Danny memberikan bukti tersebut, tatapannya focus ke depan, memperhatikan raut wajah sang paman yang nampak antusias dengan bukti yang ia berikan. Danny ingin melihat reaksi beliau. Wajah Tuan Ibra nampak begitu pucat saat rekaman penganiayaan orangtua Danny diputar, obrolan antara preman dan orangtua Danny membuat tubuh Tuan Ibra gemetar. Beliau melirik Danny yang saat ini memandang dengan tatapan nyalang. “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” Tuan Ibra bertanya heran. “Apa ini semua perbuatan Paman?” Danny masih berusaha sopan dan bertutur baik. “Apa maksudmu? Jangan sembarangan menuduh ya.” “Bukankah saudara ayah dan ibu hanya Paman?” Danny memojokkan. “Iya, tapi bukan berarti itu aku, bodoh! Mana mungkin aku melakukan hal sekeji ini kepada saudara kandungku sendiri?” “Benarkah?” Danny mengangkat satu alisnya seraya menyender ke kursi, kedua tangannya dilipat di depan dada. “Bagaimana kalau kita tunjukan rekaman ini kepada kakek?” tantang Danny, sengaja mengetes sang paman.
Di sebuah ruangan tertutup, seorang wanita dengana rambut acak-acakan diikat di sebuah kursi, mulutnya dibekap menggunakan kain cokelat, wajahnya tengah dipenuhi air mata. Tidak menyangka mantan kekasih dan Tuan Ibra tega menculiknya, entah alasan apa mereka menculiknya, Meysa tidak mengerti, yang ia tahu mereka menyuruh Danny untuk datang menyelamatkannya.“Emmmm,” Meysa terus bergumam, memohon kepada Eric dan Tuan Ibra untuk melepaskannya.“Tenanglah, Mey. Kamu akan segera kami lepaskan kalau lelaki itu sudah membuat kesepakatan dengan kita.”‘Brengsek! Kesepakatan apa yang akan mereka lakukan?’ tanya Meysa dalam hati.Bagaimana Meysa bisa pernah mencintai lelaki seperti Eric yang ternyata sekejam ini kepadanya? Meysa menyesal pernah memberikan hatinya untuk lelaki itu. Sekarang, ia tengah menunggu nasibnya di tangan Danny, mungkinkah lelaki itu mau datang menyelamatkannya?Jika bukan Danny, tidak ada orang yang mampu menolongnya. Ia tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini. dia
Meysa sangat ketakutan, ia terus bergumam, menatap Danny dengan wajah memelas. Danny yang melihat keadaan Meysa pun kasihan. Bisa-bisanya Eric ingkar janji. Mereka pikir, hanya mereka saja yang bisa berbuat seenaknya. Danny beringsut ke depan, meraih kerah meja Eric, menatap lelaki itu dengan tajam. “Brengsek! Berani sekali kalian ingkar janji!” umpat Danny. “Jangan macam-macam, atau aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!” ancam Danny. Eric tersenyum miring, tidak takut sama sekali dengan ancaman Danny. Beberapa detik kemudian, pasukan Tuan Ibra dan Eric masuk, menodongkan senjata api di kepala Danny dan juga Egard membuat mereka terkejut. Bibir Eric mengembang penuh kemenangan. “Coba saja kalau berani? Yang ada kepalamu lebih dulu hancur,” cicitnya. Danny memandang Eric dengan tatapan tenang. Ia juga tidak takut sama sekali dengan ancaman Eric. Dalam hitungan detik, banyak lelaki berjas hitam masuk menyerbu pasukan Tuan Ibra dan Eric. Kedua bola mata mereka semua ter
Aaaa! Teriak Meysa ketika bangun dari tidurnya dan mendapati seorang lelaki tampan di sampingnya. Ia segera melindungi barang berharganya. Menyilangkan kedua tangan di depan dada. Meysa sangat syok, sebab ini pertama kali ia tidur dengan lelaki. Tetapi, tunggu! Ia masih berpakaian utuh. “Astaga,” keluh lelaki sembari mengucek kedua matanya. “Ada apa?” tanya Danny serius. Takut terjadi hal buruk dengan Meysa. “Ka – mu ngapain di sini? Tidur di sini?” tanyanya dengan suara gemetar. Satu alis Danny terangkat, heran sekaligus kesal, pasalnya ia masih mengantuk. Danny kira ada apa, ternyata wanita itu hanya sedang kaget. Sungguh mengejutkan. Danny beringsut duduk sembari menghela nafas pendek. “Hey, kamu lupa siapa yang membuatku tidur di sini!” ujar Danny seraya menyentil kening Meysa agar wanita itu segera sadar. Mulut Meysa mengerucut ke depan sembari berpikir tentang kejadian semalam. Dalam hitungan detik, ia menelan salivanya, teringat dengan kejadian semalam, dimana ia meren
“Oh, jadi begitu kelakuanmu di belakangku.” Eric melipat kedua tangannya di depan dada. Eric geram mendengar aduan Danny bahwa Cintya mengajak balikan. “Kamu jangan nyalahin aku, kamu sendiri macam-macam sama Meysa, kan?” Cintya tidak mau kalah. Mereka berdua berdebat di mobil. Hatinya sama-sama panas mendengar aduan Danny dan Meysa. Sepertinya mereka berdua memang sengaja mengadu domba Eric dan Cintya. Hubungan mereka pun berada di ujung tanduk. “Terus, sekarang kamunya gimana? Sepertinya aku sudah malas berhubungan denganmu.”“Kok, kamu ngomongnya begitu?” Cintya terhenyak. “Sudahlah, lebih baik kamu turun dari mobilku. Aku nyesel milih kamu.”Mulut dan kedua bola mata Cintya membulat, sungguh menyakitkan ucapan Eric. Mudah sekali lelaki itu mengakhiri hubungan ini.“Kamu bercanda kan, Mas?” Cintya gemetar tubuhnya, takut bila Eric benar-benar meninggalkannya. “Serius!” tegasnya. Cintya syok, tubuhnya seketika lemas, kedua bola matanya berair. “Jangan begini, Mas.
“Tidak maksud apa-apa, Kek. Sepertinya beliau sedang sibuk sehingga tidak sempat mencarinya,” kata Danny menutupi. Kakek Willam merasa ada yang aneh dengan jawaban Danny, beliau juga melihat sebuah kebencian dari mimik wajah sang cucu. Drrrttt! Ponsel sang kakek berdering, lelaki yang sudah senja itu segera bangkit setelah melihat sebuah nama di layar benda pipihnya. “Kakek angkat telepon dulu ya.” “Iya, Kek. Danny sama Meysa ke atas dulu ya.” “He'em.” Kakek Willam mengangguk. Danny membawa Meysa ke balkon kamarnya. Masuk ke kamar Danny membuat Meysa takjub karena kamar tersebut begitu luas dan mewah. Semua perabotan di kamar tersebut nampak mewah dan elegan. Seumur-umur Meysa baru memasuki kamar semewah itu. Dulu, saat bersama Eric, ia hanya melihat dalamnya apartemen, itupun hanya sekali, sebab ia tidak pernah lagi mau diajak ke apartemen karena Eric selalu meminta dirinya bercinta dengannya. Danny duduk di balkon kamarnya, menatap pemandangan di bawah sana dengan pandangan
Hal serupa juga dialami oleh Tuan Ibra, beliau harus menanggung malu lantaran tidak mampu membayar wanita yang sudah beliau unboxing. Makian dan cacian harus beliau dengar dari wanita yang baru saja selesai meleyaninya.“Dasar tua bangka, sudah tahu tidak bisa bayar, kenapa harus memesan wanita panggilan sepertiku?”“Hey, apa kamu tidak tahu siapa saya. Jangankan membayarmu untuk malam ini, membeli untuk mati pun aku bisa!” Tuan Ibra tidak terima dihina oleh sang wanita panggilan yang sekarang tengah memakai gaun seksinya kembali.“Buktinya apa? Anda tidak bisa membayarnya bukan? Saya akan melaporkan Anda. Anda harus diberi pelajaran oleh anak buah madam!” ancamnya. Siapapun yang tidak mampu membayar akan dipukuli oleh anak buah madam.“Shit!” geram Tuan Ibra.Sebelumnya, Tuan Ibra memesan seorang wanita seperti biasanya ke orang biasa. Beliau terbiasa membayarnya belakangan sesuai dengan pelayanan yang akan diberikan wanita panggilan, kalau memuaskan beliau akan membayarnya lebi
Keringat dingin tiba-tiba saja mengalir dari dahi mereka berdua. Mereka seakan mendengar ucapan tajam dari mulut sang tuan rumah. Apa mungkin Tuan Willam tahu kalau mereka berdua pelaku pembunuhan kedua orangtua Danny?“Ma – na mungkin aku berniat jahat, Pa?” Tuan Ibra tertawa kecut, menyembunyikan rasa geroginya. Tuan Willam mengangguk pelan, “Bagus kalau kamu tidak ada niat jahat. Danny pun begitu.” Jawaban Tuan Willam tidak membuat mereka berdua lega sama sekali. “Ya terus kenapa kita dihukum begini, Kek? Memang apa salah kita?” heran Eric. Tuan Willam menghela nafas sejenak. Menunduk entah kenapa. Seakan-akan beliau memiliki beban yang sedang mengganggunya. Ketika beliau tengah menghadapi masalah, beliau sering menunduk untuk berpikir. Tuan Ibra tahu betul sifat sang ayah. “Papa punya masalah?” Tuan Ibra bertanya penuh kehati-hatian. “Tidak ada. Masalahku hanya pada kalian berdua yang tidak pernah berubah sejak dulu,” jawabnya penuh makna. Eric mendengus kesal, ia me