibra, sorot matanya sedikit tajam, mungkin karena penasaran.“Dia Danny. Anak Fandy.”“Maksud Papa?” Tuan Ibra sedikit syok.“Itu artinya dia cucuku, bodoh!” sentak Tuan Willam kepada anak sulungnya.Tuan Ibra terlihat menelan salivanya, entah kenapa wajahnya mendadak pucat pasi mendengar jawaban sang kakek.“La – lu Fandynya mana, Pa?” Tuan Ibra gugup.Sang kakek menarik nafas panjang, kesedihan yang sempat hilang mendadak kembali hadir mendengar pertanyaan Tuan Ibra. Danny menyentuh pundak sang kakek guna menenangkannya, padahal ialah yang seharusnya mendapatkan hiburan sebab ia yang selama ini hidup bersama mereka. Akan tetapi, Danny sadar apa yang dirasakan
Sungguh di luar dugaan, reaksi paman Danny membuat Danny bertanya-tanya, lelaki parauh baya tersebut seakan tidak rela bila perusahaannya jatuh ke tangannya ataupun ayahnya. Mungkinkah … ah, tidak mungkin. Mana ada saudara membunuh saudaranya sendiri demi harta?“Cucuku, jangan hiraukan pamanmu. Kakek percaya, kamu adalah pewaris yang tepat,” kata sang kakek setelah Paman Ibra pergi dari rumah lantaran kesal dengan keputusan sang kakek.“Aku jadi merasa tidak enak, Kek.”“Tidak, Dan. Sudah lama Kakek memikirkan hal ini. Kakek mencari ayahmu karena Kakek yakin bahwa dialah pewaris yang terbaik bagi keturunan Kakek, tetapi takdir berkata lain. Ayahmu sudah tiada dan Kakek sangat berharap kamu adalah orang yang tepat memegang semua kekayaan kakek,” tutur Kakek Willam.Danny hanya bisa terdiam, ia pun dibawa ke kamarnya yang sangat luas dan megah. Sebenarnya, itu bukan kamarnya, melainkan kamar mendiang almarhum ayahnya yang kini sudah tiada. Sungguh, Danny tidak menyangka ayahnya bis
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Danny kepada Meysa untuk mengalih pertanyaan Eric terhadap Egard. “Hem, terima kasih.” Meysa pun memperbaiki posisi tubuhnya. “Hay, Cintya. Apa kabar?” sapa Danny sambil tersenyum paksa. “Baik, sangat baik. Kamu lihat, apalagi aku sekarang sudah memiliki kekasih yang bisa bahagiain aku. Tidak seperti kamu, gak bisa bahagiain aku!” sindir Cintya. Danny menghela nafas panjang, ingin sekali memberitahu kepada wanita itu bahwa dirinya cucu orang terkaya di negeri ini. “Kalau begitu selamat. Semoga kalian terus bahagia sampai akhir,” pesan Danny tanpa beban sama sekali. Entah hatinya sudah tertutup atau memang dirinya yang saat ini tidak peduli akan cinta, yang ia pedulikan mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Itu tujuan Danny sekarang. “Tentu saja.” Cintya pun melengos, berganti menatap Eric dengan senyuman manis. Tangannya pun tidak lupa merangkul mesra lengan kekasihnya. “Dasar pelakor!” umpat Meysa melihat kemesraan Cintya dan Eric. Cintya
Danny Laksana keluar dari mobil lalu masuk ke rumah sang kakek. Ia tidak peduli dengan tatapan kebencian Eric kepadanya. Toh, bukan dia yang mau berada di posisi ini, siapa suruh tidak bisa mengambil hati sang kakek, malah asyik bermain perempuan. “Dasar belagu, awas kamu!” umpat Eric sembari mengepalkan tangan kirinya dan mengarahkannya ke Danny yang sedang melangkah. “Tuan,” tegur Elgard. “Sekarang, kamu juga berada di posisinya?” “Bukan seperti itu, Tuan. Tetapi, sekarang dia juga cucu Tuan Besar. Saya harus menghormatinya.” “Cih!” kesal Eric lalu masuk ke mobil. Ia harus menemui papanya untuk membicarakan hal ini. Kenapa beliau tidak memberitahunya tentang Danny? “Papa!” teriak Eric saat sampai rumah. “Apa teriak-teriak begitu? Papa ini gak tuli, Ric!” “Kenapa Papa gak bilang soal Danny sama Eric? Dan kenapa pula Papa biarkan dia mendapatkan posisi kepemimpinan di perusahaan kakek?” terang Eric panjang lebar kepada sang papa. Lelaki berumur 67tahun itu duduk dengan wajah
Danny menemukan sebuah surat di bawah tumpukan baju almarhum ayahnya. Ia penasaran surat apa itu. Ia duduk di tepi ranjang milik kedua orang tuanya. Kasur yang tidak empuk, namun mampu menciptakan moment romantis keduanya. Sehingga pernikahan kedua orangtua Danny mampu bertahan sampai maut memisahkan mereka. Danny anakku.... Ada rahasia besar yang harus ayah dan ibu katakan kepadamu, namun kami tidak tahu waktu yang pas memberitahumu. Ayah dan Ibu sengaja menulis surat ini untuk memberitahumu bahwa kamu adalah cucu Tuan Willam, beliau ada orangtua kandung ayah. Kelak, jika ayah sudah tiada, temuilah beliau dan sampaikan permintaan maaf ayah pada beliau sebab ayah sudah tidak diperbolehkan lagi menginjakkan kakinya di sana. Ada alasan kenapa hal ini terjadi, nak. Sejak dulu hubungan Ayah dan Ibu tidak direstui oleh kedua orang Ayah, itu sebabnya ayah pergi menjauh dan memilih menikahi Ibumu. Nak, Ayah dan Ibu memberitahumu karena kami hanya ingin kamu tahu bahwa sebenarnya kamu
Karena ponsel sang ayah mati, Danny mengecesnya di rumah sang kakek saat pulang ke sana. Meninggalkan Cintya dan tidak memperdulikan keinginan wanita itu untuk kembali. Danny bukan tempat singgah dan pergi begitu saja. Apalagi alasan Cintya kembali kepadanya bukan atas dasar cinta, melainkan karena dirinya sekarang orang kaya. Hari berikutnya, Danny dan Egard mulai masuk kantor secara rutin. Tugasnya dari pelayan berubah menjadi pemimpin perusahaan. Sebuah takdir yang tidak pernah ia sangka-sangka. Sedangkan Eric, menjadi wakil director di perusahaan tersebut. Lelaki itu sekarang juga mulai berangkat rutin. Bersaing dengan Danny karena memang itulah niat Eric. Saat mereka berdua berpapasan, pandangan mereka bertemu, Eric memancarkan pandangan kebencian, sedangkan Danny menatap Eric dengan tatapan malas. “Dengar, aku tidak akan pernah terima takdir ini,” kata Eric penuh penekanan. “Aku tahu,” balas Danny. “Perusahaan ini hanya milikku dan papa.” “Yang memutuskan adalah kakek, bu
Setelah pertemuannya dengan Meysa, Danny kembali ke rumah. Ia sudah membuat kesepakatan dengan wanita tersebut – mantan kekasih Eric. Lelaki yang menjadi selingkuhan Cintya. Kemalangan yang menimpa hidupnya membuat hati Danny menjadi keras, ia tidak mau jatuh ke dalam penderitaan yang sama pula. Tujuan hidupnya sekarang membuat Cintya menyesal, juga mencari tahu pembunuh kedua orangtuanya. Danny teringat dengan Paman Ibra. Apakah beliau sudah mencari tahu tentang pembunuhan kedua orang tuanya? Kenapa sampai sekarang beliau tidak memberinya kabar? Mengingat hal itu, Danny segera mengajak Paman Ibra untuk bertemu. Membahas pencarian pembunuhan tersebut. Keesokan harinya, Danny berangkat ke kantor. Sebelum berangkat ke kantor, lelaki itu menuju sebuah kontrakan dimana Meysa berada. Sesampainya di sana, ia berniat menghubungi Meysa, namun tidak lama kemudian wanita yang ia tunggu keluar dari kontrakan dengan pakaian rapi. “Tepat waktu juga kamu,” puji Danny, segera menggeser tub
Danny memberikan bukti tersebut, tatapannya focus ke depan, memperhatikan raut wajah sang paman yang nampak antusias dengan bukti yang ia berikan. Danny ingin melihat reaksi beliau. Wajah Tuan Ibra nampak begitu pucat saat rekaman penganiayaan orangtua Danny diputar, obrolan antara preman dan orangtua Danny membuat tubuh Tuan Ibra gemetar. Beliau melirik Danny yang saat ini memandang dengan tatapan nyalang. “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Tuan Ibra bertanya heran. “Apa ini semua perbuatan Paman?” Danny masih berusaha sopan dan bertutur baik. “Apa maksudmu? Jangan sembarangan menuduh ya.” “Bukankah saudara ayah dan ibu hanya Paman?” Danny memojokkan. “Iya, tapi bukan berarti itu aku, bodoh! Mana mungkin aku melakukan hal sekeji ini kepada saudara kandungku sendiri?” “Benarkah?” Danny mengangkat satu alisnya seraya menyender ke kursi, kedua tangannya dilipat di depan dada. “Bagaimana kalau kita tunjukan rekaman ini kepada kakek?” tantang Danny, sengaja mengetes sang paman.