Hal serupa juga dialami oleh Tuan Ibra, beliau harus menanggung malu lantaran tidak mampu membayar wanita yang sudah beliau unboxing. Makian dan cacian harus beliau dengar dari wanita yang baru saja selesai meleyaninya.“Dasar tua bangka, sudah tahu tidak bisa bayar, kenapa harus memesan wanita panggilan sepertiku?”“Hey, apa kamu tidak tahu siapa saya. Jangankan membayarmu untuk malam ini, membeli untuk mati pun aku bisa!” Tuan Ibra tidak terima dihina oleh sang wanita panggilan yang sekarang tengah memakai gaun seksinya kembali.“Buktinya apa? Anda tidak bisa membayarnya bukan? Saya akan melaporkan Anda. Anda harus diberi pelajaran oleh anak buah madam!” ancamnya. Siapapun yang tidak mampu membayar akan dipukuli oleh anak buah madam.“Shit!” geram Tuan Ibra.Sebelumnya, Tuan Ibra memesan seorang wanita seperti biasanya ke orang biasa. Beliau terbiasa membayarnya belakangan sesuai dengan pelayanan yang akan diberikan wanita panggilan, kalau memuaskan beliau akan membayarnya lebi
Keringat dingin tiba-tiba saja mengalir dari dahi mereka berdua. Mereka seakan mendengar ucapan tajam dari mulut sang tuan rumah. Apa mungkin Tuan Willam tahu kalau mereka berdua pelaku pembunuhan kedua orangtua Danny?“Ma – na mungkin aku berniat jahat, Pa?” Tuan Ibra tertawa kecut, menyembunyikan rasa geroginya. Tuan Willam mengangguk pelan, “Bagus kalau kamu tidak ada niat jahat. Danny pun begitu.” Jawaban Tuan Willam tidak membuat mereka berdua lega sama sekali. “Ya terus kenapa kita dihukum begini, Kek? Memang apa salah kita?” heran Eric. Tuan Willam menghela nafas sejenak. Menunduk entah kenapa. Seakan-akan beliau memiliki beban yang sedang mengganggunya. Ketika beliau tengah menghadapi masalah, beliau sering menunduk untuk berpikir. Tuan Ibra tahu betul sifat sang ayah. “Papa punya masalah?” Tuan Ibra bertanya penuh kehati-hatian. “Tidak ada. Masalahku hanya pada kalian berdua yang tidak pernah berubah sejak dulu,” jawabnya penuh makna. Eric mendengus kesal, ia me
Kedatangan Tuan Willam ke kantor membuat seluruh karyawan yang bertemu dengan beliau segera membungkuk, memberikan hormat kepada pemilik perusahaan. Keadaan kantor pun mendadak sunyi, biasanya mereka akan bising dengan pekerjaan mereka, namun kali ini hanya tangan dan mata mereka yang bekerja, mulut mereka kunci rapat-rapat sebab Tuan Willam tidak suka dengan orang yang banyak mulut. “Papa?”“Kakek?”Tuan Ibra dan Eric sama-sama memanggil nama beliau lalu membungkukan setengah badan mereka, begitu juga dengan Meysa. Wanita tersebut mengikuti apa yang dilakukan oleh banyak karyawan. Sejenak, pandangan Meysa bertemu dengan Danny. Bertanya lewat tatapan kenapa sang kakek tiba-tiba datang ke kantor. Danny yang kini berdiri di belakang sang kakek mengedikan bahunya. Ia juga tidak tahu kenapa sang kakek ingin ikut ke kantor. “Kalian semua ikut ke ruangan saya!” perintahnya lalu melangkah ke ruangan Danny yang dulu menjadi ruangan beliau. Tuan Ibra dan Eric memicingkan kedua bola
Eric menenggak minuman, suasana siang itu sedang panas, sama seperti suasana hatinya yang tengah terbakar api cemburu melihat kemesraan Danny dan Meysa tadi. Drrrrttt! Ponselnya berdering, dengan malas ia melihat layar ponselnya, memastikan siapa yang menghubunginya. Apa dia tidak tahu kalau saat ini hatinya sedang patah? “Wanita ini lagi!” keluh Eric memandang nama Cintya. Eric hampir meletakkan kembali ponselnya, namun tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. [Iya?] Akhirnya, Eric menjawab panggilan dari Cintya. [Hallo, Sayang. Bagaimana kabarmu? Kita ketemuan ya.][Oke!]Dibalik telepon, Cintya sangat senang sekali mendengar jawaban Eric.Segera Eric mematikan ponselnya, lalu bergegas bertemu dengan Cintya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan wanita itu. Eric berharap, Cintya bisa melakukan apa yang ia inginkan. Mereka berdua di sebuah restoran sederhana, tidak mewah seperti dulu sebab saat ini Eric tengah menerima hukuman dari sang kakek, hukuman yang membuat diri
“Hay, Kek. Perkenalkan, saya Cintya. Kekasih Danny.” Cintya mengulurkan tangannya kearah Tuan Willam. Begitu pd-nya memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Danny. Memang wanita tidak tahu malu. “Kekasih Danny?” Tuan Willam memandang Cintya tidak percaya. Beliau lalu beralih memandang Danny. Meminta kepastian lelaki tersebut. Tuan Willam tidak yakin kalau Danny lelaki buaya. “Bukan, Kek. Tapi, mantan.” Danny menatap tajam mata Cintya. Kesal karena berani mengaku-ngaku sebagai kekasihnya. “Oh, cuman mantan....” Tuan Willam pun merasa lega atas jawaban cucunya. Cintya tersenyum kaku, menahan malu, namun ia sudah bertekad bahwa akan merebut Danny kembali. “Mas, apa boleh kita bicara sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku katakan sama kamu, Mas.”“Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Lebih baik kamu pergi. Kamu tidak lihat aku sedang makan bersama keluarga?” Danny menolak mentah-mentah ajakan Cintya. Danny yakin, Cintya hanya akan membicarakan soal keinginannya kembali kepadanya la
“Kejam sekali mereka.” Meysa geram mengetahui pelaku pembunuhan orangtua Danny.“Terkadang, musuh terbesar adalah saudara sendiri, kadang juga mereka adalah orang yang paling berjasa,” kata Danny penuh makna.Memang, terkadang musuh terbesar seseorang adalah orang terdekat, namun terkadang mereka adalah orang yang paling berjasa. Bergantung dari saudara itu sendiri.Entah apa yang ada di dalam pikiran Tuan Ibra dan anaknya, sehingga mereka tega menghabisi nyawa saudaranya sendiri. Hanya karena sebuah harta, mereka tega berbuat keji. Seharusnya, mereka berusaha menyayangi, bukannya menyakiti.Mungkin, kalau sang kakek tidak berniat memberikan warisan kepada orangtua Danny, mungkin Tuan Ibra tidak membunuh mereka. Padahal, selama ini sang ayah sudah pergi menjauh dan tidak pernah merepotkan mereka. Beliau mampu membuktikan bahwa bisa hidup dengan tenang dan damai tanpa embel-embel keluarga besar yang kaya raya. “Sekarang, apa yang akan kamu lakukan sama mereka?” tanya Meysa ingin
[Tidak, Tuan. Memangnya kenapa?][Beliau tidak ada di rumah, Gard!][Apa!]Danny menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara Egard yang melengking kuat, reaksi Egard sungguh luar biasa. Sambungan telepon langsung dimatikan, tidak lama kemudian Egard datang ke rumah untuk memastikan perkataan Danny. Danny sampai terkejut melihat kedatangan Egard yang cepat sampainya. “Naik apa kamu? Pesawat? Cepet banget datangnya!” Danny malah melawak. “Saya khawatir dengan keadaan Tuan Besar, Tuan. Bisa saja beliau berada dalam masalah besar,” ujarnya membuat kening Danny berkerut. “Masalah besar apa maksudmu?”Egard menelan Salivanya, saking khawatirnya dengan sang majikan, ia sampai keceplosan bicara. Egard bingung harus jawab apa, pasalnya sang majikan melarangnya untuk berbicara apa-apa kepada Danny. Tidak mau membuat cucunya itu semakin terlihat masalah. “Egard, masalah apa yang sedang kakek hadapi, katakan padaku!” desak Danny. “Maaf, Tuan.” Egard menggeleng. Beru
Kakek Willam berhasil Danny tenangkan, beliau dibawa pulang dan istirahat di rumah. Danny terus mendampingi sang kakek agar tidak kembali nekat seperti tadi.“Istirahat, Kek. Semoga impi ayah,” pesan Danny lalu menarik selimut menutupi tubuh kakeknya.“Maafin Kakek, Dan.”“Kakek tidak salah apa-apa,” jawab Danny, hatinya ikut sesak melihat beliau sesedih ini.Siapa yang tidak syok mendapati anaknya membunuh anaknya yang lain. Tuan Willam tidak pernah menduga Ibra akan melakukan hal kejam tersebut. Ternyata, harta membuat buta memang buukan isapan belaka. Bukan hanya cinta yang membuat buta, harta juga.“Jangan lakukan hal nekat seperti tadi, Kek. Ayah tidak suka dengan orang yang mudah putus asa,” kata Danny.Tuan Willam kembali bersedih, rasa rindu terhadap anak bungsunya membuncah. Seandainya saja dulu beliau tidak mengusir dan menerima istri Fandy, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Sekarang beliau menyadari, bahwa tidak semua orangtua benar dan anak selalu salah, terkad